Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Selasa, 24 Desember 2013

Hinayana, Sebuah Mitos Kuno



 Hinayana, Sebuah Mitos Kuno

Beberapa di antara kita mungkin sering mendengar bahkan mungkin ada yang menggunakan istilah Hinayana (Sanskerta: Hīnayāna). Ada yang berpendapat bahwa Hinayana adalah salah satu aliran/sekte atau tradisi dari Buddhisme yang berarti Kendaraan Kecil. Dan ada yang berpendapat bahwa aliran Hinayana adalah aliran Theravāda. Dan ada juga yang berpendapat bahwa Hinayana berarti kendaraan berkapasitas kurang? Benarkah demikian ? Mari kita ulas.

Kerancuan

Kita semua pasti sependapat bahwa pada masa kehidupan Sang Buddha tidak ada sekte atau aliran dalam Buddhisme. Apa yang diajarkan Sang Buddha pada saat itu hanyalah disebut Dhamma dan Vinaya. Oleh karena itu tidak mungkin aliran yang bernama Hinayana itu ada pada masa itu. Tetapi di antara abad ke-1 SM sampai abad ke-1 M istilah Mahāyāna dan Hīnayāna muncul dalam Saddharma Pundarika Sutra Atau Sutra Lotus. Istilah ini terdapat pada bab 3 dari Sutra Lotus. Ini menjadi hal yang menarik. Jika pada masa kehidupan Sang Buddha tidak ada sekte atau aliran dalam Buddhisme, mengapa terdapat istilah Mahāyāna dan Hīnayāna dalam Sutra Lotus yang dikatakan dibabarkan sendiri oleh Sang Buddha? Mengacu pada aliran manakah Hīnayāna ini? Theravāda-kah?

Pada masa sekarang terjadi kerancuan dalam umat Mahāyāna ataupun Vajrayāna di dalam menggunakan istilah Hīnayāna. Mereka menerapkan istilah Hīnayāna dengan tiga cara penggunaan yang berbeda, yaitu:

  1. Dalam pemahaman sejarah; aliran Pra-Mahāyāna di anggap sebagai Hīnayāna.
  2. Theravāda modern dianggap sebagai Hīnayāna.
  3. Istilah Hīnayāna digunakan sebagai bagian internal dari ajaran Mahāyāna.

Mari kita lihat lebih dekat tiga cara penggunaan tersebut.
  1. Beberapa orang menyatakan bahwa kata Hīnayāna adalah sebagai istilah untuk mengacu pada aliran lebih awal dari  Buddhisme dan penggunaan istilah ini hanya digunakan pada masa lalu saja. Hal Ini tidaklah benar. Ternyata penggunaan istilah Hīnayāna tidak hanya ditemukan dan digunakan pada masa lalu saja tetapi juga dapat ditemukan di beberapa karya referensi modern dan dalam kepustakaan spesial lainnya, sebagai contoh dapat ditemukan di Buddhist Philosophy In Theory and Practice, H.V. Guenther, yang mengutip sebuah karya Tibet dari abad ke-18 dan 20.
  2. Sebagai contoh mengenai kerancuan Theravāda yang dianggap sebagai Hīnayāna, terdapat dalam kutipan Bibliografi Jane Hope (Jane Hope pernah belajar kepada Chögyam Trungpa Rinpoche), Buddha for beginners, dicetak tahun 1995, berikut terjemahan dari versi Norwegia dari kutipan tersebut: ”Buddhisme Hīnayāna. Suatu pengenalan yang baik untuk tradisi Hīnayāna adalah ’What the Buddha Taught’, karya Walpola Rahula … Berasal dari sudut pandang masa sekarang dan ditulis oleh dua orang Barat yang berlatih tradisi Theravāda, adalah… Seeking the Heart of Wisdom, oleh Joseph Goldstein & Jack Kornfield …
  3. Sekarang untuk kerancuan yang kuat, terdapat dalam Buddhisme Tibet. Beberapa orang mengatakan bahwa Hinayana dan Mahayana pada awalnya adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan dua sikap spiritual yang berbeda, dan dikutip dari Bab ke-7 (“Loving Kindness and Compassion“) dari karya Tibet klasik, The Jewel Ornament of Liberation, yang ditulis pada abad ke-10, dimana penulis, Jé Gampopa mengacu Hīnayāna sebagai “kapasitas sedikit” (“theg pa dman pa“). Paragrafnya terbaca sebagai berikut: “Berhubungan dengan kebaikan diri atas kedamaian semata (1) menandakan suatu sikap kapasitas yang rendah (2) dimana keinginan untuk menghapus penderitaan hanya dipusatkan pada dirinya sendiri. Dengan penghindaran penghargaan terhadap orang lain ini maka hanya ada sedikit pengembangan akan kepedulian terhadap yang lain. [...] Ketika Kasih Sayang dan Belas Kasih menjadi satu, begitu banyak rasa keperdulian terhadap kesadaran makhluk-makhluk lain sehingga seseorang tidak bisa hanya membebaskan dirinya sendiri saja. [...] Guru Manjushrikirti pernah mengatakan: ’Pengikut Mahāyāna seharusnya tidak tanpa memiliki kasih sayang dan belas kasih meskipun sekejap saja’, dan’bukanlah kemarahan dan kebencian tetapi kasih sayang dan belas kasih-lah yang bersedia memberikan kesejahteraan orang lain’.”

Catatan kaki pada bagian buku ini adalah sebagai berikut:

(1) Kata zhi ba dalam bahasa Tibet berarti ”damai”(peace). Kata ini diterjemahkan sebagai ”kedamaian semata” (mere peace), karena kata ini digunakan oleh Gampopa untuk menunjukkan hubungan kedamaian tanpa belas kasih yang merupakan hasil dari pengembangan meditasi konsentrasi semata saja.

(2) Hīnayāna: ”kapasitas sedikit” sering diterjemahkan sebagai ”kendaraan kecil”. Istilah ini menyiratkan kemampuan untuk membawa beban. Dalam kasus ini beban tersebut adalah diri sendiri sejak seseorang berkomitmen untuk membawa diri sendiri pada pembebasan sendiri, bukan semua orang (dalam hal ini Mahāyāna, ”kapasitas besar”).

Masalah dan kerancuan di sini tentunya bukanlah sebuah analisa yang mengacu secara langsung pada kata hīnayāna dalam bahasa Pāli/Sanskerta, tetapi mengacu pada terjemahan bahasa Tibet “theg pa dman pa“. Inilah kunci permasalahannya.

Pengertian Hīnayāna

Kita mulai dengan pengertian dari kata hinayana. Kata hinayana bukanlah berasal dari bahasa Tibet, bukan berasal dari bahasa China, Inggris ataupun Bantu, tetapi berasal dari bahasa Pāli dan Sanskerta. Oleh karena itu, satu-satunya pendekatan yang masuk akal untuk menemukan arti dari kata tersebut, adalah mempelajari bagaimana kata hinayana digunakan dalam teks Pāli dan Sanskerta.

Kata hīnayāna (hiinayaana) berasal dari 2 kata, yaitu ”hīna” dan ”yāna”. Kata ”yāna” berarti kendaraan, tidak ada yang berselisih paham mengenai kata ini. Sedangkan beberapa orang mengatakan kata ”hīna” adalah lawan dari kata ”mahā”. Padahal bila kita menengok bahasa Sanskerta maupun bahasa Pāli, lawan kata dari kata ”mahā” yang berarti besar bukanlah ”hīna” tetapi kata “cūḷa” (cuula) yang berarti ”kecil”. Lalu apakah arti kata ”hīna”? Kata ”hīna” sendiri berarti rendah, buruk, amoral. Hal ini dapat dibuktikan dengan kata ”hina” dalam kosakata bahasa Indonesia yang sedikit banyak dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta.

Selain itu, di dalam kitab Pāli, dimana setiap Buddhis tentu tahu kotbah pertama Sang Buddha yaitu Dhammacakkappavattana Sutta, sebuah kotbah yang disampaikan kepada lima petapa yang menjadi lima bhikkhu pertama, di dalamnya terdapat kata ”hīna”. Sang Buddha bersabda: ”Dua pinggiran yang ekstrim, O para bhikkhu, yang harus dihindari oleh seseorang bhikkhu (yang meninggalkan keduniawian). Pinggiran ekstrim pertama ialah mengumbar napsu-napsu, kemewahan, hal yang rendah (hīna), kasar, vulgar, tidak mulia, berbahaya…

Mengingat bahwa sutta memiliki gaya yang sering mengunakan kata-kata yang bersinonim, sehingga saling menguatkan dan menjelaskan satu sama yang lain, maka dalam hal ini dapat dilihat bahwa, kasar, vulgar, tidak mulia, berbahaya adalah sebagai definisi pelengkap dari kata ”hīna”.

Di sini Sang Buddha menunjukkan dengan jelas bahwa jalan yang harus dihindari untuk dilatih merupakan sesuatu yang hīna.

Dalam teks Pāli dan komentar lainnya, hīna sering digunakan dalam kombinasi kata hīna-mājjhima-paṇīta, yaitu : buruk – menengah – baik. Dalam konteks hīna-majjhima-paṇīta (atau kadang hanya hīna- paṇīta), kata ”hīna” selalu digunakan sebagai suatu istilah untuk kualitas yang dihindari seperti kebencian, keserakahan, dan kegelapan batin. Hal ini jelas bahwa kata ”hīna” berarti ”rendah, yang harus dihindari, tercela”, dan bukannya ”kecil” atau ”kurang”.

Sekarang dalam teks Sanskerta. Dalam Lalitavistara kita dapat menemukan versi Dhammacakkappavattana Sutta, dimana kata ”hīna” digunakan tepat seperti kutipan dalam sutta versi Pāli.

Dalam Mahayanasutralankara karya Asaṅga, yang mewakili seluruh teks Mahāyāna, kita menemukan sesuatu yang menarik bagi pertanyaan kita. Asaṅga mengatakan: ”Ada tiga kelompok manusia: hīna-madhyama-vishishta…(buruk-menengah-terbaik).” Ungkapan ini sesuai dengan teks Pāli: hīna-majjhima-paṇīta, dan ini menunjukkan bahwa umat Mahāyāna yang menggunakan istilah ”hīnayāna”, melihat ”hīna” sebagai istilah penjelekkan (penghinaan), dengan arti yang sama seperti dalam teks Pāli.

Teks yang sangat menarik yaitu edisi dari Catushparishatsutra dimana teks tersebut di tampilkan dalam 4 kolom sejajar: terjemahan Sanskerta, Pāli (Mahāvagga), Tibet dan Jerman yang berasal dari versi bahasa China. Di sini, kembali, kita menemukan Dhammacakkappavattana Sutta. Kita telah melihat terjemahannya dalam bahasa Sankerta dan Pāli. Versi Jerman dari bahasa China mengatakan: “Erstens: Gefallen zu finden an und anzunehmen die niedrigen und üblen Sitten der gewöhnliche Personen …” Sedikit kurang jelas apakah kata “niedrigen” (rendah, tercela) atau kata “üblen” (jahat, buruk) yang berhubungan dengan ”hīna”. Tapi pada akhirnya, jelas bahwa konotasi yang sangat negatif dari kata ”hīna” telah terbawa ke dalam terjemahan bahasa China.

Dalam kolom terjemahan bahasa Tibet, kita menemukan kata Tibet “dman-pa” berhubungan dengan kata ”hīna” dalam bahasa Sanskerta, sesuai dengan kutipan Jé Gampopa di atas. Dan di sini kita memiliki penyebab dari kerancuan dan kesalahpahaman selanjutnya atas istilah hīnayāna. Mari kita lihat kamus bahasa Tibet-Inggris tentang “dman-pa“: Kamus Sarat Chandra Das mengatakan : ” dman-pa: sedikit (Inggris: low) mengacu pada kuantitas atau kualitas, kecil (Inggris: little)”. Kamus Jäschke bahkan lebih menjelaskan: “dman-pa“: 1. sedikit (Inggris: low), mengacu pada kuantitas, kecil (Inggris: little). 2. mengacu pada kualitas: acuh tak acuh (indifferent), hina/buruk (Inggris: inferior) (Sanskerta: hīna).”

Berdasarkan hal itu nampaknya kata hīna dalam bahasa Sanskerta, tanpa diragukan lagi berarti ”kualitas rendah/buruk” yang diterjemahkan dalam bahasa Tibet sebagai ”dman-pa” memiliki dua arti yaitu ”kualitas rendah” dan ”kuantitas sedikit”. Dan petikan dari Jé Gampopa di atas nampaknya mengindikasikan bahwa banyak orang Tibet untuk selanjutnya membaca pada arti yang terakhir dari kedua arti tersebut sebagai ”kapasitas sedikit”, ”kapasitas kecil”, jadi artinya mengalami distorsi dari ”kualitas rendah/buruk” menjadi ”kuantitas sedikit ”.

Dengan demikian kita melihat bahwa kerancuan timbul dari fakta bahwa kata ”dman-pa” memiliki dua arti dalam bahasa Tibet. Hīnayāna – semula berarti ”kendaraan kualitas buruk.” – yang kemudian memiliki arti baru ”kendaraan kapasitas rendah”. Tapi hal ini berasal dari cara yang salah. Tentu adalah sebuah kesalahan menerapkan suatu arti dalam bahasa Tibet yang baru ke dalam bahasa Sanskerta/Pāli, dan mengatakan, ”Inilah arti dari Hīnayāna, karena inilah bagaimana para Guru di Tibet menjelaskannya.” Apa yang para Guru Tibet jelaskan adalah kata ”dman-pa” dalam bahasa Tibet, bukan kata hīna dalam bahasa Sanskerta.

Oleh karena itu jelas sudah bahwa seseorang tidak dapat menyatakan bahwa hīnayāna memiliki pengertian yang ”lembut” seperti yang diberikan oleh tradisi Tibet melalui kata ”dman-pa”. Hīnayāna bukanlah bahasa Tibet, tetapi Sanskerta/Pāli, dan memiliki arti yang kasar, arti yang bersifat menghina yang tidak dapat dirubah oleh usaha perlunakkan apapun.

Hīnayāna sebuah aliran Buddhisme?

Di mulai pada Sidang Agung Sangha ke-2 dimana Buddhisme terbagi menjadi dua. Di satu sisi kelompok yang ingin perubahan terhadap beberapa peraturan minor dalam Vinaya (peraturan para bhikkhu), di sisi lain kelompok yang ingin mempertahankan Vinaya apa adanya. Kelompok yang ingin perubahan Vinaya memisahkan diri dan dikenal dengan Mahāsāṃghika yang merupakan cikal bakal Mahāyāna. Sedangkan yang mempertahankan Vinaya disebut Sthaviravāda.

Sidang Agung Sangha ke-3 (abad ke-3 SM), Sidang ini hanya diikuti oleh kelompok Sthaviravāda. Sidang ini memutuskan untuk tidak mengubah Vinaya, dan Moggaliputta Tissa sebagai pimpinan sidang menyelesaikan buku Kathāvatthu yang berisi penyimpangan-penyimpangan dari aliran lain. Saat itu pula Abhidhamma dimasukkan. Setelah itu ajaran-ajaran ini di tulis dan disahkan oleh sidang. Kemudian Y.M. Mahinda (putra Raja Asoka) membawa Tipiṭaka ini ke Sri Lanka tanpa ada yang hilang sampai sekarang dan menyebarkan Buddha Dhamma di sana. Di sana ajaran ini dikenal sebagai Theravāda.

Setelah Sidang Agung Sangha ke-3, Buddhisme terdiri dari 18 aliran yaitu:

(1) Thera-vadino (Sthaviravāda), (2) Vajjiputtaka (Vatsīputrīya), (3) Mahigsasaka (Mahīśāsaka), (4) Dhammuttarika (Dharmottarīya), (5) Bhaddayanika (Bhadrayānīya), (6) Channagarika (Sannāgarika), (7) Sammitiya (Sammitīya), (8) Sabbatthivada (Sarvāstivāda), (9) Dhammaguttika (Dharmaguptaka), (10) Kassapika (Kāśyapīya), (11) Sankantika (Samkrantika), (12) Suttavada (Sautrāntika), (13) Mahasamghika (Mahāsaṃghika), (14) Gokulika, (15) Ekabyoharika (Ekavyāvahārika), (16) Bahulika (Bahuśrutīya), (17) Pannatti-vada (Prajñaptivāda), (18) Cetiya-vada (Caitika).

Banyak hal-hal yang terjadi pada masa itu di India Pusat. Di antaranya adanya beberapa kelompok bhikkhu yang menjalankan Buddha Dhamma secara ekstrim dengan hanya mementingkan intelektual semata dan lupa dengan hal yang utama yaitu praktek dan pengamalan. Kemudian kelompok lain yang memegang prinsip pengamalan mulai melakukan kritik dan menerapkan konsep bodhisatta/bodhisattva, namun mereka pun menjadi ekstrim sehingga menciptakan figur-figur bodhisatta/bodhisattva.

Akhirnya antara abad ke-1 SM sampai abad ke-1 M, muncullah Saddharma Pundarika Sutra dengan istilah hīnayāna dan mahāyāna. Dan sekitar abad ke-2 M, aliran Mahāyāna menjadi nyata dan utuh setelah Nāgārjuna mengembangkan filsafat Sunyata dalam teks kecil yaitu Madhyamakakārikā. Abad ke- 4 M , Asaṅga dan Vasubandhu menulis banyak karya mengenai Mahāyāna.

Dari sejarah yang telah di sampaikan di atas, tidak ada aliran yang bernama Hīnayāna pada 18 aliran Buddhsime terdahulu. Lalu siapa yang dimaksud dengan Hīnayāna dalam Sutra Lotus? Apakah Theravāda? Tidak, ketika Mahāyāna muncul dengan Sutra Lotus-nya, Theravāda yang dulunya bernama Sthaviravāda telah ”hijrah” atau ”beremigrasi” ke Sri Lanka dan ketika perdebatan Mahāyāna-Hīnayāna terjadi, sukar untuk menghitung aliran mana yang mendominasi di India Pusat. Aliran tua yang sangat berpengaruhi saat itu adalah Sarvāstivāda, jadi mungkin saja aliran ini, tapi sukar dikatakan jika hanya aliran ini saja yang merupakan target satu-satunya dari ejekan “Hīnayāna”.

Sekarang Sarvāstivāda dan aliran-aliran Buddhisme lain di India Pusat yang ada pada saat itu sudah lama mati, kecuali Theravāda. Tidak bisa dipastikan siapa sebenarnya Hīnayāna itu. Hīnayāna itu tidak ada. Hinayana hanyalah sebuah mitos.

Istilah hīnayāna yang berkonotasi negatif ini hanya bisa dipastikan sebagai suatu kritikan bahkan ejekan untuk aliran terdahulu yang masih ada pada waktu itu yang melakukan hal yang tidak sesuai Dhamma dan Vinaya seperti misalnya hanya mementingkan intelektual semata dan lupa dengan hal yang utama yaitu praktek dan pengamalan. Istilah ”hīnayāna” tidak lain juga merupakan bentuk defensive kelompok Mahāyāna terhadap kritikan dari aliran lama yang mengkritik umat Mahāyāna, khususnya mengenai penciptaan sutra-sutra baru dan ”penempaan” sabda-sabda Sang Buddha. Demikianlah mengapa istilah hīnayāna mendapat sebutan ”miring” sebagai aliran yang mementingkan pribadi. Dan istilah ”hīnayāna” ini terus berlangsung dan dipegang oleh beberapa umat Mahāyāna dan Vajrayāna untuk menamai aliran/sekte di luar Mahāyāna dan Vajrayāna.

Pada tahun 1950, World Fellowship of Buddhists dalam World Council di Colombo telah menyepakati bersama bahwa istilah hīnayāna harus disingkirkan dari penamaan terhadap aliran lain. Dan sangat disayangkan jika dewasa ini masih ada yang memegang mitos ini sampai sekarang.
-Selesai-

Kepustakaan:
The Myth of Hinayana – Kare A. Lie
Theravada – Mahayana Buddhism
– Ven. Dr. W. Rahula
Two Main Schools of Buddhism – Ven. K. Sri Dhammananda
The Sects of the Buddhists, T. W. Rhys Davids, The Journal of the Royal Asiatic Society,1891
The Lotus Sutra – Soothill And Kern

Disusun oleh: Bhagavant.com

Senin, 23 Desember 2013

Bagaimana Sang Buddha Wafat




 Bagaimana Sang Buddha Wafat

Selama hari Vesak (Waisak), kita telah diberitahu bahwa hari itu juga merupakan hari dimana Sang Buddha mencapai Parinibbana. Tetapi tidak banyak orang mengetahui bagaimana Sang Buddha wafat. Teks-teks kuno menampilkan dua kisah tentang wafatnya Sang Buddha. Apakah wafatnya Sang Buddha direncanakan dan merupakan kehendak Sang Buddha, atau apakah karena keracunan makanan, atau ada hal lain yang berkaitan satu sama dengan yang lain? Inilah jawabannya.


Mahāparinibbāna Sutta, yang merupakan kotbah panjang dalam Tipitaka Pali, tidak diragukan lagi merupakan sumber yang paling dapat dipercaya untuk perincian atas wafatnya Siddhattha Gotama (563-483 SM), Sang Buddha. Mahāparinibbāna Sutta disusun dalam bentuk naratif yang membiarkan para pembaca untuk mengikuti kisah hari-hari terakhir Sang Buddha, yang dimulai dari beberapa bulan sebelum Beliau wafat.

Walaupun demikian, untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi terhadap Sang Buddha adalah suatu hal yang tidak sederhana. Sutta, atau kotbah, melukiskan dua kepribadian Sang Buddha yang saling bertolak belakang, yang satu mengesampingkan yang lainnya.

Kepribadian Sang Buddha yang pertama adalah sebagai pembuat keajaiban yang menyeberangkan diri-Nya dan rombongan para bhikkhu ke seberang Sungai Gangga (D II, 89), Yang dengan mata batin melihat keberadaan para dewa di atas bumi (D II, 87), Yang dapat hidup sampai akhir dunia dengan syarat seseorang mengundang-Nya untuk melakukan hal itu (D II, 103), Yang menentukan waktu kemangkatan-Nya (D II, 105), dan Yang kemangkatan-Nya dimuliakan dengan hujan bunga surgawi, serbuk kayu cendana dan musik surgawi (D II, 138).

Kepribadian Sang Buddha yang lainnya adalah sebagai layaknya makhluk berusia lanjut yang jatuh sakit (D II, 120), Yang hampir kehilangan hidup-Nya karena sakit yang teramat sangat selama masa vassa-Nya (retreat musim hujan) yang terakhir di Vesali (D II, 100), dan Yang harus menghadapi penyakit dan kemangkatan-Nya yang tak diduga-Nya setelah mengkonsumsi hidangan khusus yang ditawarkan oleh penjamu-Nya yang dermawan.

Dua kepribadian ini bergantian muncul dalam bagian-bagian yang berbeda dari cerita naratif tersebut. Lebih dari itu, di dalamnya juga nampak dua penjelasan mengenai penyebab mangkatnya Sang Buddha : Yang pertama, kemangkatan Sang Buddha disebabkan oleh pengiring-Nya, Ananda, yang gagal mengundang Sang Buddha untuk tetap hidup sampai akhir dunia atau bahkan lebih lama dari itu (D II, 117). Yang kedua adalah bahwa Sang Buddha mangkat karena sakit yang mendadak yang dimulai setelah Beliau makan makanan yang dikenal sebagai “Sukaramaddava” (D II, 127-157).

Kisah yang pertama mungkin suatu legenda, atau hasil dari suatu pergumulan politik di dalam komunitas Buddhis selama tahap transisi, sedangkan kisah yang terakhir terdengar lebih realistis dan akurat dalam menggambarkan situasi kehidupan nyata yang terjadi di dalam hari-hari terakhir Sang Buddha.

Sejumlah studi telah memusatkan perhatian pada asal-muasal hidangan khusus yang dimakan oleh Sang Buddha selama makanan terakhir-Nya sebagai penyebab kemangkatan-Nya. Bagaimanapun juga, ada pendekatan lain yang didasarkan pada deskripsi tentang gejala-gejala dan tanda-tanda yang diberikan dalam Sutta, yang bisa dijelaskan oleh pengetahuan medis modern.

Dalam salah satu lukisan dinding yang berada di Wat (Vihara) Ratchasittharam, Sang Buddha dalam keadaan mendekati ajal-Nya, tetapi Beliau masih menyempatkan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh petapa Subhadda, yang menjadi siswa terakhir-Nya, yang setelah ditahbis menjadi anggota sangha, kemudian menjadi seorang Arahat.

Apa yang kita ketahui

Dalam Mahāparinibbāna Sutta, kita diberitahukan bahwa Sang Buddha menderita sakit secara tiba-tiba setelah Beliau memakan suatu hidangan khusus yang lezat, Sukaramaddava, yang secara harafiah diterjemahkan sebagai “daging babi lunak”, yang telah disiapkan oleh penjamu dermawan-Nya, Cunda Kammaraputta. Nama dari hidangan tersebut menarik perhatian dari banyak sarjana, dan hal itu menjadi fokus dari riset akademis terhadap asal muasal makanan hidangan atau bahan baku yang digunakan di dalam memasak hidangan khusus ini.

Sutta tersebut sendiri selain memberikan detil-detil yang berkaitan dengan tanda-tanda dan gejala-gejala dari penyakit Sang Buddha, juga menyertakan beberapa informasi yang dapat diandalkan mengenai keadaan Sang Buddha selama empat bulan sebelumnya, dan uraian ini juga sangat berarti secara medis.

Sutta tersebut di awali dengan rencana Raja Ajatasattu untuk menaklukkan negara saingannya, kerajaan Vajji. Sang Buddha melakukan perjalanan ke Vajji untuk menjalankan vassa (retret musim hujan) terakhir-Nya. Saat vassa inilah Beliau jatuh sakit. Gejala dari penyakiNya adalah tiba-tiba dan sakit yang teramat sangat.

Namun, sutta tersebut tidak memberikan gambaran atas letak dan karakter dari sakit-Nya tersebut. Sutta menyebutkan penyakit-Nya secara singkat, dan mengatakan bahwa sakitnya sangat keras, dan hampir membunuhnya.

Sesudah itu, Sang Buddha dikunjungi oleh Mara, Dewa Kematian, yang mengundang Beliau untuk mangkat. Sang Buddha tidak menerima undangan dengan segera. Hanya setelah Ananda, pengiring-Nya, gagal untuk mengenali isyarat yang diberikan-Nya mengenai kemangkatan Beliau. Sepotong pesan ini, meskipun terkait erat dengan mitos dan hal supernatural, memberikan kita beberapa informasi medis yang sangat berarti. Saat sutta ini disusun, penulisnya berada dalam keadaan terkesan bahwa Sang Buddha wafat bukan oleh karena makanan yang Beliau makan, tetapi dikarenakan Beliau telah memiliki penyakit yang serius dan akut serta memiliki gejala-gejala yang sama dengan penyakit yang pada akhirnya membuat-Nya mangkat.

Waktu Peristiwa

Umat Buddha tradisi Theravada berpegang pada asumsi bahwa Buddha Historis wafat pada malam bulan purnama dalam penanggalan bulan di bulan Vesakha (yang kadangkala jatuh pada bulan Mei sampai Juni). Tetapi waktu tersebut bertolak belakang dengan informasi yang terdapat dalam Sutta, dimana secara jelas bahwa Sang Buddha segera mangkat setelah masa vassa (retreat musim hujan), kemungkinan besar adalah pada musim gugur atau pertengahan musim dingin, yaitu antara bulan November hingga Januari.

Uraian tentang keajaiban akan mekarnya daun-daun dan bunga-bunga pada pohon-pohon sala ketika Sang Buddha berbaring di antaranya, menunjukkan periode waktu yang diberikan dalam sutta.

Bagaimanapun juga, musim gugur dan musim dingin adalah musim yang tidak cocok untuk pertumbuhan jamur, yang menurut beberapa sarjana dipercaya sebagai sumber racun yang dimakan Sang Buddha selama memakan makanan terakhir-Nya.

Diagnosa

Sutta tersebut menceritakan kepada kita bahwa Sang Buddha jatuh sakit dengan seketika setelah menyantap Sukaramaddava. Karena kita tidak mengetahui segalanya tentang sifat dasar makanan ini, menjadi sukar bagi kita untuk mengatakannya sebagai penyebab langsung dari penyakit Sang Buddha. Tetapi dari uraian yang diberikan, diketahui bahwa serangan penyakit tersebut berlangsung cepat.

Ketika menyantap, Sang Buddha merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan makanan itu dan Beliau menyarankan penjamu-Nya untuk menguburkan makanan tersebut. Segera setelah itu, Sang Buddha menderita sakit perut yang parah dan mengeluarkan darah dari rektum-Nya.

Masuk akal untuk kita mengasumsikan bahwa penyakit itu dimulai ketika Sang Buddha sedang menikmati makanan-Nya, sehingga membuat-Nya berpikir bahwa ada sesuatu yang salah dengan makanan yang tidak familiar itu. Karena kasih sayang-Nya kepada orang lain, maka Beliau sarankan agar makanan itu dikubur.

Apakah makanan yang beracun sebagai penyebab dari penyakit itu? Sepertinya tidak demikian. Gejala-gejala yang diuraikan tersebut tidak mengindikasikan keracunan makanan, yang bisa sangat akut , tetapi dapat dipastikan menyebabkan diare dengan darah. Umumnya, makanan beracun disebabkan oleh bakteri yang tidak segera membelah diri, tetapi mengalami suatu masa inkubasi selama dua sampai 12 jam untuk membelah diri, umumnya disertaii bahan kimia beracun menjad dengan diare dan muntah-muntah yang akut, bukan dengan pendarahan.

Kemungkinan yang lain adalah bahan kimia beracun, yang juga memiliki efek cepat, tetapi bukanlah hal yang biasa bagi penyebab pendarahan usus yang sangat parah. Makanan yang beracun dengan pendarahan usus langsung hanya bisa disebabkan oleh bahan kimia yang bersifat menghancurkan (korosif) seperti asam cuka yang keras, yang dapat dengan mudah menimbulkan penyakit seketika. Tetapi bahan kimia yang bersifat menghancurkan tersebut sudah pasti akan menyebabkan pendarahan pada usus bagian atas, yang menimbulkan muntah darah. Tidak satu pun tanda-tanda parah tersebut disebutkan dalam teks.

Penyakit-penyakit radang dinding lambung juga dapat diabaikan dari daftar penyakit tersebut. Meskipun faktanya bahwa penyakit ini menyerang dengan cepat, penyakit ini jarang diikuti oleh kotoran (feces) berdarah. Radang lambung dengan pendarahan usus menghasilkan kotoran berwarna hitam ketika radang menembus suatu pembuluh darah. Tukak pada saluran pencernaan yang lebih atas akan lebih memungkinkan mengakibatkan muntah darah, bukan pendarahan melalui rektum.

Bukti lain yang menyangkal kemungkinan ini adalah seorang pasien dengan radang lambung yang besar pada umumnya tidak mempunyai selera makan. Dengan menerima undangan untuk makan siang bersama sang penjamu, kita dapat berasumsi bahwa Sang Buddha merasa sesehat yang dirasakan orang manapun yang berada di awal usia 80-Nya. Dengan usia-Nya yang demikian, kita tidak bisa mengesampingkan kemungkinan bahwa Sang Buddha tidak mempunyai suatu penyakit kronis, seperti TBC atau kanker atau suatu infeksi/peradangan tropis seperti penyakit tipus atau disentri, yang sangat lazim di jaman-Nya.

Penyakit-penyakit ini bisa mengakibatkan pendarahan usus bawah, tergantung pada letaknya. Penyakit-penyakit ini juga sesuai dengan sejarah dari penyakit awal Sang Buddha sepanjang masa vassa (retreat musim hujan). Tetapi penyakit-penyakit ini dapat dikesampingkan, karena pada umumnya penyakit-penyakit ini diikuti oleh gejala lain, seperti kelesuan, hilangnya selera makan, penurunan berat badan, busung atau buncit pada perut bagian bawah (abdomen). Tidak satu pun gejala tersebut di sebutkan dalam sutta.

Wasir besar dapat menyebabkan pendarahan parah pada daerah pembuangan, tetapi sepertinya wasir mustahil dapat menyebabkan sakit yang sangat parah pada perut bagian bawah (abdomen) kecuali jika tersumbat. Tetapi hal itu akan sangat mengganggu perjalanan Sang Buddha ke rumah penjamu-Nya, dan jarang sekali pendarahan wasir disebabkan oleh makanan.

Infarksi Mesenterika (Mesenteric Infarction)

Penyakit yang sesuai dengan gejala-gejala yang yang telah dideskripsikan, yang disertai rasa sakit hebat pada perut bagian bawah (abdominal) dan mencret darah, umumnya ditemukan pada orang-orang usia lanjut, dan dipicu oleh makanan adalah infarksi mesenterika/mesenteric infarction (terganggunya jaringan pembuluh darah sekita usus), yang disebabkan oleh tersumbatnya pembuluh darah di mesenteri. Hal ini sangat mematikan. Iskemia Mesenterika akut (berkurangnya suplai darah ke mesenteri)adalah suatu kondisi yang parah dengan resiko kematian yang tinggi.

Mesenteri adalah bagian dari dinding usus yang mengikat keseluruhan bidang usus sampai rongga abdominal. Terhambatnya suplai darah di sekitar usus biasanya menyebabkan kematian pada jaringan tisu di bagian besar dari saluran usus bagian akhir (intestinal tract), yang akan mengakibatkan luka sayatan pada dinding saluran usus bagian akhir.

Secara normal hal ini menghasilkan sakit yang teramat sangat pada perut bagian atas (abdomen) dan mencret darah. Pasien pada umumnya meninggal karena kekurangan darah yang sangat parah. Kondisi ini sesuai dengan informasi yang diberikan dalam sutta. Hal ini juga dikuatkan kemudiannya ketika Sang Buddha meminta Ananda untuk mengambil sedikit air untuk-Nya untuk diminum, yang menandakan Beliau sangat haus.

Seperti yang dikisahkan, Ananda menolak, karena Ananda tidak menemukan sumber air bersih. Ananda berargumen dengan Sang Buddha bahwa aliran sungai yang terdekat telah dikeruhkan oleh rombongan kereta besar. Tetapi Sang Buddha meminta Ananda dengan tegas untuk mengambil air bagaimanapun juga.
Sebuah pertanyaan muncul pada poin ini: Mengapa Sang Buddha tidak pergi sendiri saja ke sumber air, daripada mendesak Ananda yang enggan untuk melakukannya? Jawabannya sederhana. Sang Buddha sedang menderita syok yang disebabkan oleh kehilangan banyak darah. Beliau tidak mampu berjalan lagi, dan dari saat itu sampai ke tempat peristirahatan terakhir-Nya Beliau hampir dapat dipastikan berada dalam tandu.

Jika situasinya memang demikian, sutta tidak mengisahkan tentang perjalanan Sang Buddha ke peristirahatan terakhirnya, kemungkinannya karena si penulis merasa bahwa hal itu akan memalukan Sang Buddha. Secara geografis, kita mengetahui bahwa jarak antara tempat yang di percaya sebagai rumah Cunda dengan tempat dimana Sang Buddha mangkat adalah sekitar 15 sampai 20 kilometer. Tidaklah mungkin bagi seorang pasien penderita penyakit yang mematikan seperti itu untuk berjalan kaki dengan jarak seperti itu.

Lebih memungkinkan, apa yang terjadi adalah Sang Buddha dibawa dalam sebuah tandu oleh sekelompok bhikkhu ke Kusinara (Kushinagara).

Yang menjadi point perdebatan adalah apakah Sang Buddha benar-benar bertekad untuk mangkat di kota ini (Kusinara), mengingat bahwa kota ini diperkirakan tidak lebih besar dari dari sebuah kota kecil. Dari arah perjalanan Sang Buddha yang diberikan dalam sutta, Beliau menuju ke utara dari Rajagaha. Ada kemungkinan Beliau tidak berniat untuk mangkat di sana, tetapi di kota tempat kelahiran-Nya dimana membutuhkan waktu tiga bulan untuk sampai ke sana.

Dari sutta, sudah jelas bahwa Sang Buddha tidak mengantisipasi penyakit mendadak-Nya, jika tidak, Beliau tidak akan menerima undangan penjamu-Nya. Kusinara mungkin merupakan kota yang terdekat dimana Beliau bisa menemukan seorang dokter untuk merawat diri-Nya. Tidaklah sukar untuk membayangkan sekelompok bhikkhu dengan terburu-buru membawa Sang Buddha di atas sebuah tandu menuju ke kota yang terdekat untuk menyelamatkan hidup-Nya.

Sebelum mangkat, Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda untuk tidak menyalahkan Cunda atas kemangkatan-Nya dan Beliau mangkat bukan disebabkan memakan Sukaramaddava. Pernyataan ini sangat penting. Makanan tersebut bukanlah penyebab secara langsung atas kemangkatan-Nya. Sang Buddha mengetahui bahwa gejala penyakit yang muncul merupakan gejala yang pernah Beliau alami beberapa bulan lebih awal, yang telah hampir membunuh-Nya.

Sukaramaddava, apapun bahannya ataupun cara memasaknya, bukanlah penyebab langsung dari penyakit mendadak-Nya.

Tahapan perkembangan penyakit

Infarksi Mesenterika adalah suatu penyakit yang biasanya ditemukan di antara orang lanjut usia, disebabkan oleh penyumbatan pada pembuluh darah utama yang menyuplai bagian tengah dinding saluran usus kecil bagian akhir dengan darah. Penyebab yang paling umum dari penyumbatan ini adalah melemahnya dinding pembuluh darah (vessel), pembuluh darah besar mesenterika, yang menyebabkan sakit yang teramat sangat pada perut bagian atas (abdomen), yang juga dikenal sebagai abdominal angina (keram perut).

Secara normal, rasa sakit dipicu oleh makanan yang berat (besar), yang memerlukan aliran darah lebih tinggi ke saluran pencernaan. Ketika penyumbatan terjadi, saluran usus kecil kehilangan persediaan darahnya , yang kemudian terjadi hambatan suplai darah, atau mati rasa setempat (gangrene), pada bagian saluran usus akhir (intestinal tract). Hal ini pada gilirannya mengakibatkan luka sayatan pada dinding saluran usus akhir, pendarahan yang sangat dalam pada saluran usus akhir, dan kemudian diare berdarah.

Penyakit menjadi tambah parah ketika cairan dan isi usus mengalir ke luar melalui rongga peritoneal, sehingga menyebabkan radang selaput perut atau radang dinding abdominal.

Ini sudah merupakan kondisi yang mematikan bagi si pasien, yang sering kali meninggal karena kehilangan darah dan cairan tubuh lainnya. Jika tidak diperbaikan dengan pembedahan, penyakit ini sering berkembang menjadi syok septik karena masuknya racun-racun bakteri ke dalam aliran darah.

Analisis Retrospektif (kebelakang)

Dari hasil diagnosa tersebut di atas, kita dapat lebih memastikan bahwa Sang Buddha menderita infarksi mesenterika yang disebabkan oleh penyumbatan pada arterial mesenterika superior. Inilah penyebab rasa sakit yang hampir saja merenggut ajal Beliau beberapa bulan lalu saat vassa (retret) musim hujan terakhir-Nya.

Dengan berkembangnya penyakit itu, sebagian dari selaput lender usus Beliau terkelupas, dan di sinilah yang menjadi asal muasal pendarahan tersebut. Arteriosklerosis, pengerasan dinding pembuluh darah akibat penuaan, merupakan penyebab dari tersumbatnya pembuluh darah, penyumbatan kecil yang tidak akan mengakibatkan diare berdarah, tapi merupakan gejala, yang juga kita kenal sebagai abdominal angina (keram perut).

Beliau mendapat serangan kedua ketika sedangan makan Sukaramaddava. Pada awalnya rasa sakit itu tidak begitu hebat, tapi membuat Beliau merasa adamana ada peluang untuk menemukan dokter atau penginapan untuk memulihkan diri-Nya.

Mungkin benar Sang Buddha menjadi lebih baik setelah minum untuk menggantikan cairan tubuh-Nya yang hilang, dan beristirahat di atas tandu. Pengalaman dengan gejala-gejala yang sama memberitahukan Beliau bahwa penyakit-Nya yang tiba-tiba itu adalah serangan kedua dari penyakit yang sudah ada. Beliau memberitahukan Ananda bahwa bukan makanan itu sebagai penyebab penyakit-Nya, dan Cunda jangan di salahkan.

Pasien yang mengalami goncangan, dehidrasi, dan kehilangan banyak darah biasanya merasa sangat dingin. Inilah sebabnya Beliau meminta pengiring-Nya untuk menyiapkan pembaringan yang dialasi dengan empat lembar Sanghati. Sesuai dengan disiplin keviharaan (Vinaya), Sanghati adalah selembar kain atau seprei, yang diijinkan oleh Sang Buddha untuk dipakai oleh para bhikkhu dan bhikkhuni pada musim dingin.

Informasi ini mencerminkan betapa Sang Buddha merasa dingin karena kehilangan darah-Nya. Secara klinis, tidaklah memungkinkan bagi pasien yang sedang dalam keadaan syok dengan rasa sakit yang hebat di bagian perut, kemungkinan besar mengalami peritonitis atau peradangan pada dinding perut, pucat, dan sedang menggigil kedinginan, untuk bisa berjalan.

Kemungkinan terbesar Sang Buddha diistirahatkan di sebuah penginapan yang terletak di kota Kusinara, di mana Beliau dirawat dan diberi kehangatan. Pandangan ini juga sesuai dengan deskripsi tentang Ananda yang menangis, tidak sadarkan diri, dan berpegangan pada pintu penginapan setelah tahu Sang Buddha akan segera wafat.

Secara normal, pasien yang menderita infarksi mesenterika dapat hidup 10 sampai dengan 20 jam. Dari sutta kita tahu Sang Buddha wafat sekitar 15 sampai 18 jam setelah serangan itu. Selama jangka waktu itu, para pengiring-Nya telah mengusahakan upaya terbaik mereka untuk menyamankan Beliau, misalnya, dengan menghangatkan kamar istirahat-Nya, atau dengan meneteskan beberapa tetes air ke mulut Beliau untuk menghilangkan rasa haus-Nya yang terus-menerus, atau dengan memberikan Beliau minuman herbal. Namun kecil sekali kemungkinannya pasien yang sedang mengigil kedinginan akan membutuhkan seseorang untuk mengipasi diri-Nya sebagaimana yang dideskripsikan dalam sutta.

Beliau mungkin silih berganti pulih dari kondisi kelelahan sehingga memungkinkan diri-Nya untuk melanjutkan pembicaraan dengan beberapa orang. Kebanyakan kata-kata terakhir Beliau kemungkinan benar adanya, dan kata-kata tersebut dihafal dari satu generasi bhikkhu ke generasi bhikkhu lainnya hingga ditranskripkan. Tapi pada akhirnya, di malam yang semakin larut, Sang Buddha wafat saat syok septik kedua menyerang. Penyakit Beliau berasal dari sebab-sebab yang alami ditambah usia lanjut, sebagaimana yang bisa menimpa siapa saja.

Kesimpulan

Hipotesa yang secara garis besar di uraikan di atas menjelaskan beberapa kejadian dari kisah di dalam sutta, sebut saja, desakan agar Ananda pergi mengambilkan air, permintaan Sang Buddha agar tempat tidurnya dilapisi empat lembar kain, permintaan agar makanan itu dikubur, dan lain sebagainya.

Hipotesa ini juga menyingkap kemungkinan lain yaitu sarana transportasi yang digunakan oleh Sang Buddha untuk pergi ke Kusinara dan ranjang kemangkatan-Nya. Sukaramaddava, apapun sifat dasarnya, sepertinya bukanlah penyebab langsung dari penyakit Beliau. Sang Buddha wafat bukan karena keracunan makanan. Melainkan, karena porsi makan, yang relatif terlalu besar untuk saluran pencernaan-Nya yang sudah bermasalah. Porsi makan inilah yang memicu serangan infarksi mesenterika kedua yang mengakhiri hidup-Nya.

-Demikian-

Catatan:
Dr. Bhikkhu Mettanando merupakan seorang Bhikkhu Thailand yang telah mengajar meditasi selama lebih dari tiga puluh tahun. Beliau mendapatkan S1 untuk sains dan gelar dokter dari Universitas Chulalongkorn, Thailand, dan menguasai bahasa Sanskerta dan kebudayaan agama India kuno berkat gelar Master yang diperolehnya dari Universitas Oxford. Beliau juga mendapat gelar Master Theologi dari Havard Divinity School dan PhD. dari Universitas Hamburg, Jerman. Tesisnya difokuskan pada Meditasi dan Penyembuhan dari Tradisi Theravada di Thailand dan Laos. Saat ini mengajar Agama Buddha dan Meditasi di Universitas Chulalongkorn dan Universitas Assumption, juga aktif di bidang pengobatan alternatif dalam hospice and palliative care, dan mengajar etika medis pada dokter dan perawat Thailand maupun secara internasional.

D II: Dīgha Nikāya II
Sumber: Bangkok Post, 15 Mei 2001

Judul asli: How Buddha Died

Oleh: Dr. Bhikkhu Mettanando

Diterjemahkan oleh: Bhagavant.com