Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Rabu, 21 November 2012

Persembahan Jubah Kaṭhina: Sebuah Renungan

Persembahan Jubah Kaṭhina: Sebuah Renungan

oleh Abhidhamma MadeEasy pada 15 November 2012 pukul 10:17 ·





“Para bhikkhu, manfaat dari kehidupan suci bukanlah untuk mendapatkan keuntungan materi, bukan pula untuk mendapatkan penghormatan,…. Para bhikkhu, tujuan dari kehidupan suci adalah pembebasan-batin yang tidak-tergoyahkan. Inilah intisarinya. Inilah tujuannya.” [1]

Pendahuluan

            Persembahan jubah Kaṭhina adalah perayaan yang dikenal di tradisi Theravāda yang sangat erat kaitannya dengan latihan disiplin para anggota saṅgha.  Hal ini dikarenakan adanya persyaratan-persyaratan yang wajib dipenuhi oleh para anggota saṅgha sebelum mereka berhak mengadakan upacara persembahan jubah Kaṭhina. Kegagalan dalam memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah diatur di dalam Vinaya akan membawa akibat pada ketidaksahan jubah Kaṭhina yang telah dipersembahkan oleh para umat.

            Hal ini bukan berarti bahwa kamma-baik yang telah dilakukan oleh para umat yang telah mempersembahkan jubah Kaṭhina dengan dilandasi oleh kasih dan keyakinan terhadap Tiratana kemudian menjadi kamma-buruk. Tetapi, kegagalan memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut akan berdampak kepada anggota  saṅgha dimana mereka hanya akan menerima persembahan jubah biasa; bukan jubah Kaṭhina yang bisa membebaskan mereka dari beberapa peraturan Vinaya untuk jangka waktu tertentu.


Penyimpangan Makna Kaṭhina
           Seiring dengan berjalannya waktu, upacara persembahan jubah Kaṭhina, tidak terhindarkan, telah bersinggungan dengan budaya-budaya lokal dimana Buddhisme berkembang. Oleh sebab itulah kita sekarang ini bisa melihat berbagai macam upacara persembahan jubah Kaṭhina yang berbeda-beda di setiap Negara; dengan tata cara persembahan yang kemungkinan besar sangat berbeda dengan apa yang sudah menjadi tradisi di masa kehidupan Buddha Gotama. Hal ini dikarenakan kemampuan Buddhisme yang sangat baik dalam beradaptasi dengan budaya lokal; tidak menghancurkan tetapi bahkan menyatu dengannya. Buddhisme melihat budaya lokal hanyalah sebagai kulit atau kemasan dari latihan-latihan spiritualnya. Selama budaya-budaya tersebut tidak merubah isi atau intisari ajaran maka latihan-latihan Buddhis bisa dikemas dengan bungkus budaya dan tradisi lokal apapun.

            Akan tetapi, tentu saja, di dalam perkembangannya selalu saja bisa ditemukan penyimpangan-penyimpangan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Penyimpangan ini menjadi satu hal yang serius apabila sudah menyebabkan pergeseran nilai dan makna dasar persembahan jubah Kaṭhina; dari yang pada awalnya adalah merupakan satu rangkaian yang berkaitan erat dengan latihan untuk anggota saṅgha serta demi kelanggengan Dhamma; menjadi sebuah sarana untuk menumbuh suburkan tiga akar yang tidak-baik, yakni lobha, dosa dan moha.

           Perayaan persembahan jubah Kaṭhina adalah kegiatan yang murni dari dan diperuntukkan kepada saṅgha. Penyimpangan akan terjadi manakala rangkaian latihan disiplin yang telah diatur di dalam Dhamma dan Vinaya, yang menjadi syarat sahnya Kaṭhina, diabaikan dan kemudian kebijaksanaan dikalahkan oleh lobha, dosa dan moha demi memupuk keuntungan materi. Termasuk di dalam hal ini adalah meyakini sesuatu sebagai kebenaran yang harus dilakukan walaupun tidak sesuai dengan Dhamma dan Vinaya.[2] Pelanggaran dan penyelewengan tersebut biasanya muncul karena satu atau lebih dari sebab-sebab dibawah ini:

1)     Alajjhitā: mengerjakan sesuatu dengan tanpa rasa malu. Seseorang mengerti bahwa sesuatu hal yang dikerjakannya adalah pelanggaran, tetapi tetap saja dilakukannya karena tidak adanya rasa malu.

2)     Añāṇatā: Dia mengerjakannya karena tidak mengerti (peraturan yang telah ditetapkan oleh Buddha).

3)     Kukkucca-pakatatā: Dia mengerjakannya dengan keraguan, penyesalan. Dalam hal ini sebenarnya dia tahu bahwa yang akan dikerjakannya adalah pelanggaran tetapi tetap saja dilakukan karena kecerobohannya.

4)     Akappiyekappiyasaññitā: dia menganggap apa yang dikerjakannya adalah hal yang diperbolehkan (oleh Vinaya), walaupun sebenarnya tidak diperbolehkan (oleh Vinaya).

5)     Kappiye-akappiyasaññitā: dia memahami sesuatu yang diperbolehkan sebagai yang tidak diperbolehkan tetapi tetap mengerjakannya juga.

6)     Sati-sammosā: dia mengerjakannya dengan ‘perhatian yang diliputi oleh khayalan-khayalannya sendiri’.



Benih dan Ladang Kamma-baik yang Subur
           Selama satu bulan masa Kaṭhina umat Buddha berlomba-lomba untuk menanam benih kamma-baik melalui persembahan jubah Kaṭhina. Seperti halnya seseorang yang bercocok-tanam, kualitas panen mereka sangat ditentukan oleh dua hal: benih dan ladang dimana benih tersebut ditanam. Benih yang berkualitas super yang ditanam di ladang yang subur akan menghasilkan panen yang berlimpah. Demikian pula dengan persembahan jubah Kaṭhina dimana kualitasnya akan sangat ditentukan oleh dua hal: kualitas pemberi dan penerima persembahan.

          Buddha mengajarkan bahwa untuk mendapatkan buah-kamma-baik yang maksimal maka pemberi persembahan haruslah seseorang yang bermoral dan penuh pengendalian diri,[3] atau dia harus memenuhi tiga faktor dibawah ini:

1.     Sebelum mempersembahkan, batinnya dipenuhi kebahagiaan. 

2.     Pada saat mempersembahkan, batinnya bersuka-cita dengan keyakinan yang teguh. 

3.     Setelah mempersembahkan, batinnya dipenuhi oleh perasaan suka-cita.[4] 

          Di dalam Dakkhiṇāvibhaṅga sutta, Buddha juga mengajarkan bahwa sesuatu yang dipersembahkan haruslah dari hasil kerja yang benar,[5] mempersembahkannya dengan batin yang jernih dan keyakinan yang teguh akan buah-kamma. Persembahan yang seperti ini disebut sebagai persembahan yang telah dimurnikan oleh pemberi. Dengan terpenuhinya syarat-syarat tersebut maka pemberi telah menanam benih kamma-baik yang berkualitas super.[6] Dia tidak perlu khawatir apakah persembahannya nanti akan berbuah ataukah tidak; karena setiap persembahan pasti akan membuahkan hasil berupa usia panjang, kecantikan, kebahagiaan dan kekuatan.[7] Tidak ada persembahan yang sia-sia, meskipun yang dipersembahkan adalah benda yang tidak berguna buat penerima sekalipun.[8] Di dalam setiap persembahan, yang terpenting adalah bagaimana kita mempersembahkannya; bukan apa yang kita persembahkan.

          Keyakinan akan suatu persembahan yang telah dilakukan sebagai tidak mempersembahkan apapun adalah pandangan-salah (micchādiṭṭhi). Di dalam Mahācattārīsaka sutta,[9] pandangan-salah mencakup pandangan seseorang yang berkeyakinan bahwa ‘tidak ada yang dipersembahkan’ dan ‘tidak ada buah dari kamma-baik’. Kalau orang tersebut meninggal dunia dengan tetap melekat pada pandangan-salah ini maka dia akan terlahir di alam neraka.[10]

Para bhikkhu, saya tidak melihat satu dhamma pun yang sangat pantas dicela selain pandangan-salah. Kemelekatan kepada pandangan-salah sangatlah pantas untuk dicela.[11]

         Persembahan yang diberikan kepada seseorang yang tidak bisa mengendalikan diri dari lobha, dosa dan moha adalah persembahan yang tidak dimurnikan oleh penerima;[12]  --dia adalah ladang yang tidak subur untuk menanam kamma-baik. Konsekwensinya adalah bahwa benih-kamma yang ditanam tidak akan menghasilkan buah-kamma yang sempurna. Seorang anggota saṅgha, disamping harus mematuhi paṭimokkha, dia juga harus mempunyai gaya-penghidupan-benar. Dia hendaknya dengan bijak menempatkan dirinya semata-mata sebagai ladang bagi umat untuk menanam benih kamma-baiknya. Dia tidak boleh meminta-, membujuk- atau menganjurkan-, mengisyaratkan-jenis persembahan-sesuai-yang-dia-mau, tidak menghargai benda yang dipersembahkan oleh para umat serta memberikan sesuatu kepada umat demi mendapatkan sesuatu sebagai imbalannya. Hal ini adalah gaya-penghidupan-salah (micchājīva)[13] yang harus dihindari oleh para anggota saṅgha. Dengan demikian saṅgha tidak melukai hati para umat yang dengan penuh keyakinan sudah berbuat kebajikan.

         Di dalam kitab komentar diceritakan bagaimana pelimpahan jasa yang dilakukan oleh seorang istri, bahkan sampai selama tiga kali, tidak bisa diterima oleh suaminya yang terlahir sebagai peta dikarenakan dia melakukan persembahan tersebut kepada anggota saṅgha yang tidak bermoral, penuh lobha, dosa dan moha. Peta tersebut dengan penuh kesedihan berkata, “Seorang yang tidak bermoral telah tiga kali mencuri kekayaan ku.” Kemudian, pada waktu dia melakukan persembahan kepada seorang bhikkhu yang bermoral, maka peta tersebut bisa mengucapkan, “Sadhusadhusadhu”, dan diapun keluar dari alam kehidupan peta. Moral dari cerita ini adalah bahwa seharusnya seorang anggota saṅgha bisa mengendalikan diri dari keinginan-keinginan dan tidak menganjurkan umat yang akan berdana untuk melekat kepada individu bhikkhu. Mengajarkan kemelekatan ataupun kesetiaan umat kepada vihāra tidak lah juga dibenarkan. Buddha mengajarkan bahwa kemelekatan terhadap Dhamma pun harus ditinggalkan, apalagi kemelekatan terhadap hal-hal yang bukan Dhamma.[14] Oleh karena itu maka saṅgha harus memberikan pendidikan yang benar dengan senantiasa menganjurkan umat yang akan berdana untuk tidak melekat, tidak ada fanatisme dan membimbing mereka untuk melakukan persembahan kepada saṅgha, bukan kepada individu bhikkhu.  Hal ini harus dilakukan atas dasar cinta dan belas kasih semata-mata demi kesuburan kamma-baik dan kebahagiaan mereka.

         Dengan demikian baik benih kamma maupun ladang tempat menanam nya adalah dari jenis yang berkualitas super. Persembahan seperti ini adalah yang disebut Buddha sebagai persembahan yang telah dimurnikan oleh pemberi dan penerima.[15]  Jadi buah dari persembahan akan menjadi baik apabila pemberi dan penerima persembahan adalah seseorang yang bermoral, penuh pengendalian diri, jauh dari lobha, dosa dan moha.[16]


Kaṭhina: Bertemunya Dua Kepentingan Spiritual
         Persembahan jubah Kaṭhina adalah satu momen dimana dua ‘kepentingan-spiritual’— dari saṅgha dan umat— bertemu. Di sisi umat, persembahan jubah Kaṭhina adalah momen dimana mereka mendapatkan kesempatan untuk melakukan kebajikan. Kebajikan ini mempunyai kekuatan untuk memurnikan dan menyempurnakan kecenderungan-kecenderungan positif di batin mereka. Kebajikan ini juga lah yang memastikan kebahagiaan mereka, baik di dalam kehidupan sekarang maupun di kehidupan-kehidupan mendatang[17] sehingga pada gilirannya akan menjadi faktor yang berkontribusi buat pencapaian Nibbāna.
         Persembahan jubah Kaṭhina juga mengandung arti dukungan dan komitmen para umat kepada saṅgha. Dengan menjamin kelangsungan hidup saṅgha maka para umat juga menjamin kelangsungan hidup Dhamma. Dengan didukung oleh kebajikan yang telah dilakukan dan tersedianya Dhamma sebagai penuntun mereka maka pintu untuk mengakhiri dukkha pun menjadi terbuka lebar.
Dari sisi saṅgha, persembahan jubah Kaṭhina adalah titik kulminasi dari serangkaian latihan disiplin yang telah mereka jalankan selama 3 bulan masa vassāvāsa (retret musim hujan) yang dimulai satu hari setelah purnama di bulan Juli dan diakhiri di purnama bulan Oktober. Pada awal masa vassa para anggota saṅgha meneguhkan tekad untuk berdiam diri di suatu tempat dan tidak berpindah-pindah.[18] Biasanya di negara Buddhis seperti Myanmar, masa vassa akan benar-benar dimanfaatkan oleh para anggota saṅgha untuk belajar, berlatih dan mengajar secara lebih serius dan intensif. Pada akhir masa vassa, para anggota saṅgha akan saling ‘mengundang’ satu sama lain[19] untuk saling menunjukkan pelanggaran disiplin yang telah dilakukan apabila mereka telah melihatnya, mendengar dari orang lain atau mencurigainya. Anggota saṅgha yang telah melakukan kesalahan harus bisa menerimanya dengan lapang dada. Dengan cara seperti ini lah para anggota saṅgha saling membantu untuk memurnikan diri mereka masing-masing. Anggota saṅgha yang telah termurnikan akan menjadi ladang yang baik buat para umat untuk menanam benih kamma-baik; seandainya pun mereka ingin melakukan persembahan kepada individu saṅgha. Kegagalan dalam mematuhi rangkaian latihan disiplin yang telah disebutkan diatas akan berdampak kepada ketidak-layakan anggota saṅgha tersebut untuk menerima persembahan jubah Kaṭhina. Pada saat tidak ada seorang anggota saṅgha pun yang layak menerima persembahan jubah Kaṭhina, maka vihāra tempat mereka tinggal tidak diperbolehkan untuk mengadakan persembahan jubah Kaṭhina.
Dengan memasuki kehidupan-suci (brahmacariya), para anggota saṅgha telah dengan suka-rela mendedikasikan kehidupannya untuk mempelajari Tipiṭaka dengan benar dan kemudian melatih-diri guna mencapai pembebasan dari saṃsāra. Setelah belajar dan melatih dirinya maka anggota saṅgha, pada gilirannya, akan membabarkan Dhamma kepada para umat. Dengan demikian Dhamma akan senantiasa tersedia untuk para umat sebagai sumber kekuatan dan inspirasi ditengah-tengah kesulitan yang mereka hadapi di kehidupan sehari-hari.  Dengan selalu tersedianya Dhamma, maka anggota saṅgha dan para umat akan mendapatkan kesempatan untuk melihat Buddha.[20]

Yo kho, Vakkali,  dhammaṃ passati, so maṃ passati Yo maṃ passati, so dhammaṃ passati.
(Vakkali, dia yang melihat Dhamma, melihat Saya. Dia yang melihat Saya, melihat Dhamma.)[21]

         Sekarang kita sudah melihat bagaimana dua kepentingan spiritual tersebut bertemu di bulan persembahan jubah ini. Mengingat sedemikian pentingnya maka kemurnian dari Kaṭhina haruslah dijaga. Untuk itu tugas berat tentunya ada pada saṅgha. Saṅgha lah yang harus memberikan pengertian yang benar serta memberikan contoh yang baik –sesuai dengan Dhamma dan Vinaya –kepada para umat; semata-mata agar benih kamma yang ditanam dan ladang tempat menanam menjadi subur. Kesuburan inilah yang akan menjadi faktor penting yang berkontribusi untuk kebahagiaan dan pencapaian tujuan akhir dari perjalanan spiritual –mencapai keadaan batin yang bebas dan tak-tergoyahkan, bebas dari segala bentuk penderitaan – Nibbāna.
 

Penutup
         Kaṭhina menjadi saat yang tepat untuk memberikan dukungan umat kepada saṅgha. Dengan memberikan dukungan kepada saṅgha maka mereka bisa belajar, berlatih dan akhirnya mengajarkan Dhamma kepada umat. Mengingat sedemikian pentingnya, maka kemurnian Kaṭhina haruslah dijaga. Melakukan inovasi-inovasi yang tidak ada rujukan teks nya adalah menyalah-artikan Dhamma.
Kaṭhina juga menjadi saat yang baik buat anggota saṅgha untuk merenungkan kembali tujuan mereka memasuki kehidupan suci ini. Kaṭhina hendaknya tidak dijadikan sarana untuk memupuk akar-akar kejahatan –lobha, dosa dan moha –melainkan  demi memperteguh tekad mereka untuk belajar dan berlatih.
         Dengan demikian, Kaṭhina benar-benar menjadi sesuatu yang pantas untuk dirayakan karena bertemunya dua kepentingan spiritual –saṅgha dan umat –kepentingan spiritual yang berujung pada tercapainya pembebasan-batin yang tidak-tergoyahkan.  Inilah satu-satunya Dhamma yang harus di-realisasi.[22]



Buddhasāsanaṃ ciraṃ tiṭṭhatu,
Semoga Buddha sāsanā bertahan lama [di bumi],

Ashin Kheminda
For Prasadha Jinarakkhita Buddhist Institute 
www.pjbi.org

Catatan:
·       Semua rujukan menggunakan nomor buku dan halaman dari Caṭṭhasaṅgāyana CD, Version 3.0 ©1999

[1] M 1.197

[2] Sejak Buddha parinibbāna, banyak inovasi-inovasi praktik dan latihan telah dilakukan oleh generasi penerusNya. Tetapi melakukan inovasi yang tidak ada rujukan kitab sucinya serta bertentangan dengan apa yang telah ditentukan adalah keliru dalam menafsirkan Dhamma dan Vinaya; hal yang demikian ini bisa jadi sangat menyesatkan –hanya akan menghasilkan penderitaan dan tidak bermanfaat buat pencapaian Nibbāna.

[3] Lihat M 3.253

[4] A 3.335

[5] Bukanlah sesuatu yang didapat dari hasil pelanggaran sīla.

[6] Di sutta ini pula Buddha mengajarkan bahwa persembahan duniawi yang paling superior adalah ketika seorang arahat mempersembahkan sesuatu kepada arahat.

[7] Setiap hari anggota saṅgha menerima derma makanan yang berlimpah dari para umat yang mengakibatkan tidak semua makanan bisa dimakan oleh anggota saṅgha tersebut. Dengan berlimpahnya makanan di atas meja, bukan berarti para umat tidak mendapatkan buah apapun dari persembahannya. Persembahan dia tetap merupakan kamma-baik yang akan menghasilkan āyu, vaṇṇo, sukhaṃ, balaṃ di kehidupan sekarang maupun yang akan datang.

[8] Kh. 7.6 mencatat dāyakā ca anipphalā ([persembahan] para pemberi tidak pernah tanpa-buah)

[9] M 3.71

[10] Pandangan seperti ini disebut sebagai niyāta micchādiṭṭhi, yakni pandangan-salah dengan nasib yang sudah pasti –terlahir di neraka. Niyāta micchādiṭṭhi melingkupi 3 pandangan-salah: ahetuka-diṭṭhi, akiriya-diṭṭhi dan natthika-diṭṭhi.

[11] A 1.33

[12] Sutta ini juga membedakan persembahan menjadi dua, yakni kepada individu dan saṅgha. Kualitas persembahan kepada individu, bahkan kepada seorang Buddha pun tidak akan pernah bisa melebihi kualitas persembahan yang ditujukan kepada saṅgha.

[13] M 3.75

[14] M 1.135: dhammāpi vo pahātabbā pageva adhammā

[15] M 3.253

[16] Lihat A 3.44 dan M 3.253

[17] Disebut sebagai ‘kebajikan’ karena ‘memurnikan (batin) seseorang yang melakukannya, menyempurnakan kecenderungannya dan menghasilkan kelahiran yang baik’ (Vibh. A 142) 

[18] Dengan alasan-alasan tertentu yang telah diatur di dalam Vinaya –misalnya menerima permintaan dari saṅgha ataupun umat untuk membabarkan Dhamma –anggota saṅgha diijinkan untuk bepergian selama tidak melebihi 7 malam berturut-urut. Selama masa vassa, tanpa alasan yang jelas anggota saṅgha juga tidak diijinkan untuk meninggalkan vihāra tanpa keinginan untuk kembali sebelum fajar merekah.

[19] Pavāranā (Pāḷi)

[20] Tentu saja bukan melihat Buddha secara fisik tetapi memahami dan mengerti bahwa Dhamma adalah perwujudan dari kualitas-kualitas Buddha itu sendiri.

[21] S 3.120

[22] D 3.273: katamo eko dhammo sacchikātabbo? akuppā cetovimutti. Ayaṃ eko dhammo sacchikātabbo.

========================
Sumber: https://www.facebook.com/notes/abhidhamma-madeeasy/persembahan-jubah-ka%E1%B9%ADhina-sebuah-renungan/337136536384379