Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Senin, 23 Desember 2013

Bagaimana Sang Buddha Wafat




 Bagaimana Sang Buddha Wafat

Selama hari Vesak (Waisak), kita telah diberitahu bahwa hari itu juga merupakan hari dimana Sang Buddha mencapai Parinibbana. Tetapi tidak banyak orang mengetahui bagaimana Sang Buddha wafat. Teks-teks kuno menampilkan dua kisah tentang wafatnya Sang Buddha. Apakah wafatnya Sang Buddha direncanakan dan merupakan kehendak Sang Buddha, atau apakah karena keracunan makanan, atau ada hal lain yang berkaitan satu sama dengan yang lain? Inilah jawabannya.


Mahāparinibbāna Sutta, yang merupakan kotbah panjang dalam Tipitaka Pali, tidak diragukan lagi merupakan sumber yang paling dapat dipercaya untuk perincian atas wafatnya Siddhattha Gotama (563-483 SM), Sang Buddha. Mahāparinibbāna Sutta disusun dalam bentuk naratif yang membiarkan para pembaca untuk mengikuti kisah hari-hari terakhir Sang Buddha, yang dimulai dari beberapa bulan sebelum Beliau wafat.

Walaupun demikian, untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi terhadap Sang Buddha adalah suatu hal yang tidak sederhana. Sutta, atau kotbah, melukiskan dua kepribadian Sang Buddha yang saling bertolak belakang, yang satu mengesampingkan yang lainnya.

Kepribadian Sang Buddha yang pertama adalah sebagai pembuat keajaiban yang menyeberangkan diri-Nya dan rombongan para bhikkhu ke seberang Sungai Gangga (D II, 89), Yang dengan mata batin melihat keberadaan para dewa di atas bumi (D II, 87), Yang dapat hidup sampai akhir dunia dengan syarat seseorang mengundang-Nya untuk melakukan hal itu (D II, 103), Yang menentukan waktu kemangkatan-Nya (D II, 105), dan Yang kemangkatan-Nya dimuliakan dengan hujan bunga surgawi, serbuk kayu cendana dan musik surgawi (D II, 138).

Kepribadian Sang Buddha yang lainnya adalah sebagai layaknya makhluk berusia lanjut yang jatuh sakit (D II, 120), Yang hampir kehilangan hidup-Nya karena sakit yang teramat sangat selama masa vassa-Nya (retreat musim hujan) yang terakhir di Vesali (D II, 100), dan Yang harus menghadapi penyakit dan kemangkatan-Nya yang tak diduga-Nya setelah mengkonsumsi hidangan khusus yang ditawarkan oleh penjamu-Nya yang dermawan.

Dua kepribadian ini bergantian muncul dalam bagian-bagian yang berbeda dari cerita naratif tersebut. Lebih dari itu, di dalamnya juga nampak dua penjelasan mengenai penyebab mangkatnya Sang Buddha : Yang pertama, kemangkatan Sang Buddha disebabkan oleh pengiring-Nya, Ananda, yang gagal mengundang Sang Buddha untuk tetap hidup sampai akhir dunia atau bahkan lebih lama dari itu (D II, 117). Yang kedua adalah bahwa Sang Buddha mangkat karena sakit yang mendadak yang dimulai setelah Beliau makan makanan yang dikenal sebagai “Sukaramaddava” (D II, 127-157).

Kisah yang pertama mungkin suatu legenda, atau hasil dari suatu pergumulan politik di dalam komunitas Buddhis selama tahap transisi, sedangkan kisah yang terakhir terdengar lebih realistis dan akurat dalam menggambarkan situasi kehidupan nyata yang terjadi di dalam hari-hari terakhir Sang Buddha.

Sejumlah studi telah memusatkan perhatian pada asal-muasal hidangan khusus yang dimakan oleh Sang Buddha selama makanan terakhir-Nya sebagai penyebab kemangkatan-Nya. Bagaimanapun juga, ada pendekatan lain yang didasarkan pada deskripsi tentang gejala-gejala dan tanda-tanda yang diberikan dalam Sutta, yang bisa dijelaskan oleh pengetahuan medis modern.

Dalam salah satu lukisan dinding yang berada di Wat (Vihara) Ratchasittharam, Sang Buddha dalam keadaan mendekati ajal-Nya, tetapi Beliau masih menyempatkan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh petapa Subhadda, yang menjadi siswa terakhir-Nya, yang setelah ditahbis menjadi anggota sangha, kemudian menjadi seorang Arahat.

Apa yang kita ketahui

Dalam Mahāparinibbāna Sutta, kita diberitahukan bahwa Sang Buddha menderita sakit secara tiba-tiba setelah Beliau memakan suatu hidangan khusus yang lezat, Sukaramaddava, yang secara harafiah diterjemahkan sebagai “daging babi lunak”, yang telah disiapkan oleh penjamu dermawan-Nya, Cunda Kammaraputta. Nama dari hidangan tersebut menarik perhatian dari banyak sarjana, dan hal itu menjadi fokus dari riset akademis terhadap asal muasal makanan hidangan atau bahan baku yang digunakan di dalam memasak hidangan khusus ini.

Sutta tersebut sendiri selain memberikan detil-detil yang berkaitan dengan tanda-tanda dan gejala-gejala dari penyakit Sang Buddha, juga menyertakan beberapa informasi yang dapat diandalkan mengenai keadaan Sang Buddha selama empat bulan sebelumnya, dan uraian ini juga sangat berarti secara medis.

Sutta tersebut di awali dengan rencana Raja Ajatasattu untuk menaklukkan negara saingannya, kerajaan Vajji. Sang Buddha melakukan perjalanan ke Vajji untuk menjalankan vassa (retret musim hujan) terakhir-Nya. Saat vassa inilah Beliau jatuh sakit. Gejala dari penyakiNya adalah tiba-tiba dan sakit yang teramat sangat.

Namun, sutta tersebut tidak memberikan gambaran atas letak dan karakter dari sakit-Nya tersebut. Sutta menyebutkan penyakit-Nya secara singkat, dan mengatakan bahwa sakitnya sangat keras, dan hampir membunuhnya.

Sesudah itu, Sang Buddha dikunjungi oleh Mara, Dewa Kematian, yang mengundang Beliau untuk mangkat. Sang Buddha tidak menerima undangan dengan segera. Hanya setelah Ananda, pengiring-Nya, gagal untuk mengenali isyarat yang diberikan-Nya mengenai kemangkatan Beliau. Sepotong pesan ini, meskipun terkait erat dengan mitos dan hal supernatural, memberikan kita beberapa informasi medis yang sangat berarti. Saat sutta ini disusun, penulisnya berada dalam keadaan terkesan bahwa Sang Buddha wafat bukan oleh karena makanan yang Beliau makan, tetapi dikarenakan Beliau telah memiliki penyakit yang serius dan akut serta memiliki gejala-gejala yang sama dengan penyakit yang pada akhirnya membuat-Nya mangkat.

Waktu Peristiwa

Umat Buddha tradisi Theravada berpegang pada asumsi bahwa Buddha Historis wafat pada malam bulan purnama dalam penanggalan bulan di bulan Vesakha (yang kadangkala jatuh pada bulan Mei sampai Juni). Tetapi waktu tersebut bertolak belakang dengan informasi yang terdapat dalam Sutta, dimana secara jelas bahwa Sang Buddha segera mangkat setelah masa vassa (retreat musim hujan), kemungkinan besar adalah pada musim gugur atau pertengahan musim dingin, yaitu antara bulan November hingga Januari.

Uraian tentang keajaiban akan mekarnya daun-daun dan bunga-bunga pada pohon-pohon sala ketika Sang Buddha berbaring di antaranya, menunjukkan periode waktu yang diberikan dalam sutta.

Bagaimanapun juga, musim gugur dan musim dingin adalah musim yang tidak cocok untuk pertumbuhan jamur, yang menurut beberapa sarjana dipercaya sebagai sumber racun yang dimakan Sang Buddha selama memakan makanan terakhir-Nya.

Diagnosa

Sutta tersebut menceritakan kepada kita bahwa Sang Buddha jatuh sakit dengan seketika setelah menyantap Sukaramaddava. Karena kita tidak mengetahui segalanya tentang sifat dasar makanan ini, menjadi sukar bagi kita untuk mengatakannya sebagai penyebab langsung dari penyakit Sang Buddha. Tetapi dari uraian yang diberikan, diketahui bahwa serangan penyakit tersebut berlangsung cepat.

Ketika menyantap, Sang Buddha merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan makanan itu dan Beliau menyarankan penjamu-Nya untuk menguburkan makanan tersebut. Segera setelah itu, Sang Buddha menderita sakit perut yang parah dan mengeluarkan darah dari rektum-Nya.

Masuk akal untuk kita mengasumsikan bahwa penyakit itu dimulai ketika Sang Buddha sedang menikmati makanan-Nya, sehingga membuat-Nya berpikir bahwa ada sesuatu yang salah dengan makanan yang tidak familiar itu. Karena kasih sayang-Nya kepada orang lain, maka Beliau sarankan agar makanan itu dikubur.

Apakah makanan yang beracun sebagai penyebab dari penyakit itu? Sepertinya tidak demikian. Gejala-gejala yang diuraikan tersebut tidak mengindikasikan keracunan makanan, yang bisa sangat akut , tetapi dapat dipastikan menyebabkan diare dengan darah. Umumnya, makanan beracun disebabkan oleh bakteri yang tidak segera membelah diri, tetapi mengalami suatu masa inkubasi selama dua sampai 12 jam untuk membelah diri, umumnya disertaii bahan kimia beracun menjad dengan diare dan muntah-muntah yang akut, bukan dengan pendarahan.

Kemungkinan yang lain adalah bahan kimia beracun, yang juga memiliki efek cepat, tetapi bukanlah hal yang biasa bagi penyebab pendarahan usus yang sangat parah. Makanan yang beracun dengan pendarahan usus langsung hanya bisa disebabkan oleh bahan kimia yang bersifat menghancurkan (korosif) seperti asam cuka yang keras, yang dapat dengan mudah menimbulkan penyakit seketika. Tetapi bahan kimia yang bersifat menghancurkan tersebut sudah pasti akan menyebabkan pendarahan pada usus bagian atas, yang menimbulkan muntah darah. Tidak satu pun tanda-tanda parah tersebut disebutkan dalam teks.

Penyakit-penyakit radang dinding lambung juga dapat diabaikan dari daftar penyakit tersebut. Meskipun faktanya bahwa penyakit ini menyerang dengan cepat, penyakit ini jarang diikuti oleh kotoran (feces) berdarah. Radang lambung dengan pendarahan usus menghasilkan kotoran berwarna hitam ketika radang menembus suatu pembuluh darah. Tukak pada saluran pencernaan yang lebih atas akan lebih memungkinkan mengakibatkan muntah darah, bukan pendarahan melalui rektum.

Bukti lain yang menyangkal kemungkinan ini adalah seorang pasien dengan radang lambung yang besar pada umumnya tidak mempunyai selera makan. Dengan menerima undangan untuk makan siang bersama sang penjamu, kita dapat berasumsi bahwa Sang Buddha merasa sesehat yang dirasakan orang manapun yang berada di awal usia 80-Nya. Dengan usia-Nya yang demikian, kita tidak bisa mengesampingkan kemungkinan bahwa Sang Buddha tidak mempunyai suatu penyakit kronis, seperti TBC atau kanker atau suatu infeksi/peradangan tropis seperti penyakit tipus atau disentri, yang sangat lazim di jaman-Nya.

Penyakit-penyakit ini bisa mengakibatkan pendarahan usus bawah, tergantung pada letaknya. Penyakit-penyakit ini juga sesuai dengan sejarah dari penyakit awal Sang Buddha sepanjang masa vassa (retreat musim hujan). Tetapi penyakit-penyakit ini dapat dikesampingkan, karena pada umumnya penyakit-penyakit ini diikuti oleh gejala lain, seperti kelesuan, hilangnya selera makan, penurunan berat badan, busung atau buncit pada perut bagian bawah (abdomen). Tidak satu pun gejala tersebut di sebutkan dalam sutta.

Wasir besar dapat menyebabkan pendarahan parah pada daerah pembuangan, tetapi sepertinya wasir mustahil dapat menyebabkan sakit yang sangat parah pada perut bagian bawah (abdomen) kecuali jika tersumbat. Tetapi hal itu akan sangat mengganggu perjalanan Sang Buddha ke rumah penjamu-Nya, dan jarang sekali pendarahan wasir disebabkan oleh makanan.

Infarksi Mesenterika (Mesenteric Infarction)

Penyakit yang sesuai dengan gejala-gejala yang yang telah dideskripsikan, yang disertai rasa sakit hebat pada perut bagian bawah (abdominal) dan mencret darah, umumnya ditemukan pada orang-orang usia lanjut, dan dipicu oleh makanan adalah infarksi mesenterika/mesenteric infarction (terganggunya jaringan pembuluh darah sekita usus), yang disebabkan oleh tersumbatnya pembuluh darah di mesenteri. Hal ini sangat mematikan. Iskemia Mesenterika akut (berkurangnya suplai darah ke mesenteri)adalah suatu kondisi yang parah dengan resiko kematian yang tinggi.

Mesenteri adalah bagian dari dinding usus yang mengikat keseluruhan bidang usus sampai rongga abdominal. Terhambatnya suplai darah di sekitar usus biasanya menyebabkan kematian pada jaringan tisu di bagian besar dari saluran usus bagian akhir (intestinal tract), yang akan mengakibatkan luka sayatan pada dinding saluran usus bagian akhir.

Secara normal hal ini menghasilkan sakit yang teramat sangat pada perut bagian atas (abdomen) dan mencret darah. Pasien pada umumnya meninggal karena kekurangan darah yang sangat parah. Kondisi ini sesuai dengan informasi yang diberikan dalam sutta. Hal ini juga dikuatkan kemudiannya ketika Sang Buddha meminta Ananda untuk mengambil sedikit air untuk-Nya untuk diminum, yang menandakan Beliau sangat haus.

Seperti yang dikisahkan, Ananda menolak, karena Ananda tidak menemukan sumber air bersih. Ananda berargumen dengan Sang Buddha bahwa aliran sungai yang terdekat telah dikeruhkan oleh rombongan kereta besar. Tetapi Sang Buddha meminta Ananda dengan tegas untuk mengambil air bagaimanapun juga.
Sebuah pertanyaan muncul pada poin ini: Mengapa Sang Buddha tidak pergi sendiri saja ke sumber air, daripada mendesak Ananda yang enggan untuk melakukannya? Jawabannya sederhana. Sang Buddha sedang menderita syok yang disebabkan oleh kehilangan banyak darah. Beliau tidak mampu berjalan lagi, dan dari saat itu sampai ke tempat peristirahatan terakhir-Nya Beliau hampir dapat dipastikan berada dalam tandu.

Jika situasinya memang demikian, sutta tidak mengisahkan tentang perjalanan Sang Buddha ke peristirahatan terakhirnya, kemungkinannya karena si penulis merasa bahwa hal itu akan memalukan Sang Buddha. Secara geografis, kita mengetahui bahwa jarak antara tempat yang di percaya sebagai rumah Cunda dengan tempat dimana Sang Buddha mangkat adalah sekitar 15 sampai 20 kilometer. Tidaklah mungkin bagi seorang pasien penderita penyakit yang mematikan seperti itu untuk berjalan kaki dengan jarak seperti itu.

Lebih memungkinkan, apa yang terjadi adalah Sang Buddha dibawa dalam sebuah tandu oleh sekelompok bhikkhu ke Kusinara (Kushinagara).

Yang menjadi point perdebatan adalah apakah Sang Buddha benar-benar bertekad untuk mangkat di kota ini (Kusinara), mengingat bahwa kota ini diperkirakan tidak lebih besar dari dari sebuah kota kecil. Dari arah perjalanan Sang Buddha yang diberikan dalam sutta, Beliau menuju ke utara dari Rajagaha. Ada kemungkinan Beliau tidak berniat untuk mangkat di sana, tetapi di kota tempat kelahiran-Nya dimana membutuhkan waktu tiga bulan untuk sampai ke sana.

Dari sutta, sudah jelas bahwa Sang Buddha tidak mengantisipasi penyakit mendadak-Nya, jika tidak, Beliau tidak akan menerima undangan penjamu-Nya. Kusinara mungkin merupakan kota yang terdekat dimana Beliau bisa menemukan seorang dokter untuk merawat diri-Nya. Tidaklah sukar untuk membayangkan sekelompok bhikkhu dengan terburu-buru membawa Sang Buddha di atas sebuah tandu menuju ke kota yang terdekat untuk menyelamatkan hidup-Nya.

Sebelum mangkat, Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda untuk tidak menyalahkan Cunda atas kemangkatan-Nya dan Beliau mangkat bukan disebabkan memakan Sukaramaddava. Pernyataan ini sangat penting. Makanan tersebut bukanlah penyebab secara langsung atas kemangkatan-Nya. Sang Buddha mengetahui bahwa gejala penyakit yang muncul merupakan gejala yang pernah Beliau alami beberapa bulan lebih awal, yang telah hampir membunuh-Nya.

Sukaramaddava, apapun bahannya ataupun cara memasaknya, bukanlah penyebab langsung dari penyakit mendadak-Nya.

Tahapan perkembangan penyakit

Infarksi Mesenterika adalah suatu penyakit yang biasanya ditemukan di antara orang lanjut usia, disebabkan oleh penyumbatan pada pembuluh darah utama yang menyuplai bagian tengah dinding saluran usus kecil bagian akhir dengan darah. Penyebab yang paling umum dari penyumbatan ini adalah melemahnya dinding pembuluh darah (vessel), pembuluh darah besar mesenterika, yang menyebabkan sakit yang teramat sangat pada perut bagian atas (abdomen), yang juga dikenal sebagai abdominal angina (keram perut).

Secara normal, rasa sakit dipicu oleh makanan yang berat (besar), yang memerlukan aliran darah lebih tinggi ke saluran pencernaan. Ketika penyumbatan terjadi, saluran usus kecil kehilangan persediaan darahnya , yang kemudian terjadi hambatan suplai darah, atau mati rasa setempat (gangrene), pada bagian saluran usus akhir (intestinal tract). Hal ini pada gilirannya mengakibatkan luka sayatan pada dinding saluran usus akhir, pendarahan yang sangat dalam pada saluran usus akhir, dan kemudian diare berdarah.

Penyakit menjadi tambah parah ketika cairan dan isi usus mengalir ke luar melalui rongga peritoneal, sehingga menyebabkan radang selaput perut atau radang dinding abdominal.

Ini sudah merupakan kondisi yang mematikan bagi si pasien, yang sering kali meninggal karena kehilangan darah dan cairan tubuh lainnya. Jika tidak diperbaikan dengan pembedahan, penyakit ini sering berkembang menjadi syok septik karena masuknya racun-racun bakteri ke dalam aliran darah.

Analisis Retrospektif (kebelakang)

Dari hasil diagnosa tersebut di atas, kita dapat lebih memastikan bahwa Sang Buddha menderita infarksi mesenterika yang disebabkan oleh penyumbatan pada arterial mesenterika superior. Inilah penyebab rasa sakit yang hampir saja merenggut ajal Beliau beberapa bulan lalu saat vassa (retret) musim hujan terakhir-Nya.

Dengan berkembangnya penyakit itu, sebagian dari selaput lender usus Beliau terkelupas, dan di sinilah yang menjadi asal muasal pendarahan tersebut. Arteriosklerosis, pengerasan dinding pembuluh darah akibat penuaan, merupakan penyebab dari tersumbatnya pembuluh darah, penyumbatan kecil yang tidak akan mengakibatkan diare berdarah, tapi merupakan gejala, yang juga kita kenal sebagai abdominal angina (keram perut).

Beliau mendapat serangan kedua ketika sedangan makan Sukaramaddava. Pada awalnya rasa sakit itu tidak begitu hebat, tapi membuat Beliau merasa adamana ada peluang untuk menemukan dokter atau penginapan untuk memulihkan diri-Nya.

Mungkin benar Sang Buddha menjadi lebih baik setelah minum untuk menggantikan cairan tubuh-Nya yang hilang, dan beristirahat di atas tandu. Pengalaman dengan gejala-gejala yang sama memberitahukan Beliau bahwa penyakit-Nya yang tiba-tiba itu adalah serangan kedua dari penyakit yang sudah ada. Beliau memberitahukan Ananda bahwa bukan makanan itu sebagai penyebab penyakit-Nya, dan Cunda jangan di salahkan.

Pasien yang mengalami goncangan, dehidrasi, dan kehilangan banyak darah biasanya merasa sangat dingin. Inilah sebabnya Beliau meminta pengiring-Nya untuk menyiapkan pembaringan yang dialasi dengan empat lembar Sanghati. Sesuai dengan disiplin keviharaan (Vinaya), Sanghati adalah selembar kain atau seprei, yang diijinkan oleh Sang Buddha untuk dipakai oleh para bhikkhu dan bhikkhuni pada musim dingin.

Informasi ini mencerminkan betapa Sang Buddha merasa dingin karena kehilangan darah-Nya. Secara klinis, tidaklah memungkinkan bagi pasien yang sedang dalam keadaan syok dengan rasa sakit yang hebat di bagian perut, kemungkinan besar mengalami peritonitis atau peradangan pada dinding perut, pucat, dan sedang menggigil kedinginan, untuk bisa berjalan.

Kemungkinan terbesar Sang Buddha diistirahatkan di sebuah penginapan yang terletak di kota Kusinara, di mana Beliau dirawat dan diberi kehangatan. Pandangan ini juga sesuai dengan deskripsi tentang Ananda yang menangis, tidak sadarkan diri, dan berpegangan pada pintu penginapan setelah tahu Sang Buddha akan segera wafat.

Secara normal, pasien yang menderita infarksi mesenterika dapat hidup 10 sampai dengan 20 jam. Dari sutta kita tahu Sang Buddha wafat sekitar 15 sampai 18 jam setelah serangan itu. Selama jangka waktu itu, para pengiring-Nya telah mengusahakan upaya terbaik mereka untuk menyamankan Beliau, misalnya, dengan menghangatkan kamar istirahat-Nya, atau dengan meneteskan beberapa tetes air ke mulut Beliau untuk menghilangkan rasa haus-Nya yang terus-menerus, atau dengan memberikan Beliau minuman herbal. Namun kecil sekali kemungkinannya pasien yang sedang mengigil kedinginan akan membutuhkan seseorang untuk mengipasi diri-Nya sebagaimana yang dideskripsikan dalam sutta.

Beliau mungkin silih berganti pulih dari kondisi kelelahan sehingga memungkinkan diri-Nya untuk melanjutkan pembicaraan dengan beberapa orang. Kebanyakan kata-kata terakhir Beliau kemungkinan benar adanya, dan kata-kata tersebut dihafal dari satu generasi bhikkhu ke generasi bhikkhu lainnya hingga ditranskripkan. Tapi pada akhirnya, di malam yang semakin larut, Sang Buddha wafat saat syok septik kedua menyerang. Penyakit Beliau berasal dari sebab-sebab yang alami ditambah usia lanjut, sebagaimana yang bisa menimpa siapa saja.

Kesimpulan

Hipotesa yang secara garis besar di uraikan di atas menjelaskan beberapa kejadian dari kisah di dalam sutta, sebut saja, desakan agar Ananda pergi mengambilkan air, permintaan Sang Buddha agar tempat tidurnya dilapisi empat lembar kain, permintaan agar makanan itu dikubur, dan lain sebagainya.

Hipotesa ini juga menyingkap kemungkinan lain yaitu sarana transportasi yang digunakan oleh Sang Buddha untuk pergi ke Kusinara dan ranjang kemangkatan-Nya. Sukaramaddava, apapun sifat dasarnya, sepertinya bukanlah penyebab langsung dari penyakit Beliau. Sang Buddha wafat bukan karena keracunan makanan. Melainkan, karena porsi makan, yang relatif terlalu besar untuk saluran pencernaan-Nya yang sudah bermasalah. Porsi makan inilah yang memicu serangan infarksi mesenterika kedua yang mengakhiri hidup-Nya.

-Demikian-

Catatan:
Dr. Bhikkhu Mettanando merupakan seorang Bhikkhu Thailand yang telah mengajar meditasi selama lebih dari tiga puluh tahun. Beliau mendapatkan S1 untuk sains dan gelar dokter dari Universitas Chulalongkorn, Thailand, dan menguasai bahasa Sanskerta dan kebudayaan agama India kuno berkat gelar Master yang diperolehnya dari Universitas Oxford. Beliau juga mendapat gelar Master Theologi dari Havard Divinity School dan PhD. dari Universitas Hamburg, Jerman. Tesisnya difokuskan pada Meditasi dan Penyembuhan dari Tradisi Theravada di Thailand dan Laos. Saat ini mengajar Agama Buddha dan Meditasi di Universitas Chulalongkorn dan Universitas Assumption, juga aktif di bidang pengobatan alternatif dalam hospice and palliative care, dan mengajar etika medis pada dokter dan perawat Thailand maupun secara internasional.

D II: Dīgha Nikāya II
Sumber: Bangkok Post, 15 Mei 2001

Judul asli: How Buddha Died

Oleh: Dr. Bhikkhu Mettanando

Diterjemahkan oleh: Bhagavant.com
















1 komentar:

  1. Hmmm.... menarik juga krn bisa lbh mendalam .... bgs untuk memperdalam.... good...good....

    BalasHapus