Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Senin, 23 Agustus 2010

Kebaktian Dan Manfaatnya

Kebaktian Dan Manfaatnya
Oleh: UP. Dharma Mitra (Peter Lim)


Salah satu dari sepuluh perbuatan baik, yang di ajarkan oleh Sang Buddha adalah Veyyavaca (Berbhakti kepada nusa,bangsa dan agama. Berbhakti kepada nusa dan bangsa, dalam hal ini adalah turut melindungi, membela, mempertahankan dan memperjuangkan kemakmuran, demi nusa dan bangsa. Salah satu wujud nyata dari kontribusi kemakmuran demi nusa dan bangsa adalah dengan membayar pajak yang sejujurnya.

Didalam kitab suci Anguttara Nikaya III : 45, Sang Buddha menyabdakan : "Dengan harta kekayaan yang telah dikumpulkan dengan bersemangat, dengan cara yang sah dan tanpa kekerasan, seseorang dapat membuat dirinya bahagia, orang tuanya, istri dan anak anaknya, pelayan, bawahannya dan orang-orang lain juga bahagia dapat mempertahankan kekayaanya memberikan hadiah kepada sanak keluarga, tamu-tamu, arwah para leluhur dan para dewa. Membayar pajak dan memberikan persembahan kepada orang suci, untuk mengumpulkan pahala...."

Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, sudah seharusnya kita berbhakti kepada nusa dan bangsa. Coba direnungkan barang sejenak, apakah yang bakal terjadi, jika seandainya kita hidup di dalam kekacauan, kerusuhan, ketidakdamaian dan kekerasan…..? Pasti sungguh menderita sekali akibatnya. Tanpa adanya bhakti yang mendalam terhadap nusa dan bangsa maka sifat memiliki (self of belongings) untuk melindungi, menjaga dan mempertahankan nusa dan bangsa, akan sirna segera. Jika kondisi ini sampai terjadi, maka penderitaan yang berkepanjanganlah, yang akan dirasakan.

Dan bagaimana pula, jika kita sebagai suatu individu yang beragama….? Tanpa adanya bhakti yang mendalam terhadap agama yang dianut maka sampai kapanpun, yang namanya kebahagiaan adalah bagaikan angan angan, yang berada di angkasa luar. Salah satu wujud bhakti umat Buddha, terhadap ajaran luhur Sang Buddha adalah dengan mau ikut berpartisipasi aktif, disetiap aktivitas Vihara/Cetiya, baik di hari-hari besar agama Buddha, maupun disetiap hari uposatha (kebhaktian). Umumnya, kita baru mau melaksanakan puja bhakti (kebhaktian) jika ada masalah-masalah yang tidak terpecahkan,tertimpa musibah, ingin mendapatkan berkahan ini dan itu, minta murah rezeki/umur yang panjang atau hanya sekedar formalitas, agar tidak dikatakan "atheis : tidak beragama". Jika dikarenakan oleh kondisi ini, kita baru mau ke Vihara/Cetiya, akan adakah manfaatnya…..? Sudah pasti tidak. Ini bisa diibaratkan dengan, setelah kehujanan (basah), baru menyediakan payung. Sebelum sakit, kesehatan tidak dijaga dengan baik, setelah sakit baru kedokter. Bukankah ini suatu hal yg sudah terlambat…? Singkatnya, jika ada masalah, Sang Buddha teringat tetapi jika lagi senang, Sang Buddha terlupakan. Inilah salah satu contoh dari :" moha : kebodohan".

Salah satu faktor yang menyebabkan, sampai timbulnya keengganan untuk mau ke Vihara/Cetiya, mungkin saja karena tidak dimilikinya pengertian yang baik, akan manfaat manfaat dari ke Vihara/Cetiaya. Sehingga timbul suatu pandangan salah, yang menyatakan bahwa ke Vihara/Cetiya itu, hanyalah membuang buang uang, waktu, tenaga dan perasaan (dicela atau disepelekan) saja. Apakah benar adanya bahwa ke Vihara/Cetiya, tiada manfaatnya sama sekali……? Nach, untuk lebih jelasnya, akan ada tidaknya manfaat manfaat ke Vihara/Cetiaya, marilah kita renungkan sesaat, uraian yang tertera dibawah ini. Kalau kita memiliki keseriusan dan keyakinan yang mendalam, di dalam pelaksanaan kebhaktian maka secara tidak langsung kita telah :

  1. Mengikis ke AKU an melalui pelaksanaan NAMASKARA.

    Pada dasarnya, kita ini termasuk manusia yang sombong dan angkuh. Mau tahu bukti nya…..? Disaat kita photo bersama dan setelah hasilnya didapatkan. Gambar siapakah yang pertama sekali dilihat…..? Pasti diri sendiri ! Mengapa bukan orang lain….? Inilah salah satu contoh dari ke Aku an. Contoh yang lainnya adalah apakah reaksi yang bakal timbul jika dikatakan cantik dan menawan…..?

    Pasti, bangganya luar biasa atau lupa diri barang sejenak. Dan bisa saja merasakan, seakan akan berada di angkasa, bagaikan burung yang terbang melayang layang kesana-kemari. Coba kalau kondisi sebaliknya yang terjadi, misalnya dikatakan jelek, jorok, menjengkelkan, kampungan, tidak bermoral dan membosankan. Reaksi apakah yang bakal timbul….? Pasti kesedihan yang berkepanjangan, bisa saja dicurahkan dalam wujud tangisan atau ratapan, yang ber episode lamanya. Baginya, hidup ini tiada artinya sama sekali. Makan tidak enak, tidur tidak nyenyak dan pikiranpun serba ruwet.

    Ini adalah kondisi kondisi yang umumnya, membelenggu bathin kita. Kalau di puji, gembiranya luara bisa, dan bisa saja sampai lupa daratan tetapi jika dicela, sedihnya pun tak terkirakan, baginya hidup ini, tidaklah berarti lagi. Ciri khas orang orang yang ke Aku an nya sangat menonjol adalah sedih dikala dicela dan gembira (bangga) kalau dipuji. Sang Buddha menyabdakan : "Bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai, demikian pula para bijaksana, tidak akan terpengaruh oleh celaan maupun pujian….."

    Jadi, bisa disimpulkan bahwa ke AKU an yang sangat menonjol, tidaklah berbeda dengan Si bodoh. Bodoh dalam hal ini adalah gampang (mudah) diombang ambing dan dipengaruhi, untuk mau melakukan perbuatan perbuatan, apapun juga. Selanjutnya, bagaimana caranya agar kita bisa menekan/mengurangi ke AKU an di Vihara/Cetiya…..? Caranya yaitu melalui pelaksanaan Namaskara (berlutut dan bersujud) sebanyak tiga kali, dihadapan Buddha rupang (Arca/patung Nya, Sang Buddha). Dalam hal ini, apakah kita menyembah-nyembah patung…? Pasti tidak ! Sang Buddha saja tidak kita sembah, apalagi patung Nya. Makna dari namaskara, merupakan salah satu wujud dari penghormatan dan rasa terima kasih kita, atas jasa jasa luhur Sang Buddha. Sikap namaskara, dalam hal ini, tidaklah difokuskan untuk menyembah nyembah patung. Semasa hidup Nya, Sang Buddha tidak pernah memperkenankan umat Nya, untuk menyembah nyembah beliau. Disetiap sabda Nya, Sang Buddha selalu menekankan bahwa cara penghormatan yang benar terhadap beliau adalah dengan melaksanakan Dharma (kebenaran) di dalam kehidupan yang nyata.

    Jadi adalah suatu anggapan yang salah dan fatal sekali, jika mengatakan bahwa umat Buddha menyembah-nyembah patung, di setiap kali kebhaktian. Sikap Namaskara/penghormatan umat Buddha di hadapan altar suci Sang Buddha, sama halnya dengan penghormatan, yang kita arahkan kepada bendera Merah Putih, yang merupakan lambang persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia. Umat Buddha menghormati dan menghargai bendera Merah Putih, juga atas dasar wujud terima kasih atas pengorbanan dan perjuangan para pahlawan terdahulu, dan demikan juga halnya dengan patungnya Sang Buddha. Pada waktu kita bernamaskara dihadapan altar suci Sang Buddha, disanalah kita merenungkan kembali, apalah artinya diriku ini jika tanpa bimbingan dan tuntunan Dharma (ajaran Nya Sang Buddha) Dari segi keagungan, aku sama sekali tiada artinya dibandingkan Sang Buddha, hidupku selalu terbelenggu oleh nafsu nafsu keduniawian, ingin makan yang enak, rumah yang indah, istri/suami yang cantik/gagah, ingin ini dan itu…akhirnya kabut avijja (ketidak tahuan) semakin tebal menyelimuti diriku…. Hanya, Sang Buddhalah yang bisa menerangi diriku agar terlepas dari "dukkha : derita" yang mendalam ini. Dengan selalu mengadakan perenungan perenungan ini, maka tanpa disadari, kita telah belajar menekan ke AKU an, yang begitu kentalnya, melekat di hati sanubari. Itulah salah satu manfaat yang di peroleh di Vihara/Cetiya.

  2. Mendapat perlindungan melalui pembacaan PARITTA/MANTRAM suci.

    Setelah kita ber namaskara (berlutut dan bersujud), tahapan selanjutnya adalah kita ikut serta di dalam penglafalan/pengumandangan Paritta Paritta/Mantram Mantram atau Sutra Sutra suci. Secara garis besarnya, Paritta berarti perlindungan. Kalau kita menglafalkan Paritta dengan penuh ketenangan dan konsentrasi serta memancarkan getaran getaran cinta kasih, ke segala penjuru demi kebahagiaan semua makhluk. Maka dalam hal ini, kita telah membuat suatu perlindungan yang sejati, baik melalui pikiran, ucapan maupun tindakan badan jasmani. Pembacaan Paritta Paritta/Mantram Mantram suci, akan bisa meredakan dan menghilangkan sifat negatif dari diri kita, misalnya : membenci, serakah maupun irihati.

    Dan semua isi dari Paritta Paritta/Mantram Mantram suci, hanya berpondasikan pada cinta kasih dan kasih sayang, untuk semua makhluk hidup, tanpa diboncengi oleh unsur diskriminasi. Dengan berhasilnya kita mengakhiri sifat-sifat jahat, maka kehidupan ini akan senantiasa dipenuhi oleh perbuatan-perbuatan baik.Terhindari dari perbuatan perbuatan jahat, sama artinya, hidup dengan penuh kedamaian dan ketentraman. Hidup yang dipenuhi oleh kedamaian dan ketentraman, akan mencegah tercetusnya karma karma jelek.

  3. Keterangan pikiran melalui MEDITASI (Pengkonsentras-an / Pengontrolan Pikiran).

    Umumnya, disetiap kali kebhaktian di Vihara/Cetiya, setelah mengumamdangkan Paritta Paritta /Mantram Mantram suci, akan dilanjutkan dengan pelaksanaan "Metta Bhavana : Meditasi Cinta Kasih . Ditahapan ini, kita dilatih untuk mengkonsentrasikan pikiran pada hal hal yang baik, setelah itu dipancarkan kembali ke segala penjuru, baik kepada kedua orang tua yang dicintai, saudara/ri sedharma, semua manusia, dan semua makhluk (hewan), baik yang terlihat maupun tidak terlihat (misalnya : setan), dengan hanya satu doa dan pengharapan yang tulus ""Semoga semua makhluk hidup, hendaknya senantiasa hidup di dalam kedamaian,ketentraman dan kebahagiaan " Adanya kemampuan untuk mengkonsentrasikan pikiran ke hal-hal yang baik, merupakan kunci utama bagi diri kita agar terbebaskan dari lingkaran derita. Orang yang memiliki ketenangan pikiran, tidak akan pernah merasa kecewa, frustasi, stress ataupun minder.
    Sang Buddha menyabdakan bahwa pikiran sangatlah dominan, menentukan bahagia tidaknya kehidupan kita ini. Di dalam kitab suci Dhammapada Citta Vagga III : 39, Sang Buddha bersabda : " Orang yang pikirannnya teguh, yang tiada tergoyahkan oleh nafsunya, yang tidak terangsang oleh kebencian, akan dapat mengatasi segala macam kejahatan dan kebaikan. Orang yang ulet dan sadar seperti itu, tiada lagi ketakutan yang akan menimpanya……." Itulah manfaat besar dari pelaksanaan meditasi yang benar dan baik, baik di Vihara maupun Cetiya. Manfaat-manfaat lain atas kemampuan meditasi, sebenarnya cukup banyak. Tetapi yang terpenting adalah orang yang mampu bermeditasi, tidak akan bisa di pengaruhi oleh orang-orang bodoh (hidup selalu diliputi oleh penderitaan karena ketidak-mampuan, membedakan mana yang baik dan salah), untuk mau melakukan perbuatan perbuatan tercela. Hidupnya akan senantiasa stabil dan tak tergoncangkan, baik ditimpa kemalangan maupun meraih kebahagiaan.

  4. Bertambah kebijaksanaan setelah DHARMASAVANA (mendengarkan khotbah Dharma)

    Kebhaktian yang lengkap adalah selain adanya pembacaan Paritta Paritta atau Mantram Mantram suci dan meditasi, juga diisi dengan dharmasavana (Pembabaran Dharma atau penguraian ajaran ajaran luhur Sang Buddha). Ada empat manfaat yang bisa dipetik, disaat mendengarkan kotbah dharma. Pertama disebut dengan Assutam Sunati.

    Dapat mendengar dharma, yang sebelumnya belum tahu. Disini, terbukalah mata bathin kita bahwa yang dimaksud dengan dharma (kebenaran) adalah ini dan Adharma (bukan kebenaran)adalah itu. Dengan dimilikinya pengetahuan akan inilah kebenaran dan itulah ketidakbenaran, maka peluang untuk terjerumus ke liang dukkha (derita), persentasenya adalah nol koma nol nol nol persen. Disaat ini, kita sudah tahu, mana yang seharusnya di hindari dan mana yang seharusnya dilaksanakan, apa yang di maksud dengan perbuatan baik dan jahat, serta mana yang salah dan mana yang benar.

    Kedua disebut denganSuttam Pariyodapati. Setelah mengerti dharma (kebenaran) yang telah didengar maka kesalahpahaman yang terjadi selama ini, akan tersirnakan segera. Sebelumnya, mungkin saja kita beranggapan bahwa ke Vihara/Cetiya, tiadalah manfaatnya sama sekali, tetapi setelah dimilikinya pengertian benar ini, maka anggapan atau pandangan salah tersebut, sirnalah sudah. Dalam hal ini, dengan dimilikinya pengertian benar ini, juga akan memotivasi diri kita agar semakin giat dan ulet, di dalam penimbunan penimbunankebajikan.

    Ketiga disebut dengan Kankham vihanati.Di tahapan ini, keragu-raguan akan kebenaran Dharma, telah berhasil disingkirkan. Dalam hal ini, belenggu bathin (keragu-raguan) akan kebenaran Dharma, sudah terhapuskan sehingga setiap pikiran, ucapan maupun tindakan badan jasmani, telah terfilter dengan baik. Kita tak akan pernah kecewa, sedih ataupun sakit hati, seandainya dicela ataupun tidak di hargai. Mengapa..? Karena kita telah menyadari dengan baik bahwa kondisi apapun yg terjadi, tidaklah terlepas dari pada karma, yang sudah seharusnya diterima.

    Keempat disebut dengan Ditthim Ujum Karoti. Ditahapan ini, kita telah memiliki pandangan hidup yang benar. Dengan dimilikinya pandangan hidup yang benar, maka kita akan mampu melihat segala sesuatu, atas dasar apa adanya. Dan disaat memutuskan suatu prihal, tanpa lagi diboncengi oleh unsur kemelekatan. Dalam hal ini, kebijaksanaan sudah mulai meningkat. Hidup pun akan semakin semangat dan tidak akan pernah terpengaruh oleh hasutan maupun gosipan. Kelima disebut dengan Cittamassa Pasidati. Di tahapan ini, pikiran sudah terbersihkan dari kekotoran bathin. Kalau pikiran sudah terkontrol dengan baik maka segala tindakan maupun perbuatannya, tidak akan pernah lagi, menimbulkan penyesalan maupun penderitaan, bagi makhluk manapun yang ada di sekitarnya.

    Sang Buddha menyabdakan : " Orang yang dapat menghayati Dharma, hidupnya berbahagia, pikirannya selalu tenang dan seimbang. Seperti halnya orang bijaksana, yang selalu gembira dalam menghayati Dharma, yang di babarkan oleh para Ariya".

  5. Bebas dari kemelekatan (keserakahan) melalui DANA PARAMITA.

    Didalam kitab suci Dhammapada Tanha Vagga XXIV : 338, Sang Buddha menyabdakan : "Sebatang pohon yang telah di tebang, masih akan dapat tumbuh dan bersemi lagi, apabila akar-akarnya masih kuat dan tidak di hancurkan. Begitu pula selama akar nafsu keinginan tidak dihancurkan maka penderitaan, akan tumbuh berulang kali". Dengan adanya pelaksanaan Dana Paramita (beramal) di Vihara/Cetiya, kita diajarkan untuk melepaskan kemelekatan, yang terdapat pada diri kita. Kemelekatan akan keduniawian ini jika sedikit demi sedikit dilatih atau dikikis, melalui pelaksanaan dana paramita maka akhirnya, kehidupan ini akan terbebas dari belenggu keserakahan. Adanya kemampuan untuk mau berdana dengan benar, tanpa paksaan serta ikhlas, secara tidak langsung, kita sudah menekan lobha (keserakahan) yang selama ini, membelenggu bathin kita. Orang yang telah terlepas dari belenggu (kemelekatan) duniawi, akan mampu (bisa) menikmati kehidupan ini dengan penuh kebahagiaan.

Kesimpulan :

Dengan demikian, secara garis besarnya, terdapat lima manfaat yang bisa raih, jika kita rutin di dalam pelaksanaan kebhaktian. Manfaat manfaat tersebut adalah:

  1. Mengikis ke AKU an melalui pelaksanaan namaskara. Ditahapan ini, kita diajarkan untuk senantiasa rendah hati, tidak angkuh/sombong, serta memiliki keluhuran budi. Orang yang tidak sombong/angkuh akan selalu di cintai dan di hargai, di manapun dia berada. Hidupnya akan selalu terlindung, akibat dari kemuliaan sifat yang dimiliki.

  2. Mendapatkan perlindungan sejati, melalui penglafalan Paritta Paritta/Mantram Mantram suci.

  3. Pikiran menjadi tenang dan terkontrol dengan baik melalui pelaksanaan meditasi. Pikiran yang terkontrol dengan baik, tidak akan bisa tercemari oleh niat niat jahat. Terbebaskan dari niat niat jahat, itulah kebahagiaan yang sesungguhnya.

  4. Kebijaksanaan akan meningkat, melalui rutinnya mendengar dharma (dhammasavana). Orang bijaksana di dalam tutur kata maupun tindakannya, tidaklah akan menimbulkan kerugian maupun penderitaan, bagi siapapun juga. Dia bagaikan pelita yang menerangi kegelapan.

  5. Bebas dari kemelekatan, melalui pelaksanaan dana paramita. Orang yg bebas dari unsur kemelekatan, tidak akan frustasi atau kecewa, dikala tertimpah musibah maupun kemalangan. Kemelekatan akan apapun juga, itulah pencetus timbulnya dukkha (derita) yang sesungguhnya.

Semoga dengan adanya penjelasan yang singkat ini, keyakinan kita untuk mau melaksanakan kebhaktian, akan semakin teguh dan baik. Kebhaktian bukan lagi didasarkan pada pamrih akan ini dan itu, atau karena takut diberikan sanksi oleh guru agamanya (bagi murid murid sekolah). Kebhaktian dalam hal ini, sudah merupakan sesuatu yg disenangi dan dijadikan prioritas utama. "SEMOGA DENGAN DIKETAHUINYA MANFAAT-MANFAAT KEBHAKTIAN DAN BERKAHNYA INI, SEMBOYAN LIBUR SEKOLAH, LIBUR PULA KEBHAKTIAN, ATAU JIKA ADA WAKTU, BARULAH KEBHAKTIAN, SUDAH TIDAK DIJUMPAI LAGI ".

Ingatlah selalu bahwa tanpa adanya penanaman bibit kebajikan maka yang namanya kebahagiaan, tidaklah akan pernah dirasakan! "Sabbe satta sabbadukkha pamuccantu-Sabbe satta bhavantu sukhitata : Semoga semua makhluk terbebaskan dari derita dan semoga semuanya senantiasa berbahagia…. Sa-dhu…..Sa-dhu…..Sa-dhu…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar