Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Senin, 23 Agustus 2010

Jantung Kemanusiaan



Jantung Kemanusiaan


Oleh Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera


Sekarang kita telah memasuki bulan Februari, yang di dalam agama Buddha dikenal dengan sebutan bulan Magha. Pada saat bulan purnama sempurna di bulan Februari umat Buddha memperingati hari suci Magha.

Hari suci Magha merupakan hari yang sangat bersejarah, hari keramat bagi umat Buddha. Bersejarah, keramat, dan istimewa; karena hari suci ini ditandai dengan empat tanda istimewa, yaitu:

  1. Pada saat bulan purnama sempurna di bulan magha atau bulan Februari, 1250 bhikkhu yang semuanya telah mencapai tingkat kesucian sempurna atau Arahat, datang bertemu di Veluvana Arama di kota Rajagaha.

  2. Keseribu dua ratus lima puluh bhikkhu yang kesemuanya telah mencapai Arahat tersebut, datang dari tempat yang berlain-lainan berkumpul ke Veluvana Arama di kota Rajagaha untuk menjumpai Sang Buddha, tanpa janji, tanpa musyawarah, tanpa persetujuan sebelumnya. Mereka datang serempak pada hari dan di tempat yang sama dengan spontan.

  3. Seribu dua ratus lima puluh bhikkhu tersebut, kesemuanya, pada waktu ditahbiskan sebagai bhikkhu, ditahbiskan langsung oleh Sang Buddha sendiri. Karena itu kesemuanya dikenal dengan sebutan Ehi Bhikkhu Upasampada, yang artinya: para bhikkhu yang ditahbiskan langsung oleh Sang Buddha sendiri.

  4. Pada kesempatan yang keramat dan istimewa ini, Sang Buddha membabarkan khotbah Tiga Bait yang merupakan inti dari Dhamma. Sari dari ajaran Beliau. Khotbah tiga bait ini terkenal sekali dengan sebutan Ovada patimokkha, Anjuran Penghayatan Dhamma. Apakah isinya? Pada kesempatan ini marilah kita ulangi dan kita renungkan bersama isi dan makna dari khotbah tiga bait tersebut. Demikianlah yang Sang Buddha babarkan:

Kesabaran adalah cara membina diri yang paling baik,
Buddha menyatakan, Nibbana - Kebebasan - adalah yang tinggi,
Bukanlah seorang petapa,
bukanlah seorang yang telah meninggalkan hidup keduniawian.

Bila mereka menyakiti atau menindas orang lain,
Menghindari semua perbuatan jahat,
Menambah kebaikan,
Membersihkan pikiran sendiri,
Inilah ajaran semua Buddha.

Tidak berbicara jahat, tidak menyakiti,
Mengendalikan diri sesuai dengan penghayatan Dhamma,
Makan sesuai dengan kebutuhan,
Tinggal di tempat yang tepat,
Berusaha meluhurkan pikiran,
Inilah ajaran semua Buddha

    "Menghindari semua perbuatan jahat, menambah kebaikan, membersihkan pikiran sendiri, inilah ajaran semua Buddha". Bait ini sungguh tersusun dari kalimat-kalimat yang sederhana. Namun, kalau kita mau merenungkan dalam-dalam, sesungguhnya kalimat-kalimat sederhana tersebut adalah jantung dari kemanusiaan. Jantung dan tuntutan setiap umat manusia di muka bumi ini. "Menghindari semua perbuatan jahat, menambah kebaikan; dan membersihkan pikiran sendiri".

    "Tidak berbuat jahat" adalah tuntutan semua ajaran agama. "Tidak berbuat jahat" adalah suara hati sanubari manusia yang paling murni dan paling dalam. Kejahatan adalah pembawa penderitaan bagi makhluk lain, bahkan penyebab utama bencana bagi dunia ini. Dan lebih dari pada itu, kejahatan adalah perusak kehidupan kita sendiri. Karena itu, janganlah kita berbuat jahat. "Jangan berbuat jahat" adalah permintaan kita kepada diri kita sendiri. Juga permintaan kita kepada setiap umat manusia. Kejahatan tidak pernah disetujui oleh hati nurani umat manusia. Kejahatan tidak pernah disetujui oleh hati nurani umat manusia. Kejahatan tidak pernah mendapat kompromi dari semua ajaran agama.

    Pada waktu Sang Buddha ditanya oleh Yakkha Alavaka, tentang apakah yang harus dibunuh; maka jawab Sang Buddha dengan tegas, “Kejahatan yang harus dibunuh!”. Dan yang paling utama, kejahatan dalam diri kita sendirilah yang harus kita bunuh.

    “Tambahlah kebaikan”, adalah tuntutan kuat bagi setiap umat manusia. Tuntutan dari semua ajaran agama. Dalam kehidupan ini berusahalah kita berbuat baik. Sekali lagi, berbuat baik. Berbuat baik dengan hati yang tulus. Berbuat baik hanya dengan tujuan, supaya orang lain mendapat kebaikan, dan kebaikan dalam diri kita sendiri menjadi bertambah. Karena kita sadar sesadar-sadarnya, bahwa hanya kebaikanlah yang akan membuat kita bahagia. Yang akan membuat kita mampu bertahan menghadapi segala macam problem dan ketegangan dalam kehidupan ini.

    Bahkan, bukan kekerasan, bukan pula kekuasaan, bukan peperangan, bukan materi; tetapi hanyalah kebaikan, kebaikan yang tulus, yang akan menciptakan perdamaian di bumi ini di manapun juga. Janganlah kita berbuat baik dengan pamrih yang lain, misalnya: pamrih materi, pamrih kedudukan, pamrih nama, pamrih itu dan ini, dan bermacam-macam pamrih rendah lainnya. Meskipun susah, berusahalah semampu mungkin menolong mereka yang membutuhkan pertolongan, mereka yang sedang menderita. Berusahalah menghibur mereka yang sedang sedih, bantulah mereka; dengan niat berbuat baik yang murni, tanpa embel-embel. Kebaikan inilah modal terbesar bagi kita untuk mencapai semua cita-cita luhur kita. Tanpa kebaikan, kehidupan kita akan cepat hancur.

    Kalau kita berusaha berbuat baik dengan setulus-tulusnya, maka kita pasti, merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan sejati, yang lain daripada kebahagiaan-kebahagiaan lainnya.

    Memang, dalam dunia ini, dalam kacamata materi, kebaikan itu kelihatan lemah. Kebaikan itu berbeda jauh dengan kekuasaan, dengan kegaiban, kekayaan, dan benda-benda dunia lainnya. Namun kebaikan mampu mengatasi segala-galanya. Meskipun kita, mungkin, pada suatu ketika terkena salah pengertian, ataupun fitnah, atau perbuatan-perbuatan jahat lainnya, hendaknya kita tetap teguh dalam niat baik kita yang tulus. Niat baik inilah yang akan mengangkat kehidupan kita dari semuanya itu.

    Memang susah untuk membuktikan secara teori, bahwa kebaikan yang kelihatan lemah mampu mengatasi kekerasan dan kejahatan. Tetapi kebenaran ini akan membuktikannya. Alangkah menyedihkan, bila di dunia ini sebagian besar umat manusia sudah tidak mempunyai keyakinan lagi terhadap kebaikan yang tulus dan murni. Alangkah menyedihkan, bila di dunia ini banyak di antara kita yang berbuat baik, tetapi baik hanya tampak luarnya saja, sedangkan di balik itu bersembunyi pamrih, pamrih nama. pamrih kedudukan, kemenangan, materi, dan seribu satu macam yang lain. Bila demikian, maka dunia kita ini akan dilanda krisis kebaikan.

    Di antara semuanya, kebaikanlah yang paling unggul. Di antara senjata, kebaikan senjata yang paling tajam. Di antara kekuatan, kebaikan kekuatan yang paling hebat. Di antara segala ilmu gaib, kebaikan adalah kesaktian yang paling ampuh. Di antara semua materi, kebaikan adalah kekayaan yang paling luhur. Di semesta alam ini, tidak ada yang bisa menaklukkan kebaikan. Meskipun dewa Brahma turun ke bumi, kebaikan tetap di atas segala-galanya.

    Seorang umat Buddha hendaknya selalu hidup dengan tenang menghadapi persoalan kehidupan sehari-hari. Apapun bentuknya. Karena seorang umat Buddha, demikian juga kita semua, hendaknya selalu mempunyai keyakinan yang teguh kuat terhadap kebaikan. Kebaikan yang tulus dan murni. Seandainya, kita sudah di ujung maut; kalau kita masih mempunyai karma-karma baik, karma baik itulah yang akan menyelamatkan kita. Berbahagialah saudara yang tetap teguh di dalam kebaikan.

    Akhirnya, pada khotbah keramat dalam bait kedua tersebut Sang Buddha mengatakan, “Bersihkan pikiran sendiri”. Tidak berbuat jahat, dan selalu menambah kebaikan dengan niat yang tulus, adalah pangkal kebersihan pikiran. Pikiran ini harus kita bersihkan sendiri. Karena tidak seorang pun, sekalipun dewa, bisa membuat pikiran kita menjadi bersih. Dengan pikiran yang bersih kita akan bertahan dalam kehidupan ini. Breseri-seri di mana pun juga. Batin kita tenang dan cemerlang.

    Inilah tiga kalimat sederhana yang keramat dan suci, yang menjadi tuntutan suci sanubari setiap umat manusia. Jantung kemanusiaan, dan jalan kebahagiaan. “Menghindari semua perbuatan jahat, menambah kebaikan, membersihkan pikiran sendiri

[ Dikutip dari buku Kumpulan Dhammadesana, Sri Pannavaro Thera Jilid II ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar