Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Sabtu, 08 Mei 2010

Melakukan Suatu Kesalahan Bukanlah Hal yang Besar Oleh: Ajahn Brahmavamso (Ajahn Brahm)



Melakukan Suatu Kesalahan Bukanlah Hal yang Besar
Oleh: Ajahn Brahmavamso (Ajahn Brahm)

Pencerahan berarti tidak ada lagi kemarahan yang tersisa di dalam dirimu. Tidak ada lagi keinginan pribadi atau kebodohan yang terpendam di dalam diri.

Dalam kehidupan ini, kita sering lupa bahwa melakukan kesalahan bukanlah hal yang besar. Dalam Ajaran Buddha tidaklah menjadi soal apabila seseorang melakukan kesalahan. Tidaklah mengapa menjadi tidak sempurna. Bukankah hal ini luar biasa? Ini berarti kita mempunyai kebebasan sebagai seorang manusia, daripada beranggapan bahwa diri kita sendiri merupakan seorang yang luar biasa dan hebat, yang tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Alangkah mengerikan bukan, jika kita berpikir bahwa kita tidak diperbolehkan untuk melakukan kesalahan, karena pada dasarnya kita selalu melakukan kesalahan, kemudian kita berusaha menyembunyikannya dan mencoba untuk menutupinya. Sehingga rumah pun bukan lagi tempat yang damai, tenang dan nyaman. Tentu saja kebanyakan orang yang ragu-ragu akan berkata, “Jika kamu memperbolehkan orang untuk melakukan kesalahan, bagaimana mereka akan belajar? Mereka bahkan akan terus melakukan lebih banyak kesalahan lagi.” Tetapi sebenarnya bukan demikian caranya bekerja. Untuk mengilustrasikan hal ini, ketika saya masih remaja, ayah saya berkata kepada saya bahwa ia tidak akan mencampakkan saya maupun menutup pintu rumahnya bagi saya, tidak peduli apapun yang saya lakukan; saya akan selalu diterima di sana, bahkan jika saya melakukan kesalahan terburuk sekalipun. Ketika saya mendengar hal itu, saya memahami itu adalah ungkapan cinta, ungkapan penerimaan. Hal ini menginspirasi saya dan saya begitu menghormatinya sehingga saya tidak ingin menyakitinya, saya tidak ingin menimbulkan masalah baginya dan oleh sebab itulah saya bahkan berusaha lebih keras untuk menjadi lebih bernilai dalam keluarga.

Sekarang jika kita dapat menerapkan hal demikian terhadap orang-orang yang hidup di sekeliling kita, kita akan tahu bahwa hal ini akan memberikan kebebasan dan ruang untuk menenangkan dan mendamaikan diri, serta menghilangkan semua ketegangan. Dengan kenyamanan demikian, timbullah rasa hormat dan peduli kepada orang lain. Jadi saya menantang kamu untuk mencoba memperbolehkan orang-orang untuk melakukan kesalahan – katakanlah pada pasanganmu, orang tuamu atau anak-anakmu, “Pintu rumahku akan selalu terbuka untukmu, pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu, tidak peduli apapun yang kamu lakukan.” Katakan juga kepada dirimu, “Pintu rumahku akan selalu terbuka untukku.” Perbolehkanlah dirimu untuk melakukan kesalahan juga. Dapatkah kamu mengingat semua kesalahan yang telah kamu lakukan dalam seminggu terakhir ini? Bisakah kamu membiarkannya, masih bisakah kamu menjadi seorang sahabat bagi dirimu sendiri? Hanya pada saat kita memperbolehkan diri kita sendiri untuk melakukan kesalahan, kita akan merasa nyaman.

Itulah yang kita sebut dengan kasih sayang, Metta, cinta. Sesuatu yang tanpa pamrih. Jika kamu hanya mencintai seseorang karena mereka melakukan sesuatu yang kamu sukai atau karena mereka selalu memuaskan segala pengharapanmu, maka tentu saja cinta itu tidak akan begitu berarti. Hal itu hanya seperti transaksi bisnis cinta, “Saya akan mencintaimu jika kamu memberikan imbalan kepadaku sebagai gantinya.”

Ketika pertama kali saya menjadi seorang bhikkhu, saya beranggapan para bhikkhu haruslah sempurna. Saya pikir mereka tidak pernah boleh melakukan kesalahan; ketika duduk saat meditasi, mereka harus selalu duduk dengan tegak. Tetapi bila kamu pernah duduk pukul 04.30 dini hari, terutama setelah bekerja keras sehari sebelumnya, kamu akan merasakan kelelahan yang teramat sangat, tubuhmu akan menggelongsor, kamu bahkan akan terangguk-angguk karena rasa kantuk. Tetapi itu tidak menjadi masalah. Tidaklah menjadi soal apabila seseorang melakukan kesalahan. Dapatkah kamu merasakan betapa nyamannya perasaanmu, ketika semua ketegangan dan tekanan sirna di saat kamu memperbolehkan dirimu untuk melakukan kesalahan?

Masalahnya kita cenderung membesar-besarkan kesalahan dan melupakan keberhasilan, sehingga menciptakan begitu banyak beban berat dan rasa bersalah. Sebaliknya kita harus mengalihkannya kepada keberhasilan kita, hal-hal baik yang telah kita lakukan dalam kehidupan kita; kita dapat menyebutnya sifat Buddha dalam diri kita. Jika kamu beralih kepadanya, maka ia akan tumbuh berkembang; sebaliknya jika kamu mengalihkannya kepada kesalahan, mereka juga akan tumbuh berkembang. Jika kamu merenungkan pikiran apapun dalam batin, pikiran apapun itu, ia akan tumbuh berkembang dan berkembang, bukankah demikian? Maka sebaiknya kita mengalihkan pikiran kita dan merenungkan hal-hal positif di dalam diri kita, kemurnian, kebajikan, sumber cinta yang tanpa pamrih – dengan berkeinginan untuk membantu, bahkan mengorbankan kenyamanan kita untuk kepentingan makhluk lain. Ini adalah sebuah cara agar kita bisa menghormati nurani kita, hati kita. Dengan memaafkan kesalahan, kita akan merenungkan kemuliaannya, kemurniannya, dan kebaikannya. Kita bisa menerapkan hal yang sama pada orang lain, kita bisa merenungkan kebajikan mereka dan mengamatinya tumbuh berkembang.

Inilah apa yang kita sebut dengan Kamma – perbuatan; cara kita berpikir mengenai kehidupan, cara kita berbicara mengenai kehidupan, dan apa yang kita lakukan dengan kehidupan. Dan apa yang kita lakukan benar-benar terserah kepada kita, bukan sesuai kehendak suatu makhluk gaib luar biasa di atas sana yang menentukan kamu akan bahagia atau tidak. Kebahagiaanmu sepenuhnya berada di tanganmu, dalam kekuasaanmu. Inilah yang kita maksudkan dengan Kamma. Sama seperti ketika memanggang kue, Kamma menggambarkan bahan-bahan apa yang kamu miliki, apa yang harus kamu lakukan dengannya. Jadi jika seseorang memiliki Kamma yang kurang beruntung, mungkin ini merupakan hasil dari perbuatan lampau mereka, sehingga mereka tidak memiliki banyak bahan. Mungkin mereka hanya memiliki sejumlah terigu yang sudah tersimpan lama, satu atau dua butir kismis, dan sejumlah mentega tengik dan – bahan lain yang diperlukan untuk kue itu? – sejumlah gula… jadi dengan semua bahan itulah kita bekerja. Dan orang lain mungkin memiliki kamma yang sangat bagus, semua bahanbahan yang kamu idamkan: tepung gandum berkualitas, gula merah dan semua jenis buah-buah kering dan kacang. Tetapi pada akhirnya kue itu akan tetap dihasilkan… Bahkan dengan bahan-bahan yang amat kurang sekalipun, ada sebagian orang yang dapat menjadikannya kue yang indah. Mereka mengaduk semua bahan itu, memasukkannya ke dalam pemanggang – hmm.. lezat! Bagaimana mereka melakukannya? Sebaliknya ada orang yang mungkin mempunyai segalanya, malah menghasilkan kue yang rasanya tidak karuan.

Jadi Kamma menggambarkan bahan-bahan, sesuatu yang kita miliki untuk diolah; tetapi tidak menjelaskan apa yang harus kita perbuat dengan bahan bahan tersebut. Jadi jika seseorang bijaksana, tidaklah menjadi soal bahan apapun yang ia miliki untuk diolah.Kamu masih dapat membuat sebuah kue yang indah – asalkan kamu tahu caranya.

Tentu saja hal pertama yang harus diketahui, bahwa selalu mengeluhkan bahan-bahan yang kamu miliki adalah alternatif terakhir dalam membuat kue yang bagus. Kadang-kadang di vihara, jika ada satu bahan yang kurang, orang-orang yang sedang memasak akan mencari ke dapur dan cukup menggunakan apapun yang ada. Bahan itu bisa serba guna dan kamu akan memperoleh kue-kue yang sangat aneh, tetapi semuanya terasa lezat, ini dapat terjadi karena orang-orang telah belajar seni menggunakan apa yang mereka miliki dan menghasilkan sesuatu dengannya.

Jadi ke mana arah Kamma? Apa yang sebenarnya kita lakukan? Apakah menjadi kaya dan berkuasa? Tidak. Meditasi ini, ajaran Buddha ini, arah yang kita tuju, adalah ke arah pencerahan. Kita sedang menggunakan bahanbahan yang kita miliki untuk mencapai pencerahan. Tetapi sebenarnya apa arti pencerahan itu? Pencerahan berarti tidak ada lagi kemarahan yang tersisa di dalam dirimu. Tidak ada lagi keinginan pribadi atau kebodohan yang terpendam di dalam diri.

Suatu ketika ada seorang guru Rusia bernama Gurdjief, yang memiliki sebuah komunitas di Prancis. Didalam komunitasnya, ada seorang pria yang benar-benar menjengkelkan. Ia selalu mengganggu orang-orang dan menyusahkan mereka. Maka komunitas itu mengadakan pertemuan dan mereka meminta Gurdjief mengusirnya, mengeluarkannya, karena dia selalu menciptakan percekcokan dan membuat orang-orang tidak bahagia. Tetapi Gurdjief tidak pernah mau. Akan tetapi kemudian, setelah ia meninggal, mereka baru menyadari bahwa sebenarnya ia lah yang membayar pria itu untuk menetap di sana! Setiap orang yang ada di sana harus membayar untuk makanan dan tempat tinggal. Tetapi Gurdjief sebenarnya membayar pria itu agar menetap di sana – untuk memberikan pelajaran kepada orang-orang itu. Jika kamu hanya bisa bahagia ketika kamu hidup dengan orang-orang yang kamu suka, kebahagiaanmu itu sama sekali tidak bernilai, karena kamu belum bergejolak. Sama seperti segelas air berlumpur, ketika belum diaduk, bukankah kelihatannya jernih? Tetapi seketika setelah diguncang, lumpur muncul dari dasar gelas dan air menjadi keruh. Alangkah baiknya kamu menggoyangkan gelasmu untuk melihat apa yang sebenarnya terdapat didalamnya. Maka pada saat masih hidup, Gurdjief  membayar pria ini untuk mengguncang setiap orang untuk melihat apa yang terdapat di dalamnya.

Indikator yang sangat bagus untuk menilai sejauh mana tahap kehidupan spiritual seseorang adalah dengan melihat sebaik apa ia berhubungan dengan orang lain – terutama dengan orang yang tidak menyenangkan. Bisakah kamu merasa damai ketika seseorang menyusahkanmu? Bisakah kamu melepaskan kemarahan dan kejengkelan terhadap seseorang, terhadap suatu tempat atau terhadap dirimu sendiri? Pada akhirnya kita harus bisa melakukannya, jika tidak kita tidak akan pernah mendapatkan pencerahan, kita tidak akan pernah mendapatkan kedamaian.

Bayangkan bagaimana rasanya dengan berkata, “Saya tidak akan pernah merasa jengkel lagi, saya tidak akan menentang atau menolak seseorang maupun kebiasaan-kebiasaan mereka. Jika saya tidak bisa melakukan sesuatu terhadap hal ini, saya akan belajar hidup damai dengan sesuatu yang tidak saya sukai. Daripada selalu mengalihkan diri dari kepedihan dan mencari kesenangan, saya akan belajar menerima kepedihan itu dengan damai.” Bayangkan hal itu!

Kadang-kadang orang berpikir bahwa jika kamu tidak marah maka kamu cenderung seperti sayuran, kamu terus membiarkan orang lain menginjakmu, kamu hanya akan menjadi seseorang yang duduk berdiam diri dan tidak melakukan apapun. Tetapi tanyakan pada dirimu sendiri, “Bagaimana perasaanmu setelah marah? Apakah kamu merasa berapi-api, penuh semangat?” Kita akan kelelahan ketika marah; kemarahan menghabiskan begitu banyak energi kita. Bahkan ketika kita merasa jengkel atau berpikiran negatif terhadap seseorang atau suatu tempat, itupun sudah menghabiskan energi. Maka jika kita tidak ingin merasa begitu letih dan tertekan, sebagai percobaan, kita bisa mencoba untuk tidak merasa jengkel. Lihat betapa kita akan menjadi lebih sigap dan lebih bergairah. Kemudian kita dapat memancarkan energi itu dalam bentuk kepedulian terhadap sesama dan juga terhadap diri kita sendiri. Kita memiliki kekuatan untuk melakukan hal ini. Jika kamu benar-benar ingin mendapatkan jalur cepat menuju pencerahan, cobalah dengan menghentikan kejengkelan dan kemarahan.

Jadi bagaimana kita menghentikannya? Pertamatama, dengan menginginkannya berhenti. Tetapi kebanyakan dari kita tidak menginginkan berhentinya kemarahan dan kejengkelan tersebut – dengan alasan yang tidak jelas kita menyukainya. Ada sebuah cerita pendek yang menarik mengenai dua orang bhikkhu yang tinggal bersama-sama di sebuah vihara selama bertahun-tahun, mereka bersahabat karib. Kemudian merekapun meninggal dengan perbedaan kurun waktu beberapa bulan. Salah seorang dari bhikkhu tersebut terlahir kembali di alam surga, sedangkan yang satunya lagi terlahir kembali sebagai seekor cacing di setumpuk kotoran. Ia yang berada di alam surga mendapatkan kehidupan yang menyenangkan, menikmati semua kesenangan surgawi. Kemudian ia mulai memikirkan sahabatnya, “Saya ingin tahu di manakah sahabat lama saya?” Maka ia menerawang semua alam surga, akan tetapi ia tidak menemukan jejak sahabatnya. Kemudian ia menerawang alam manusia, tetapi ia juga tidak menemukan jejak sahabatnya di sana. Jadi ia mencarinya di alam binatang dan kemudian serangga. Akhirnya ia menemukannya, sahabatnya terlahir kembali sebagai seekor cacing di setumpuk kotoran… Wah! Ia berpikir, “Saya akan membantu sahabat saya. Saya akan turun menuju tumpukan kotoran tersebut dan membawanya ke alam surga, sehingga ia juga bisa menikmati kesenangan surgawi dan hidup dalam kebahagiaan di alam-alam yang menyenangkan ini.”

Jadi ia pun turun menuju tumpukan kotoran tersebut dan memanggil sahabatnya. Cacing kecil itu menggeliat keluar dan bertanya, “Siapa kamu?”, “Saya adalah sahabatmu. Kita pernah hidup bersama sebagai bhikkhu pada kehidupan yang lampau, dan saya bermaksud membawamu ke alam surga yang kehidupannya menyenangkan dan penuh kebahagiaan.” Tetapi cacing itu membalas, “Pergilah, menjauhlah!”, “Tetapi saya sahabatmu, dan saya tinggal di alam surga,” dan ia pun menjelaskan alam surga kepadanya. Tetapi cacing itu berkata, “Tidak, terima kasih. Saya cukup gembira di sini, dalam tumpukan kotoran saya. Silakan pergi.” Kemudian makhluk surga ini berpikir, “Jika saya bisa memegangnya dengan erat dan membawanya ke alam surga, ia akan bisa melihat sendiri.” Maka ia pun memegang erat cacing itu dan mulai menariknya, dan semakin kuat ia menariknya, semakin kuat pula cacing itu melekat pada tumpukan kotorannya.

Apakah kamu dapat memetik pesan moral dari cerita di atas? Berapa banyak dari kita yang melekat pada tumpukan kotoran kita? Ketika seseorang mencoba menarik kita keluar, kita terus menggeliat kembali kedalam, karena inilah yang menjadi kebiasaan kita, kita suka berada di dalamnya. Kadang-kadang kita sebenarnya melekat kepada kebiasaan-kebiasaan lama kita, kemarahan kita dan keinginan kita. Kadang-kadang kita ingin marah.

Jadi lain kali ketika kamu marah, berhentilah dan amati. Sadarlah sesaat dengan memperhatikanbagaimana perasaan itu. Ambil keputusan, peringatkan dirimu sendiri. “Lain kali ketika saya marah, saya akan merasakannya, bukannya menjadi sok pintar, menempuh caraku sendiri atau melukai orang lain”. Hanya memperhatikan bagaimana perasaan itu. Seketika setelah kamu memperhatikan kemarahan tersebut dengan hatimu – bukan dengan kepalamu – maka kamu akan menginginkannya berhenti, karena hal ini sangatlah menyakitkan, memedihkan, dan penuh penderitaan.

Hanya jika orang-orang bisa lebih mawas diri, lebih sadar – menyadari bagaimana rasanya, bukan dengan berpikir mengenainya, maka tidak akan ada persoalan lagi. Mereka akan melepaskan kemarahan dengan sangat cepat karena kemarahan itu panas, membakar. Tetapi kita cenderung melihat dunia ini dengan kepala daripada dengan hati kita. Kita memikirkannya, tetapi kita sangat jarang merasakannya, mengalaminya. Meditasi mulai membimbingmu berhubungan kembali dengan hatimu; dan keluar dari pemikiran dan keluh kesah, tempat dimana semua kemarahan dan keinginan berasal.

Ketika kamu memulainya dari hatimu, kamu bisa merasakannya sendiri, kamu bisa berdamai dengan dirimu sendiri, kamu bisa peduli terhadap dirimu sendiri. Ketika saya memulainya dari hati, saya juga bisa menghargai perasaan orang lain. Demikianlah bagaimana kita bisa mencintai musuh kita, ketika kita menghargai perasaan orang lain pula. Demikianlah bagaimana kita bisa mencintai musuh kita, dengan menghargai perasaan mereka, melihat sesuatu dari mereka untuk dicintai, dihormati.

Orang-orang marah karena mereka terluka, merasa tidak nyaman, tetapi jika kita bahagia, kita tidak akan pernah bisa marah pada orang lain, hanya jika kita merasa tertekan, lelah, frustrasi, susah, ketika ada rasa sakit dalam hati kita, saat itulah kita bisa marah kepada orang lain. Jadi ketika seseorang marah kepada saya, timbul rasa kasih sayang dan kebaikan saya terhadap orang itu, karena saya menyadari mereka sedang terluka.

Pertama kali saya mengunjungi seseorang yang dianggap telah tercerahkan, saya berpikir, “Wah! Lebih baik saya bermeditasi sebelum saya berada dalam jarak sepuluh mil darinya, karena ia pasti bisa membaca pikiran saya dan hal ini tentu saja sangat memalukan!” Akan tetapi seorang yang tercerahkan tidak akan bertindak kejam dan menyakitimu. Seorang yang tercerahkan akan menerimamu dan memberimu rasa nyaman. Itulah perasaan yang luar biasa, bukankah demikian; hanya dengan menerimamu apa adanya. Kamu hanya perlu menenangkan diri, tidak ada kemarahan dan kejengkelan. Yang ada hanyalah pengertian yang mendalam, pencerahan yang luar biasa, bahwa kamu baik-baik saja. Betapa banyak kepedihan yang bisa disingkirkan dari kehidupan manusia, betapa besar kebebasan yang bisa diberikan kepada orangorang untuk hidup di dunia, untuk melayani dunia, untuk mencintai dunia ini, sampai akhirnya mereka menyadari bahwa mereka baik-baik saja. Mereka tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk meyakinkan diri bahwa mereka telah bertindak benar, mengubah diri mereka, selalu takut berbuat kesalahan. Ketika kamu merasa nyaman dengan dirimu, kamu akan merasa nyaman dengan orang lain, tidak menjadi soal siapapun mereka. 
 




Ajahn Brahmavamso dilahirkan di London pada tahun 1951. Ia menganggap dirinya seorang Buddhis saat berusia 17 tahun melalui buku-buku Buddhis yang dibacanya ketika masih di sekolah. Ketertarikannya dalam ajaran Buddha dan meditasi berkembang ketika mempelajari Teori Fisika di Universitas Cambridge. Setelah menyelesaikan pendidikan kesarjanaannya dan mengajar selama setahun, beliau mengunjungi Thailand untuk menjadi seorang bhikkhu. Beliau ditahbiskan di Bangkok pada usia 23 tahun oleh Kepala Vihara Wat Saket. Kemudian berturut-turut selama 9 tahun, beliau mempelajari dan berlatih tradisi meditasi hutan di bawah bimbingan Ajahn Chah. Pada tahun 1983, beliau diminta untuk membantu pembangunan sebuah vihara hutan dekat Perth, Australia bagian Barat. Ajahn Brahm sekarang adalah Kepala Vihara Bodhinyana dan Pembimbing Spiritual Buddhist Community di Australia bagian Barat.




Sumber: http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,9685.0.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar