Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Selasa, 30 Oktober 2012

Upacara dan Perayaan Dalam Agama Buddha




Upacara dan Perayaan Dalam Agama Buddha

Kapankah Tumimbal Lahir Dimulai?
Kesadaran kita yang berlanjut dari kehidupan yang sati ke kehidupan yang selanjutnya tidaklah berawal - Proses ini tidak terbatas dan terus menerus. Setiap momen dalam kesadaran kita merupakan kelanjutan dari momen sebelumbnya. Siapa diri kita, dan apa yang kita pikirkan dan rasakan sekarang, tergantung dari siapa kita kemarin. Kesadaran kita sekarang adalah kelanjutan dari kesadaran kita sebelumnya. Suatu momen dalam kesadaran kita diakibatkan oleh  momen sebelumnya. Keberlangsungan ini dapat dilacak kembali sampai kita masih kecil, bahkan sewaktu kita masih dalam kandungan ibu kita. Bahkan sebelum kita dilahirkan, arus kesadaran kita telah ada di tubuh yang lain.
Dengan menggunakan contoh garis bilangan, melihat ke kiri sebelum posisi nol, tidak ada angka negatif yang pertama, dan lihat ke kanan banyak terdapat angka-angka yang tidak ada habisnya - satu per satu dapat selalu ditambahkan. Seperti arus kesadaran kita yang tidak memiliki awal dan akhir, kita semua sudah mengalami berjuta-juta kali kelahiran, dan kesadaran kita akan terus menerus ada. Dengan menyucikan arus kesadaran kita, kita dapat membuat keberadaan kita di masa yang akan datang menjadi lebih baik.

Bersujud
Bersujud di hadapan patung Buddha bukanlah memuja berhala. Ini merupakan ungkapan rasa hormat yang mendalam. Sujud merupakan pernyataan bahwa Buddha telah mencapai Penerangan Sempurna dan Tertinggi. Dengan melakukan ini seseorang dapat menekan keinginan, perasaan menang sendiri, dan menjadi lebih siap mempelajari ajaran Buddha.

Beranjali
Meletakkan kedua telapak tangan di depan dada (anjali) merupakan suatu tradisi untuk menyatakan penghormatan tertinggi kepada Tiga Permata. Ketika seorang umat Buddha menyapa yang lain, mereka mengatupkan kedua telapak tangan seperti sekuntum bunga teratai yang kuncup, sedikit membungkukkan badan, dan dengan perlahan berkata “Sekuntum teratai (simbol kesucian dalam Agama Buddha) untukmu, seorang Buddha di masa depan.” Salam ini memberikan pengakuan adanya benih-benih Penerangan Sempurna atau benih Kebuddhaan di dalam diri orang lain oleh karenanya kita mengharapkan kebaikan dan kebahagiaan untuknya. Meletakkan kedua telapak tangan juga mempunyai efek pemusatan dan penenangan pikiran.

Pradaksina
Pradaksina merupakan kegiatan mengelilingi sebuah obyek pemujaan seperti stupa (sebuah bangunan bersejarah tempat menyimpan reliks suci), pohon Bodhi (pohon di mana Buddha duduk di bawahnya saat Beliau mencapai Penerangan Sempurna), atau Pratima Buddha, sebanyak tiga kali atau lebih sebagai wujud sikap hormat. Ini dilakukan dengan meditasi berjalan searah jarum jam; seseorang menjaga agar tetap berada di sisi kanan obyek pemujaan.

Persembahan
Memberikan persembahan di altar merupakan wujud bakti, yang menunjukkan penghormatan dan pemujaan kepada Tiga Permata. Setiap benda yang dipersembahkan memiliki makna masing-masing.

Cahaya
Persembahan cahaya mengingatkan kita pada pancaran sinar Kebijaksanaan yang menghalau kegelapan dan ketidaktahuan di dalam usaha mencapai Penerangan Sempurna. Ini mendorong kita mencari cahaya Kebijaksanaan. 
Menghormati Budha, kita mempersembahkan lilin dan pelita :
Kepada-Nya, yang merupakan cahaya, kami persembahkan cahaya.
Dengan lampu-Nya yang agung, kami nyalakan pelita dalam diri kami
Pelita Bodhi (Penerangan Sempurna) bersinar dalam hati kami.

Bunga
Persembahan bunga-bunga yang segar dan indah, yang segera akan menjadi layu, tidak lagi wangi dan pudar warnanya mengingatkan  kita pada ketidakkekalan semua benda, termasuk kehidupan kita. Ini mendorong kita untuk menghargai setiap momen dalam hidup kita dan tidak terikat padanya.
Menghormati Buddha, kita mempersembahkan bunga: Bunga-bunga yang saat ini segar dan mekar dengan indahnya,
Bunga-bunga yang esok akan memudar dan berguguran,
Demikianlah tubuh ini, seperti bunga, akan lapuk juga.

Dupa
Persembahan dupa wangi yang dibakar memenuhi udara di sekelilingnya melambangkan jasa kebajikan dan efek penyucian dari tingkah laku yang bermanfaat. Ini mendorong kita untuk melawan semua setan (godaan) dan membangkitkan hal-hal yang baik.
Menghormati Buddha, kita mempersembahkan dupa: Dupa yang wanginya meresap di udara
Keharuman hidup yang sempurna, lebih manis daripada dupa
Menyebar ke segala penjuru di seluruh dunia.

Air
Persembahan air melambangkan kesucian, kemurniaan, dan ketenangan. Ini mendorong kita untuk melatih tindakan, ucapan dan pikiran kita untuk mendapatkan sifat-sifat di atas.

Buah-buahan
Buah-buahan melambangkan buah dari pencapaian spiritual yang membawa kita menuju buah akhir, yaitu penerangan sempurna, yang merupakan tujuan akhir semua umat Buddha. Ini mendorong kita untuk berusaha mencapai Penerangan Sempurna bagi kebahagiaan semua makhluk.

Puja
Puja dilakukan dengan membaca secara beralun untuk mengulang ajaran Buddha. Disamping membantu daya ingat, puja mempunyai efek menenangkan, baik bagi pembacanya maupun pendengarnya. Puja seharusnya dilakukan dengan hikmat, penuh perhatian, dan energi. Seperti meditasi, puja membantu seseorang berkonsentrasi dan mengembangkan keadaan batin yang tenang.
Ucapan-ucapan Buddha juga dapat dibacakan dengan penuh perhatian pada Tiga Permata, di kala muncul rasa takut dan godaan, baik yang muncul dari luar maupun dari dalam diri seseorang, sehingga godaan itu dapat diatasi. Ini bis terjadi karena Tiga Permata bebas dari segala macam kotoran dan rintangan seperti ketamakan, amarah, dan ketidaktahuan. Puja bisa dilakukan dalam segala bahasa. Bahasa-bahasa yang populer antara lain adalah Pali (Pali merupakan bahasa yang digunakan Buddha), Sanskerta, Mandarin, Tibet, Thai, Inggris dan sebagainya.
Umat perumah-tangga biasanya melakukan puja di pagi dan sore hari. Tujuan melakukan puja pagi adalah mengingatkan seseorang untuk sadar akan ajaran yang telah diulang, sepanjang hari . Tujuan melakukan Puja sore hari adalah untuk melihat kembali apakah sepanjang hari tersebut ia telah melakukan apa yang telah ia tetapkan di pagi harinya. Walaupun pilihan puja berbeda-beda dari satu tradisi ke tradisi yang lain, beberapa isi puja yang umum meliputi: Pernyataan Perlindungan, Pancasila, Pujian pada Tiga Permata, Sutra, Mantra, Penghormatan pada para Buddha dan Bodhisattva, Pengakuan Kesalahan, Bergembira dalam Jasa Kebajikan, dan Penyaluran Jasa Kebajikan.

Mantra
Mantra adalah ungkapan suci yang pendek atau suku-suku kata yang melambangkan ajaran atau sifat-sifat tertentu (contohnya mantra enam suku kata “Om Mani Padme Hum” yang melambangkan Welas Asih). Mantra yang melambangkan Kebenaran dalam berbagai aspek dapat kita lafalkan. Melafalkan Mantra membantu membawa pikiran ke arah ketenangan dan kedamaian serta dapat menyucikannya. Setiap mantra khusus dapat menumbuhkan sifat-sifat positif dalam pikiran, seperti Welas Asih, Kebijaksanaan, Semangat......

Penghormatan kepada para Buddha dan para Bodhisattva
Penghormatan pada nama para Buddha dan Bodhisattva (contohnya: “Namo Amitofo” atau hormat kepada Buddha Amitabha, dan “Namo Ta Ce Ta Pei Kun She In Phu Sa” atau hormat kepada Bodhisattva Avalokitesvara dengan Welas Asih-Nya yang agung), bisa dilafalkan untuk mengingatkan kembali permohonan kebajikan dan sifat-sifat yang mereka lambangkan. Dengan melakukan hal ini, akan mengingatkan kita juga dapat mencapai kesempurnaan dalam berbagai sifat, seperti Mereka.

Hari Waisak
Waisak adalah peristiwa tahunan yang terpenting bagi umat Buddha. Pada saat itu diperingati Kelahiran, Pencapaian Penerangan Sempurna dan Parinirvana dari Buddha. Ketiga peristiwa ini jatuh pada bulan purnama, bulan kelima penanggalan bulan. Peristiwa ini dihormati oleh jutaan umat Buddha di seluruh dunia. Ini merupakan perayaan untuk kegembiraan dan kebaikan bagi semua. Ini juga merupakan kesempatan untuk melihat kembali perkembangan spiritual kita.
Bagi beberapa umat Buddha, ibadah Waisak dimulai pagi-pagi benar ketika mereka berkumpul di vihara untuk melaksanakan delapan sila. Yang lain mungkin bergabung dengan ibadah umum untuk mengikuti upacara dengan mengambil tiga perlindungan, menjalankan lima sila, membuat persembahan di altar dan memanjatkan pujian. Mereka juga mengikuti prosesi dan pradaksina, serta mendengarkan khotbah Dharma.
Di beberapa vihara, umat Buddha mengambil bagian dalam upacara pemandian patung bayi Pangeran Siddharta (Buddha saat Beliau masih seorang pangeran) yang diletakkan di kolam bertaburan bunga. Air yang wangi di gayung dengan sendok besar dan dituangkan ke patung itu. Ini melambangkan penyucian perbuatan-perbuatan jahat seseorang dengan perbuatan baik.
Beberapa umat Buddha juga melaksanakan vegetarian di hari ini dengan mengingat ajaran Cinta Kasih universal. Pada hari ini vihara-vihara dihias indah dengan bendera Buddhis dan lampu-lampu, dan altar dipenuhi bunga-bunga, buah-buahan dan persembahan lainnya.

Hari Upavasatha
Saat Upavasatha (Uposatha) atau bulan baru dan bulan purnama (tanggal 1 dan 15 penanggalan bulan), banyak umat Buddha berkumpul di vihara untuk bermeditasi, membuat persembahan, mengulang khotbah Dharma, dan melakukan penghormatan pada Tiga Permata. Beberapa umat Buddha juga melaksanakan vegetarian pada hari-hari tersebut, sebagaimana mereka menjalankan delapan sila.

Hari Ullambana
Ullambana adalah perwujudan rasa hormat umat Buddha kepada leluhur mereka dan cinta kasih mereka kepada semua makhluk yang menderita di alam sengsara. Peringatan Ullambana pada tanggal 15 bulan 7 penanggalan bulan, didasarkan pada kejadiaan saat Maudgalyayana (Mogallana), seorang pengikut Buddha, melalui kekuatan meditasinya menemukan bahwa ibunya dilahirkan kembali di alam sengsara. Karena sedih, ia meminta bantuan Buddha yang kemudian menasehatinya untuk membuat persembahan kepada Sangha, kaerna jasa kebajikan dair perbuatan itu dapat membebaskan penderitaan ibunya dan juga makhluk lain di alam sengsara. Membuat persembahan untuk membebaskan penderitaan orang yang telah meninggal dan makhluk lain di alam sengsara menjadi perayaan umum yang populer.
Ullambana diperingati dengan mempersembahkan kebutuhan-kebutuhan Sangha, mengulang khotbah Dharma, dan melakukan perbuatan-perbuatan amal. Jasa kebajikan dari perbuatan-perbuatan ini akan dilimpahkan kepada semua makhluk.

Upacara Perpindahan Cahaya
Dalam upacara ini, umat memegang sebatang liling yang menyala sambil berjalan berkeliling batas tepi vihara, objek suci, atau bangungan bersejarah dengan meditasi berjalan. Mereka memanjatkan mantara atau nama Buddha sebagai pujian kepada-Nya. Upacara ini melambangkan cahaya Kebijaksanaan (menyebarkan Kebenaran) ke segala penjuru dunia untuk menghalau sisi gelap ketidaktahuan. Secara pribadi ini memiliki makna menyalakan lampu Kebijaksanaan dalam diri seseorang.
Nyala api yang dapat dipindahkan ke lilin lain yang tak terhitung banyaknya tanpa memadamkan nyalanya sendiri, melukiskan bahwa Kebijaksanaan dapat dibagikan tanpa mengurangi bagian orang yang membagikan. Terbakarnya sumbu disertai lelehnya lilin mengingatkan kita pada ketidakkekalan dan perubahan-perubahan semua benda yang terkondisi, termasuk hidup kita sendiri. Merenngkan hal ini dapat membantu kita menghargai setiap momen dalam hidup tanpa menjadi melehat padanya. Perhatian dapat dilatih dengan menjaga agar nyala lilin tidak padam. Ini menggambarkan penjagaan pikiran dari faktor-faktor negatif yangmerusak kehidupan spiritual. Dalam upacara ini, semangat dapat ditumbuhkan dengan melihat secercah api kecil yang menerangi lautan kegelapan, sampai lautan cahaya yang saling membagi penerangan bagi semua.

Upacara Tiga Langkah Satu Sujud
Dalam upacara ini, para pengikut biasanya berbaris sebelum terbitnya matahari untuk pengitari batas tepi vihara, membungkukkan badang sekali setiap tiga langkah, sambil memanjatkan mantra-mantra atau nama Buddha sebagai penghormatan bagi-Nya. Pada setiap sujud, Buddha dapat divisualisasikan sedang berdiri di atas telapak tangan kita yang terbuka dan kita sambut dengan hormat. Telapak tangan yang terbuka melambangkan bunga teratai, lambang merekahnya kesucian (walaupun akar-akar bunga teratai beradai di lumpur kejahatan, bunganya mekar dengan kesucian dan bersih dari lumpur). Setiap sujud merupakan penyampaian rasa hormat kepada Buddha (atau pada seluruh Buddha dan Bodhisattva yang tidak terhitung jumlahnya). Latihan ini membantu pemurniaan pikiran, menekan ego, dan mengurangi rintangan-rintangan sepanjang jalan spiritual sambil seseorang menyesali tindakan-tindakan buruk yang lalu dan mengingnkan perkembangan spiritual. Dengan perhatian penuh para perbuatan, ucapan dan pikiran selama latihan, konsentrasi dan ketenangan dapat dicapai.
Upacara yang panjang ini mengingatkan seseorang kepada perjalanan menuju Penerangan Sempurna yang panjang dan sukar. Tetapi ini juga mengingatkan kita bahwa sejauh kita telah bertekad, seluruh rintangan akan dapat ditanggulangi. Keteguhan dalam melengkapi latihan ini walaupun ada rintangan juga dapat membantu memperkuat keyakinan kepada Buddha dan ajaran-ajaranNya yang menuntun kita menuju Penerangan Sempurna.
Merekahnya fajar pada akhir upacara melambangkan cahaya Kebijaksanaan menghalau kegelapan kebodohan karena seseorang telah maju selangkah dalam perjalanan menuju Penerangan Sempurna.

(Dikutip dari Buku Menjadi Pelita Hati. Judul Asli Be A Lamp Uppon Yourself. Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh Seksi Penerbit Pemuda Vihara Vimala Dharma, Bandung)

Senin, 29 Oktober 2012

Trikaya

Trikaya

Dalam doktrin Trikaya, menurut Buddhisme Tradisi Mahayana, seorang Buddha memiliki 3 tubuh:
  1. Nirmanakaya (Tubuh Perubahan)
    Tubuh ini dipakai seorang Buddha untuk mengajar manusia biasa. Setiap kali dunia membutuhkan seorang Manussa Buddha, maka ia akan dilahirkan ke dunia dengan memakai badan jasmani seperti manusia biasa. Dan memberikan pelajaran di tengah-tengah kehidupan manusia. Tubuh ini musnah setelah kehidupannya dalam badan jasmani ini berakhir.
  2. Sambhogakaya (Tubuh Cahaya)
    Tubuh ini hanya dapat dilihat oleh para Bodhisattva dalam menerima Ajaran Buddha. Seorang Buddha akan menyadari kebuddhaannya setelah memiliki tubuh ini.
  3. Dharmakaya
    Dharmakaya merupakan sesuatu yang kekal, pebuh rahmat, mengatur sendiri, murni, tidak berubah dan bebas. Ia tidak datang dari sesuatu tempat dan tidak pergi kemanapun. Ia tidak menonjolkan diriNya dan juga tidak dapat musnah, tenang, agung, dan kekal untuk selama-lamanya.

    Tidak ada sesuatu tempat di alam semesta ini yang tidak dikuasai Dharmakaya. Alam semesta menjelma dan berubah, tetapi Dharmakaya tetap kekal untuk selama-lamanya.

    Sang Dharmakaya Buddha dikenal sebagai Sanghyang Adi Buddha

Minggu, 28 Oktober 2012

TiRatana (Tiga Permata)

TiRatana

TiRatana (bahasa Pali) atau TriRatna (bahasa Sansekerta) berarti tiga permata / tiga mustika, yang terdiri dari :
  1. Buddha Ratana
  2. Dhamma Ratana
  3. Sangha Ratana
Buddha Ratana

Kata Buddha berasal dari kata Budh yang artinya bangun atau sadar. Buddha bukanlah nama diri seperti nama seseorang, melainkan merupakan sebuah gelar kesucian bagi mereka yang telah mencapai kesempurnaan. Jadi Buddha itu berarti orang yang telah sadar / bangundari kegelapan bathin atau orang yang telah mencapai atau mendapatkan penerangan sempurna (Bodhi), yang menjadi guru manusia dan para dewa.

Sifat utama seorang Buddha adalah Maha Panna ( bijaksana), Maha Parisuddhi (suci), dan Maha Karuna (pengasih dan penyayang). Buddha yang menjadi guru kita saat ini adalah Buddha Sakyamuni,, memiliki sifat utama dalam hal bijaksana; karena itu beliau disebut juga Sakyamuni, yang artinya suku Sakya yang bijaksana.

Kemampuan seorang Buddha antara lain adalah memilik 6 kekuatan gaib (Abhinna), yaitu memiliki kekuatan gaib, telinga dewa, penembus hati orang lain,ingatan pada kelahiran-kelahiran yang masa lalu, mata dewa, dan kemampuan untuk melenyapkan semua ikatan Abhinna pertama hingga kelima.

Selain itu seorang Buddha memiliki kemampuan untuk menghadapi berbagai sifat manusia dengan penuh bijaksana. Menguraikan kesalahan mereka yang sedang berada di jalan kehidupan yang salah dan membimbing mereka mencapai kesucian. Seorang Buddha juga memiliki kemampuan utnuk membimbing para dewa atau Brahma untuk menghapuskan kegelapan bahtin mereka, dalam usahannya mencapai kesucian. Selain manusia dan para Dewa, hewan-hewan juga tunduk dan mengasihi Sang Buddha.

Buddha dapat dibedakan atas 4 jenis :

1. Sammasambuddha
Tingkat ke-BUDDHA-an ini dicapai dengan usaha / kekuatan sendiri dan dapat mengajarkan Dhamma kepada para dewa dan manusia. Terdiri dari Pannadhika Buddha ( Sammasambuddha sempurna dalam kebijaksanaan), Saddhadhika Buddha (Sammasambuddha sempurna dalam keyakinan), Viriyadhika Buddha (Sammasambuddha sempurna dalam semangat)

2. Pacceka Buddha
Tingkat ke-BUIDDHA-an ini dicapai dengan usaha / kekuatan sendiri, tetap tidak menurunkan ajaran / tidak mengajarkan Dhamma kepada para Dewa dan Manusia.

3. Sutta Buddha
Tingkat ke-BUDDHA-an ini dicapai setelah mendengarkan Dhamma yang langsung diberikan oleh Sammasambuddha dan melasanakannya.

4. Anu/Savaka Buddha
Tingkat ke-BUDDHA-an yang dicapai dengan melaksanakan Dhamma / ajaran Sammasambuddha.


Dhamma Ratana

Dhamma (bahasa Pali) atau Dharma (bahasa Sansekerta) bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah berarti ajaran, agama. Falsafah, hukum, pandangan hidup, ilmu jiwa, peraturan-peraturan dan lain lain. Dhamma yang diuraikan dalam ajaran Sang Buddha bukanlah ciptaan Sang Buddha,tetapi adalah hukum kesunyataan, hukum-hukum alam yang telah berlaku di alam semesta ini. Buddha adalah seorang yang telah mencapai Penerangan Sempurna sehingga mampu melihat jalannya hukum-hukum Kesunyataan ii. Kemudian mengajarkan kepada kita, agar kita dapat menyesuaikan diri dalam memperoleh kebahagiaan dan ketenangan hidup serta kesucian. Untuk penyesuaian ini Sang Buddha membuat Sila untuk ditaati umat Buddha.

Menjelang wafatnya Sang Buddha, Beliau bertanya kepada Y.A Ananda sebagai berikut : "…banyak mana daun yang ada dalam genggamanku dibandingkan dengan daun yang ada di hutan?, kemudian Y.A Ananda menjawab : " ?daun yang ada di hutan jauh lebih banyak, Bhante?".

Kemudian Sang Buddha menerangkan lebih lanjut : "?demikianlah Dhamma yang telah kuberikan hanyalah sebagian kecil saja tetapi amat berguna untuk mencapai pembebasan,Nibbana?.".

Dua macam Dhamma
1. Pannati Dhamma: kenyataan yang bukan ada dengan sendirinya,keberadaannya karena dibuat / diberikan nama sesuai dengan keinginan manusia, misalnya kalung, kuali, dll
2. Paramattha Dhamma: Kenyataan tertinggi?
a. Sankhata Dhhamma, Yang mempunyai ciri-ciri "Muncul, berubah, lenyap" atau "Berawal, berubah dan berakhir"
b. Asankhata Dhamma, Yang mempunyai ciri-ciri "Tidak muncul, tidak berubah, tidak lenyap" atau "Tidak berawal, tidak berakhir"

Tiga aspek Dhamma bila ditinjau dari mutu, adalah:
1. Kusala Dhamma = Keadaan baik
2. Akusala Dhamma = Keadaan yang tidak baik.
3. Abyakata Dhamma = Keadaan yang netral, tidak baik dan tidak jahat
Tiga aspek Dhamma ditinjau dari pelaksanaan,
1. Pariyatti Dhamma = Belajar Dhamma-Vinaya dengan tekan.
2. Patipatti Dhamma = Melaksanakan Dhamma dan Vibnaya dalam kehidupan sehari-hari.
3. Pativedha Dhamma = Penembusan Dhamma meditasi dan mencapai pembebasan Nibbana.


Sangha Ratana

Sangha merupakan persamuan para Bhikkhu / Bhikkhuni

Sangha dapat dibedakan atas dua kelompok,
1. Ariya -Sangha, yakni Persaudaraan Bhikkhu-Bhikkhuni yang telah mencapai tingkat kesucian Sotapanna, Sakadagami, Anagami dan Arahat.
2. Magga-Sangha ( Sammuti-Sangha), yakni Persaudaraan Bhikkhu-Bhikkhuni yagn belum mencapai tingkat kesucian. Umat Buddha yang melepaskan ikatan duniawi untuk menjalankan sila-sila tertentu, sebagai suatu usaha untuk mempercepat tercapainnya kesucian.

Selain bertugas untuk memelihara keutuhan Ajaran Sang Buddha, Sangha juga bertugas untuk menyebarkan Dhamma / Ajaran Sang Buddha. Oleh sebab itu, Sangha juga dapat disebut sebagai wakil Sang Buddha dari masa ke masa. Setiap orang yang menjadi Bhikkhu atau Bhikkhuni dengan sendirinya menjadi anggota Sangha.

Sangha di Indonesia terdiri atas 3 kelompok, yaitu:
1 Sangha Agung Indonesia
    a. Sangha Agung Sangha Theravada Indonesia
    b. Sangha Agung Sangha Mahayana Indonesia
    c. Sangha Agung Sangha Wanita Indonesia
    d. Sangha Agung Sangha Tantrayana Indonesia
2 Sangha Theravada Indonesia
3 Sangha Mahayana Indonesia
Setelah Perwalian Umat Buddha (WALUBI) dibubarkan, maka ketiga Sangha yang ada di Indonesia membentuk Konfrensi Agung Sangha Indonesia atau yang disebut dengan KASI yang hingga kini merupakan pemberi fatwa tertinggi umat Buddha di Indonesia.

Sabtu, 27 Oktober 2012

TiPitaka (Tripitaka) Kitab Suci Agama Buddha

TiPitaka (Tripitaka) Kitab Suci Agama Buddha

Kitab Suci agama Buddha adalah TiPitaka (bahasa Pali) atau TriPitaka (bahasa Sansekerta), yang bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti Tiga Keranjang. Naskah TiPitaka banyaknnya 11 (sebelas) kalo Kitab Injil dan naskah TriPitaka diperkirakan 70 (tujuh puluh) kali Kitab Injil. Naskah TriPitaka lebih banyak dibandingkan dengan naskah TiPitaka karena ada 370 (tiga ratus tujuh puluh) sutra yang berbahasa Sansekerta yang tidak terdapat di dalam Kita Suci TiPitaka yang berbahasa Pali.

TiPitaka / TriPitaka dapat dibagi atas 3 bahagian besar, yaitu:
a. Sutta Pitaka, yang berisikan khotbah-khotbah dan dialog Sang Buddha dengan siswa-siswa-Nya.
b. Vinaya Pitaka, berisikan peraturan-peraturan / tata-tertib bagi anggota Sangha (Bhikkhu/Bhikkhuni).
c. Abhidhamma Pitaka, berisikanajaran tentang filksafat tinggi, metafisika dan ilmu kejiwaan dalam agama Buddha.

Ajaran luhur Sang Buddha dibabarkan (disebar-luaskan) secara turun temurun dengan lisan saja selama beberapa abad, yaitu dengan menghafalnya di luar kepala dan baru dibukukan beberapa ratus tahun kemudian setelah Sang Buddha Maha Parinibbana (wafat).

Setelah Sang Buddha Maha Parinibbana, diadakan Sidang Agung (Sangha Samaya) pertama di Gua Satapana di kota Rajagraha. Sidang ini dipimpin oleh Yang Arya Kasyapa Thera, dan dihadiri oleh 500 (lima ratus) Bhikkhu yang semuannya telah mencapai tingkat kesucian Arahat. Adapun tujuan dari Sidang Agung I adalah untuk menghimpun ajaran-ajaran Sang Buddha yang telah pernah dibabarkan di tempat yang berlainan selama 45 (empat puluh lima) tahun. Dalam sidang tersebut, Yang Arya Upali mengulangi Vinaya, Yang Arya Ananda mengulang Sutra, dan Yang Arya Kasyapa Thera mengulang khotbah tentang Abhidhamma.

Sidang Agung II diselenggarakan di kota Vaisali pada kurang lebih 100 tahun kemudian, yang dipimpin oleh Yang Arya Revata. Lebih kurang 230 tahun setelah Sidang Agung I, diselenggarakan Sidang Agung III di ibukota Kerajaan Asoka yaitu Pataliputra yang di pimpin oleh Yang Arya Tissa Moggaaliputra. Sidang Agung IV diselenggarakan di Srilangka pada 400 tahun setelah Sang Buddha Maha Parinibbana. Sidang ini dipimpin oleh salah satu putra Raja Asoka, yaitu Yang Arya Mahinda. Dalam sidang ini berhasil secara resmi ditulis ajaran-ajaran Sang Buddha di daun-daun Lontar, yang kemudian dijadikan buku TiPitaka. Sidang Agung V diadakan di Kanisha pada kurang lebih 600 tahun setelah Buddha Gotama memasuki Maha Parinibbana, dalam sidang ini Kitab Suci TriPitaka secara resmi ditulis.

Jumat, 26 Oktober 2012

Tilakkhana (Tiga Corak Universal)

Tilakkhana (Tiga Corak Universal)




"Para Bhikkhu, walau dengan hadirnya Sang Tatthagata atau tanpa hadirnya seorang Tatthagatha, tetaplah berlaku suatu hukum, suatu kesunyataan yang mutlak bahwa segala sesuatu yang terbentuk adalah tidak kekal,... tidak memuaskan,...dan tanpa inti ...."
(Angutara Nikaya, Yodhajiva-Vagga, 124)

Ti-Lakkhana atau tiga corak umum adalah tiga sifat yang menjadi ciri keberadaan dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, yaitu bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta selalu bersifat tidak kekal (Anicca), tidak memuaskan atau menimbulkan penderitaan (Dukkha) dan tanpa inti yang kekal (Anatta).

Anicca

"Adalah tidak kekal segala sesuatu yang terbentuk, segalanya muncul dan lenyap kembali. Mereka muncul dan kembali terurai. Kebahagiaan tercapai bila segalanya telah harmonis."
(Digha-Nikaya, Mahaparinibbana Sutta)

Segala sesuatu adalah bersifat tidak kekal karena bersifat muncul, berubah, dan hancur. Artinya adalah bahwa segala sesuatu tak pernah berada dalam keadaan yang sama di saat yang berbeda, melainkan senantiasa muncul dan lenyap dari saat ke saat. Hukum Anicca merupakan sifat dasar dari segala fenomena, baik yang bersifat material ataupun mental, berlaku terhadap partikel-partikel sub atom yang kecil hingga sistem tata surya dan galaksi yang maha besar.

Bahwa segala sesuatu berubah adalah kesunyataan bagi setiap eksistensi, maka kita harus melihat keberadaan alam semesta ini sebagai suatu fenomena atau gejala yang kompleks. Pengertian ini hendaknya juga menjadi dasar pengertian kita mengenai Lakkhana yang lain yaitu Dukkha dan Anatta. Oleh karena setiap eksistensi berada dalam perubahan yang konstan dari saat ke saat. maka tidak akan ada 'diri' yang akan merekat padanya. Sebenarnya sifat individual pada setiap eksistensi bukanlah suatu bentuk yang khusus melainkan merupakan perubahan itu sendiri. Tidak adanya sifat individual yang khusus pada setiap perwujudan inilah yang merupakan kesunyataan tentang Nibbana. Bila kita menyadari kesunyataan yang abadi tentang ketidak kekalan dan kita mendapatkan kedamaian di dalamnya maka pada saat itu juga sebenarnya kita telah berada dalam keadaan Nibbana.

Tanpa menerima kenyataan bahwa segala sesuatu itu berubah, kita tidak dapat memahami kedamaian yang sempurna. Oleh karena kita sulit memahami kesunyataan dari ketidak kekalan inilah maka kita menderita. Jadi salah satu penyebab dari penderitaan adalah penolakan kita terhadap kesunyataan ini. Kebahagiaan hidup tercapai apabila di dalam hidup ini kita bisa menerima hukum kesunyataan sebagaimana adanya dan hidup harmonis sesuai dengan hukum itu. Menyesali usia tua, takut akan kematian, dan menyesali perubahan-perubahan benda-benda fisik maupun mental di sekeliling kita adalah suatu kebodohan. Keterikatan terhadap keadaan-keadaan tertentu juga merupakan kebodohan yang menjadi dasar dari Dukkha.

Sebenarnya pembahasan terhadap hukum Anicca bukan untuk menimbulkan sifat pesimis bahwa segala sesuatu itu berubah dan oleh karenanya adalah Dukkha. Kesunyataan akan ketidak kekalan ini sebenarnya dibahas agar kita memahami segala sesuatu sebagaimana adanya dan oleh karena itu tidak terikat kepada bentuk-bentuk atau keadaan-keadaan tertentu; agar kita dapat menghadapi segala sesuatu dengan hati yang tenang dan lapang. Dengan pemahaman kita akan kesunyataan ini diharapkan kita dapat memusatkan perhatian dan energi kita pada setiap aktifitas kita di sini dan di saat ini juga; di tengah-tengah badai dapat ditemukan kedamaian; di tengah-tengah arus ketidak kekalan dan perubahan yang terus-menerus, kita dapat juga menemukan kedamaian.

Dukkha

"Para Bhikkhu, apakah yang disebut Dukkha itu? Itu bukan lain adalah kelima kelompok kegernaran (Panca-Khandha), .... "
(Samyutta Nikaya, Khandha Samyutta, 104)

Di dalam artikel ini kita akan membahas tentang Dukkha sebagai salah satu dari tiga corak umum yang menjadi ciri keberadaan dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, terutama yang berhubungan dengan Panca Khandha.

Seperti yang telah kita bicarakan di artikel Empat Kesunyataan Mulia, pengertian kita tentang Dukkha tidak terbatas pada penderitaan saja. Dalam arti yang lebih luas, Dukkha bisa juga berarti ketidak puasan, ketidak sempurnaan atau ketidak abadian. Agama Buddha tidak pernah menyangkal adanya kegembiraan atau kebahagiaan dalam hidup sehari-hari walaupun diakui bahwa salah satu ciri keberadaan dari alam semesta adalah Dukkha. Tetapi setiap kegembiraan itu adalah, bahkan dalam keadaan Jhana yang dicapai dengan meditasi tingkat tinggi, yang telah bebas dari pencerapan suka dan duka pun masih tetap berada dalam ciri keberadaan Dukkha.

Tidak seperti ciri keberadaan atau Lakkhana yang lain seperti Anicca dan Anatta yang mudah diterima secara obyektif, Dukkha Lakkhana sulit diterima begitu saja oleh manusia karena secara obyektif sulit bagi kita memahami bahwa segala sesuatu di alam semesta ini adalah menimbulkan penderitaan dan ketidak puasan. Sebab banyak sudut pandangan dan situasi dari manusia yang memandangnya yang menimbulkan perbedaan pandangan secara subyektif bahwa keadaan itu menimbulkan suka dan duka. Pandangan tentang Dukkha dapat dilihat dari tiga sudut pandang yaitu:
  1. Dukkha-Dukkha, yaitu Dukkha sebagai penderitaan yang biasa atau Dukkha yang dialami manusia secara langsung pada fisiknya melalui panca indera dan pada perasaannya. Penderitaan pada kehidupan manusia seperti lahir, sakit, usia tua, berkumpul dengan orang yang tidak disenangi, tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan dan lain-lain termasuk dalam kelompok Dukkha ini.
  2. Viparinama-Dukkha, yaitu Dukkha sebagai akibat dari perubahan. Segala keadaan yang menyenangkan manusia adalah tidak kekal dan selalu berubah dari saat ke saat. Perubahan ini biasanya menimbulkan penderitaan atau kemurungan.
  3. Sankhara-Dukkha, yaitu Dukkha yang timbul akibat kondisi- kondisi yang selalu bergerak atau berubah-rubah. Dukkha inilah yang berhubungan dengan lima kelompok kegemaran (Panca-khandha).
Dukkha sebagai penderitaan biasa banyak kita bahas di artikel Empat Kesunyataan Mulia. Dukkha sebagai akibat dari perubahan juga pernah kita bahas di Anicca-lakkhana di mana ditekankan bahwa perubahan itu sendiri sebenarnya tidak identik dengan Dukkha; bahwa manusia menderita adalah akibat mereka tidak memahami bahwa segala sesuatu pada hakekatnya berubah; bahwa manusia menderita karena merindukan keabadian. Pada sub-bab Dukkha-lakkhana ini kita akan membahas Dukkha sebagai perwujudan dari lima kelompok kegemaran.

Sang Buddha sebenarnya tak pernah menyatakan bahwa tidak ada suatu jiwa atau atta di alam semesta ini. Beliau biasanya malah menolak mempersoalkan hal ini karena dianggap berada di luar jangkauan pikiran dan tidak dapat menimbulkan pencerahan atau penerangan. Yang sering ditekankan oleh Sang Buddha adalah bahwa tak ada satu benda atau bentuk yang khusus yang dapat dikatakan memiliki diri atau jiwa yang kekal. Segala bentuk individu hanyalah suatu bentuk kombinasi unsur-unsur fisik dan mental, yang senantiasa berubah dan berada dalam keadaan Dukkha, di mana unsur-unsur yang membentuk suatu diri atau karakater individu itu adalah terdiri dari lima kelompok atau agregat yang disebut Panca Khandha.

Panca Khanda atau lima agregat atau lima kelompok kegemaran itu oleh Sang Buddha diuraikan sebagai berikut:
  1. Rupa-khanda, yaitu kelompok objek fisik atau jasmani yang oleh Sang Buddha diurai lagi menjadi empat bentuk elemen (Catur Maha Bhuta) yaitu: elemen padat (Pathavi Dhatu) yang sebenarnya memberikan sifat atau kemampuan menempati ruang dan mempertahankan posisi serta memberikan sifat kaku pada setiap materi; elemen cair (Apo-Dhatu) yang sebenarnya berupa gaya rekat atau tarik menarik antara materi; elemen panas atau energi (Tejo-Dhatu) yang sebenarnya memiliki sifat maha bhuta yang lain tetapi dalam dimensi yang lebih kecil; dan elemen gerak atau getaran (Vayo-Dhatu) yang bila berada dalam kesetimbangan dengan apo-dhatu akan menampakkan eksistensi pattiavi materi yang bersangkutan. Termasuk kelompok Rupa-khanda ini juga terdapat turunan-turunan atau bentuk variasi dari empat Maha Bhuta tadi yaitu mencakup organ-organ indera (pasada-rupa) beserta objek-objeknya (arammana) misalnya bentuk dan warna sebagai objek penglihatan oleh mata; bunyi dan suara sebagai objek pendengaran telinga; bau-bauan sebagai objek penciuman oleh indera penghidu; cita rasa sebagai objek pengecapan oleh lidah; benda-benda dengan berbagai variasi bentuk, temperatur, permukaan kasar atau licin, keras atau lembut, sebagai objek perabaan oleh indera peraba; dan objek- objek mental seperti pikiran, ingatan, konsep dan ide-ide sebagai objek pemikiran oleh indera mental kita. Jadi Rupa-khanda sebenarnya mencakup obyek-obyek di dalam maupun di luar diri kita beserta indera-indera yang dapat berkontak dengannya.
  2. Vedana-khanda, yaitu perasaan-perasaan yang timbul akibat adanya kontak antara obyek-obyek indera dengan indera-indera kita tadi. Perasaan-perasaan yang timbul itu bisa berupa perasaan senang, tidak senang, atau netral. Perasaan-perasaan ini timbul sebagai reaksi kontak tadi yang dihubungkan dengan ingatan-ingatan, baik yang berbentuk insting bawaan ataupun yang didapat dari pengalaman-pengalaman.
  3. Sanna-khanda, yaitu pencerapan atau pengenalan objek yang terjadi setelah terjadinya kontak dan setelah terjadinya kesadaran akan adanya obyek tersebut. Pencerapan atau pengenalan objek tersebut juga terjadi akibat adanya memori atau ingatan-ingatan, terutama yang berhubungan dengan pengalaman-pengalaman.
  4. Sankhara-khanda, yaitu bentuk-bentuk pikiran yang berupa segala kehendak (cetana) yang terjadi setelah timbul perasaan-perasaan akibat kontak yang terjadi. Kehendak-kehendak (cetana) yang terjadi inilah yang kelak akan membuahkan karma berupa perbuatan-perbuatan yang dilakukan, baik yang dilakukan dengan badan jasmani, ucapan, maupun dengan pikiran, yang mengarah kepada perbuatan baik, jahat atau netral.
  5. Vinnana-khanda, yaitu kesadaran yang timbul akibat indera mengadakan kontak dengan. obyek yang sesuai. Kesadaran ini timbul sebelum terjadinya proses pencerapan atau pengenalan obyek yang kemudian menimbulkan perasaan-perasaan yang kemudian bisa berakhir dengan reaksi mental berupa kehendak untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan obyek tersebut.
Dari kelima khanda tersebut. tidak satupun yang dapat dikatakan sebagai diri atau ciri dari suatu individu, tetapi apabila kelima khanda itu saling berhubungan dan bekerja sama, maka akan terasa seakan-akan ada suatu diri yang menjadi ciri dari suatu individu atau keadaan tertentu. Jelmaan yang terbentuk oleh kombinasi kelima khanda itulah yang tak lain merupakan Dukkha itu sendiri, Dukkha yang mempunyai arti yang lebih luas dari sekedar duka atau penderitaan: Dukkha yang mencakup segala kefanaan, perubahan dan ketidak kekalan. Tidak ada suatu jelmaan atau diri yang berada di balik kelima khanda ini, tak ada suatu jelmaan atau diri yang mengalami Dukkha ini sebab panca khanda itu sendiri merupakan Dukkha dalam arti yang luas itu, dan di dalam Dukkha yang rnempunyai arti yang luas inilah terdapat kehidupan, kehidupan yang tak lain merupakan perubahan itu sendiri. Dukkha, kehidupan. dan perubahan sebenarnya bukanlah hal berbeda.

Di dalam pengertian Sankhara-Dukkha ini ditekankan bahwa tidak ada suatu diri atau atta yang berada di balik Panca Khanda ini yang akan merasakan Dukkha; bahwa Dukkha itu timbul akibat kondisi-kondisi yang tercakup di dalam kelima Khanda itu yang selalu bergerak dan berubah-ubah bahwa tidak ada sesuatupun yang berada di luar kondisi-kondisi yang berubah-ubah itu yang menggerakkan atau yang menyebabkan perubahan-perubahan itu; bahwa yang ada hanyalah perubahan-perubahan itu sendiri. Sebagai contoh dari proses-proses pergerakan kondisi-kondisi yang selalu berubah-ubah itu adalah rentetan peristiwa sebagai berikut:

Oleh rentetan kondisi-kondisi yang sebelumnya, pada javana-javana menjelang kesadaran sebelum kematian (cuti-citta) terbentuk janaka-kamma yang menentukan nama-rupa dan keadaan seorang manusia yang kemudian dilahirkan dengan indera-indera yang lengkap yang dapat mengadakan kontak dengan objek berupa empat Maha Bhuta beserta derivat-derivatnya yang juga terbentuk oleh kondisi-kcndisi sebelumnya (Lihat bab Kamma dan Punarbhava). Oleh kondisi-kondisi itu, seorang manusia mampu menangkap objek-objek berupa bentuk, cahaya dan warna, getaran-getaran dan bunyi-bunyian, uap-uap atau partikel gas atau cair atau padat yang berbau dan bercita rasa, dan objek-objek berupa gelombang-gelombang atau gerak-gerak ide dan pikiran. Bila oleh suatu kondisi, Patisandhi Vinnana telah menyambung (lihat bab Punarbhava) dan sifat dualitas (pembedaan antara subyek dengan obyek) telah terbentuk maka manusia itu mempunyai kesadaran (Vinnana) bila terjadi kontak antara suatu objek dengan indera-inderanya yang sesuai.

Oleh kondisi Rupa Khanda yang telah berkontak dengan manusia yang telah bersifat dualitas itu, timbul kesadaran akan adanya suatu bentuk dan warna, bunyi-bunyian atau suara, bau dan cita rasa, ide-ide dan bentuk-bentuk mental. Bila telah ada suatu kondisi di mana terdapat ingatan-ingatan bawaan lahir (Patisandhi Vinnana) maupun ingatan-ingatan yang berupa pengalaman-pengalaman sesudah lahir, maka manusia itu dapat mencerap objek-objek itu dan dikenali sebagai suatu bentuk benda tertentu misalnya sebuah bola, suara genta, bau buah-buahan, dan lain-lain. Atau mencerap objek-objek itu sebagai sesuatu yang belum dikenal ke dalam ingatan-ingatan.

Oleh kondisi-kondisi setelah terjadi pengenalan objek atau pencerapan (Sanna) dan oleh kondisi-kondisi di dalam ingatan maka timbul perasaan-perasaan (Vedana) terhadap objek-objek tadi berupa perasaan suka, tak suka, atau netral.

Oleh kondisi-kondisi setelah timbulnya perasaan-perasaan dan oleh kondisi-kondisi di dalam ingatan berupa kebiasaan dan pengalaman, maka timbul bentuk-bentuk mental (Sankhara) berupa kehendak (cetana), pikiran, rencana, atau keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan terhadap objek tadi. Dengan munculnya kehendak (Cetana) tadi maka akan berlanjut rentetan perbuatan karma yang bisa meneruskan lingkaran-lingkaran perubahan kondisi kelima Khanda itu kembali. Seluruh rentetan perubahan kondisi itulah yang dimaksud dengan Dukkha (Sankhara Dukkha).

Rupa Khanda (4 Maha Bhuta) adalah perwujudan dari hukum Anicca yang berlaku di seluruh alam semesta. Setiap bentuk elemen atau unsur itu beserta derivat-derivatnya hanyalah merupakan satu wujud tertentu dari hukum Anicca tadi.

Vinnana Khandha adalah salah satu perwujudan dari Patisandhi Vinnana yang selain membentuk kemampuan untuk menyadari obyek paramattha yang berkontak dengan indra, juga membentuk bakat, kecerdasan, kebiasaan-kebiasaan, penyakit-penyakit bawaan, kegemaran atau hobbi dan lain-lain.

Sanna Khandha lebih dipengaruhi oleh ingatan-ingatan atau pengalaman setelah lahir dan berfungsi menganalisa obyek-obyek paramattha untuk dikenali sebagai obyek pannati. Vedana Khandha merupakan perwujudan dari kondisi-kondisi berupa ingatan-ingatan bawaan (Patisandhi Vinnana) dan pengalaman-pengalaman setelah lahir.

Sankhara Khandha juga merupakan perwujudan dari kondisi-kondisi berupa ingatan-ingatan bawaan dan kebiasaan-kebiasaan setelah lahir, tetapi kebijaksanaan dan pandangan yang benar dari hasil pendidikan, pengalaman-pengalaman dan latihan dapat mendominasinya.

Tidak semua kontak antara indera dengan obyek bisa sampai kepada timbulnya Cetana dan Karma. Ada kontak yang hanya sampai pada kesadaran, tetapi tidak sampai pada pencerapan. Ada kontak yang telah tercerap tetapi tidak menimbulkan perasaan. Ada kontak yang telah menimbulkan perasaan tetapi kebijaksanaan pikiran dan pandangan yang benar dapat mencegah timbulnya rentetan keinginan atau kehendak beserta perbuatan yang menyertainya.

Seorang Arahat yang masih hidup adalah seorang yang mungkin masih terlibat oieh 4 Khandha sebagai sisa-sisa karmanya yang lampau, tetapi ia tidak lagi mempunyai bentuk-bentuk pikiran berupa kehendak (Cetana) di dalam Sankhara Khandha, oleh karena itu ia tidak lagi membentuk karma-karma baru yang akan membelenggunya lebih lama.

Anatta

"Hanya Dukkha yang terjelma, tiada seorang penderita pun yang berada; segala perubahan terjadi, tetapi pembuat perubahan itu tidak tertemukan; ada Nirvana, tetapi tak seorangpun yang memasukinya; Ada jalan, tetapi tak seorang pengunjungpun yang melewatinya. "
(Visuddhi Magga. XVI).

Pada doktrin Anatta ditekankan bahwa tidak ada suatu diri atau ego yang kekal yang merekat di dalam ataupun di luar segala fenomena fisik dan mental dari setiap eksistensi atau keberadaan; bahwa setiap eksistensi hanyalah merupakan perwujudan dari muncul dan lenyapnya fenomena-fenomena atau gejala-gejala fisik dan mental tanpa adanya diri atau atta yang lain yang terpisah di dalam ataupun di luar proses-proses itu sendiri.

Memang sepintas lalu kita bisa melihat adanya suatu diri atau sifat yang menjadi ciri keberadaan dari suatu bentuk atau fenomena (gejala-gejala alam). Memang suatu wujud, jelmaan atau fenomena itu mempunyai diri atau ciri khasnya yang menjadi sifat alamiahnya. Tetapi apabila wujud atau fenomena itu terurai menjadi unsur-unsur pembentuknya, maka tiada satupun dari unsur-unsur itu yang menjadi ciri atau diri wujud yang semula dan tiada satupun dari unsur-unsur itu yang mewarisi 'diri' dari wujud yang semula itu. Masing-masing unsur itu memiliki ciri atau diri masing-masing yang menjadi sifat alamiahnya yang juga tanpa inti yang kekal dan akan sirna apabila terurai lagi menjadi unsur-unsur yang lebih kecil atau apabila bersenyawa kembali dengan unsur-unsur lain membentuk suatu wujud, jelmaan atau fenomena yang lebih besar dengan sifat atau diri yang lain pula dari diri yang semula.

Sifat Anatta tidak hanya berlaku untuk bentuk dan keadaan yang tercakup dalam Panca Khandha melainkan merupakan sifat dari seluruh keadaan, bentuk atau jelmaan dari yang sangat halus sampai yang maha besar. Tidak ada Atta atau diri yang kekal baik di dalam suatu individu ataupun dalam bentuk semesta yang lebih besar. Yang ada hanyalah diri atau sifat vang sementara, yang senantiasa berubah dari saat ke saat. Suatu saat akan terbentuk diri dari suatu individu; di saat lain diri itu mungkin terurai menjadi diri-diri unsur-unsur pembentuknya yang juga terbentuk dari unsur-unsur lainnya yang memiliki diri masing-masing yang juga tidak kekal dan senantiasa berubah; bisa pula di saat lain diri suatu individu itu bersatu dengan diri dari individu-individu yang lain membentuk suatu organisasi dengan diri atau ciri yang lain pula yang juga tidak kekal dan senantiasa berubah.

Rangkuman

Segala bentuk, wujud, keadaan. jelmaan adalah tidak kekal dan senantiasa berubah. Segala sesuatu yang tidak kekal itulah yang merupakan Dukkha. Segala bentuk, wujud, keadaan, jelmaan adalah tanpa inti atau diri yang kekal. Segala bentuk atau jelmaan individu memang memiliki sifat dan ciri tersendiri. Mereka mempunyai sifat asal yang terbentuk dari organisasi unsure-unsur pembentuknya yang lebih halus. Bentuk atau jelmaan individu itu tergantung pada kondisi-kondisi dari sifat atau diri lain yang juga tidak kekal, yang akan secara bersama-sama tergerak dalam rantai sebab akibat yang saling bergantungan (Paticca Samuppada). Manusia menderita di dalam hidupnya apabila ada penolakan terhadap kesunyataan bahwa segala sesuatu yang terbentuk itu adalah tidak kekal, senantiasa berubah dan tanpa inti yang kekal. Kebahagiaan tercapai apabila kita telah bisa memahami hukum itu dan memahami segala sesuatu sebagaimana adanya dan dapat hidup harmonis dengan segala kesunyataan itu.