Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Selasa, 06 Juli 2010

Dhamma Cahaya Kehidupan



Dhamma Cahaya Kehidupan Oleh Yang Mulia Bhikkhu Dhammakaro


Tanpa terasa bahwa tiga hari kita telah melangkah dan memasuki tahun 1999. Di tahun baru ini kita membuka harapan dan cita-cita yang baru. Walau, tentu kita tidak melupakan berbagai macam pengalaman yang telah kita alami dan kita lalui selama satu tahun di tahun 1998. Apakah itu pengalaman yang menyenangkan, menggembirakan, yang membuat hati kita bahagia, atau sebaliknya, yaitu: pengalaman yang menyedihkan, mengerikan bahkan yang memilukan.

Pengalaman adalah modal atau bekal kita untuk melangkah lebih lanjut. Pengalaman juga merupakan benih yang harus kita pupuk dan pelihara, bilamana benih itu baik. Dan juga merupakan benih yang harus kita lebur dan lenyapkan bilamana benih itu buruk. Memang hidup ini bukanlah mimpi, bukan pula sandiwara yang disutradarai seseorang atau makhluk, dan bukan juga obyek untuk bahan cobaan, serta bukan pula untuk main-main atau asal-asalan. Kehidupan ini begitu kompleks dan rumit. Dalam Sutta Pitaka, bagian Dhammapada XIV, 182 Sang Buddha bersabda; Sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia, sungguh sulit kehidupan manusia, sungguh sulit untuk dapat mendengar Ajaran Benar, begitu pula, sungguh sulit munculnya seorang Buddha. Dalam sabda tersebut beliau menerangkan dengan begitu jelas, bahwa sungguh sulit kehidupan manusia. Hal ini mencerminkan kalau hidup ini, bukan sekadar mimpi yang terjadi hanya sesaat atau khayalan yang begitu mangasyikkan, menggiurkan dan menghanyutkan.

Hidup ini bukan khayalan yang mengasyikan, yang membuat orang mengandai-andai dan mengharap. (Seandainya orang tua saya, adalah raja, saya menjadi pangeran yang hidup di istana raja; seandainya orang tua saya konglomerat, saya menjadi orang kaya, banyak memiliki mobil, kalau saya mau ke vihara tidak susah-susah mencari Metromini; Banyak memiliki rumah, seperti Pangeran Siddhattha. Kalau musim hujan seperti sekarang, saya bisa tinggal di rumah musim hujan dan lain-lainnya. Selain itu, juga memiliki tempat rekreasi sendiri, ada kebon bunga, kebon buah-buahan, dan kebon binatang yang di dalamnya ada singa sang raja hutan, jerapah si leher panjang dan monyet yang lincah. Maka, kalau saya sedang suntuk dan setres dapat bermain-main sepuasnya di taman rekreasi).

Hidup ini harus dijalani dengan penuh kesadaran dan kewaspadaan. Seperti seorang pengendara mobil ditengah keramaian dan hiruk-pikuknya ibu kota Jakarta ini. Bilamana pengendara itu tidak disertai dengan kesadaran dan kewaspadaan penuh, maka dapat terjadi srempetan, tabrakan, dan kecelakaan. Demikian pula kehidupan ini, apabila kita tidak selalu menjaga dan mengembangkan kesadaran, maka bisa terjadi pertengkaran, perkelahian dan percekcokan.

Kadang kita mendengar pertanyaan demikian. Mengapa dalam kehidupan dewasa ini sering terjadi percekcokan, perkelahian dan pertengkaran? Dan jawaban dari pertanyaan itu mengatakan! Karena kondisi lingkunganlah penyebabnya, yaitu adanya krisis moneter, krisis ekonomi, krisis keyakinan, krisis pemimpin, krisis keamanan dan lain-lainnya. Sehingga masyarakat mudah melakukan tindakan yang brutal.

Saudara, memang nampaknya benar argumen tersebut di atas, bahwa lingkunganlah penyebabnya. Hingga terjadi peristiwa-peristiwa dewasa ini, yang begitu terkesan dan terpatri di ingatan atau sabsadar kita. Dalam MaƱgala Sutta, Sang Buddha mengajar dan menerangkan bahwa, hidup ditempat yang sesuai, berkat jasa-jasa dalam hidup yang lampau. Menuntun diri ke arah yang benar, itulah berkah utama. Dengan begitu memang lingkungan cukup berpengaruh pada kehidupan kita. Tetapi kita harus ingat, bahwa kehidupan kita difaktori tiga aspek kehidupan, yaitu alam semesta/lingkungan, alam pikiran dan realitas hidup.

Lingkungan memang cukup berpengaruh, tetapi pikiran lebih daripada pengaruh belaka. Dalam Dhammapada I. I dan II Sang Buddha bersabda; Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah sebagai pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya. Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah sebagai pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya. Sungguh benar, bahwa alam pikiran lebih daripada berpengaruh dalam kehidupan kita. Justeru pikiran inilah pemegang peranan terbesar dalam kehidupan kita.

Segala problem dan masalah timbul dari pikiran, segala keruwetan dalam kehidupan ini dimulai dari pikiran. Karena pikiran kita yang berpegang pada pengertian dan pemahaman salah itulah, yang menjadi penyebab dari keruwetan dan kekacauan hidup. Memang, di kala kita sedang melakukan aktivitas, kita tidak melihat atau merasakan bahwa pikiran kita selalu bergolak dan bergerak. Namun kondisi itu, dapat kita rasakan bilamana kita sedang dalam keadaan rileks, tidak tegang, dan dalam keadaan nyaman dan tentram. Hal ini juga bisa kita lihat dan rasakan bilamana kita sedang melakukan meditasi. Betapa rumit dan kompleks kehidupan ini.

Maka tidak heran bilamana dalam ilmu kedoteran, kita mendengar kata; "Organ" dalam arti umum organ adalah organisasi. Oleh karena itu, jelas bahwa dalam kehidupan kita, yaitu badan atau jasmani ini juga berorganisasi.

Organisasi adalah kumpulan dari berbagai unsur individu atau personil. Maka tidak heran bilamana dalam organisasi sering terjadi perselisihan paham atau beda pendapat, saling menyalahkan dan saling menjatuhkan antara satu sama lainnya. Mengapa dalam rumah tangga selalu ribut, antara suami dan istri, anak dan orang tua, kakak dan adik, mertua dan menantu; Atau dalam lingkungan rumah tangga, teman sama sahabat, famili dan saudara, tetangga sama tetangga. Pada dasarnya adalah kita tidak memahami atau mengetahui alam pikiran diri kita sendiri dan alam pikiran orang lain.

Sebagai contoh, mengapa anak ribut sama orang tua? Mungkin kita akan langsung mevonis sang anaklah yang salah, dia tidak menurut atau tunduk pada perintah orang tua. Sepertinya pernyataan itu benar seratus persen. Tetapi, saya akan mencoba memberikan sajian lain daripada yang mungkin selama ini kita telah ketahui. Di atas tadi telah dijelaskan bahwa, kita ini tidak peka atau tidak mampu benar, untuk mengetahui sejauhmana kondisi dan situasi pikiran orang lain. Maka demikian pula sesungguhnya sang orang tua, tidak memahami jelas kondisi pikiran anaknya, sehingga terjadi keributan. Coba kita bayangkan, sang anak pagi-pagi sudah berangkat sekolah, di sana dia langsung dihadapkan dengan banyak dan rumitnya pelajaran sekolah yang harus diselesaikan. Sore hari pulang ke rumah dalam kondisi pikiran yang penat, tegang dan setres. Tiba-tiba orang tua langsung menghakimi dengan kata-kata yang keras, disuruh begini dan begitu. Dalam komdisi seperti itu saya gambarkan, seperti orang mau menuangkan air madu atau air susu kedalam gelas, tetapi orang tersebut tidak melihat jelas gelasnya, apakah sudah penuh dengan air atau kosong. Kita bisa membayangkan bilamana gelas itu ternyata penuh dengan air, apa yang terjadi, walau air itu sangat bermanfaat atau berkasiat tetapi air itu akan tumpah dengan sia-sia.

Pemahaman seperti inilah yang dewasa ini langka kita miliki, sehigga tidak heran bilamana antara kita sering terjadi keributan dan percekcokan. Oleh karena itu, mari di awal tahun baru ini kita tingkatkan pemahaman dan penyelaman Dhamma, sehingga kita memahami Dhamma tidak setengah-setengah. Selain kita buka harapan dan cita-cita baru semoga apa yang ditahun 1998 belum tercapai bisa terealisasi di tahun ini.

[ Dikutip dari Berita Dhammacakka 03 Januari 1999 ]  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar