Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Sabtu, 23 Januari 2010

Pandangan Agama Buddha Tentang Pernikahan



Pandangan Agama Buddha Tentang Pernikahan
Oleh Yang Mulia Bhikkhu Khantidharo




Secara umum perkawinan meruakan masalah yang dihadapi oleh setiap orang, baik anak muda maupun orang tua. Bagi anak muda merupakan teka-teki antara harapan akan kebahagiaan maupun kecemasan atau keragu-raguan yang harus dihadapi pada waktu-waktu mendatang, dalam kehidupan berumah tangga. Sementara itu banyak orang tua yang gelisah karena anaknya sudah cukup umur, tetapi belum juga ada tanda tanda menemukan jodohnya.

Seusia dengan ajaran Sang Buddha, maka setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih cara hidupnya masing-masing. Sang Buddha tidak mewajibkan untuk setiap orang harus mencari pasangan hidupnya. Demikian pula Sang Buddha tidak melarang bagi mereka yang ingin hidup membujang, baik pria maupun wanita. Dengan kata lain kewajiban untuk membangun rumah tangga sebagai suami/istri bukan merupakan kewajiban beragama yang harus dipatuhi. Mereka yang hidup membujang tidak melanggar ketentuan dalam agama Buddha. Tujuan hidup adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahiriah dan batiniah, baik didunia ini maupun di alam-alam kehidupan lainnya, sampai tercapainya Nibbana. Oleh karena itu perkawinan menurut agama Buddha tidak dianggap sebagia sesuatu yang suci ataupun tidak suci.

Perkawinan

Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut: “Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.

Sesuai dengan hukum alam, bahwa tak ada sesuatu yang kekal. Maka dengan demikian tidak ada perkawinan yang bersifat kekal. Oleh karena itu yang dimaksud dengan “kekal” dalam undang-undang tersebut adalah merupakan cita-cita dan harapan yang harus diartikan secara moral. Dalam kenyataannya dapat ditanyakan kepada masing-masing keluarga (Suami/istri), apakah mereka itu sudah bisa mencapai kebahagian dimaksud? Apalagi tentang kekal, tentu tidak akan terwujud karena bertentangan dengan hukum alam itu sendiri. Oleh karena itu kata “kekal” disini berarti kekal yang terbatas, yaitu sampai salah seorang suami/istri meninggal dan tak terjadi perceraian sebelumnya.

Untuk lebih luwes dan sesuai dengan ajaran Sang Buddha, maka pengertian perkawinan akan lebih jelas dikatakan:

“Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami – istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma.”

Sebagai umat Buddha maka agar kita bisa membentuk keluarga bahagia, kita harus mengikuti ajaran Sang Buddha tentang praktik kehidupan yang benar. Dalam Samajivi Sutta, Sang Buddha telah menunjukkan dasar-dasar perkawinan yang harmonis, yang serasi, selaras dan seimbang, yaitu bila suami – istri itu terdapat persamaan atau persesuaian dalam Saddha (keyakinan), Sila (kesusilaan), Caga (kemurahan hati), dan Panna (kebijaksanaan) (Anguttara N. II,62)

Dengan memiliki 4 (empat) faktor yang merupakan pandangan yang sama tersebut diatas, maka suami – istri akan dengan mudah untuk mengemudikan bahtera rumah tangga dengan suasana kehidupan yang penuh harmoni.

Dalam kenyataannya terdapat banyak sekali pasangan suami – istri yang memiliki pandangan hidup yang sama, tidak memiliki sifat atau perangai yang sama. Dengan kata lain kita sangat sedikit menjumpai pasangan suami istri yang harmoni seperti yang dicita-citakan oleh semua orang.

Sehubungan dengan ini maka Sang Buddha menyebutkan beberapa jenis pasangan suami istri yang memiliki sifat sifat:

  • Seorang pria jahat (raksasa/chavo) dengan wanita jahat (raksasi/chava), ini merupakan pasangan yang brengsek.
  • Seorang pria jahat (raksasa/chavo) dengan seorang wanita yang baik (devi), ini merupakan pasangan yang tak seimbang.
  • Seorang pria baik (deva) dengan seorang wanita jahat (raksasa/chava), ini merupakan pasangan yang tak seimbang.Seorang pria baik (deva) dengan seorang wanita baik (devi). Pansangan pria yang baik dengan wanita yang baik atau dikatakan pasangan deva dan devi ini adalah pasangan yang paling harmoni. Pasangan inilah yang dipuji oleh Sang Buddha. (Anuggtara N.II,57)

Sujata adalah menantu Anathapindika yang terkenal sebagai seorang istri yang bengis, kejam dan tak kenal sopan terhadap suami maupun mertuanya. Sewaktu Sang Buddha sedang menguraikan ajarannya setelah menerima dana makan siang di rumah Anathapindika. Sujata marah-marah dan memaki-maki dengan suara yang keras dan kasar kepada pembantunya, sehingga Sang Buddha menghentikan ceramahnya dan bertanya:

“Siapa itu yang marah-marah?”

dan dijawab oleh Anathapindika bahwa dia adalah Sujata, menantunya yang sedang memarahi pembantunya.

Sang Buddha kemudian menyuruh memanggil Sujata untuk menhadap. Ketika Sujata sudah menghadap, maka Sang Buddha berbicara kepada Sujata, bahwa ada 7 (tujuh) jenis istri:


  1. Istri Pembunuh (Vadha-kasama), yaitu seorang istri yang tak kenal belas kasih batinnya kotor, membenci suami, menginginkan pria lain, bahkan berusaha untuk membunuh suaminya.
  2. Istri Perampok (Corisama), yaitu seorang istri yang walaupun seluruh hasil pendapatan suaminya sudah diserahkan pada istrinya, namun istrinya selalu menyembunyikan harta itu untuk kepentingan dirinya sendiri.
  3. Istri Kejam (Ayyasama), yaitu seorang istri yang malas, kaku, rakus, bengis, bicara kasa, suka bergunjing, menguasai siami, boros, memperbudak suami, menjelek-jelekkan siami.
  4. Istri Ibu (Matasama), yaitu seorang istri yang selalu memperhatikan suaminya, bagaikan seorang ibu yang menyayangi putra tunggalnya, menjaga dengan baik baik kekayaan keluarga yang diperoleh suaminya.
  5. Istri Saudara (Bhaginisama), yaitu seorang istri yang memperlakukan suaminya seperti adik terhadap kakak, melayani suaminya dengan sopan dan berbakti dengan penuh lemah lembut.
  6. Istri Sahabat (Sakhisama), yaitu seorang istri yang selalu bersikap riang terhadap suaminya, menyenangi kehadiran suaminya. Bagaikan bertemu sahabat yang telah lama tidak berjumpa. Istri yang berkepribadian anggun dan berbudi luhur, tulus mengadi dan dapat mengarahkan suaminya.
  7. Istri Pembantu (Dasisama), yaitu seorang istri yang bersifat tenang, bebas dari kemarahan. Dengan hati yang tenang bersedia menanggung derita bersama suaminya. Tanpa rasa dendam dan selalu patuh terhadap suaminya. Mendengarkan kata-kata suami dengan rendah hati.

Istri yang termasuk1, 2 dan 3 (pembunuh, pencuri, dan kejam), setelah meninggal akan terlahir kembali di alam yang penuh kesengsaraan. Tetapi istri yang termasuk 4, 5, 6, dan 7 (ibu, saudara, sahahgat dan pembantu), setelah meninggal akan terlahir kembali di dalam yang penuh kebahagiaan.

Inilah tujuh jenis istri itu. Seorang laki-laki yang menikah pasti akan mendapatkan salah satu dari tujuh jenis istri ini. Kemudian Sang Buddha bertanya kepada Sujata,

“Dan kami Sujata, termasuk jenis istri yang mana dirimu?” Dengan batin yang tergugah Sdujata menjawab bahwa mulai saat itu ia akan berusaha untuk menjadi pembantu bagi suaminya. Sejak saat itu, Sujata berubah menjadi istri yang baik. (Angguttara IV, 91 dst.J.269).

Sebaliknya seorang ssuamipun tentu memiliki sifat-sifat salah satu dari 7 jenis istri seperti tersebut diatas. Pasangan siami istri akan merupakan rumah tangga yang brensek, jika memili8ki sifat 1, 2 dan 3 seperti tersebut diatas. Tetapi Pasangan suami istri akan menjadi harmoni kalau terdapat pasangan yang memiliki sifat-sifat seperti tersebut dlam 4, 5, 6 atau 7 di atas. Selanjutnya dalam Sigalovada Sutta, Sang Buddha menguraikan bagaimana kewajiban suami-istri agar bisa menjalin hubungan rumah tangga yang harmoni.

Seorang suami harus memperlakukan istrinya:

  1. Menghormatinya
  2. Ramah tamah dan tidak membenci
  3. Setia
  4. Menyerahkan kekuasan rumah tangga kepada istrinya.
  5. Memberikan hadiah/ perhiasan.

Seorang istri harus memperlakukan suaminya:

  1. Menjalankan kewajiban dengan baik dan bertanggung jawab
  2. Ramah tamah terhadap sanak keluarga dari kedua belah pihak
  3. Setia
  4. Melindungi penghasilan suaminya (tidak boros)
  5. Pandai dan rajin melaksanakan tugasnya.

Perkawinan merupakan paduan keluarga antara dua pihak, yaitu pihak suami dan pihak istri. Oleh karena itu perkawinan yang harmoni akan tercipta jika masing-masing pihak (pihak suami maupun pihak istri) mau menerima dan memperlakukan kehadiran mertua selaku orang tuanya sendiri, serta memperlakukan saudara-saudara dari pihak suami maupun istri (saudara ipar), sebagai saudara kandungnya sendiri. Demikian pula terhadap saudara-saudara serta teman-teman yang lainnya dari masing-masing pihak. Sebaliknya pihak mertua harus mau menerima kehadiran menantu sebagai anak kandungnya sendiri, dan demikian pula bagi saudara-saudara iparnya. Dalam dunia rumah tangga tidak sedikit telah terjadi perceraian dengan mengorbankan anak-anak, hanya karena ikut campirnya atau karena adanya dominasi mertua atau sauara-saudara ipar dalam rumah tangga. Oleh karena itu untuk membangun rumah tangga yang harmoni diperlukan adanya kerelaan berkorban dan saling pengertian antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Pada kenyataannya memang sangat sulit kita menjumpai rumah tangga yang harmoni. Jika dari 10 rumah tangga itu kita bisa jumpai 2 rumah tangga / keluarga yang bisa hidup harmoni, ini merupakan hal yang sangat baik. Tetapi jika dari sepuluh rumah tangga itu ternyata hidupnya kurang harmoni (kalau tidak boleh dikatakan brengsek), maka hal ini merupakan hal yang biasa.

Sekalipun demikian bagi kawula muda tidak perlu takut untuk berumah tangga, karena jodoh itu sebenanya sesuai dengan karma kita masing masing. Pasangan suami istri yang tampaknya tiak sesuai, penih dengan hari-hari cekcok, namun nyatanya anaknya terus lahir. Dalam hal ini kita bisa banyak memperhatikan adanya pasangan suami-istri yang tidak seimbang, namun rumah tangga mereka bisa berjalan lancar, dan banyak yang bisa memdidik anak-anak mereka dengan sukses. Yang dikatakan pasangan atau jodoh itu memang tidak harus sama. Sepasang sepatu atau sandal tidak akan sama. Begitu pula pasangan sendok dan garpu sama sekali tidak sama. Sendok dan garpi hari-hari selalu bertarung diatas piring. Tetapi piring itu tak pernah menjadi pecah. Dan kalau sendok dan garpu itu tidak tarung diats piring maka kita tidak bisa kenyang, karena makan kita tidak bisa tenang. Demikianlah meskipun rumah tangga itu ada yang selalu cekcok, tetapi tak perlu rumah tangga itu harus pecah (cerai). Apakah dengan demikian kita tidak bisa membangun rumah tangga yang bahagia seperti yang kita cita-citakan? Bukan demikian. Hanya untuk membangun rumah tangga yang harmoni itu tidaklah gampang. Karena kunci utamanya ialah kita harus mampu untuk menakhlukkan diri kita masing-masing. Kita harus mampu menaklukkan / mengendalikan nafsu-nafsu keinginan kita masing-masing.

Harmoni dengan keluarga tidak bisa diraih dengan berdoa saja, tetapi baru biusa diraih dengan perjuangan. Usaha yang ulet, secara lahiriah maupun batiniah. Secara lahiriah bisa dicapai dengan memiliki keterampilan dan mata pencaharian yang benar serta bekerja denga rajin dan ulet untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Untuk perjuangan batiniah dituntut adanya semangat pengendalian diri, dengan selalu menjaga kewaspadaan terhadap gerak gerik pikiran kita dennga biak. Hal ini bisa dicapai dengan rajin melatih diri dalam meditasi.

Meditasi yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah yang dikatakan mediasi benar, meditasi yang membawa berkah. Dalam hal ini meditasi vipassana bhavana merupakan satu satunya jalan paling cepat untuk bisa mengubah tingkah laku dan watak seseorang yang kurang baik menjadi lebih tenang, sabar, tidak gelisah, tidak mudah tersinggung, tidak membenci, tidak emosi dalam menghadapi segala sesuatu dalam pergaulan sehari-hari, selalu waspada, pikiran terkendali, serta bijaksana dalam segala tingdakan yang diambil atau dihadapinya.

Dengan meditasi yang benar kita tak akan kecil hati, tak akan takut, tak akan khawatir dalam menghadapi hari-hari mendatang. Kita tidak akan takut menghadapai peristitwa-peristiwa yang umumnya sering dipoandang mengganggu terhadap kebahagiaan keluarga. Yang kini maksudkan disini ialah bagaimana kita bisa tabah dalam menghadapi datangnya usia tua, sakit dan…. Saat-saat yang tidak kita inginkan… yaitu datangnya kematian, bagtaimanapun kita tak mungkin bisa menghindari datangnya tiga peristiwa tersebut, karena tanpa diundang dia pasti datang. Yang paling utama dalam hal ini ialah kita harus menyadari mulai sekarang, mulai saat ini juga. Kita harus mempersiapkan diri untuk menyambutnya dnegna lapang dada, dengan pikiran yang penu ketenangan dan kebahagiaan. Sehingga pada saat kita harus meninggal kita telah bebas dari ikatan harta materi maupun ikatan dengan anak, istri / suami, serta sanak saudara lainnya.

Dan jalan demikian hanya bisa dicapai melalui latihan mental secara intensif. Dalam hal ini ialah meditasi vipassana bhavana. Karena itu sangat penting bagi siapapun untuk berlatih meditasi ini. Lebih-lebih bagi pasangan muda yang bercita-cita untuk membangun rumah tangga yang harmoni, ia akan sukses jika kedua belah pihak suka dan sering melatih diri vipassana bhavana.. Meditasi ini merupakan cara satu-satunya untuk menyelami Dhamma. Dhamma tak akan dapat dilaksanakan dalam hidup sehari-hari hanya mendengarkan, diskusi, atau membca buku-buku Dhamma, tetapi harus dilaksanakan dengan perenungan yang mendalam (meditasi).

Inilah yang diajarkan oleh Sang Buddha yang merupakan jalan menuju kepada keseimbangan lahiriah dan batiniah. Hanya orang yang memiliki keseimbangan lahirian dan batiniah yang akan mampu menghadapi segala tantangan, godaan dan hambatan dalam hidup ini, sehingga ia bisa merasakan hdiup ini penuh dengan kebahagiaan.

Perceraian

Dari sutta-sutta Sang Buddha, kami belum menemukan adanya masalah perceraian. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa perceraian itu kurang sesuai dengan ajaran San Buddha. Masalahnya menjhadi timbul kalau ternaya dalam rumah tangga suami-stri tidak terdapat kecocokan sehingga mereka tidak mampu lagi mengendalikan dirinya. Sedangkan Sang Buddha selalu mengajarkan kepada kita agar kita rajin-rajin serta berusaha sekuat mungkin untuk melatih diri agar dapat mengontrol atau mengendalikan pikiran kita, manusia yang pada umumna masih dikuasai oleh lobha, dosa, dan moha, menjadi sangat sulit untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang muncul dalam rumah tangga. Apakah dengan demikian agama Buddha melarang adanya perceraian?

Sebagaimana dimuka telah disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma. Dengan pengertian ini maka jika memang perkawinan itu tidak mungmkin lagi dipertahankan, misalnya seorang istri yang bersuamikan seirang yang jahat (Chavo), bersifat seperti raksasa atau sebaliknya, seorang suami yang berisitrikan seirang yang jahat (Chava) yang bersifat seperti raksasi, maka mungkin perceraian malah bisa merupakan jalan keluar yang lebih baik. Tetapi harus disadari bahwa akibat perceraian akan membawa dampak negatif terhadap pendidikan anak-anak yang membuthkan cinta kasih dan kasih sayang dari kedua orang tua.

Oleh karena itu jalan yang terbaik adalah salah satu pihak mau mengalah dan menahan diri demi keutuhan rumah tangga dan anak-anak yang menjadi tanggung-jawabnya dn membutuhkan perhatian dari kedua orang tuanya. Kecuali kalau belum ada anak, maka perceraian bisa dilaksanakan bila tidak disertai rasa benci dan dendam satu sama lain. Jadi harus dilaksanakan secara baik baik, dan dikembalikan kepada keluarganya secara baik-baik pula. Inilah yang dimaksudkan dengan penceraian yang sesuai dengan Dhamma.

Bagaimanakah seseorang yang ingin menjadi Bhikkhu, apakah dia harus menceraikan istrinya terlebih dahulu? Tujuan menjadi Bhikkhu adalah untuk bisa memahami dan mempraktekkan Dhamma Vinaya dalam kehidupan sehari-hari. Sehubungan dengan itu maka bagi seseorang yang ingin menjadi Bhikkhu harus meninggalkan rumah tangga. Ini berarti bahwa seorang bhikkhu tidak lagi berhubungan dengan istrinya. Seorang istri yang suaminya menjadi bhikkhu tidak perlu secara firmal minta surat cera, cukuplah adanya pengertian bahwa dia harus menerima untuk pisah tempat tinggal, pisah tempat tidur dan pisah meja makan, dan yang paling pentng adalah kesadarannya untuk melepaskan suaminya ari lingkungan rumah tangganya. Sebaliknya seorang bhikkhu harus siap dengan senang hati jika istrinya minta surat cerai untuk kawin lagi.

Dengan kata lain surat kawin tidaklah penting bagi seorang istri yang suaminya menjadi bhikkhu. Lagipula surat kawin dan surat cerai itu baru berlaku pada zmana peradaban modern ini. Hidup berpisah tidak berarti harus ada surat cerai. Inilah yang dikatakan bercerai sesuai dengan Dhamma.

Pada hakekatnya perselisihan atau eprtengkaran dalam keluarga yahg menjurus pada perceraian adalah disebabkan karena salah satu pihak ingin memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lain. Jika pihak lain (suami/istri) tidak bisa menuruti kehendak kita, maka jalan paling aman adalah kita sendiri yang harus mengubah pikiran kita, sehingga tiada lagi pertentangan di antara kita. Bagaimanapun juga harus dipertimbangkan bahwa perceraian akan memberikan akibat yang sangat buruk bagi perkembangan pendidikan anak yang tidak dapat lepas dari tanggung jawab orang tua..

Kesimpulan

  • Hidup membujang baik laki-laki maupun wanita tidak melanggar ketentuan dalam agama Buddha.
  • Vipassana Bhavana merupakan satu-satunya jalan yang lebih cepat yang telah diajarkan oleh Sang Buddha untuk mengubah tingkah kaku dan watak seseorang yang kurang baik menjadi lebih sabar, lebih tenang, tidak gelisah, tidak emosi, selalu waspada dengna pikiran terkendali serta bijaksana.
  • Keseimbangan lahiriah dan batiniah hanya bisa dicapai dengan latihan meditasi secara intensif, sehingga kita mampu menghadapi segala tentangan, godaan dan hambatan dalam hidup ini, sehingga kita bsia merasakan hidup ini penuh dengan ketentraman dan kebahagiaan.
  • Pada hakekatnya perselisihan atau pertengkaran dalam keluarga yang menjurus kepadaq perceraian adalah disebabkan karena salah satu pihak ingin memaksakan kepada pihak yang lain. Jika dalam hal ini pihak lain (suami/istri) tidak bsia menuruti kehendak kita, maka jalan yang paling aman adalah kita sendiri yang harus berani mengubah pikiran kita, sehingga tiada lagi pertengkaran di antara kita.

(Sumber: Buddhist Digest 34, p 49 –52. Alih bahasa Rianto)

Perkawinan dalam Agama Buddha


Perkawinan dalam Agama Buddha

Pendahuluan

Dalam pandangan Agama Buddha, perkawinan adalah suatu pilihan dan bukan kewajiban. Artinya, seseorang dalam menjalani kehidupan ini boleh memilih hidup berumah tangga ataupun hidup sendiri. Hidup sendiri dapat menjadi pertapa di vihara - sebagai Bhikkhu, samanera, anagarini, silacarini - ataupun tinggal di rumah sebagai anggota masyarakat biasa.
Sesungguhnya dalam Agama Buddha, hidup berumah tangga ataupun tidak adalah sama saja. Masalah terpenting di sini adalah kualitas kehidupannya. Apabila seseorang berniat berumah tangga, maka hendaknya ia konsekuen dan setia dengan pilihannya, melaksanakan segala tugas dan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Orang yang demikian ini sesungguhnya adalah seperti seorang pertapa tetapi hidup dalam rumah tangga. Sikap ini pula yang dipuji oleh Sang Buddha, seperti dalam syair di atas.





Mencari dan Membina Pasangan Hidup

Dalam menguraikan tujuan hidup manusia, disebutkan salah satunya adalah tentang adanya pencapaian kebahagiaan di dunia. Dengan demikian, pasti ada cara untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup berumah tangga. Pasti ada pula petunjuk dan cara-cara mendapatkan pasangan hidup yang sesuai serta membina hubungan baik, mempertahankan komunikasi serasi setelah menjadi suami istri. Memang, hal tersebut dapat diperoleh dalam Kitab Suci Tipitaka, Digha Nikaya III, 152, 232 dan dalam Anguttara Nikaya II, 32. Diuraikan di sana bahwa ada minimal empat sikap hidup yang dapat dipergunakan untuk mencari pasangan hidup sekaligus membina hubungan sebagai suami istri yang harmonis. Keempat hal itu adalah:

1. Kerelaan (Dana)
Dalam Hukum Kamma (Samyutta Nikaya III, 415) telah disebutkan bahwa sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pula buah yang akan kita petik. Pembuat kebajikan akan memperoleh kebahagiaan. Dengan demikian, apabila kita ingin diperhatikan orang, mulailah dengan memberikan perhatian kepada orang lain. Apabila kita ingin dicintai orang, mulailah dengan mencintainya. Cinta di sini bukanlah sekedar keinginan untuk menguasai, melainkan hasrat untuk membahagiakan orang yang dicintainya. Kualitas cinta ini seperti seorang ibu yang menyayangi anak tunggalnya. Ia akan mempertahankan anak tercintanya dengan seluruh kehidupannya, melindungi anak tersayangnya dari segala macam bahaya dan bencana, memberikan segalanya demi kebahagiaan anaknya, serta rela memaafkan segala kesalahan anaknya

Dalam mencari dan membina pasangan hidup, kerelaan jelas amat diperlukan. Kerelaan materi di awal perkenalan dapat dikembangkan menuju kemampuan merelakan keakuan. Kerelaan keakuan ini berbentuk pengembangan sifat saling pengertian, saling memaafkan. Kesalahan pasangan hidup, seringkali bukanlah karena disengaja. Oleh karena itu, menyadari kenyataan ini menjadikan seseorang lebih sabar dan rela memberikan kesempatan berkali - kali kepada pasangan untuk dapat membangun kualitas dirinya. Berilah pasangan kesempatan untuk memperbaiki diri.

Kemarahan bukanlah tanda cinta. Kemarahan adalah tanda keakuan. Ingin segala harapannya terpenuhi. Dengan kerelaan, orang akan lebih mudah mengerti serta menerima kekurangan dan kelemahan orang lain. Sikap ini akan menjadi salah satu tiang kokoh dalam menjalin hubungan dengan orang lain, khususnya dengan pasangan hidup.

2. Ucapan yang Baik/Halus (Piyavaca)
Dalam dunia ini, siapapun pasti akan suka mendengar kata-kata yang halus, termasuk pula pasangan hidup. Tidak ada orang yang suka mendengar kata kasar, walaupun orang itu sendiri kasar kata-katanya. Menghindari caci maki dan gemar berdana ucapan yang menyenangkan pendengar, akan sangat membantu dalam membina hubungan dengan pasangan hidup. Dengan kata-kata halus yang tetap berisi kebenaran akan menjadi daya tarik yang kuat dalam menjaga keharmonisan hubungan.

Sampaikanlah pujian kita pada pasangan dengan kalimat yang menyenangkan. Demikian pula, ucapkan kritikan pada pasangan dengan bahasa yang halus dan saat yang tepat, untuk menghindari kesalahpahaman.
Perlu direnungkan, menyakiti hati orang yang dicintai dengan kata-kata pedas sesungguhnya sama dengan menyakiti diri sendiri. Sebab, orang tentunya akan menjadi sedih apabila orang yang dicintainya juga sedang sedih.

3. Melakukan Hal yang Bermanfaat Baginya (Atthacariya)
Sekali lagi berdana timbul dalam bentuk yang lain. Dalam pengembangan konsep berdana, sudah ditekankan akan adanya pembentukan sikap mental: “Semoga semua mahluk hidup berbahagia”. Demikian pula dengan pasangan hidup. Ia adalah mahluk pula, berarti ia harus diberi kesempatan berbahagia pula. Orang harus berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan pasangan hidupnya. Sesungguhnya, kebahagiaan orang yang dicinta adalah kebahagiaan orang yang mencintainya.

Dengan demikian, tingkah laku hendaknya selalu dipikirkan untuk membahagiakan orang yang dicintai. Banyak pendapat umum yang menganggap bahwa cinta adalah menuntut. Orang yang dicintai haruslah mampu memenuhi harapan orang yang mencintai. Konsep ini sesungguhnya tidak tepat. Sebab, apabila orang yang dicintai sudah tidak mampu lagi memenuhi harapan, apakah ia kemudian diceraikan?
Oleh karena itu, cinta sesungguhnya memberi, merelakan. Cinta mengharapkan orang yang dicintai berbahagia dengan caranya sendiri, bukan dengan cara orang yang mencintai. Jika konsep ini telah dapat ditanamkan dengan baik dalam setiap insan, maka mencari pasangan hidup bukanlah masalah lagi. Siapakah di dunia ini yang tidak ingin dibahagiakan?

Pola pikir ‘ingin membahagiakan orang yang dicintai’ hendaknya terus dipupuk dan dipertahankan termasuk dalam kehidupan perkawinan. Apabila bukan pasangan hidupnya sendiri yang membahagiakannya, apakah seseorang akan meminta orang lain untuk membahagiakan dirinya?

4. Batin Seimbang, Tidak Sombong (Samanattata)
Pengembangan sikap penuh kerelaan, ungkapan dengan kata yang halus dan tingkah laku yang bermanfaat untuk orang yang dicintai hendaknya tidak memunculkan kesombongan. Jangan pernah merasa bahwa tanpa diri ini segala sesuatu tidak akan terjadi. Dalam konsep Buddhis, segala sesuatu selalu disebabkan oleh banyak hal. Tidak akan pernah ada penyebab tunggal. Demikian pula dengan adanya kebahagiaan seseorang, pasti bukan disebabkan hanya karena satu orang saja. Banyak unsur lain yang mendukung timbulnya kondisi tersebut.
Keseimbangan batin sebagai hasil selalu menyadari bahwa kebahagiaan adalah karena berbagai sebab dan kebahagiaan muncul karena buah kammanya masing-masing akan dapat menghindarkan seseorang dari sifat sombong. Kesombongan selain tidak sedap didengar juga akan menjengkelkan calon maupun pasangan kita. Kesombongan mempunyai pengertian bahwa pasangan kita tidak mampu melakukan apapun juga apabila tanpa kita. Kesombongan adalah meniadakan usaha baik seseorang yang kita cintai. Perjuangan yang tidak dihargai akan sangat menyakitkan. Kurangnya penghargaan yang layak akan menimbulkan masalah besar dalam masa pacaran maupun setelah memasuki kehidupan berumah tangga.

Dalam usaha mencari dan membina pasangan hidup, selain selalu berusaha melaksanakan empat sikap di atas, hendaknya jangan melupakan adanya beberapa hal yang perlu dijadikan pertimbangan. Hal ini apabila terpenuhi akan menjadi faktor tambahan yang akan lebih membahagiakan kehidupan berumah tangga. Terdapat empat faktor yang membuat rumah tangga lebih berbahagia. Empat hal tersebut telah diuraikan dalam Anguttara Nikaya II, 60 yaitu bahwa pasangan hendaknya memiliki kesamaan dalam Keyakinan, Sila, Kedermawanan, dan Kebijaksanaan.

1. Kesamaan Keyakinan (sadha)
Saddha bukan hanya berarti harus sama dalam agama, tetapi merupakan keyakinan yang muncul dari pikiran dan pandangan yang benar sehingga akan membentuk pola hidup. Kita menyadari bukan agama yang membuat batasan-batasan tertentu, tetapi pencerapan dan penyelaman kita akan ajaran itu yang mempunyai keterbatasan.

Namun demikian, keyakinan yang berbeda sering menimbulkan masalah bagi pasangan. Jika masing-masing pihak bersikeras pada keyakinannya, bahkan salah satu pihak memaksakan keyakinannya pada pihak lain, tentunya hal ini akan menyebabkan keharmonisan terganggu.

Butuh toleransi dan pengertian yang besar dari kedua belah pihak. Berbagai masalah akibat perbedaan keyakinan pun masih dapat terus muncul apabila hubungan akan dilanjutkan dalam ikatan perkawinan. Menentukan tempat pemberkahan pernikahan dapat menjadi beban ekstra. Setelah memiliki anak pun masalah ini masih terus berlanjut Pasangan mungkin akan terus terlibat dalam diskusi berkepanjangan dan mungkin perdebatan sengit tentang pembinaan agama bagi keturunan mereka.

2. Kesamaan Kemoralan (sila)
Apabila keyakinan telah sama, maka hendaknya pasangan memiliki keserasian dalam tingkah laku. Pasangan hendaknya selalu berusaha bersama-sama melaksanakan Pancasila Buddhis. Pancasila Buddhis terdiri dari lima latihan kemoralan, yaitu usaha untuk menghindari pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan, dan mabuk-mabukan (Anguttara Nikaya III, 203). Pelaksanaan kelima latihan kemoralan ini akan banyak menghindarkan masalah dalam masyarakat dan rumah tangga. Dalam segala lapisan masyarakat, pelanggaran kelima latihan kemoralan ini akan dipandang sebagai kesalahan. Pelaksanaan kelima latihan kemoralan ini akan menjadikan seseorang diterima masyarakat dengan baik. Pelaksanaan latihan kemoralan ini dalam rumah tangga akan membebaskan seseorang dari rasa bersalah, membuka wawasan komunikasi yang baik serta menghindarkan saling curiga dan was-was di antara pasangan.

3. Kesamaan Kedermawanan (caga)
Caga bukan hanya berarti suka berdana, tetapi adalah seseorang yang mempunyai jiwa tanpa beban, jiwa melepas, tidak tergantung, dan tidak melekat. Bagi orang yang murah hati pasti akan lebih mampu memiliki metta, karuna, mudita, dan upekkha. Orang yang murah hati batinnya tidak ada hambatan dan selalu bahagia sehingga akan memudahkan untuk pengembangan batin yang lainnya.

Memiliki watak kedermawanan yang sama dimaksudkan agar masing-masing individu mengerti bahwa cinta sesungguhnya adalah memberi segalanya demi kebahagiaan orang yang kita cintai dengan iklas dan tanpa syarat. Selama sikap ini masih belum tertanam baik-baik di pikiran setiap pasangan, masalah sebagai akibat tuntutan agar pasangan dapat memenuhi harapan kita akan selalu muncul.

4. Kesamaan Kebijaksanaan (pañña)
Kesamaan dalam kebijaksanaan diperlukan agar bila menghadapi masalah hidup, pasangan mempunyai wawasan yang sama. Wawasan yang sama akan mempercepat penyelesaian masalah. Perbedaan kebijaksanaan akan menghambat dan memboroskan waktu. Pasangan membutuhkan waktu lebih lama untuk adu argumentasi menyamakan sikap dan pola pikir terlebih dahulu sebelum memikirkan jalan keluar atas masalah yang sedang dihadapi. Kebijaksanaan yang dimaksud tentu yang sesuai dengan Buddha Dhamma.


Buddha Dhamma telah mengajarkan bahwa hidup ini berisikan ketidakpuasan. Penyebab adanya ketidakpuasan ini hanyalah karena keinginan sendiri yang tidak terkendali. Oleh karena itu, apabila seseorang dapat mengendalikan keinginannya, maka ketidakpuasannya pun akan dapat segera diatasi. Lalu, akhirnya Dhamma memberikan jalan keluar untuk mengatasi dan mengendalikan keinginan. Dengan memiliki konsep berpikir seperti ini, maka tidak akan ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. Sesungguhnya, dengan melaksanakan hidup sesuai dengan Dhamma, kebahagiaan pasti akan dapat dirasakan.


Upacara Perkawinan Buddhis di Indonesia

Dalam mengajarkan Dhamma, Sang Buddha tidak pernah memberikan peraturan baku tentang upacara pernikahan. Hal ini disebabkan karena tata cara perkawinan adalah merupakan bagian dari kebudayaan suatu daerah, yang pasti akan berbeda antara satu tempat dan tempat yang lain.
Biasanya di beberapa negara Buddhis, pasangan yang bertunangan mengundang para bhikkhu untuk memberikan pemberkahan di rumah mereka ataupun di vihara sebelum hari pernikahan. Jika dikehendaki, pemberkahan itu dapat pula dilakukan setelah pernikahan yang biasanya berlangsung di Kantor Catatan Pernikahan atau di rumah pihak yang bersangkutan. Diharapkan agar pasangan-pasangan yang beragama Buddha lebih rajin menunaikan kewajiban-kewajiban agama apabila mereka menikah.

Kebaktian untuk pemberkahan perkawinan diawali dengan persembahan sederhana berupa bunga, dupa, dan lilin. Pemberkahan ini diikuti pula oleh orang tua kedua pihak dan sanak keluarga serta kawan-kawan yang diundang. Hal ini akan menjadi suatu sumbangan spiritual yang pasti untuk keberhasilan, langkah dan kebahagiaan pasangan yang baru menikah.

Sedangkan tata cara perkawinan Buddhis menurut tradisi di Indonesia, biasanya yang paling penting adalah adanya proses penyelubungan kain kuning kepada kedua mempelai. Pada saat itulah, mempelai mendapatkan pemercikan air paritta. Pengertian penyelubungan kain kuning ini adalah bahwa sejak saat itu, kedua pribadi yang menikah telah dipersatukan. Oleh karena itu, badan mereka dapat berbeda, namun hendaknya batin bersatu dan bersepakat untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga. Sedangkan pemercikan air paritta melambangkan bahwa seperti air yang dapat membersihkan kekotoran badan maupun barang, maka demikian pula, dengan pengertian Buddha Dhamma yang dimiliki, hendaknya dapat membersihkan pikiran kedua mempelai dari pikiran-pikiran negatif terhadap pasangan hidupnya, yang sekaligus juga merupakan teman hidupnya.

Itulah uraian singkat pada salah satu dari sekian banyak proses pernikahan Buddhis yang biasanya dilaksanakan di vihãra-vihãra di Indonesia. Proses tersebut dapat dikatakan sebagai puncak acara pernikahan Buddhis yang berlaku di masyarakat Indonesia. Jika ingin lebih jelas, dapat menyempatkan diri untuk menyaksikan pernikahan Buddhis di vihãra terdekat.

Membina Keluarga Buddhis Bahagia
Dalam pembahasan ini akan diuraikan beberapa persyaratan dasar yang mendukung untuk mewujudkan kehidupan keluarga bahagia menurut Ajaran Sang Buddha. Faktor-faktor pendukung itu adalah :

a. Hak dan Kewajiban
Telah disebutkan di atas bahwa keluarga bahagia adalah komponen terpenting pembentuk masyarakat bahagia. Untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut, maka persyaratan utamanya adalah masing-masing anggota keluarga hendaknya saling menyadari bahwa dalam kehidupan ini seseorang tidak akan dapat hidup sendirian, orang pasti saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing pihak terkait satu dengan yang lain. Oleh karena itu, agar mendapatkan kebahagiaan bersama dalam kehidupan berkeluarga, diperlukan adanya pengertian tentang hak dan kewajiban dari setiap anggota keluarga.

Setiap anggota keluarga hendaknya selalu menanamkan dalam pikirannya dan melaksanakan dalam kehidupannya Sabda Sang Buddha yang berkenaan dengan pedoman dasar munculnya hak dan kewajiban. Pada Anguttara Nikaya I, 87 dinyatakan: ‘Sebaiknya orang selalu bersedia terlebih dahulu memberikan pertolongan sejati tanpa pamrih kepada pihak lain dan selalu berusaha agar dapat menyadari pertolongan yang telah diberikan pihak lain kepada diri sendiri agar muncul keinginan untuk menanam kebajikan kepadanya’. Pola pandangan hidup ajaran Sang Buddha ini apabila dilaksanakan akan dapat menjamin ketenangan, keharmonisan, dan kebahagiaan keluarga.

b. Kemoralan
Dalam pengembangan kepribadian yang lebih luhur, setiap anggota keluarga hendaknya juga dilengkapi dengan kemoralan (=sila) dalam kehidupannya untuk dapat menjaga ketertiban serta keharmonisan dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Tingkah laku bermoral adalah salah satu tonggak penyangga kebahagiaan keluarga yang selalu dianjurkan oleh Sang Buddha. Bahkan secara khusus Sang Buddha menyebutkan lima dasar kelakuan bermoral yang terdapat pada Anguttara Nikaya III, 203, yaitu lima perbuatan atau tingkah laku yang perlu dihindari :
1. melakukan pembunuhan / penganiayaan
2. pencurian
3. pelanggaran kesusilaan
4. kebohongan, bicara kasar, omong kosong, dan bergosip
5. mabuk-mabukan dan mengkonsumsi segala sesuatu yang menimbulkan ketagihan (misalnya narkoba)

Pelaksanaan kelima hal ini selain dapat menjaga keutuhan serta kedamaian dalam keluarga juga dapat untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Manfaat ke dalam batin si pelaku dari pelaksanaan Pancasila Buddhis ini adalah membebaskan diri dari rasa bersalah dan ketegangan mental yang sesungguhnya dapat dihindari.

c. Ekonomi
Faktor pendukung kebahagiaan keluarga selain setiap anggota keluarga mempunyai perbuatan yang terbebas dari kesalahan secara hukum moral maupun negara seperti yang telah diuraikan di atas, tidak dapat disangkal lagi bahwa kondisi ekonomi keluarga juga memegang peranan penting. Telah cukup banyak diketahui, keluarga menjadi tidak bahagia dan harmonis lagi karena disebabkan oleh kondisi ekonomi yang kurang layak menurut penilaian mereka sendiri.

Mengetahui pentingnya kondisi ekonomi untuk kebahagiaan keluarga, maka Sang Buddha juga telah menguraikan dengan jelas hal ini pada Anguttara Nikaya IV, 285. Dalam nasehat Beliau di sana disebutkan empat persyaratan dasar agar orang dapat memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya, yaitu:

Ø Pertama, orang hendaknya rajin dan bersemangat di dalam bekerja mencari nafkah.

Ø Kedua, hendaknya ia menjaga dengan hati-hati kekayaan apapun yang telah diperoleh dengan kerajinan dan semangat, tidak membiarkannya mudah hilang atau dicuri. Orang hendaknya juga terus menjaga cara bekerja yang telah dilakukannya sehingga tidak mengalami kemunduran atau kemerosotan.

Ø Ketiga, berusahalah untuk memiliki teman-teman yang baik, dan tidak bergaul dengan orang-orang jahat, serta

Ø Keempat, berusaha menempuh cara hidup yang sesuai dengan penghasilan, tidak terlalu boros, dan juga tidak terlalu kikir.

Melaksanakan tuntunan cara hidup yang diberikan oleh Sang Buddha seperti itulah yang akan mewujudkan kehidupan keluarga menjadi bahagia secara ekonomis. Bila kondisi ekonomi keluarga telah dapat dicapai sesuai dengan harapan para anggota keluarga tersebut, maka untuk mempertahankannya atau bahkan untuk meningkatkannya lagi dapat disimak Sabda Sang Buddha yang lain dalam Anguttara Nikaya II, 249 yang menyebutkan bahwa keluarga manapun yang bertahan lama di dunia ini, semua disebabkan oleh empat hal, atau sebagian dari keempat hal itu. Apakah keempat hal itu? Keempat hal itu adalah menumbuhkan kembali apa yang telah hilang, memperbaiki apa yang telah rusak, makan dan minum tidak berlebihan, dan selalu berbuat kebajikan.

Harus disebutkan pula bahwa kesinambungan adanya semangat bekerja memegang peranan penting untuk keberhasilan berusaha. Sang Buddha membahas tentang hal ini dalam Khuddaka Nikaya 2444, yaitu bekerjalah terus pantang mundur; hasil yang diinginkan niscaya akan terwujud sesuai dengan cita-cita. Dan bila semangat dapat dipertahankan serta dikembangkan, maka tiada lagi kekuatan yang mampu menghalangi keberhasilannya. Sang Buddha pernah bersabda dalam Khuddaka Nikaya 881, bahwa ‘seseorang yang tak gentar pada hawa dingin atau panas, gigitan langau, tahan lapar dan haus, yang bekerja dengan jujuh tanpa putus, siang dan malam, tidak melewatkan manfaat yang datang pada waktunya; ia menjadi kecintaan bagi keberuntungan. Keberuntungan niscaya meminta bertinggal dengannya’.

d. Perkawinan harmonis
Istilah ‘keluarga’ tentulah mengacu pada unsur terpenting pembentuk keluarga, yaitu pria dan wanita yang terikat dalam satu kelembagaan yang dikenal dengan sebutan ‘perkawinan’. Kelembagaan ini akan terus berkembang dengan lahirnya anak sebagai keturunan. Garis keturunan ini juga akan dapat terus berlanjut menjadi beberapa generasi penerus keluarga tersebut.

Sang Buddha lebih lanjut menguraikan tugas-tugas yang perlu dilaksanakan oleh suami terhadap istrinya dan juga sebaliknya. Oleh karena, keluarga bahagia akan dapat dicapai apabila suami dan istri dalam kehidupan perkawinan mereka telah mengetahui serta memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing seperti yang disabdakan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya III, 118, yaitu bahwa tugas suami terhadap istri adalah memuji, tidak merendahkan atau menghina, setia, membiarkan istri mengurus keluarga, memberi pakaian dan perhiasan. Lebih dari itu, hendaknya disadari pula oleh suami bahwa dalam Ajaran Sang Buddha, istri sesungguhnya merupakan sahabat tertinggi suami (Samyutta Nikaya 165).

Sedangkan tugas istri terhadap suami adalah mengatur semua urusan dengan baik, membantu sanak keluarga suami, setia, menjaga kekayaan yang telah diperoleh, serta rajin dan tidak malas, pandai dan rajin dalam melaksanakan semua tugasnya serta segala tanggung-jawabnya.

Konsekuensi logis lembaga perkawinan adalah melahirkan keturunan. Dan, Sang Buddha juga memberikan petunjuk-Nya agar terjadi hubungan harmonis antara orang tua dan anak serta sebaliknya. Keharmonisan ini juga terwujud apabila masing-masing pihak menyadari dan melaksanakan tugas-tugasnya. Untuk itu, dalam kesempatan yang sama Sang Buddha menguraikan tugas anak terhadap orang tua, yaitu merawat, membantu, menjaga nama baik keluarga, bertingkah laku yang patut sehingga layak memperoleh warisan kekayaan, melakukan pelimpahan jasa bila orangtua telah meninggal. Lebih lanjut dalam Khuddaka Nikaya 286 disebutkan bahwa ayah dan ibu adalah Brahma (makhluk yang luhur), ayah dan ibu adalah guru pertama, ayah dan ibu juga adalah orang yang patut diyakini oleh putra-putrinya.

Mengingat sedemikian besar jasa serta kasih sayang orang tua terhadap anaknya, maka kewajiban anak di atas sungguh-sungguh tidak dapat diabaikan begitu saja, seperti yang telah disebutkan dalam Khuddaka Nikaya 33, yaitu bahwa ‘Penghormatan, kecintaan, dan perawatan terhadap ayah serta ibu membawa kebahagiaan di dunia ini’. Sedangkan dalam Khuddaka Nikaya 393 disebutkan bahwa ‘Anak yang tidak merawat ayah dan ibunya ketika tua; tidaklah dihitung sebagai anak’. Oleh karena ‘Ibu adalah teman dalam rumah tangga’ (Samyutta Nikaya 163).

Sedangkan tugas orang tua terhadap anak adalah menghindarkan anak melakukan kejahatan, menganjurkan anak berbuat baik, memberikan pendidikan, merestui pasangan hidup yang telah dipilih anak, memberikan warisan bila telah tiba saatnya. Ditambahkan dalam Khuddaka Nikaya 252 bahwa ‘Orang bijaksana mengharapkan anak yang meningkatkan martabat keluarga, serta mempertahankan martabat keluarga, dan tidak mengharapkan anak yang merendahkan martabat keluarga; yang menjadi penghancur keluarga’.
Dengan adanya ‘rambu-rambu’ rumah tangga yang diberikan oleh Sang Buddha di atas akan menjamin tercapainya keselamatan bahtera rumah tangga yang sedang dijalani. Oleh karena itu, kesadaran melaksanakan ajaran Sang Buddha tersebut perlu semakin ditingkatkan sehingga akan meningkatkan pula baik secara kualitas maupun kuantitas keluarga bahagia yang ada dalam masyarakat kita maupun dalam bangsa dan negara kita.
[KaDe]

Sumber Referensi:
http://www.buddhistonline.com/tanya/td157.shtml
http://www.geocities.com/Athens/Cret...rtikel151.html
http://www.kalyanadhammo’s/artikel29.html
www.budhisonline.com

Pandangan Buddhis Mengenai Perkawinan dan Perceraian


Pandangan Buddhis Mengenai Perkawinan dan Perceraian
Oleh : Tanhadi

Masalah perkawinan adalah masalah yang umum dihadapi dan dilakukan oleh setiap orang. Didalam Buddhisme, perkawinan dianggap sebagai persoalan pribadi dan setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih cara hidupnya masing-masing . Oleh karena itu perkawinan menurut agama Buddha tidak dianggap sebagai sesuatu yang suci ataupun tidak suci, bukan merupakan larangan ataupun kewajiban suatu agama.

Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut: "Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa".


Tentu saja kata kekal yang terdapat didalam undang-undang tersebut tidak berkesesuaian dengan sifat hukum alam, bahwasanya tidak ada sesuatupun yang kekal didunia ini, semua akan mengalami perubahan. Namun kata kekal tersebut dapat diartikan sebagai suatu pesan moral sebagai pengingat bagi suami-isteri yang terikat dalam hubungan pernikahan yang sah , yang akan berakhir bilamana salah satu diantaranya meninggal dunia atau hanya kematianlah yang dapat memisahkan sebuah perkawinan.

Perkawinan dalam pengertian Buddhisme adalah lebih berarti sebagai  
"suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma".


Sebagai umat Buddha maka agar kita bisa membentuk keluarga bahagia, kita harus mengikuti ajaran Sang Buddha tentang praktik kehidupan yang benar. Sang Buddha telah menunjukkan dasar-dasar perkawinan yang harmonis, yang serasi, selaras dan seimbang, dalam hal ini Sang Buddha pernah bersabda :

"Inilah, O perumah tangga, empat jenis pernikahan."
Apabila sepasang suami isteri ingin selalu bersama-sama (berjodoh) dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan yang datang maka ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu keduanya harus setara dalam keyakinan (saddha), setara dalam sila (moral), setara dalam kemurahan hati (caga) dan setara dalam kebijaksanaan/ pengertian (panna). (Anguttara Nikaya II, 62)

Dengan memiliki 4 (empat) faktor yang merupakan pandangan yang sama tersebut diatas, maka suami – istri akan dengan mudah untuk mengemudikan bahtera rumah tangga dengan suasana kehidupan yang penuh harmoni.

Dalam kenyataannya terdapat banyak sekali pasangan suami – istri yang memiliki pandangan hidup yang sama, tidak memiliki sifat atau perangai yang sama. Dengan kata lain kita sangat sedikit menjumpai pasangan suami istri yang harmoni seperti yang dicita-citakan oleh semua orang.

Sang Buddha Merestui Pernikahan

Ada semacam anggapan di beberapa orang bahwa Sang Buddha tampaknya anti terhadap apa yang namanya pernikahan, sebisa mungkin umat awam menjadi anggota Sangha, begitu pikir mereka. Namun kenyataannya tidak demikian. Sang Buddha merestui pernikahan antara dua insan yang benar-benar berkomitmen dan mampu menjalankan kehidupan pernikahan mereka sesuai dengan Dhamma sehingga berhasil mencapai tingkat-tingkat kesucian.

Marilah kita simak kutipan Sumagadhavadana ini:
Anathapindada [Anathapindika] memohon nasehat berkaitan dengan putrinya, dengan berkata;
"Putri kami Sumagadha sekarang telah dewasa, putra Natha, pedagang gula, seorang pemuda bernama Vrisabhadatta telah melamar untuk menikahinya. Mengingat bahwa Sang Bhagavan adalah pembimbing kami dalam segala kegiatan serta guru bagi kehidupan kami, kami mohon petunjuk atas persoalan ini: Apakah putri kami memang berjodoh dengan pemuda ini?" Sang Bhagava menyetujui pasangan tersebut sehingga dilangsungkanlah perkawinannya.
(Sumagadhavadana)

Perceraian menurut agama Buddha

Agama Buddha tidak melarang perceraian, namun agama Buddha jelas juga tidak mendukung perceraian. Ajaran Sang Guru Agung memberikan pada kita suatu cara untuk menjalankan kehidupan pernikahan dan keluarga yang harmonis dan saling mencintai, oleh karena itulah apabila ada permasalahan dalam keluarga, usahakan untuk dapat diselesaikan dan jadikan perceraian sebagai usaha yang terakhir apabila usaha-usaha yang lain gagal. Janganlah menyerah untuk menanggulangi masalah dalam rumah tangga, seberapapun beratnya itu, dan juga jangan terlalu gampang untuk mengatakan dan menggugat cerai, karena hal itu jelas-jelas tidak dianjurkan dalam agama Buddha.

Dalam kitab Vinaya Pitaka vol I bagian Vinitavatthu ada sebuah kisah :

"Ketika itu seseorang wanita bertengkar dengan suaminya lalu kembali ke rumah ibunya. Seorang bhikkhu yang kerap mengunjungi keluarganya berupaya mendamaikan (mereka) kembali. Muncul penyesalan pada dirinya …
"Bhikkhu, apakah dia sudah diceraikan?"
"Belum diceraikan, Bhagavan."
"Bhikkhu, bukanlah suatu pelanggaran dalam hal belum diceraikan."

Bukanlah merupakan suatu pelanggaran apabila seorang bhikkhu berusaha mendamaikan seorang wanita yang bertengkar dengan pasangannya. Maka dari itu, usaha bhikkhu tersebut patut dicontoh oleh kita, bahwa perceraian seharusnya dhindari dan pertengkaran atau permasalahan di antara pasangan sebisa mungkin diselesaikan dengan baik-baik.

Dalam Kode Monastik Dalam Empat Divisi (Taisho Tripitaka 1428) juga disebutkan bahwa seorang bhiksu diizinkan untuk membantu "jika seorang pria dan wanita yang telah menjalin relasi namun telah berpisah (cerai) dan ingin [kembali] bersama lagi."

Dari sana bisa dilihat bahwa ajaran sang Buddha sangat mendukung usaha untuk mendamaikan kembali pasangan yang bertengkar ataupun yang telah cerai. Cerai akandapat membawa penderitaan bagi anak-anak mereka dan menimbulkan efek psikologis yang negatif bagi kedua orang pasangan suami istri.

Salah satu bukti lainnya bahwa ajaran Buddha mendukung keharmonisan hubungan suami istri dapat dilihat dalam Tripitaka Mahayana:

"Jika sepasang suami istri tidak rukun dan harmonis, keadaannya seperti air dan api, carikan bulu bagian belakang dari bebek mandarin, di depan rupang Bodhisattva Avalokitesvara yang Maha Pengasih, lafalkan Mantra Agung [Maha Karuna Dharani] sebanyak 1008 ditujukan kepada bulu-bulu tersebut dan berikan kepada kedua pasangan itu untuk dipakai, maka pasangan suami istri tersebut akan berbahagia dan saling menghormati dan mencintai satu dengan lainnya sampai akhir hayatnya." (Maha Karunacitta Dharani Sutra)


Maha Karuna Dharani adalah Dharani yang diucapkan oleh Bodhisattva Avalokitesvara, sang Bodhisattva welas asih. Maknanya di sini adalah ketidak-rukunan suami istri dapat diatasi apabila kedua pasangan mengembangkan cinta kasih pada pasangannya (maitri karuna), sehingga dengan demikian perceraian tidak akan terjadi, seperti kata-kata Sang Buddha yaitu kebencian hanya dapat diatasi oleh cinta kasih.

Dalam Godha Jataka, dikisahkan seorang raja yang tidak mencintai istrinya, namun istrinya mencintai raja tersebut.

Sang Bodhisatta kemudian menyadarkan sang raja dengan kata-katanya dan kemudian raja tersebut sadar akan kesalahannya ketika mengingat perbuatan bajik sang ratu.

Apabila menjelang tua, cinta suami istri menjadi tawar, ini bukanlah suatu alasan untuk bercerai. Ketika cinta , kita menikah, - ketika sudah tidak cinta, kita cerai. Apakah begitu? Di manakah komitmen kita kalau kita cerai hanya karena alasan seperti itu? Ketika cinta sudah mulai terkikis, bukan berarti kita tidak bisa jatuh cinta lagi dengan pasangan hidup kita. Seperti dalam Kanha Dipayana Jataka, Khuddaka Nikaya:

Mandavya bertanya pada istrinya kenapa ia tidak meninggalkan (menceraikan) dirinya padahal ia tidak mencintainya. Istrinya menjawab bahwa bagi wanita yangtelah menikah, tidak patut untuk mencari pasangan baru karena akan menurunkan derajat moral orang lain dan oleh karena alasan inilah ia tidak meninggalkan (menceraikan) suaminya meskipun sebenarnya ia tidak merasa bahagia. Setelah itu sang istri meminta maaf dan Mandavya menerima maafnya. Mandavya berjanji tidak akan membuat istrinya bersedih dan juga membuat istrinya berjanji untuk tidak kasar pada dirinya. Sejak saat itu sang istri menjadi mencintai Mandavya.

Dalam kitab Ruhaka Jataka, dikisahkan seorang istri yang penuh tipu daya membuat malu suaminya (Ruhaka) di hadapan raja. Sang raja yang merupakan kelahiran lampau Sang Bodhisatta, begitu mengetahui bahwa Ruhaka hendak menceraikan istrinya karena ia dipermalukan oleh tipu daya wanita tersebut, berkata pada Ruhaka agar ia memaafkan kesalahan istrinya. Namun Ruhaka Tidak mau mendengarnya dan kemudian menceraikan istrinya tersebut serta mengambil istri lain.

Di sini bisa dilihat bahwa meskipun suami atau istri kita adalah seorang yang tidak berbudi baik, maka sesuai nasehat Sang Bodhisatta, kita harus mencoba untuk memaafkannya, memahaminya dan membuatnya berubah, jadi jangan langsung minta cerai. Cerai hendaknya dipandang sebagai sebuah langkah terakhir sendainya cara-cara yang lain sudah dicoba semua namun gagal. Janganlah menjadi seperti Ruhaka yang karena dikuasai amarah terhadap pasangannya, tidak menghiraukan nasehat sang Bodhisatta.

Keyakinan Dalam Agama Buddha


Keyakinan Dalam Agama Buddha
 Oleh : Pandita Abhayahema K. (Ketua Umum DPP Wanita Walubi)

Umat Buddha di seluruh dunia menyatakan ketaatan dan kesetiaan mereka kepada Buddha, Dhamma dan Sangha dengan kata-kata dalam suatu rumusan kuno yang sederhana, namun menyentuh hati, yang terkenal dengan nama TISARANA (Tiga Perlindungan), Rumusan itu berbunyi :

BUDDHAM SARANAM GACCHAMI
Aku berlindung kepada Buddha

DHAMMAM SARANAM GACCHAMI
Aku berlindung kepada Dhamma

SANGHAM SARANAM GACCHAMI
Aku berlindung kepada Sangha

Rumusan ini disabdakan oleh Sang Buddha Gotama sendiri (bukan oleh para siswa-Nya atau oleh makhluk lain) pada suatu ketika di Taman Rusa Isipatana dekat Benares, ada enam puluh orang Arahat siswa Beliau, ketika mereka akan berangkat menyebarkan Dhamma demi kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia. Sang Buddha Gotama bersabda :

"Para Bhikkhu, ia (yang akan ditahbiskan menjadi Samanera dan Bhikkhu) hendaklah : setelah mencukur kepala dan mengenakan jubah kuning ... bersujud di kaki para Bhikkhu, lalu duduk bertumpu lutut dan merangkapkan kedua belah tangan didepan dada, dan berkata : AKU BERLINDUNG KEPADA BUDDHA, AKU BERLINDUNG KEPADA DHAMMA, AKU BERLINDUNG KEPADA SANGHA"(Vinaya Pitaka I, 22)

Sang Buddha Gotama menetapkan rumusan tersebut bukan hanya bagi mereka yang akan ditahbiskan menjadi Samanera dan Bhikkhu, tetapi juga umat awam. Setiap orang yang memeluk agama Buddha, baik ia seorang awam ataupun seorang Bhikkhu, mengatakan keyakinan dengan kata-kata rumusan TISARANA tersebut. Nampaklah betapa luhurnya kedudukan BUDDHA, DHAMMA dan SANGHA. Bagi umat Buddha "berlindung kepada TIRATANA" merupakan ungkapan keyakinan, sama seperti "syahdat" bagi umat Islam dan "credo" bagi umat Kristen.

Tisarana adalah ungkapan keyakinan (saddha) bagi umat Buddha. Saddha yang diungkapkan dengan kata "berlindung" itu mempunyai tiga aspek :

a) Aspek Kemauan

Seorang umat Buddha berlindung kepada Tiratana dengan penuh kesadaran, bukan sekedar sebagai kepercayaan teoritis, adat kebiasaan atau tradisi belaka. Tiratana akan benar-benar menjadi kenyataan bagi seseorang, apabila ia sungguh-sungguh berusaha mencapainya. Karena adanya unsur kemauan inilah, maka Saddha dalam agama Buddha merupakan suatu tindakan yang aktif dan sadar yang ditujukan untuk mencapai Pembebasan, dan bukan suatu sikap yang pasif, "menunggu berkah dari atas".

b) Aspek Pengertian

Ini mencakup pengertian akan perlunya Perlindungan yang memberi harapan dan menjadi tujuan bagi semua makhluk dalam samsara ini, dan pengertian akan adanya hakekat dari perlindungan itu sendiri.

Adanya Tiratana sebagai Perlindungan telah diungkapkan sendiri oleh Sang Buddha Gotama. Tetapi hakekat Tiratana sebagai Perlindungan Terakhir hanya dapat dibuktikan oleh setiap orang dengan mencapainya dalam batinnya sendiri. Dalam diri seseorang, Perlindungan itu akan timbul dan tumbuh bersama dengan proses untuk mencapainya. "Dengan daya upaya, kesungguhan hati dan pengendalian diri, hendaklah orang bijaksana membuat untuk dirinya pulau yang tidak akan tenggelam oleh air bah".(Dhammapada, V:25)

BUDDHA, sebagai perlindungan pertama, mengandung arti bahwa setiap orang mempunyai benih kebuddhaan dalam dirinya, bahwa setiap orang dapat mencapai apa yang telah dicapai oleh Sang Buddha "Seperti sayalah para penakluk yang telah melenyapkan kekotoran batin" (Ariyapariyesana Sutta, Majjhima Nikaya). Sebagai Perlindungan, Buddha bukanlah pribadi Pertapa Gotama, melainkan para Buddha sebagai manifestasi dari pada Bodhi (kebuddhaan) yang mengatasi keduniawian (lokuttara).

DHAMMA, sebagai perlindungan kedua, bukan berarti kata-kata yang terkandung dalam kitab suci atau konsepsi ajaran yang terdapat dalam batin manusia biasa yang masih berada dalam alam keduniawian (Lokiya), melainkan "Empat Tingkat Kesucian" (Sotapanna, Sakadagami, Anagami, Arahat) beserta "Nibbana" yang dicapai pada akhir Jalan.

SANGHA, sebagai "perlindungan ketiga bukan berarti kumpulan para Bhikkhu yang anggota-anggotanya masih belum bebas dari kekotoran batin (Bhikkhu Sangha), melainkan Pasamuan Para Bhikkhu Suci yang telah mencapai tingkat-tingkat Kesucian (Ariya Sangha). Mereka ini menjadi teladan yang patut dicontoh, namun landasan sesungguhnya dari Perlindungan ini ialah kemampuan yang ada pada setiap orang untuk mencapai tingkat-tingkat kesucian itu.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa Buddha, Dhamma dan Sangha dalam aspeknya sebagai Perlindungan mempunyai sifat mengatasi keduniaan (Lokuttara). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Buddha, Dhamma dan Sangha merupakan manifestasi daripada Yang Mutlak, Yang Esa, yang menjadi tujuan terakhir semua makhluk. Buddha, Dhamma dan Sangha sebagai Tiratana adalah bentuk kesucian tertinggi yang dapat ditangkap oleh pikiran manusia biasa, dan oleh karena itu diajarkan sebagai Perlindungan yang tertinggi oleh Sang Buddha.

Buddha, Dhamma Dan Sangha atau Tiratana adalah Manifestasi, Perwujudan, Pengejawantahan dari Tuhan Yang Maha Esa dalam alam semesta ini, Yang Dipuja dan dianut oleh seluruh umat Buddha di dunia ini.

c) Aspek Perasaan

Yang berlandaskan aspek pengertian di atas, dan mengandung unsur-unsur keyakinan, pengabdian dan cinta kasih. Pengertian akan adanya Perlindungan memberikan keyakinan yang kokoh dalam diri sendiri, serta menghasilkan ketenangan dan kekuatan. Pengertian akan perlunya Perlindungan mendorong pengabdian yang mendalam kepada-Nya, dan pengertian akan hakekat Perlindungan memenuhi batin dengan cinta kasih kepada Yang Maha Tinggi, yang memberikan semangat, kehangatan dan kegembiraan.

Dari uraian diatas dapat dirumuskan bahwa "berlindung" dalam agama Buddha berarti: "suatu tindakan yang sadar yang bertujuan untuk mencapai Pembebasan, yang berlandaskan pengertian dan didorong oleh keyakinan." atau secara singkat "suatu tindakan sadar dari pada keyakinan, pengertian dan pengabdian".

Ketiga aspek daripada "berlindung" ini sesuai dengan aspek kemauan, aspek pengertian dan aspek perasaan dari batin manusia. Oleh karena itu untuk mendapatkan perkembangan batin yang harmonis, ketiga aspek ini harus dipupuk bersama-sama.

Berlindung kepada Tiratana sebagai pengucapan kata-kata belaka tanpa dihayati, berarti kemerosotan dari suatu kebiasaan kuno yang mulia. Perbuatan demikian melenyapkan makna dan manfaat dari Perlindungan. Berlindung kepada Tiratana seharusnya merupakan ungkapan dari suatu dorongan batin yang sungguh-sungguh, seperti seseorang yang apabila melihat suatu bahaya besar akan bergegas mencari perlindungan. Orang yang melihat rumahnya terbakar, tidak akan memperoleh keselamatan hanya dengan memuja keamanan dan kebebasan di luar tanpa bertindak untuk mencapainya.

Tindakan pertama kearah keselamatan dan kebebasan ialah dengan "berlindung" secara benar, yaitu suatu tindakan sadar daripada keyakinan, pengertian dan pengabdian.


Psikologi & Agama Buddha

Psikologi & Agama Buddha

Agama Buddha juga mempunyai peranan besar dalam bidang psikologi. Dikatakan bahwa agama Buddha adalah sains mengenai pikiran. Buddha, jauh sebelum Aquinas atau Heisenberg, menekan kan keunggulan pikiran dalam persepsi dan bahkan dalam "penciptaan" realitas. Salah satu konsep sentral dalam Buddhisme adalah gagasan tentang "segala sesuatu diciptakan dari pikiran".. Perbedaan apapun antara subyek dan obyek adalah khayal dan di pilah-pilah oleh kesadaran yang diskriminatif.
Dalam Avatamsaka Sutra bab 20, Buddha menggunakan sebuah metafor :

"Pikiran adalah seperti seorang artis
Yang melukis seluruh dunia....
Bila seseorang mengetahui cara kerja pikiran
Sebagaimana ia secara universal menciptakan dunia
Orang ini lalu melihat Buddha
Dan memahami sifat-dasar Buddha yang sejati dan aktul."

Kita berpikir bahwa kita sedang melakukan observasi terhadap alam, tetapi apa yang kita observasikan adalah pikiran kita sendiri yang sedang bekerja. Kita adalah subyek dan obyek dari metodologi kita sendiri.

Didalam kitab Abhidamma dan kitab aliran Yogacara seperti Samdhinirmocana Sutra di jelaskan secara terperinci mengenai berbagai macam kondisi pikiran dan kategori kesadaran. Tidak lah mengherankan bila banyak neuroscientist dan psychotherapist terkemuka di dunia menjadi pelopor dalam mempelajari agama Buddha untuk di gunakan dalam studi seperti terapi untuk gangguan tidur, penyembuhan terhadap pemikiran dan bentuk-bentuk mental ya ang negatif, pemahaman terhadap proses terjadi nya mimpi, tidur, dan proses kematian.

PIKIRAN ADALAH PELOPOR DAN PENCIPTA FENOMENA

Menurut salah satu aliran pemikiran Buddhisme yaitu aliran Yogacara (Cittamatra), menyebutkan bahwa dunia ini adalah manifestasi dari pikiran kita. Dunia dan alam semesta yang kita amati ini sesungguh nya merupakan proyeksi tiga dimensi dari pikiran kita sendiri.
Fenomena yang kita persepsikan sebagai realita bukanlah realita absolut karena masing-masing individu memproyeksikan dimensi pikiran nya sehingga tidak ada realitas tunggal yang berlaku untuk semua orang. Masing masing individu telah mendistorsi tersebut dengan kacamata berwarna yang di ciptakan dari benih energi karma individu pada kehidupan-kehidupan sebelum nya. Hal ini di bahas Michael Talbot dalam buku nya Holographic Universe dan B. Alan Wallace dalam dua buku nya berjudul The Taboo of Subjectivity dan Choosing Reality.
Talbot mengumpamakan semesta tidak lebih nyata di bandingkan sebuah hologram yang merupakan sebuah gambar tiga dimensi yang di proyeksikan ke dalam ruang pikiran kita.

PSIKOTERAPI DAN NEUROSAINS

Dr. Carl G. Jung, seorang pendiri Psikologi Analitik dan pelopor Psikologi Modern, telah menunjukkan bahwa psikologi analitik sangat dekat persamaan nya dengan metode Buddhisme yang esensi nya terkait dengan masalah asal datang nya penderitaan, metode dalam mengatasinya, kategori mental states, dan pemahaman mendalam mengenai kesadaran (consciousness)

Mark Epstein, dalam bukunya berjudul Thoughts Without a Thinker, berusaha menggabungkan ilmu kejiwaan Barat dengan ajaran Buddha. Dalam bukunya, disebutkan bahwa ingatan-ingatan yang hilang, emosi-emosi yang menyakitkan, pandangan-pandangan khayal, dan nafsu menghancurkan, dapat di temukan akarnya pada ajaran Buddha. Dengan di temukan akarnya, maka ajaran Buddha menawarkan suatu penyembuhan bagi seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan.

Contoh nyata aplikasi atas hal tersebut adalah dengan di massukkan nya metoda meditas relaksasi dan penanaman pemikiran positif pada 12 langkah pengobatan depresi mental yang telah terbukti berhasil (baca buku Rangkuman 12 langkah yang telah berhasil mengobati individu depresif dalam kelompok kecil, diterbitkan oleh Lewinsohn, Antonuccio, Steinmetz dan Teri pada tahun 1984)

Pada rangkuman tersebut, meditasi relaksasi disebut sebagai latihan relaksasi dan penanaman untuk berpikir positif di sebut sebagai strategi kognitif, yang kemudian di definisikan sebagai "metoda belajar untuk meningkatkan pikiran positif dan menurunkan pikiran negatif untuk mengenali pikiran irasional dan mengubahnya, serta untuk menggunakan pelatihan diri guna menangani situasi bermasalah"

Hal ini amat dekat kaitan nya dengan agama Buddha apabila kita mengingat bahwa salah satu petikan dari Abhidamma adalah "pikiran adalah pelopor". Dalam strategi kognitif , seperti halnya dalam agama Buddha, kita di ajarkan untuk mengembangkan pikiran positif terhadap lingkungan kita, membuang segenap pikiran negatif, serta mengenali pikiran irasional yang oleh Sang Buddha di sebut sebagai khayalan atau delusi pikiran dan mentransformasikannya mejadi pikiran yang mengarah ke hal-hal yang baik (kusala-citta).

Daniel Goleman, dalam bukunya berjudul Destructive Emotions, menceritakan dialog yang berlangsung antara Dalai Lama dengan para psikolog barat. salah satu tema dari buku itu adalah membahas cara-cara dalam mengatasi keadaan-keadaan emosi yang bersifat destruktif seperti kemarahan, kecemburuan, dan nafsu keinginan yang tak terkendalikan. Filsafat Buddhis memberitahukan kepada kita bahwa semua ketidakbahagiaan dan konflik antar perorangan terletak pada "tiga racun" : nafsu, keinginan, kemarahan dan delusi

Dari beberapa kali dialog yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir antara Timur dan Barat dalam hal psikologi dan psikoterapi, dapat di simpulkan bahwa metode psikoterapi dan ajaran ilmu kejiwaan di Barat belum mencapai tingkatan yang di tuntut di Timur. Medard Boss, seorang filosof Swiss yang terkemuka, pernah menyatakan bahwa di pandang dari sudut ajaran-ajaran dan tingkah laku guru-guru timur, metode-metode dan tujuan-tujuan psikoterapi, psikoterapi Barat tidak memadai.

Menurut Boss, jika di bandingkan dengan tingkat pemurnian dari yang di tuntut oleh latihan-latihan dari Timur, maka "analisa latihan Barat yang paling baik sekalipun tidak lebih dari suatu kursus pengantar saja bagi Timur".

Buddhisme mempunyai metode praktis untuk menumbuhkan pemikiran positif yakni dengan melaksanakan Empat Brahma Vihara, yang terdiri dari :Metta, Karuna, Mudita, dan Upeksha/Upekkha. Metta berarti cinta kasih universal, gembira atas kebahagiaan orang lain; Karuna berarti welas asih, turut merasakan penderitaan makhluk lain; Mudita berarti ikut bergembira atas kesuksesan orang lain; dan Upekkha berarti keseimbangan batin, tanpa membedakan teman dan musuh, sedih dan gembira.
Melatih keseimbangan batin berarti kita berusaha untuk tidak merasa senang atau sedih apabila di puji atau di cela.. Memang kesemua hal tersebut di atas tidak semudah membalik telapak tangan karena kita membutuhkan suatu latihan kejiwaan yang oleh Sang Buddha di sebut praktek Dhamma. Praktek ini melibatkan seluruh aspek kehidupan kita sehingga kita dapat mencapai seperti apa yang di capai Sang Buddha yaitu Pencerahan Sempurna.

ENERGI KEBIASAAN DAN GEN

Hal penting lain nya adalah mengenai kecenderungan-kecenderungan yang hanya di miliki orang tertentu. Misal nya ada orang yang mempunyai daya tahan rendah terhadap stress sehingga mudah melakukan bunuh diri, demikian juga ada orang yang menderita penyakit suka mencuri (kleptomania). Para psikolog dewasa ini belum dapat menjelaskan secara memuaskan mengenai penyebab hal tersebut. Para ahli kejiwaan hanya dapat sedikit menjelaskan bahwa hal tersebut di sebabkan oleh lingkungan sekitar yang membentuk karakteristik seseorang.

Mengenai hal ini, agama Buddha dapat memberikan penjelasan yang kita dapatkan dari ajaran Yogacara (Cittamatra), yang didirikan oleh Asanga dan Vasubandhu. Vasubandhu sendiri menulis beberapa karya tulisan sastra yang di sarikan dari Sutra-Sutra Buddhis, antara lain Lankavatara Sutra, yang merupakan salah satu sutra penting dalam aliran Yogacara. karya Vasubandhu yang akan kita pakai sebagai rujukan adalah Trisvabhavanirdesa sastra.

Pada naskah tersebut di sebutkan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh tubuh , ucapan dan pikiran "tercetak" dalam dasar/akar kesadaran.Dengan kata lain , apa yang dilakukan manusia akan menimbulkan jejak yang permanen. Jejak yang permanen itu antara lain dapat menimbulkan akibat pada kepribadian seseorang pada kehidupan berikut nya, bila kondisi-kondisi karmanya telah matang. bahkan jejak permanen tersebut dapat menimbulkan suatu akibat tertentu pada kondisi fisik manusia dan gen-gen seperti tubuh yang cacat atau gen diabetes.
Dengan kata lain, gen-gen merupakan manifestasi kasar dari energi karma yang di ciptakan dari perbuatan-perbuatan pada kehidupan lampau. Sebagai contoh, orang yang pernah melakukan bunuh diri pada kehidupan lampau, maka akan memilki kecenderungan sama yang tercetak pada kesadaran akarnya sehingga apabila ia terlahir kembali dan kemudian mengalami depresi, maka ia akan mudah mengambil keputusan untuk bunuh diri. Demikian Buddhisme menjelaskan mengenai hal tersebut.

PSIKOLOGI & AGAMA BUDDHA; Dalam Perspektif Kepribadian yang Sehat


PSIKOLOGI & AGAMA BUDDHA
Dalam Perspektif Kepribadian yang Sehat



Pendahuluan


Perkembangan sains dan teknologi yang sangat pesat selama kurun waktu satu abad terakhir membuat sebagian umat Buddha bertanya-tanya bagaimana sebenarnya posisi agama Buddha dalam kacamata sains. Sesungguhnya, agama Buddha mempunyai peranan besar dalam bidang psikologi. Dikatakan bahwa agama Buddha adalah sains mengenai pikiran.

Di dalam kitab Abhidhamma Pitaka dijelaskan secara terperinci mengenai berbagai macam kondisi pikiran dan kategori kesadaran. Banyak neuroscientist dan psikoterapist terkemuka menjadi pelopor dalam mempelajari agama Buddha untuk digunakan dalam studi seperti terapi untuk gangguan tidur, penyembuhan terhadap pemikiran dan bentuk-bentuk mental yang negatif, pemahaman terhadap proses terjadinya mimpi, tidur, dan proses kematian.

Berikut ini penulis sedikit mengulas mengenai kepribadian yang sehat menurut pandangan Barat (psikologi) dan pandangan Timur (agama Buddha), berikut ini:

Pandangan Barat

Apakah kepribadian yang sehat itu? Beberapa ahli teori ilmu psikologi Barat mengemukakan bahwa persepsi kita mengenai diri dan dunia sekitar kita harus objektif; ahli-ahli lain mengemukakan bahwa orang-orang yang sehat memakai pandangan subjektif mereka sendiri tentang kenyataan sebagai dasar untuk tingkah laku. Yang lainnya mengemukakan bahwa kita tidak dapat menjadi sehat secara psikologis tanpa sungguh-sungguh melibatkan diri dalam suatu pekerjaan; atau soal tanggung jawab terhadap orang lain.

Orang yang sehat secara psikologis mengontrol kehidupan mereka secara sadar. Walaupun tidak secara rasional, orang yang sehat mampu secara sadar mengatur tingkah laku mereka dan bertanggung jawab terhadap nasib mereka sendiri.

Orang yang sehat secara psikologis mengetahui diri mereka siapa dan apa. Orang-orang seperti ini menyadari kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan, kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan mereka, dan umumnya mereka sabar dan menerima apa adanya hal-hal mereka. Mereka tidak berkeinginan menjadi sesuatu yang bukan mereka. Meskipun mereka dapat memainkan peranan-peranan sosial untuk memenuhi tuntutan dari orang lain atau situasi-situasi, namun mereka tidak mengacaubalaukan peranan-peranan ini dengan diri mereka yang sebenarnya.

Orang lain umumnya menyetujui bahwa sifat kesehatan psikologis ialah bersandar dengan kuat pada masa sekarang. Meskipun kebanyakan diantara ahli-ahli teori itu percaya bahwa kita tidak kebal terhadap pengaruh-pengaruh masa lampau (khususnya masa kanak-kanak), namun tidak seorangpun mengemukakan bahwa kita tetap dibentuk oleh pengalaman-pengalaman awal. Orang-orang yang sehat secara psikologis hidup di masa sekarang.

Beberapa ahli teori menekankan suatu pandangan terhadap masa depan sebagai sesuatu yang sangat penting bagi kepribadian yang sehat. Orientasi kita harus ke tujuan-tujuan dan tugas-tugas yang akan datang, tetapi tidak mendorong kita untuk mengganti masa sekarang dengan masa depan. Orang yang sehat secara psikologis tidak merindukan ketenangan dan kestabilan, tetapi merindukan tantangan dan kegembiraan dalam kehidupan, tujuan-tujuan baru, dan pengalaman-pengalaman baru.

Tidak ada petunjuk untuk kesehatan psikologis yang berlaku sama untuk setiap orang karena kita bukan salinan atau cetakan duplikat satu sama lain. Ada satu hal yang tetap dalam kodrat manusia yang kebanyakan para ahli psikologis sependapat adalah kodratnya yang istimewa; atau khas kita masing-masing adalah unik. Tidak ada pendekatan-pendekatan untuk kesehatan psikologis yang cocok untuk setiap orang, sama seperti satu obat yang tidak akan menimbulkan akibat yang sama, meskipun semua orang yang menggunakannya memiliki penyakit yang sama. Obat itu akan mujarab untuk beberapa orang dan kesehatan mereka akan membaik atau obat itu tidak akan menghasilkan pengaruh pada orang-orang lain, dan berbahaya untuk orang-orang yang lain lagi.

Pengaruh dari pendekatan-pendekatan bagi kepribadian yang sehat berbeda tidak hanya untuk orang-orang yang berbeda, tetapi juga untuk orang yang sama pada usia yang berbeda. Nilai-nilai, kekurangan-kekurangan, kebutuhan-kebutuhan, ketakutan-ketakutan, dan harapan-harapan kita berubah luar biasa ketika kita maju dari salah satu tingkat perkembangan ke tingkat perkembangan selanjutnya. Dari masa kanak-kanak ke masa muda, masa remaja dewasa, usia setengah tua, usia tua, kepribadian kita terus berkembang. Apa yang kita butuhkan untuk diri kita pada usia 20 tahun mungkin tidak sesuai lagi pada usia 40 tahun.

Secara ideal, kita tidak pernah berhenti berkembang. Kita mengalami pengalaman-pengalaman baru dan akibatnya kita berubah, jika kita benar-benar terbuka pada dunia. Pakaian, aktivitas-aktivitas, dan nilai-nilai dari usia 17 tahun tidak cocok lagi untuk usia 35 tahun. Apa sebabnya? apakah kita harus sependapat bahwa jalan menuju kepribadian sehat dari anak yang berusia belasan tahun menjadi jalan bagi orang dewasa yang matang?

Tetapi, bagaimana kita menemukan jalan yang benar pada setiap tingkat pertumbuhan? penulis menduga bahwa kita menemukannya dengan cara yang sama sebagaimana kita pelajari apa yang cocok bagi kita dalam setiap ruang lingkup kehidupan. Kita mencoba gaya-gaya hidup yang berbeda, sejumlah kepercayaan, dan peran-peran sosial untuk melihat bagaimana hal-hal itu cocok dengan kita. Orang-orang yang tampaknya memiliki kesempatan yang sangat besar utnuk mencapai kesehatan psikologis adalah orang-orang yang cukup bebas (cukup aman dengan diri mereka) mengadakan percoabaan dengan petunjuk yang berbeda untuk melihat petunjuk manakah yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Orang lain dapat menganjurkan jalan yang harus diikuti, tetapi hanya Anda yang dapat mengatakan bagaimana jalan itu berhasil.

Menurut Dr. Carl Jung, seorang pendiri psikologi analitik dan pelopor psikologi modern, psikologi analitik sangat dekat kaitannya dengan metode agama Buddha yang esensinya terkait dengan masalah asal mula penderitaan, metode untuk mengatasinya, kategori keadaan mental, dan pemahaman yang mendalam mengenai kesadaran.

Mark Epstein, dalam bukunya yang berjudul "Thoughts Without a Thinker" berusaha menggabungkan ilmu psikologi Barat dengan Ajaran Buddha. Ia mengatakan bahwa ingatan-ingatan yang hilang, emosi-emosi yang menyakitkan, pandangan-pandangan khayal, nafsu untuk menghancurkan dapat ditemukan akarnya pada Ajaran Buddha. Dengan ditemukan akarnya, maka Ajaran Buddha menawarkan suatu metode bagi seseorang untuk mencapai kebahagiaan yang sehat.

Berbeda dengan tipe kepribadian yang sehat yang telah diajarkan oleh Sang Buddha. Kepribadian yang sehat sebagaimana telah diajarkan oleh Sang Buddha di dalam Abhidhamma Pitaka disebut Arahat. Sifat-sifat kepribadian sehat tersebut telah ditransformasikan secara permanent, di mana semua motif, persepsi, perbuatan, yang sebelumnya dilakukan di bawah pengaruh faktor faktor tidak sehat telah lenyap.

Sifat sifat kepribadian yang sehat tersebut meliputi:

1. Keterbebasan dari keserakahan, ketakutan, kebencian, pandangan sempit, hawa nafsu, kemarahan dan sifat membeda-bedakan.

2. Memiliki sikap-sikap seimbang dalam memandang orang lain, tenang dalam semua keadaan, waspada, keterbukaan, dan kepekaan.

Seorang Arahat memiliki sebuah kemiripan dengan orang-orang yang mengalami aktualisasi diri sebagaimana yang mana ada pada tulisan-tulisan Maslow dan Rogers.

Namun, kepribadian yang sehat seperti seorang Arahat dianggap terlalu radikal oleh dunia Barat, sangat jauh melampaui objektivitas dan harapan terapi kejiwaan (psikoterapi) di Barat.

Dilihat dari kacamata para psikolog di dunia Barat, sifat sifat kebajikan tersebut terlalu sulit dan mulia untuk diwujudkan karena menjadi seorang Arahat tidak mungkin hanya dapat terjadi dalam waktu semalam saja tetapi membutuhkan suatu pelatihan bertahap.

Antara Barat dan Timur dalam hal psikologi dan psikoterapi dapat disimpulkan bahwa metode psikoterapi dan ajaran psikologi di Barat belum mencapai tingkatan yang dituntut di Timur. Medrad Boss, seorang filosof Swiss yang terkenal pernah mengatakan bahwa dipandang dari sudut ajaran-ajaran dan tingkah laku guru-guru Timur; metode- metode dan tujuan-tujuan psikoterapi, psikologi Barat tidaklah memadai.

Menurut Boss, jika dibandingkan dengan tingkat pemurnian diri yang dituntut oleh latihan-latihan dari Timur, maka analisa latihan Barat yang paling baik sekalipun tidak lebih dari suatu kursus pengantar saja bagi timur.

Sumber:

Duane Schultz; Psikologi Pertumbuhan: Model-model Kepribadian Sehat; 1991
Ivan Taniputera Dipl.Ing; Sains Modern dan Buddhisme. Menelaah Persamaan Buddhisme dan Sains dalam Bidang Kosmologi, Fisika Kuantum, Biologi, Matematika dan Psikologi; Yayasan Karaniya, Jakarta; 2003.

MEDITASI VIPASSANA METODE MAHASI SAYADAW



MEDITASI VIPASSANA
METODE MAHASI SAYADAW


Alih Bahasa Inggris - Indonesia :
Chandasili Nunuk Y. Kusmiana, Samuel B. Harsojo;
Editor : Thitaketuko Thera;
Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Akhir Oktober 2002.

KATA PENGANTAR
(buku kedua)

Kami mendapat kiriman tiga buah buku Dhamma dari Bhikkhu Visudhacara (Seorang Bhikkhu berkebangsaan Swiss) beberapa tahun lalu. Salah satu buku tersebut sangat menarik bagi kami karena mengupas proses meditasi vipassana secara rinci.

Setelah membaca isinya (aslinya dalam bahasa Inggris) kami memutuskan untuk menterjemahkan buku ini. Tentu ada alasan khusus mengapa buku ini yang kami pilih untuk diterjemahkan dan diterbitkan. Ini karena begitu sedikitnya buku Dhamma di tanah air. Semakin sedikit lagi adanya buku yang mengupas tentang metode meditasi vipassana dalam bahasa Indonesia.

Aslinya buku ini sampai ke tangan kami tanpa nama penulis atau siapa orang yang telah mengumpulkan naskah-naskah ceramah di dalam buku ini. Karena, melihat teknik penulisannya, misal ditemukannya pengulangan kalimat di sana sini, juga banyaknya kalimat langsung, bahan-bahan buku diambil dari sekumpulan ceramah dari Rangoon, Burma sampai ke Sidney – Australia.

Menurut Bhante Thitakhetuko Thera yang kami hubungi di awal penerbitan buku pertama, buku ini mengupas praktek meditasi vipassana versi Mahasi Sayadaw. Perlu diketahui Almarhum Mahasi Sayadaw adalah salah satu guru meditasi besar di Burma.

Buku ini pertama kali kami terbitkan dalam bahasa Indonesia di tahun 1998 dengan jumlah terbatas dan cetakan yang sangat sederhana. Kami memberanikan diri menerbitkan lagi buku yang sama dengan menambah beberapa bahan baru (yang belum sempat kami terjemahkan di naskah pertama).

Berbeda dengan cetakan pertama yang seluruh naskah terjemahannya diedit oleh Bhante Thitakhetuko Thera, naskah tambahan (Bab IV dan V) kami selesaikan sendiri. Ini mengingat Bhante Thita saat ini memiliki kesibukan yang padat disamping kondisi jasmani beliau yang sering jatuh sakit. Meski demikian Bhante Thita tahu dari awal proses penerbitan buku kedua ini. Sementara kami memberanikan diri mencantumkan nama beliau sebagai editor (yang beliau tolak pada penerbitan pertama) didasari oleh rasa hormat dan kasih sayang yang dalam dari kami.

Terakhir, tak lengkap kiranya kami belum mengucapkan terima kasih kepada saudari Susan Inawati (Jakarta) yang dengan tulus mengumpulkan dana untuk penerbitan kedua buku ini. Juga terima kasih kepada para donatur (nama-nama donatur kami tulis di akhir buku) yang dengan sama tulusnya telah menyumbangkan sejumlah dana untuk merealisir rencana ini.

Semoga dengan keberadaan buku ini akan dapat membantu kita dalam mempraktekkan meditasi Vipassana secara baik dan benar.

Surabaya, akhir Oktober 2002.
Penerjemah
DANAR VIPASSAKA PRADANA

KATA PENGANTAR
(buku pertama)

Keberadaan seorang guru meditasi memiliki banyak arti. Terutama, dengan kasih sayang, ketekunan dan kesabaran beliau memberi semangat kepada para pemeditasi dalam menjalankan praktek vipassana.

Yang juga tak kalah penting beliau tahu kapan harus menegur, “memarahi”, “membiarkan” dan menjadi kawan. Gambaran guru seperti ini nyaris tidak ditemukan bilamana guru tersebut tidak mencapai tahap-tahap tertentu dalam kebijaksanaan Dhamma.

Namun kemuliaan guru demikian kadang menjadi celaan bagi para siswa maupun umat yang masih diliputi oleh kegelapan batin. Sebab yang menjadi tolok ukur adalah diri kita yang penuh “kebodohan” ini. Seperti halnya yang sering kami lakukan.

Kadang pada suatu latihan kami sudah merasa sedemikian luar biasa dalam mencapai kemajuan. Tapi ketika “kemajuan” itu dikonfirmasikan kepada beliau kesimpulannya tidak lain adalah “penyelewengan” dari “rel” latihan vipassana.

Saat ini di tengah hirup pikuk duniawi kami menyadari segala kebodohan yang melandasi segala kebodohan yang melandasi semua penilaian kami atas tindakan beliau (yang sesungguhnya selalu diliputi kasih sayang yang luar biasa kepada para siswanya).

Untuk mengenang dan menghormati apa-apa yang telah beliau (dalam hal ini kami memahami ketidakinginan beliau untuk dipublikasikan) berikan, naskah terjemahan ini kami terbitkan.

Semoga dengan adanya buku ini kami memperoleh sedikit pencerahan. Dan, semoga buku ini bermanfaat bagi semua.
Batu, 10 Oktober 1998.
Penerjemah
DANAR VIPASSAKA PRADANA

B A B I
PETUNJUK-PETUNJUK UMUM SECARA SINGKAT

I.1. SAMATHA BHAVANA

Pertama-tama yang harus kita ketahui adalah perbedaan antara meditasi Samatha dan meditasi Vippasana. Jika tidak, mustahil bagi seseorang untuk berhasil berlatih meditasi dengan baik, karena yang akan didapati adalah kebingungan.
 Perlu dijelaskan bahwa dalam agama Buddha dikenal dua macam meditasi, yaitu meditasi Samatha dan meditasi Vipassana.
 Samatha berarti konsentrasi atau suatu keadaan mental yang membuat pikiran menjadi tenang. Ketika pikiran dikonsentrasikan pada sebuah obyek, ini dikenal sebagai konsentrasi pikiran. Maka, bila ingin meningkatkan konsentrasi dapat dipraktekkan meditasi Samatha. Sebab tujuan dari meditasi Samatha adalah untuk mencapai tingkat-tingkat konsentrai yang lebih tinggi yang sering disebut jhana atau appana.
Di Burma pengertian jhana ini dikenal dengan Zhan. Di Cina dikenal dengan sebutan Chan atau Zen di Jepang. Di sini Zen berarti konsentrasi. Tapi beberapa beberapa aliran (dalam agama Buddha) mengartikan Zen sebagai meditasi.
Dengan demikian jhana adalah tingkat meditasi yang sangat tinggi. Oleh sebab itu bila kita berlatih meditasi Samatha, kita akan memperoleh atau mencapai tingkatan konsentrasi tinggi yang juga dikenal dengan jhana.
Untuk mencapai jhana-jhana ini kita harus mengonsentrasikan pikiran pada satu obyek, seperti misalnya obyek pernapasan, salah satu obyek dalam kasina, asubha dan lain sebagainya.
Umumnya umat Buddha mempraktekkan meditasi dengan obyek napas. Dalam bahasa Pali meditasi dengan menggunakan obyek napas ini dikenal sebagai Anapanasati.
Saat berlatih meditasi dengan obyek napas, pikiran harus dipusatkan pada keluar-masuknya napas. Saat bernapas, udara menyentuh ujung hidung, maka kita amati dan mencatatnya dalam batin sebagai “napas masuk”. Juga saat menghembuskan napas (secara alami), udara melewati ujung hidung, kita mencatat hal itu sebagai “napas keluar”. Demikian seterusnya, dengan pikiran selalu terpusat pada ujung hidung.
Andaikata pikiran tidak dapat terpusat pada keluar-masuknya napas dan mengembara kemana-mana, serta berpikir hal-hal lain, seperti memikirkan keluarga, teman, sekolah, dan lain-lain, pikiran harus dipusatkan kembali pada obyek semula, yakni keluar-masuknya napas.
Meski pikiran dipusatkan pada keluar-masuknya napas, ini tidak dapat dipertahankan lebih lama. Pada masa awal berlatih, pikiran akan sering mengembara kemana-mana. Lalu kita harus mengajak kembali pikiran tersebut pada obyek semula, yakni obyek keluar-masuknya napas dan memperhatikan serta menyadari (= mencatat dalam batin) napas masuk dan keluar melalui sentuhan udara pada ujung hidung. Dengan cara ini pikiran dapat dipusatkan pada obyek dan memegang obyek tersebut lebih lama. Dengan cara ini latihan terus ditingkatkan.
Setelah berlatih selama seminggu atau sepuluh hari pikiran akan menjadi semakin terkonsentrasi pada keluar-masuknya napas melalui sentuhan dengan ujung hidung. Ini berarti konsentrasi anda semakin baik dan tajam. Jika latihan ini dilanjutkan sampai 2 atau 3 bulan, pikiran menjadi semakin terpusat dan terasah. Pemusatan pikiran pada obyek dapat bertahan selama 10 atau 15 menit. Demikianlah kita harus berjuang sebaik mungkin untuk mempertahankan pikiran pada obyek napas tersebut. Akhirnya pikiran menjadi terpusat pada keluar-masuknya napas dan pikiran menjadi bebas. Artinya ketika pikiran hanya terpusat pada keluar-masuknya napas, pikiran tanpa gangguan, tak ada kekacauan.
Kondisi pikiran seperti keinginan-keinginan hawa nafsu, kesakitan, kemalasan, kegelisahan, penyesalan dan keraguan (yang kesemuanya ini disebut halangan atau gangguan) dapat disingkirkan, karena pikiran hanya terkonsentrasikan pada satu obyek, yakni keluar-masuknya napas.
Sepanjang pikiran hanya terpusat pada keluar-masuknya napas melalui hidung, gangguan-gangguan seperti disebutkan tadi dapat disingkirkan. Sesudah itu pikiran akan semakin lunak, tenang dan cerah. Kita akan merasakan kedamaian selama pikiran dapat dipertahankan terpusat pada keluar-masuknya napas. Inilah yang dimaksud atau disebut dengan jhanna. Pikiran hanya benar-benar terpusat pada obyek meditasi, yakni keluar-masuknya napas.
Meskipun demikian, pikiran yang terpusat itu tidak dapat membangkitkan kesadaran untuk melihat kondisi-kondisi pikiran atau perubahan-perubahan pada tubuh yang terjadi dalam diri kita. Meditasi Samatha adalah meditasi yang melatih atau memusatkan pikiran saja bukan meditasi untuk membangkitkan kesadaran.

I.2. VIPASSANA BHAVANA
Meditasi lainnya yang kita kenal adalah meditasi vipassana. Arti dari Vipassana adalah kesadaran akan 3 corak dari keberadaan pikiran dan fenomena fisik. Apa sajakah ketiga corak itu ?
Ketiga corak tersebut adalah anicca (ketidakkekalan), dukkha (segala sesuatu yang tidak memuaskan) dan anatta (tidak adanya diri atau aku yang kekal). Karenanya kita harus mengamati setiap kondisi pikiran atau perubahan fisik yang timbul pada saat itu. Pengamatan dilakukan dengan sungguh-sungguh sehingga kita dapat menyadari ketiga corak dari kondisi pikiran atau perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh.
Ketiga corak diatas, yakni anicca, dukkha dan anatta haruslah disadari secara jelas oleh pelaksana meditasi, sehingga gangguan-gangguan pikiran atau kekotoran batin seperti keserakahan, nafsu, kemelekatan, keinginan, keengganan, perasaan acuh tak acuh, kesombongan, iri hati dan lain-lain dapat dihancurkan.
Praktis meditasi Vipassana dapat menyadari anicca, dukkha dan anatta (dengan kata lain yang dikenal sebagai diri, saya, kamu atau aku) dan tidak menganggap setiap kondisi-kondisi pikiran atau perubahan-perubahan pada tubuh sebagai individu, aku atau kamu, melenyapkan konsep ke-aku-an, diri, atau roh yang merupakan akar dari kekotoran dan gangguan terhadap batin, sehingga kebahagiaan dan kedamaian dapat dicapai dalam pada kehidupan saat ini juga. Inilah tujuan dari meditasi Vipassana.
Vipassana dapat berarti batin. Pengetahuan oleh batin yang menembus kesunyataan dari bentuk-bentuk pikiran dan fenomena fisik disebut Vipassana nana (= pengetahuan pandangan terang).
Tujuan berlatih meditasi Vipassana adalah untuk membangkitkan kesadaran akan kesunyataan atas tiga corak dari pikiran dan perubahan pada tubuh sebagaimana adanya (anicca, dukkha, anatta). Untuk menyadari hal itu kita harus mencapai tingkatan-tingkatan dalam konsentrasi.
Tingkatan-tingkatan dalam konsentrasi ini dapat diperoleh dengan menyadari sepenuhnya segala sesuatu yang sedang terjadi pada tubuh dan pikiran. Sebab, untuk menyadari corak-corak asli dari tubuh dan bentuk-bentuk pikiran, kita harus melakukan perhatian penuh atas segala sesuatu yang sedang terjadi pada tubuh dan pikiran tersebut. Tidak perlu memikirkan hal-hal yang sedang terjadi pada pikiran atau proses-proses yang terjadi pada tubuh. Tidak perlu menganalisanya. Juga tidak perlu mengritik apa-apa yang sedang terjadi pada tubuh dan pikiran.
Saat berlatih meditasi Vipassana, tidak perlu melakukan analisa (penelitian), memikirkan hubungannya dengan sesuatu hal, mengritik (hal-hal yang sedang muncul saat berlatih), mencari jawaban yang masuk akal, atau berpikir dengan pengertian-pengertian yang telah dimiliki sebelumnya. Apa yang harus dilakukan hanya menyadari/melihat apa yang sedang berlangsung pada tubuh dan pikiran. Tidak perlu bereaksi pada obyek (meditasi). Apakah itu baik atau buruk. Yang harus dilakukan hanyalah mengamati apa saja yang sedang terjadi atau muncul pada tubuh dan pikiran. Hanya menyadari. Tidak melakukan tindakan apapun. Tak melakukan penilaian. Hanya melihat apa yang sedang terjadi sebagaimana adanya. Hanya itu. Memiliki kesadaran penuh melihat hal-hal yang sedang terjadi apa adanya. Dan ketika kesadaran dimantapkan secara terus-menerus, maka pikiran menjadi terpusat.
Pada saat pikiran terpusat dengan baik, kesadaran terhadap kesunyataan dari bentuk-bentuk pikiran dan proses yang sedang terjadi pada tubuh, bangkit dengan hanya menyadarinya. Jadi, meditasi ini dikenal dengan meditasi pandangan terang atau meditasi Vipassana.
Dalam berlatih meditasi Vipassana hal yang paling penting adalah menyadari atau mengamati segala sesuatu yang muncul dalam pikiran.
Saat berlatih meditasi mungkin memikirkan keluarga, pekerjaan atau teman. Pikiran berkeliaran kemana-mana, memikirkan sesuatu yang lain. Bahkan kadang berkhayal, berencana dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk pikiran ini harus disadari sepenuhnya : mengingat masa lalu, berencana, berkhayal, berpikir yang lain, dengan mencatat dalam hati sebagai “Berpikir … berpikir … berpikir” atau “Berkhayal … berkhayal … berkhayal”.
Saat melihat banyak khayalan muncul dalam diri, catatlah itu sebagai “melihat … melihat … melihat” tanpa perlu menganalisanya, tanpa perlu berpikir apakah itu, dan tanpa mengritiknya. Maka, didalam mempraktekkan meditasi Vipassana/meditasi pandangan terang, kesadaran untuk tidak bereaksi adalah faktor untuk mencapai keberhasilan.
Tidak perlu melakukan aksi apapun saat melihat/menyadari suatu obyek. Saat mendengar suara, mencium bebauan, mencicipi masakan, menyentuh/meraba sesuatu, atau memikirkan sesuatu, tidak perlu bereaksi terhadap obyek-obyek tersebut. Hanya sadari dengan penuh kesadaran atas segala sesuatu yang dilihat, didengar, dicium, dicicipi, disentuh, dipikir, dengan mencatat hal-hal itu sebagai “melihat … mendengar … mencium … mencicipi … menyentuh … berpikir”.
Dalam proses menyadari atau mencatat enam kesadaran ini, tidak perlu bereaksi atas obyek-obyek tersebut.
Sebagai contoh, karena besarnya kekuatan untuk menyadari atas kesadaran-melihat, maka kesadaran-melihat tidak dapat mengamati obyek dengan baik. Sehingga dengan ini tidak dapat digunakan untuk memberikan penilaian, apakah obyek itu baik atau buruk.
Ketika kesadaran-melihat tidak dapat digunakan untuk memberikan penilaian pada obyek sebagai sesuatu yang baik atau buruk, maka perasaan tidak akan menjadi baik atau buruk. Perasaan tidak akan terseret pada obyek yang muncul. Tentunya tidak ada reaksi sama sekali atas obyek-obyek itu.
Kesadaran tidak memiliki cukup waktu jika pengamatan tidak dilakukan. Maka akibat dari hal ini akan memunculkan penilaian pada obyek sebagai yang baik atau buruk.
Saat kesadaran-mengamati menilai obyek sebagai sesuatu yang baik, timbul kesenangan yang luar biasa atas obyek itu. Sebaliknya, bila kesadaran mengamati menilai obyek sebagai sesuatu yang buruk, akan timbul kesedihan.
Kita menyukainya, mencintainya, ingin mendapatkannya. Nafsu keinginan untuk memiliki muncul karena obyek itu dirasa menyenangkan. Keinginan adalah reaksi atas obyek yang tidak disadari atau dicatat. Keinginan adalah akar dari penderitan, dukkha. Sebab-sebab timbulnya dukkha adalah adanya nafsu keinginan yang timbul karena kita luput/gagal menyadari obyek yang muncul dan kita terseret untuk bereaksi. Timbulnya reaksi ini adalah bentuk dari nafsu keinginan atau cinta.
Tidak perlu bereaksi atas obyek yang muncul. Harus selalu sadar dan menyadarinya/mencatatnya (dalam batin) sebagai : “melihat … melihat … (atau mendengar …, mencium …, mencicipi …, menyentuh). Jangan berpikir bila obyek-obyek itu muncul.
Pada saat menyadari setiap obyek yang timbul, apakah itu bentuk-bentuk pikiran atau proses-proses yang terjadi pada tubuh, tidak perlu bereaksi terhadap obyek-obyek tersebut. Dengan demikian timbul ketenangan. Inilah sebabnya kita namakan meditasi pandangan terang.
Untuk melatih meditasi pandangan terang yang dibutuhkan adalah menyadari segala sesuatu yang sedang terjadi pada tubuh atau pikiran. Tidak perlu memikirkannya, menghubungkannya dengan konsep-konsep maupun pengertian-pengertian yang telah dimiliki sebelumnya. Apabila konsep-konsep itu dibiarkan berkeliaran pada pikiran saat bermeditasi, maka wujud asli dari pikiran dan perubahan-perubahan pada tubuh yang diamati tidak akan dapat dipahami. Jadi, prinsip dari meditasi Vipassana atau pandangan terang adalah menyadari hal-hal yang muncul pada pikiran dan proses-proses pada tubuh sebagaimana adanya.
Melihat hal itu teknik pada meditasi ini tidaklah sulit. Boleh dikata sangat mudah dan sederhana. Tapi sangat efektif bila dipraktekkan dengan tekun. Harus bersabar bila belum dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam pencerahan. Ketekunan, kesabaran dan usaha yang tak kenal lelah adalah hal yang paling diperlukan bagi pemeditasi untuk mencapai keberhasilan.
Jelaslah bahwa prinsip dari meditasi vipassana adalah menyadari bentuk-bentuk pikiran dan proses-proses yang berlangsung pada tubuh dan batin. Selain itu pada meditasi vipassana kita memiliki obyek-obyek yang bervariasi. Bukan hanya satu obyek seperti dalam meditasi Samatha.
Inilah perbedaan yang harus dimengerti antara meditasi Samatha dan Vipassana, dimana pada meditasi Samatha hanya digunakan satu obyek meditasi seperti misalnya napas. Sementara dalam meditasi vipassana memiliki banyak obyek yang berbeda karena semua bentuk-bentuk pikiran dan proses-proses yang terjadi pada tubuh adalah obyek. Semua obyek-obyek itu harus disadari dan dicatat dalam batin.

I.3. MENGAMATI GERAKAN PERUT
Untuk membuat latihan tersebut lebih mudah kita dapat memperhatikan kembung-kempisnya perut. Pengamatan terhadap kembung-kempisnya perut tidak sama dengan meditasi yang menggunakan obyek pernapasan. Ini disebut pengamatan terhadap unsur-unsur dalam diri. Sebab, kita mengamati empat unsur yang terdiri dari unsur tanah, air, api, dan udara. Pada permulaan berlatih kita akan menyadari atau mengamati sepenuhnya tentang empat unsur tersebut.
Pengamatan atas naik-turunnya (kembung-kempisnya) perut disebut (melatih) kesadaran akan unsur-unsur dalam diri manusia. Dalam bahasa Pali dikenal dengan sebutan dhatu manasikara. Ini bukanlah meditasi pernapasan (anapanasati seperti dalam meditasi Samatha) walaupun gerakan naik-turunnya perut berhubungan dengan keluar-masuknya napas. Tetapi hanya mengamati/menyadari terhadap gerakan naik-turunnya perut. Udara di dalam perut membuat gerakan kembung-kempis atau naik-turunnya perut. Gerakan naik-turunnya perut ini diamati dan dicatat “kembung … kempis … kembung … kempis …”.
Oleh sebab itu ini bukanlah meditasi pernapasan tetapi disebut dhatu manasikara, satu dari empat obyek kesadaran yang dijelaskan oleh Sang Buddha. Karena ini bukan meditasi pernapasan, kita tidak seharusnya melekat pada gerakan naik-turunnya perut sebagai satu-satunya obyek meditasi. Karena dalam meditasi vipassana, gerakan naik-turunnya perut merupakan pengamatan atas unsur-unsur dalam tubuh, satu dari sekian banyak obyek, bukanlah satu-satunya obyek meditasi.
Saat perut mengembung atau bergerak maju, sadari dan catat dalam batin sebagai “maju/kembung …” Saat perut bergerak mundur atau mengempis, catat hal itu sebagai “mundur/kempis …” Gerakan maju-mundurnya atau kembung-kempisnya perut disadari dan dicatat sebagai “maju … mundur … maju … mundur” atau “kembung … kempis … kembung … kempis …”.
Sambil kita mengamati naik-turunnya perut, di dalam pikiran mungkin (muncul) memikirkan hal lain. Pada pemula, hal ini mungkin tidak disadari. Setelah beberapa saat berulah disadari bahwa pikiran berpindah ke obyek lain. Segera setelah menyadari hal itu, kita ikuti pikiran yang tertuju pada obyek tersebut, amati dan catat sebagai “berpikir … berpikir …” atau “melamun … melamun …”.
Saat pikiran yang mengembara itu kembali ke obyek utama, yaitu naik-turunnya perut, catat seperti biasa sebagai “naik … turun … naik … turun … “. Seandainya pikiran itu berkeliaran lagi, ikuti saja dan catat dalam batin sebagai “berpikir … berpikir …” (atau hal lain yang berkaitan dengan yang dituju oleh pikiran). Jika pikiran berhenti memikirkan hal/obyek tersebut, kembalilah pada obyek semula, yakni naik-turunnya perut. Semua aktifitas ini dicatat dalam batin sebagaimana mestinya.
Selang duduk bermeditasi selama 20–30 menit, mungkin timbul rasa sakit pada bagian tubuh. Kaki, lutut atau punggung terasa sakit. Rasa sakit tersebut lebih berpengaruh daripada obyek naik-turunnya perut. Karenanya pengamatan harus dialihkan pada rasa sakit itu serta dicatat dalam batin.
Rasa sakit tersebut lebih dominan daripada obyek semula (naik-turunnya perut). Amati dan catat sebagai “sakit … sakit … sakit …”. Lakukan pengamatan terhadap rasa sakit secara intensif/terus-menerus dan penuh perhatian.
Rasa sakit mungkin menjadi lebih terasa. Kita harus menghadapinya dengan lebih sabar dan memandang rasa sakit itu sebagaimana adanya, dengan penuh kesabaran serta mencatatnya dalam batin sebagai “sakit … sakit … sakit …”.
Apabila rasa sakit itu tak tertahankan, kita harus bangkit (dari posisi duduk) lalu lakukan meditasi jalan. Melakukan meditasi jalan jauh lebih baik daripada merubah posisi (dalam sikap duduk meditasi). Jadi, untuk melepaskan diri dari rasa sakit, tidak perlu berganti posisi. Bangkit dan lakukan meditasi jalan.

I.4. MEDITASI JALAN
Dalam melakukan meditasi jalan kita harus mengamati gerakan kaki. Saat melangkah dengan kaki kiri, pusatkan pikiran pada gerakan kaki kiri. Demikian pula pada kaki kanan. Catat gerakan kaki tersebut sebagai “kiri … kanan … kiri … kanan ..”. Gerakan kaki dipengaruhi unsur vayodhatu, merupakan unsur udara yang harus ditembus dengan kesadaran akan kesunyataan itu.
Lalu pengamatan terhadap gerakan kaki dapat ditingkatkan menjadi dua bagian. Tentunya ini dilakukan setelah mengamati gerakan kaki kiri dan kanan berlangsung dengan baik. Dua bagian gerakan itu, adalah “angkat” dan “turun”. Saat mengangkat kaki, amati dan catat hal itu sebagai “angkat”. Begitu pula bila menurunkan kaki. Gerakan kaki tersebut diamati dan dicatat sebagai “angkat … turun … angkat … turun …”.
Pengamatan dapat ditingkatkan dengan membagi gerakan kaki menjadi tiga bagian, yakni “angkat”, “maju”, “turun”.
Gerakan kaki mulai dari “mengangkat”, “maju” dan kemudian “menurunkannya” dilakukan dalam satu rangkaian gerakan. Sehingga satu gerakan tersebut terbagi dalam tiga bagian, yakni “angkat”, “maju”, dan “turun”. Amati dan catat gerakan itu sebagai “angkat … maju … turun …”.
Dalam melakukan meditasi jalan, jangan melihat sekeliling. Pandangan mata setengah tertutup dan jarak pandang sejauh lebih kurang 2 meter di depan kita. Jangan lebih dekat dari itu. Pikiran harus terpusat pada gerakan kaki “angkat … maju … turun …”. Jangan berjalan dengan cepat, sebab hal ini akan membuat kita tidak dapat menyadari gerakan kaki dengan baik. Gerakan melangkah harus dilakukan dengan perlahan.
Ketika mencapai batas akhir dari lintasan, kita dapat berbalik. Saat berbalik, ada keinginan untuk membalikkan badan. Maka keinginan itu harus dicatat (dalam batin) sebagai “ingin … ingin … ingin …”. Kemudian pengamatan ditujukan kepada gerakan tubuh yang berbalik serta dicatat sebagai “balik … balik … balik …”.
Sewaktu wajah menghadap ke arah darimana kita datang, tetaplah berdiri tegak dan amati posisi tubuh dalam keadaan demikian sebgai “berdiri … berdiri … berdiri …” selama lebih kurang sepuluh kali. Kemudian praktek meditasi jalan dapat dilanjutkan kembali serta mencatat setiap gerakan kaki sebagai “angkat … maju … turun …”.
Latihan ini dapat dilakukan, setidaknya, selama 1 jam. Namun bagi pemula mungkin agak sulit untuk berjalan selama 1 jam. Mungkin menjadi 30 menit.
Saat mencapai dinding atau batas lintasan, kita dapat melakukan hal yang sama. Pertama, tetap berdiri tegak sambil mencatat dalam batin sebagai “berdiri … berdiri … berdiri …”. Amati posisi tubuh dalam keadaan tegak tersebut lalu catatlah “ingin …ingin … ingin…” (ketika muncul keinginan untuk memutar tubuh) sambil memutar tubuh “balik … balik… balik …” secara perlahan. Kemudian berjalan kembali ke arah darimana kita datang pada lintasan yang sama. Pusatkan pikiran pada gerakan kaki sampai benar-benar terpusat, yang dalam bahasa Pali disebut Samadhi.
Samadhi ini dapat dicapai dengan melatih kesadaran secara terus-menerus. Juga dapat dibangkitkan dengan cara melakukan meditasi jalan maupun duduk secara bergantian.
Setelah berjalan, selama 30 menit atau 1 jam, kita dapat kembali ke tempat kita duduk. Konsentrasi dan kesadaran yang dikumpulkan selama melakukan meditasi jalan tidak seharusnya kacau atau terpatahkan saat berjalan menuju ke tempat kita duduk bermeditasi. Kesadaran harus dipertahankan tetap utuh saat menuju tempat melakukan meditasi duduk. Gerakan kaki harus dipertahankan tetap stabil sampai ke tempat kita duduk bermeditasi. Ketika mencapai tempat tersebut, catatlah posisi tubuh itu sebagai “berdiri … berdiri … berdiri …”. Posisi tubuh yang tegak ini harus dalam keadaan diam. Lalu kita dapat duduk dan meneruskan praktek meditasi tersebut.
Ada keinginan untuk duduk. Keinginan ini harus diamati dan dicatat dalam batin sebagai “ingin … ingin … ingin …”. Kemudian duduklah secara perlahan. Gerakan untuk duduk ini harus tetap diamati dan dicatat dalam batin sebagai “duduk … duduk … duduk …”. Saat tubuh (pantat) menyentuh tempat duduk, kita harus mencatatnya sebagai “sentuh … sentuh … sentuh …”. Juga saat mengatur tangan dan kaki, semuanya ini harus diamati dengan penuh kesadaran. Dalam posisi duduk bermeditasi, posisi kaki dapat disilangkan atau posisi apa saja yang enak. Jika berganti posisi dari meditasi duduk ke meditasi jalan, juga saat bangkit dari posisi duduk, harus tetap waspada dan mengamati semua gerakan tangan, kaki, serta gerakan-gerakan tubuh secara keseluruhan. Ketika berjalan, amati gerakan kaki dan catat dalam batin sebagai “kiri … kanan … kiri … kanan …”. Saat mencapai tepi/batas lintasan, tetaplah berdiri tegak sampai mengamati posisi tersebut. Catat dalam batin sebagai “berdiri … berdiri …”.
Dengan cara ini kita harus menyadari sepenuhnya apa saja yang muncul pada tubuh dan pikiran. Inilah meditasi pandangan terang. Meditasi yang bertujuan untuk menyadari semua bentuk-bentuk pikiran dan proses-proses yang sedang terjadi pada tubuh sebagaimana adanya.

BAB II
PETUNJUK LANJUTAN


II.1. MEDITASI JALAN
Ketika melakukan meditasi jalan konsentrasikan pikiran pada langkah kaki. Konsentrasi akan melemah bila pikiran tertuju pada bagian-bagian lain dari kaki, seperti lutut atau pangkal paha. Begitu pula dalam hal kecepatan melangkah.
Langkah kaki yang terlampau cepat akan membuat proses pengamatan terhadap gerakan kaki tersebut tidak dapat dilakukan secara tepat dan penuh perhatian. Hal ini pun akan membuat konsentrasi melemah.
Pada saat melangkah kita tak perlu melihat sekeliling dan ke tempat-tempat lain. Perhatikanlah, keinginan/nafsu adalah penyebab yang menimbulkan pengaruh melihat. Bila unsur menyebabnya telah dimusnahkan, tidak akan ada pengaruh yang mendorong munculnya keinginan untuk melihat. Dengan demikian kita tidak ingin melihat. Maka cara terbaik untuk mengendalikan mata adalah menyadari keinginan untuk melihat saat keinginan tersebut muncul.
Kita harus menyadari saat keinginan untuk melihat sesuatu muncul dengan mencatat, “ingin … ingin … ingin …”, sampai keinginan tersebut hilang. Jika keinginan untuk melihat ini telah hilang kita tidak akan lagi memiliki keinginan untuk melihat ke sekeliling. Akibatnya konsentrasi tidak terpecah. Maka waspadalah melihat munculnya nafsu keinginan apapun sampai keinginan tersebut lenyap. Hanya dengan lenyapnya nafsu keinginan kita dapat melanjutkan mengamati langkah kaki.
Setelah berjalan selama lima sampai sepuluh menit pikiran mungkin akan berkeliaran, berkhayal atau memikirkan sesuatu. Dalam hal ini kita harus berhenti melangkah, tetap dalam posisi berdiri dan sadari hal itu sebagai “berkhayal … berkhayal” atau “berpikir … berpikir” hingga khayalan atau pikiran tersebut lenyap. Setelah itu meditasi jalan dapat dilanjutkan kembali.
Langkah kaki haruslah pendek, sekitar sepanjang kaki, sehingga kita dapat melangkah dengan baik dan mengamatinya dengan tepat dan terarah. Bila langkah terlalu panjang, sebelum kita meletakkan kaki pada lantai, kemungkinan yang terjadi adalah secara tidak sadar kita telah mengangkat tumit dari kaki yang satunya. Maka kita akan kehilangan pengamatan terhadap pengangkatan tumit tersebut. Hal ini dikarenakan langkah kita terlalu panjang.
Sesudah meletakkan kaki dengan baik, kita dapat mulai mengangkat tumit dari kaki yang lain. Lalu amati dan sadari gerakan tersebut dengan baik sehingga permulaan dari mengangkat tumit dapat sepenuhnya disadari.
Kita dapat mengamati gerakan kaki dalam tiga bagian, yaitu “angkat”, “maju”, “turun”. Ini dilakukan setelah mengamati atau mencatat (dalam batin) gerakan kaki “kiri … kanan … kiri … kanan …” selama lebih kurang sepuluh menit.
Pengamatan gerakan kaki dalam dua bagian kurang begitu baik, karena saat mengangkat kaki dan menurunkannya, kaki tersebut akan tetap berada di tempat yang sama. Seharusnya, setelah mengangkat kaki kita harus menggerakkan kaki maju dalam jarak tertentu untuk kemudian menurunkannya. Dengan mencatat gerakan turun setelah angkat, kita melewati pengamatan proses gerakan maju atau mendorong. Langkah kaki pada bagian pertengahan menjadi hilang. Maka, kita perlu melakukan pengamatan gerakan kaki menjadi tiga bagian, yaitu “angkat”, “maju”, “dorong”.
Ketika meletakkan kaki dan kaki tersebut menyentuh lantai, kita dapat mencatatnya sebagai “sentuh”. Dengan cara ini pengamatan gerakan kaki menjadi “angkat … maju … turun … sentuh …”.
Juga saat kaki menyentuh lantai, kita mengangkat kaki yang lain dengan mulai mengangkat tumit. Segera setelah mengangkat tumit kita harus menekan kaki depan sedikit. Penekanan tersebut harus disadari dan dicatat dalam batin sebagai “tekan”. Maka, gerakan terbagi menjadi “angkat … maju … turun … sentuh … tekan …”.
Dalam kitab komentar tertulis, langkah kaki harus dicatat dalam enam gerakan. Saat mengangkat tumit dan mencatatnya sebagai “angkat” kemudian menaikkan kaki dicatat sebagai “naik”. Sehingga gerakan kaki terbagi menjadi “angkat … naik … maju … turun … sentuh … tekan “.

II.2. HUBUNGAN JASMANI dan BATIN
Setiap tindakan dimulai oleh proses mental yaitu keinginan. Saat timbul keinginan mengangkat kaki, kita mengangkat kaki tersebut. Bukan hanya mengangkat kaki, tapi semua tindakan dan gerakan lainnya dimulai oleh proses mental, yaitu keinginan.
Bila dapat mengamati keinginan maka kita mampu menyadari hubungan antara gerakan kaki dan proses mental.
Untuk menyadari bagaimana kedua proses ini bekerja, proses jasmani yaitu gerakan dan proses mental yaitu keinginan, saling berhubungan satu sama lain, kita harus memiliki konsentrasi yang sangat dalam yang ditumbuhkan dari kesadaran pada gerakan kaki.
Jika dapat menyadari bagaimana kedua proses itu berhubungan satu sama lain, serta tidak memiliki ide tentang individu yang sedang berjalan, mengangkat kaki, atau “diri” yang mendorong gerakan ke depan, kesadaran tersebut merupakan suatu harapan, sebuah proses mental yang disebabkan dari gerakan mengangkat kaki.
Tanpa suatu maksud atau keinginan, gerakan tak mungkin dilakukan. Dengan cara ini kita dapat memahami hukum sebab-akibat di dalam meditasi jalan.
Apa yang menyebabkan kaki dapat diangkat ? Tidak lain jawabnya adalah keinginan. Maksud atau keinginan itu menyebabkan ujung jari kaki dapat diangkat. Maksud/keinginan itu menyebabkan kaki menekan dan seterusnya. Kita tidak akan menemukan individu, diri atau jiwa yang mengangkat, menaikkan dan mendorong kaki ke depan.
Kenyataannya keinginan membuat kaki diangkat, dinaikkan dan didorong ke depan serta diturunkan. Itu adalah suatu keinginan. Bukan diri, jiwa, saya atau kamu. Itu adalah keadaan mental.
Saat keadaan itu timbul, sesaat kemudian lenyap. Itu bukanlah suatu kesatuan yang permanen. Bukan kesatuan yang tak berakhir yang disebabkan oleh konsep adanya individu tertentu. Itu hanya sebuah proses mental alami yang menyebabkan kaki dapat diangkat, ujung jari naik dan mendorong ke depan, serta lain sebagainya.
Demikianlah keinginan “angkat”, “naik”, “dorong”, “turun”, “sentuh” dan “tekan” diamati.
Saat menyadari sentuhan hal itu tidak didahului oleh keinginan. Sebab pada saat menjatuhkan kaki dan menyentuh tanah, hal itu terjadi secara otomatis, tanpa peduli ada keinginan atau tidak. Dan kenyataannya tidak ada keinginan. Maka, sebelum “sentuh” kita tidak perlu menyadari “keinginan sentuh”. Sebab tidak ada keinginan disana. Sehingga proses tersebut menjadi, keinginan “angkat”, keinginan “naik”, keinginan “dorong”, keinginan “turun” , “sentuh” dan keinginan “tekan”.
Sang Buddha Yang Maha Tahu telah mengajarkan empat posisi meditasi, yaitu berjalan, berbaring, duduk dan berdiri. Saat melatihnya kita harus menyadari semua tindakan dan gerakan yang melibatkan keempat posisi ini tanpa terputus.
Sang Buddha juga mengajarkan untuk menyadari semua aktifitas sehari-hari. Apa yang beliau ajarkan adalah menyadari secara penuh setiap kegiatan jasmani sebagaimana adanya. Apapun yang dilakukan harus disadari dan diamati tanpa terputus. Sehingga mampu dipertahankannya kesadaran yang kokoh sepanjang hari. Keberlangsungan kesadaran yang kokoh ini disebabkan oleh konsentrasi yang sangat dalam.
Apabila kesadaran suatu saat diterobos oleh ingatan atau emosi, terjadilah suatu pemisah antara kesadaran awal dan kesadaran berikutnya. Kesadaran yang terpecah semacam ini tidak dapat berkelanjutan dan berlangsung secara konstan.
Untuk memiliki pengertian secara benar mengenai kenyataan mutlak pada proses-proses jasmani dan batin, bukan adanya suatu diri atau jiwa yang kekal, kita harus menyadari apapun yang timbul pada batin dan jasmani sebagaimana adanya.
Sang Buddha mengatakan, saat meluruskan lengan, harus disadari “sedang meluruskan lengan”. Saat meluruskan kaki, harus disadari “sedang meluruskan kaki”. Ketika menekuk lengan atau kaki, harus disadari “sedang menekuk lengan atau kaki”. Sepanjang sedang menekuk lengan atau kaki, harus disadari “sedang melakukan gerakan menekuk”. Sepanjang atau kaki diluruskan, haruslah disadari gerakan meluruskan tersebut. Dengan cara ini kita dapat menyadari secara benar kenyataan dari seluruh gerakan tangan dan kaki. Sehingga dapat disadari akan kenyataan bekerjanya/beradanya unsur udara atau angin.
Selama duduk bermeditasi sensasi berupa rasa sakit mungkin dialami. Kita harus bersabar dengan hal itu dan dan tidak terburu-buru merubah posisi. Sebab merubah posisi adalah hal yang kurang baik.
Tapi sering terjadi, meski tidak merubah posisi duduk, tangan bergerak kesana-kemari. Kadang tangan menyentuh wajah atau kepala.
Tanpa mengalami sensasi seperti rasa gatal, kita tidak mungkin menggosok wajah atau tangan. Kadang saat merasa sangat lelah atau kesakitan, tangan secara otomatis terangkat dan menyentuh atau bersandar pada lutut, dan lain sebagainya.
Dalam sistematika duduk meditasi, tidak seharusnya ada gerakan, walaupun hanya tangan. Posisi duduk harus seperti patung sehingga tidak memecah konsentrasi, tetapi sebaliknya membuat konsentrasi semakin terpusat dan stabil.
Jika menggerakkan tangan dari satu tempat ke tempat lain, pikiran akan bergerak mengikuti tangan. Konsentrasi pecah.
Kebiasaan bergerak tanpa sadar membuat kita terus melakukannya dimasa mendatang. Maka, perlu mengingatkan diri sendiri untuk mengambil posisi seperti patung, “saya harus duduk seperti patung Sang Buddha”.
Kadang secara tidak sadar menggerakkan tangan. Meski dikatakan tanpa sadar, sesungguhnya pikiran mengikuti gerakan tangan itu. Tanpa suatu maksud/keinginan untuk menggerakkan tangan, tangan tidak akan mungkin bergerak. Karena keinginanlah yang menjadi sebab bergeraknya tangan tersebut.
Keinginan itu merupakan proses mental. Pikiran yang terkonsentrasi juga merupakan sebuah proses mental.
Saat menggerakkan tangan dan pikiran mengikuti gerakan itu, konsentrasi terpecah. Maka, berusahalah untuk tidak menggerakkan atau memindahkan tangan dari satu tempat ke tempat yang lain selama duduk bermeditasi.
Untuk memiliki konsentrasi yang kuat, kesadaran harus diupayakan tidak terputus dan konstan sepanjang hari. Agar dapat memiliki kesadaran yang berkelanjutan dan konstan, haruslah memiliki cukup usaha dalam mempraktekkan pengamatan. Harus selalu sadar atas apapun yang muncul pada jasmani dan batin saat sedang duduk, berjalan, dan melaksanakan aktifitas sehari-hari selama bermeditasi.
Dengan cara ini kesadaran dapat dipertahankan stabil dan konstan. Untuk memiliki kesadaran seperti ini, haruslah dimiliki cukup usaha. Agar dimiliki cukup usaha, harus cukup yakin terhadap teknik meditasi yang dipraktekkan atau pun pada Dhamma.
Apa yang menyebabkan penderitaan atau dukkha? Lobha atau keterikatan adalah sebab penderitaan. Bila muncul keterikatan pada pengalaman yang menyenangkan pada saat meditasi itu disebut dukkha juga.
Meditasi adalah sesuatu dimana kita diharap menimba pengalaman sebanyak mungkin. Ia bukan sesuatu dimana kita harus terikat, seenak apapun pengalaman yang timbul. Bila kita terikat dengan pengalaman yang baik dan menyenangkan di waktu lalu atau hari ini meditasi kita pasti mengalami kemunduran. Kemunduran bisa berupa konsentrasi yang menurun. Hal ini akan menimbulkan penyesalan. Dibutuhkan usaha yang lebih besar untuk mengamati kekacauan. Akibatnya dibutuhkan tenaga lebih banyak yang mengakibatkan cepat merasa lelah.
Pengalaman yang tak mengenakkan ini bukanlah hanya disebabkan oleh keterikatan akan pengalaman yang baik. Sebab secara alamiah kita cenderung ingin mengulang atau meraih kembali pengalaman menyenangkan yang pernah kita alami. Padahal pengalaman apapun dalam meditasi tak akan berlangsung selamanya.
Sang Buddha mengatakan, keterikatan adalah Samudaya Sacca. Samudaya berarti sebab awal dari segala sesuatu. Dan Sacca adalah kebenaran. Maka, Samudaya Sacca berarti kebenaran atas sebab dari penderitaan. Kesimpulannya, sebab dari penderitaan adalah keterikatan. Inilah yang benar.

II.3. JANGAN BERPIKIR
Kadang saat melakukan meditasi jalan, pikiran berkeliaran atau berkhayal tapi kita tetap meneruskan praktek meditasi dengan mengamati gerakan “angkat … dorong … turun …”. Ketika sampai di batas lintasan, kita tetap berdiri dan menyadari bahwa pikiran sedang berkeliaran atau melamun. Mungkin kita terkejut dengan kenyataan ini.
Peristiwa ini terjadi karena kita lupa mengamati, tidak menyadari bahwa pikiran sedang berkeliaran. Padahal kita beranggapan masih mengamati langkah kaki. Saat mencoba mengamati pikiran tersebut akhirnya disadari bahwa pikiran sedang melakukan sesuatu. Melamun, berkhayal atau tengah mengamati akhir dari proses melamun.
Akhirnya saat mengetahui, katakanlah dua atau tiga detik setelah lamunan itu muncul, gerak pikiran itu dapat ditangkap. Kadang disadari pikiran sedang berkeliaran karena terus-menerus mengamati. Tipuannya dapat disadari.
Karenanya saat mempraktekkan meditasi, kita harus mengamati bentuk-bentuk pikiran tanpa pernah lengkah sedikitpun.
Awalnya kita mungkin tidak mengetahui, menjadi tidak waspada terhadap bentuk-bentuk pikiran saat ia muncul. Lambat-laun hal itu dapat disadari juga. Katakanlah dalam 10 kali bentuk-bentuk pikiran itu muncul, kita dapat mengamatinya sebanyak 3 kali. Untuk kemudian bertambah menjadi 8 kali. Akhirnya semua bentuk-bentuk pikiran yang muncul dapat disadari sepenuhnya.
Pada keadaan demikian “pencuri” telah tertangkap. Bentuk-bentuk pikiran tersebut tak dapat terlepas lagi. Sehingga pikiran dapat terkonsentrasi pada pengamatan setiap obyek.
Walau demikian, bentuk-bentuk pikiran tersebut bukanlah musuh kita. Tetapi merupakan sahabat. Bila muncul keenganan terhadap bentuk-bentuk pikiran tersebut berarti kita telah terikat padanya. Sebab saat ia datang, muncul kekecewaan. “Oh, banyak melamun … Saya tak dapat berkonsentrasi dengan baik”.
Dalam hal ini kita terikat dengan munculnya perasaan enggan terhadap bentuk-bentuk pikiran tersebut. Kita mengira tidak menyukainya. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Kita akan menyenanginya dan ia akan semakin sering datang.
Sesungguhnya bentuk-bentuk pikiran itu sahabat kita. Mengapa ? karena, bila tidak memiliki pikiran, kita akan kehilangan kesempatan baik untuk menyadari sifat sesungguhnya dari pikiran. Seandainya sifat sejati dari pikiran tidak disadari, atau tidak mengetahui bahwa pikiran itu tidak kekal, penuh penderitaan, tak ada jiwa/diri, kita akan beranggapan bahwa semua itu sebagai “aku/diri”.
Kadang suatu yang buruk muncul di pikiran. Jika tidak menyadari hal itu, kita akan terseret dan menjadi terikat olehnya. Ini terjadi karena tidak menyadari munculnya bentuk-bentuk pikiran tersebut.
Ketika bentuk-bentuk pkiran itu muncul dan diamati, kita dapat menyadarinya, setidaknya akan terlihat bahwa itu hanyalah sebuah proses berpikir. Jangan menganggap itu sebagai diri atau individu. Sekali lagi, sadari saja hal itu sebagai proses berpikir.
Akhirnya kita menyadari adanya proses berpikir dan proses menyadari atas pikiran itu sendiri. Disini terlihat adanya dua proses mental. Di sisi lain kita tak perlu mengidentifikasikan diri dengan proses berpkir itu selain menyadari proses berpikir yang tengah muncul.

Dengan proses di atas kita mulai mampu menghapuskan ide tentang eksistensi adanya “orang”, “diri” atau “individu” yang berhubungan dengan proses pikiran. Kesadaran ini merupakan pengetahuan atau pandangan terang yang muncul dari pangamatan atas proses berpikir.
Karenanya pikiran adalah sahabat kita. Bila tidak memiliki pikiran kita tak mengetahui hakekat pikiran. Jika tak memiliki kesadaran atas pikiran sebagaimana ia adanya, waktu kita akan terbuang sia-sia untuk sekedar mengidentifikasi pikiran, kapan munculnya disertai ide adanya konsep “aku”, “milikku”, atau “diri”. Disini muncul sakkaya ditthi, atta ditthi yang jadi sebab munculnya kekotoran batin dan akhirnya menimbulkan penderitaan.
Karenanya perlulah bersikap wajar terhadap bentuk-bentuk pikiran yang muncul. Sikap wajar yang bagaimanakah ini? Dengan menganggap apapun bentuk pikiran yang muncul adalah sahabat kita.
Saat berpikir sebaliknya, bahwa bentuk pikiran adalah musuh, muncul pertarungan dengan pikiran tersebut. Jadi catat apa saja bentuk pikiran yang muncul. Saat lamunan muncul, sadari secepatnya dan catatlah dengan cermat, sabar dan teliti sebagai …”melamun … melamun …”.
Sekali lagi, biasanya kita bertarung dengan bentuk-bentuk pikiran karena menganggapnya sebagai musuh. Jadi bersikaplah sebaliknya. Ini yang terbaik.
Sewaktu bentuk-bentuk pikiran muncul, terimalah, amati dan sadari sampai ia lenyap. Setelah itu kembalilah segera ke objek utama, yakni mengamati kembung dan kempisnya perut.
Seandainya bentuk-bentuk pikiran yang sama muncul lagi, terimalah apa adanya. Juga amati dengan penuh ketenangan, cermat dan tepat. Maka bentuk-bentuk pikiran itu akan meluruh.
Akhirnya timbul kesadaran bahwa bentuk pikiran yang muncul tak akan bertahan lama. Bila kita mampu mencatat bentuk pikiran yang muncul ia akan segera lenyap. Catatlah dalam batin sebagai “berpikir … bepikir …”.
Setelah itu muncul bentuk pikiran yang baru. Tak lupa kita catat lagi sebagai …“berpikir … berpikir…”.
Bentuk pikiran yang baru itu akan lenyap pula. Lama-lama muncul kesadaran bahwa bentuk-bentuk pikiran itu tidak kekal. Karenanya kita perlu bersahabat dengan bentuk-bentuk pikiran itu dan tidak terikat olehnya. Inilah yang dimaksud dengan bersikap wajar terhadap bentuk-bentuk pikiran yang muncul. Dengan sikap ini akan membuat kita terbebas dari gangguan dan kekecewaan terhadap bentuk-bentuk pikiran tersebut.
Saat bentuk-bentuk pikiran muncul dan kita mampu menyadarinya, secara perlahan objek itu semakin melemah dan terus melemah. Seiring dengan semakin melemahnya bentuk-betuk pikiran itu, kesadaran kita semakin menguat. Sehingga pikiran menjadi tenang, tak lagi berkeliaran atau dipenuhi lamunan dan khayalan.
Perhatian terpusat pada objek yang diamati atau disadari, yakni gerakan kaki “angkat … dorong … turun …”. Apapun yang kita amati/sadari, konsentrasi ada di sana. Konsentrasi semakin terpusat dan batin menjadi jernih.
Kalau tahap meditasi ini dapat dilewati dengan memuaskan, akan ada banyak harapan yang timbul. Pada tahap ini memang membuat kita mampu menyadari proses-proses pada tubuh dan pikiran sebagaimana adanya. Dan pada titik ini mulai muncul pandangan terang atau pengetahuan tingkat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.
Sebelum mencapai pengetahuan ini, kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh, terutama menyadari kegiatan sehari-hari selama meditasi berlangsung. Yang Mulia Mahasi Sayadaw juga menekankan untuk selalu menyadari kegiatan sehari-hari secara mendetail. Sebisa mungkin melakukan semua tindakan dan kegiatan tersebut secara perlahan.

BAB III
MENYADARI RASA SAKIT

III.1. RASA SAKIT SEBAGAIMANA ADANYA
Vipassana atau meditasi pandangan terang berdasarkan empat landasan kesadaran, yaitu Kayanupassana Satiphatana (pengamatan atas obyek jasmani), Vedananupassana Satiphatana (pengamatan atas bentuk-bentuk perasaan), Citanupassana Satiphatana (pengamatan atas pikiran) dan Dhammanupassana Satiphatana (pengamatan atas bentuk-bentuk pikiran).
Bentuk-bentuk pikiran yang dimaksud di sini adalah pikiran itu sendiri sebagai obyek meditasi, seperti berpikir, pikiran tidak terkonsentrasi, pikiran kabur, terpusat dan lain sebagainya. Dengan kata lain, pemeditasi haruslah menyadari dan mencatat setiap perubahan pada batin dan jasmani yang sedang muncul dan dominan pada saat itu.
Dan Vedananupassana Satiphatana, yakni pengamatan atas bentuk-bentuk perasaan, terbagi menjadi 5 bagian, yaitu sukha-vedana, dukha-vedana, somanasa-vedana, domanasa-vedana, dan upekha-vedana.
Sukha-vedana adalah sensasi rasa senang yang ditimbulkan oleh perubahan yang terjadi pada tubuh atau tergantung pada proses yang berlangsung pada tubuh.
Somanasa-vedana juga merupakan sensasi yang menyenangkan, tapi ditimbulkan oleh pikiran, yakni keadaan mental atau emosi. Ini merupakan sensasi rasa senang yang bergantung pada proses-proses mental.
Dukkha-vedana merupakan sensasi tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan atau proses-proses pada tubuh.
Sementara domanasa-vedana merupakan sensasi tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh proses-proses pada batin, yakni keadaan batin atau emosi.
Dan upekkha-vedana hanya ada satu jenis, bukan dua, merupakan sensasi mental yang netral dan bergantung pada kondisi mental/batin.
Sebagian besar waktu yang dijalani oleh pemeditasi berhubungan dengan dukkha-vedana, yaitu sensasi tidak menyenangkan pada tubuh, seperti kaku-kaku, kesemutan, dan lain-lain. Namun suatu saat kita bisa mengalami sensasi mental yang menyenangkan.
Kita dapat menyadari setiap gerakan pada tubuh secara jelas di tingkat lanjut. Pada tingkat ini konsentrasi sudah terpusat dan kesadaran telah menjadi sangat jernih. Akibatnya muncul perasaan bahagia, piti, atau kegiuran. Meski begitu muncul keterikatan menyertai timbulnya hal-hal tersebut. Pada saat seperti ini sensasi mental semenyenangkan apapun perlu dicatat sebagai …”senang … senang … senang” atau …”bahagia… bahagia … bahagia …”.
Jika pengamatan dilakukan pada saat yang tepat, kesadaran menjadi tak terputus dan kuat. Akibatnya tak ada keterikatan muncul di sela-sela pengamatan tersebut.
Semakin lama kita berlatih semakin seimbang jadinya. Pengetahuan tentang keseimbangan ini muncul pada nana kesebelas. Pada saat ini tak ada dukkha maupun sukkha. Tidak ada bahagia maupun tidak tak bahagia. Pikiran benar-benar terpusat pada objek.
Pikiran secara terpusat mengamati muncul dan lenyapnya perubahan pada batin dan jasmani. Pada saat itu pikiran menjadi sangat elastis.
Walau kita mengirim pikiran pada obyek-obyek yang menyenangkan dan disukai pikiran tidak akan menuju ke hal-hal tersebut. Karena kesadaran sudah menjadi otomatis. Ia secara otomatis hanya melakukan pengamatan pada obyek-obyek yang dominan. Dalam hal sensasi umumnya muncul perasaan netral. Hanya perasaan tak menyenangkan yang sesekali muncul sajalah yang perlu diamati. Hanya saja sebagai pemula sebagian besar pengalaman batin yang timbul bersifat dukkha.
Tujuan mengamati bentuk-bentuk perasaan adalah untuk menyadari sifat sesungguhnya dari perasaan itu. Sayangnya beberapa yogi (pemeditasi) tak memahami hal ini dengan baik. Seringkali saat perasaan tak menyenangkan timbul muncul keinginan untuk sesegera mungkin menyingkirkan hal tersebut. Bila pencatatan telah dilakukan dan perasan tak menyenangkan itu masih ada, muncul perasaan kecewa. Tujuan yogi-yogi ini adalah menyingkirkan rasa sakit itu bukan menyadarinya. Tujuan yang benar atas pengamatan rasa sakit (termasuk perasaan yang tak menyenangkan) adalah menyadari sifat-sifat umum maupun khusus dari sensasi rasa sakit tersebut.
Sabbhava lakhana adalah kata dalam bahasa Pali untuk menyebut kharakteristik rasa sakit secara khusus. Sabbhava berarti khusus. Sementara Samanna Lakhana adalah penyebut rasa sakit secara umum. Samanna berarti umum. Dan Lakhana berati kharakteristik.
Dengan kejernihan pikiran (citta visudhi) secara bertahap kita mampu menyadari sifat-sifat khusus dari batin dan jasmani.
Karenanya setiap muncul sensasi tak menyenangkan pada jasmani harus dicatat sebagai “sakit … sakit … kaku … kaku …” dan lain sebagainya. Pemberian nama atau pencatatan dalam batin tidaklah mutlak. Hal itu hanya diperlukan untuk membantu memusatkan pikiran pada objek yang diamati.
Bagi praktisi, yogi tingkat lanjut, tidak perlu pemberian nama dan pencatatan seperti di atas. Yang perlu dilakukan adalah mengamati dan menyadari setiap obyek sebagaimana adanya.
Semakin kuat konsentrasi semakin mampu kita mengamati rasa sakit sekecil apapun. Akibatnya rasa sakit terasa semakin tajam. Seolah rasa sakit tersebut semakin meningkat intensitasnya. Sesungguhnya yang terjadi tidak demikian.
Rasa sakit muncul sebagaimana adanya. Kita mengetahui setiap detil rasa sakit, yang nampaknya semakin tajam itu, karena konsentrasi kita semakin baik. Hal ini bisa terjadi bila kita mencatat rasa sakit itu terus-menerus secara penuh. Jadi ada sebab akibat yang terjadi. Dengan mencatat rasa sakit secara terus-menerus, konsentrasi semakin kuat. Sebaliknya dengan semakin kuatnya konsentrasi rasa sakit seolah nampak semakin tajam.
Secara bertahap kita tak merasakan sensasi rasa sakit lagi tapi hanya menyadari adanya rasa sakit. Meski tetap muncul sakit pada jasmani kita tidak berpikir, “saya mengalami sakit … saya merasa sakit”. Tapi muncul kesadaran sensasi rasa sakit itu objek yang harus disadari dan dicatat dalam batin.
Cukup sering kita tak perduli dimana rasa sakit muncul. Karena tugas yang lebih penting adalah menyadari dan mencatatnya. Apa yang benar-benar disadari adalah sensasi rasa sakit dan pikiran yang tengah mencatatnya.
Akibatnya tak perlu pengidentifikasian rasa sakit sebagai “diri”. Rasa sakit hanyalah rasa sakit bukan “saya” atau “kamu”, bukan individu atau mahluk tertentu. Pandangan terang ini membuat kita melihat rasa sakit sebagaimana adanya dan tidak mengaitkannya dengan ide adanya diri, jiwa atau individu. Ini berarti kita telah melihat hakekat rasa sakit.
Rasa sakit akan lenyap bila kita terus-menerus mencatat munculnya rasa sakit dengan konsentrasi penuh dan kesadaran yang terpusat. Setelah itu rasa sakit yang baru muncul lagi. Rasa sakit yang baru ini kita catat seperti sebelumnya. Tak lama rasa sakit yang baru ini pun lenyap. Lama kelamaan kita menyadari salah satu karakter umum dari sensasi rasa sakit yakni ketidakkekalan (anicca).
Cukup sering rasa sakit itu tak mau lenyap meski sudah mengerahkan segala daya. Rasa sakit itu sedemikian besarnya. Apa yang kita temukan adalah volume dari sensasi rasa sakit.
Jika kita meningkatkan usaha tanpa putus asa muncul rasa sabar menghadapi rasa sakit. Akibatnya konsentrasi semakin kuat. Konsentrasi ini mampu menembus pusat rasa sakit. Dengan cara ini rasa sakit itu pun pecah. Kita menyadari pecahnya atau berubahnya rasa sakit dengan melakukan pengamatan. Dengan cara ini kita belajar tentang ketidakkekalan (anicca) melalui sensasi rasa sakit.
Ada beberapa cara lain bagi kita untuk menyadari sensasi rasa sakit. Kadang saat mengamati sakit, dengan konsentrasi yang terpusat, rasa sakit tiba-tiba lenyap. Lalu rasa sakit muncul di tempat yang berbeda dan kita mengamatinya. Rasa sakit tersebut juga lenyap. Muncul rasa sakit yang lain, diamati dan disadari, lalu lenyap. Pada kondisi demikian, konsentrasi sudah sangat tajam.
Pemeditasi yang memiliki pengalaman seperti ini mungkin menjadi sangat gembira. Sebab, mereka dapat melihat rasa sakit itu lenyap. Ini merupakan satu pengalaman yang baik dan petunjuk munculnya pandangan terang terhadap corak umum dari sensasi rasa sakit.
Terkadang seorang pemula merasakan sakit yang luar biasa. Hal ini dapat menambah kekuatan kesabaran. Saat itu, pemeditasi mungkin ingin merubah posisi dengan harapan dapat menghilangkan rasa sakit tersebut. Tetapi, bagi pemeditasi yang sudah dapat melakukan latihan dalam posisi duduk selama 30 menit, tidak seharusnya merubah posisi. Sebaliknya berdiri dan melakukan meditasi jalan. Karena merubah posisi dalam keadaan duduk meditasi dapat memecah konsentrasi.
Sering merubah posisi saat duduk bermeditasi akan membuat hal ini menjadi suatu kebiasaan. Walau pengalaman sudah mencapai tahap lanjutan, timbul otomatis untuk merubah posisi sekalipun tidak timbul rasa sakit. Ini dikarenakan keinginan untuk merubah posisi sudah menjadi suatu kebiasan.
Tetapi seorang pemeditasi yang tidak dapat duduk bermeditasi selama 30 menit karena alasan-alasan jasmani, dapat dilakukan perubahan posisi untuk menghilangkan rasa sakit tersebut. Ingat hanya satu kali saja. Jangan lakukan sampai dua kali. Selanjutnya dalam posisi duduk tersebut dapat dilanjutkan pengamatan atas proses-proses yang sedang terjadi pada batin dan jasmani, tergantung mana yang lebih sering muncul.
Pemeditasi yang duduk selama 10 menit dan merasakan sensasi rasa sakit yang tak tertahankan, dapat merubah posisi akibat ketidakmampuan untuk duduk selama 30 menit. Perubahan posisi ini harus tetap diamati.
Saat pemeditasi ingin merubah posisi, keinginan ini dicatat sebagai “ingin … ingin … ingin…”. Saat meluruskan kaki, “lurus … lurus … lurus …”. Ketika menggerakkan tubuh, “bergerak … bergerak …”. Juga saat menekuk kaki, “menekuk … menekuk …” dan seterusnya.
Yang perlu ditekankan disini adalah pemeditasi harus selalu sadar terhadap setiap gerakan dan aktifitas yang dilakukan oleh tubuh, termasuk merubah posisi duduk bermeditasi.
Pemberian nama terhadap obyek-obyek yang diamati dimaksudkan untuk mempertahankan pikiran tetap terkonsentrasi pada obyek-obyek yang muncul. Setelah merubah posisi, pengamatan terhadap proses-proses yang timbul pada jasmani dan batin tetap berlanjut
Sesudah duduk selama 5 atau 10 menit mungkin timbul rasa sakit lagi. Maka dengan penuh kesadaran kita melanjutkan pengamatan terhadap rasa sakit tersebut. Bila rasa sakit tak tertahankan, bangkitkan dengan penuh kesadaran dan lakukan meditasi jalan.

III.2. PERTAHANKAN POSISI DUDUK :
Seorang yogi yang telah duduk selama 45 menit mungkin merasakan sakit. Barangkali ia ingin merubah posisi duduk. Dari petunjuk sebelumnya para yogi disarankan tidak merubah posisi duduknya. Sebaliknya ia bangkit dari posisi duduk dan mulai melakukan meditasi jalan.
Hal di atas baik dilakukan bila ia telah cukup lama duduk, taruhlah sekita 30 menit tanpa merubah posisi. Bila yogi ini tak ingin bermeditasi jalan ia dapat melepaskan diri dari rasa sakit dengan merenungkan sifat-sifat Sang Buddha. Ini disebut Buddhanusati Bhavana.
Buddhanusati Bhavana adalah meditasi dengan melakukan perenungan atas sifat-sifat luhur Sang Buddha. Ini merupakan salah satu objek dalam meditasi Samatha. Dengan melakukan hal ini seorang yogi merasa seolah-olah rasa sakitnya lenyap.
Sesungguhnya rasa sakit tersebut tidak lenyap. Prosesnya adalah demikian; ketika pikiran menyatu dalam perenungan sifat-sifat luhur Sang Buddha pikiran tidak lain menyadari adanya rasa sakit. Karena itu yogi ini menganggap rasa sakitnya telah lenyap. Ini adalah salah satu cara menghindari rasa sakit. Teknik ini diajarkan oleh Sang Buddha seperti yang tertulis dalam Sutta Bhikkhunupassaya.
Kembali ke praktek meditasi, bila banyak mengalami kekacauan, muncul perasaan tertekan. Akibatnya timbul kemalasan, enggan, khawatir berlebihan serta pecahnya konsentrasi. Dalam keadaan demikian sulit mengharapkan kemajuan. Pada kondisi ini adalah baik untuk merubah meditasi dari vipassana ke samatha untuk sementara waktu.
Setelah berubah ke samatha kita bisa memilih obyek yang disukai seperti melakukan meditasi cinta kasih atau yang lainnya. Saat pikiran terkonsentrasi dengan baik pada objek muncul ketenangan dan kebahagiaan. Tak lama pikiran menjadi jernih kembali. Kekacauan yang mengganggu sudah tersingkirkan.
Sewaktu ketenangan semacam ini sudah tercapai kita bisa kembali bermeditasi vipassana. Kita kembali mengamati proses.

BAB IV
KEMAJUAN VIPASSANA BHAVANA

IV.1. KEMAJUAN Pada KONSENTRASI Dan KESADARAN
Ada tingkat kemajuan batin yang disebut paccaya pariggaha nana, pengetahuan akan sebab. Pada tahap ini kita menyadari karakteristik proses jasmani dan batin secara lebih khusus dan apa yang menjadi penyebabnya.
Tahap kemampuan batin di atas juga diberi nama lain “tahap pemurnian”. Karena kita secara langsung mampu melihat setiap fenomena yang muncul beserta sebab dan akibatnya. Hal ini memunculkan kemampuan untuk mengikis keragu-raguan.
Semakin trampil kita dalam proses ini, konsentrasi semakin tajam dan kesadaran semakin kuat. Akibatnya kita mampu melihat secara keseluruhan karakteristik proses mental dan jasmani. Sementara pada dua tingkat sebelumnya kita baru menyadari proses jasmani dan batin serta penyebabnya.
Meski penglihatan kita semakin jelas dan tajam muncul kembali rasa sakit jasmani seperti rasa kaku, kejang atau kesemutan. Kemunculan rasa sakit ini membuat kita cukup menderita apalagi setelah melewati beberapa proses yang menyenangkan.
Pada tahap ini cobalah lakukan pencatatan dengan lebih intensif. Jika mungkin “masuk” ke pusat rasa sakit. Maka lambat laun rasa sakit itu menghilang.
Sebelum rasa sakit itu belum benar-benar menghilang, muncul rasa sakit yang baru di tempat lain. Lakukan hal yang sama, amati dan catat dengan cermat. Sebelum rasa sakit yang kedua ini benar-benar pergi muncul ketidaknyamanan, katakanlah rasa gatal, di tempat yang lain lagi. Lakukan hal yang sama, amati dan catat secermat dan seteliti mungkin.
Lama-lama muncul pengetahuan batin. Pengetahuan yang muncul di tingkat ini dinamakan sammasana nana. Ini adalah pengetahuan yang memunculkan pengertian akan ketiga corak kehidupan duniawi yakni anicca, dukkha dan anatta.
Kembali ke rasa sakit. Ketika secara jelas kita melihat pecah, lenyap atau terdisentegrasinya rasa sakit kemudian muncul rasa sakit yang baru. Rasa sakit yang baru inipun pecah, menghilang atau lenyap. Begitu berulang-ulang. Kita sadar bahwa rasa sakit adalah subyek dari ketidakkekalan.
Selanjutnya kita menyadari ketidakkekalan yang berlangsung pada proses-proses jasmani dan batin. Disini muncullah kesadaran akan adanya dukkha, penderitaan. Namun saat kita melihat dengan jelas muncul dan lenyapnya sensasi yang tak mengenakkan di atas, kemudian kita catat, amati dengan cermat. Timbul kesadaran berupa segala sesuatu yang timbul akan lenyap. Hal ini akan memunculkan pengetahuan batin bahwa tak ada segala sesuatu yang kekal. Timbullah pengetahuan batin berupa lenyapnya konsep akan adanya atta (diri), ego atau jiwa yang kekal. Apa yang benar-benar ada hanyalah proses perubahan jasmani-batin yang susul-menyusul, muncul dan lenyap.
Meski muncul rasa sakit pada tahap ini kita lebih sabar menghadapinya. Terlebih ketika kita menyadari rasa sakit memiliki ketiga corak kehidupan yakni anicca, dukkha dan anatta, kita mencatatnya lebih cermat, rasa sakit itu pelan-pelan menghilang. Di akhir tahap ini (tahap ke tiga) rasa sakit itu benar-benar menghilang.
Setelah tahap ini terlewati pikiran menjadi lebih segar dan bertenaga. Karena tak ada lagi rasa sakit yang dominan kita bisa mengkonsentrasikan pikiran untuk mengamati proses jasmani dan batin tepat pada saat munculnya. Akibatnya konsentrasi semakin tajam dan kesadaran pun semakin kuat.
Dengan konsentrasi dan kesadaran seperti ini kita mampu melihat kemunculan segala sesuatu pada batin dan jasmani secara lebih jelas. Pada saat inilah kita memasuki tahap pengetahuan batin yang keempat yakni nama-rupa nana. Tahap keempat ini tercapai setelah kita melewati proses kesakitan yang sangat sulit. Tak heran bila setelah ini kita menjadi lebih bertenaga, tenang dan bahagia.
Setelah itu sampailah kita pada tahap dimana semua pengalaman meditasi rasanya serba baik. Tahap pengalaman yang serba baik pun menjadi perangkap tersendiri bagi para yogi. Maklum saja secara alamiah kita selalu berpihak pada kesenangan.
Tak heran bila kita senang berada di tahap ini. Hal inilah yang menyebabkan beberapa yogi tak mampu meraih tahap pengetahuan yang lebih tinggi. Pesan penting yang harus disampaikan seorang guru adalah berusahalah sebaik mungkin, sehingga kita tak mudah terperangkap pada pengalaman, yang baik maupun yang buruk.
Bila terus mengembangkan kewaspadaan kita mampu “melihat” muncul dan lenyapnya segala sesuatu; ketidakkekalan dari fenomena batin dan jasmani.
IV.2. PERKEMBANGAN PENGETAHUAN BATIN
Ketika seorang yogi mampu melihat ketiga karakteristik duniawi yang berlangsung pada jasmani dan batin berarti ia benar-benar berada pada sammasana nana. Pengetahuan batin ini adalah pengetahuan yang memunculkan pengertian akan ketiga karakteristik duniawi di atas.
Pada tahap ini konsentrasi kita menjadi sangat tajam. Karena ketajaman konsentrasi ini kita mampu melihat beragam ketidaknyamanan tubuh, kayika dukkha, seperti rasa neg, tubuh kaku, kram, kesemutan, dll.
Pada saat melakukan meditasi jalan mungkin kita lakukan dengan sangat lambat. Meski lambat dan lembut kita mampu melihat awal, pada pertengahan dan akhir dari kemunculan suatu objek. Saat rasa sakit muncul kita mampu melihat pula pada awal, pertengahan dan akhir dari kemunculan rasa sakit itu.
Bisa dikatakan rasa sakit itu muncul dan lenyap di luar kehendak kita. Meski kita menghendaki rasa sakit itu pergi, tak muncul lagi, rasa sakit itu benar-benar muncul dan lenyap diluar kehendak kita. Jadi rasa sakit itu tunduk pada hukumnya sendiri, yakni hukum anatta. Segala sesuatu tunduk pada hukum ketidakkekalan, pada hukum ketanpaintian.
Pengetahuan batin di atas yakni pacceka nana muncul. Ini adalah pengetahuan menyeluruh atas ketiga karakteristik duniawi. Pacceka nana adalah bentuk lain Sammasana nana, yakni pengetahuan batin dari merefleksi pengalaman melihat muncul dan lenyapnya fenomena jasmani dan batin yang terjadi saat ini.
Ketika kita melihat secara jelas dan langsung fenomena muncul dan lenyapnya objek-objek jasmani dan batin muncul refleksi yang mengacu pada ketiga karakteristik duniawi yakni anicca, dukkha dan anatta. Timbul perenungan demikian, karakter alamiah dari nama dan rupa (batin dan jasmani) adalah anicca, dukkha dan anatta. Sehingga objek-objek yang belum sempat teramati pun memiliki ketiga corak duniawi ini.
Semua proses-proses jasmani dan batin di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, jauh atau dekat, internal maupun eksternal, kasar atau halus tunduk pada ketiga hukum duniawi itu. Pengetahuan batin ini dinamakan anumana nana atau neyya nana.

IV.3. PERANGKAP SENSASI CAHAYA
Setelah kita mampu melihat ke dalam bahwa segala fenomena jasmani dan batin tunduk pada ketiga karakteristik alam konsentrasi semakin menguat. Rasa sakit pun semakin berkurang. Kita semakin mampu melihat dan mencatat berbagai bentuk sensasi rasa sakit. Kita semakin mempu melihat dan mencatat berbagai bentuk sensasi rasa sakit. Kita mampu melihat dan mencatat apapun objek yang muncul melalui keenam pintu panca indera.
Dalam hal ini seolah-olah daya upaya kita terlihat konstan, tak terlalu bergiat pun tak terlalu santai, tak terlalu kuat atau pun lemah. Upaya semacam ini secara otomatis muncul menolong kesadaran untuk siap mencatat setiap objek yang muncul pada saat itu juga. Keadaan ini memunculkan perasaan bahagia.
Pada tahap ini cukup sering terlihat pengalaman munculnya cahaya-cahaya atau sinar-sinar. Sinar-sinar ini kadang terang benderang seperti sorot lampu senter atau lampu mobil di malam hari. Yang perlu dicatat adalah semua sensasi ini tak akan berlangsung selamanya.
Kembali ke sensasi cahaya. Ketika sensasi cahaya ini datang kita mencatatnya. Tak lama kemudian proses ini pun lewat. Hanya ada beberapa sinar yang bisa bertahan antara sepuluh sampai dua puluh detik. Tak ada yang lebih lama dari ini.
Hanya saja sensasi sinar-sinar ini mendatangkan “perangkap” tersendiri bagi beberapa yogi yakni munculnya perasaan nikmat, takjub atau terpesona. Bila seorang yogi terlambat, lalai mencatatnya sensasi cahaya atau sinar-sinar ini akan muncul lebih sering dan lebih terang.
Bagaimana pun indahnya sensasi ini akan berakhir pula suatu saat. Yang perlu kita lakukan hanyalah mencatat sensasi ini dalam batin dengan menyebut, “melihat … melihat”.
Jika kita lakukan pencatatan seperti itu cahaya ini kemudian lenyap. Tak lama cahaya atau sinar yang baru muncul lagi. Lakukan hal yang sama, catat lagi, “melihat … melihat”. Demikian seterusnya.
Perlu dicatat, kita tetap berada pada perangkap cahaya bila kita melakukan pencatatan tapi bawah sadar kita “berkeras” terus menikmati sensasi ini. Saya (penceramah, D.V.P) akan menceritakan tentang seorang yogi perempuan berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun. Yogi ini melihat sinar-sinar muncul ketika ia sedang bermeditasi.
Herannya cahaya-cahaya ini muncul semakin terang dari waktu ke waktu. Yogi perempuan ini sangat menikmati munculnya sinar-sinar ini. Meski demikian ia berusaha keras mencatat setiap sinar yang muncul.
Jadi ketika seberkas sinar muncul ia mencatat, “melihat … melihat”. Tak lama sinar itu lenyap. Tapi hanya sebentar. Sinar yang baru muncul lagi. Ia kembali mencatat seperti tadi. Sinar yang baru ini pun lenyap.
Meski demikian bawah sadarnya sangat menikmati pengalaman ini. Bila saat wawancara tiba ia menjadi sangat malu karena terus-menerus menceritakan pengalaman yang sama.
Ia bercerita demikian, ketika sinar-sinar ini muncul ia merasa seperti masuk ke dalam koper. Ia merasa masuk ke dalam perangkap yang menyesakkan, benar-benar tak berdaya untuk keluar dari sana.
Yogi perempuan ini terperangkap dalam pengalaman ini sehingga ia membutuhkan dua puluh hari untuk benar-benar keluar dari perangkap yang mengasyikkan ini. Pengalaman ini dinamakan nikanti. Nikanti artinya kekotoran batin yang sangat halus. Kerinduan atau rasa kangen termasuk ke dalam nikanti.
Lihatlah bagaimana kekotoran batin yang sangat halus ini diam-diam telah menyusup ke dalam pikiran kita, mencuri kesadaran kita. Nikanti termasuk ke dalam sepuluh kekotoran batin. Sesuatu yang justru sangat berbahaya karena halusnya.
Pada masa kehidupan Sang Buddha ada seorang bhikkhu yang bermeditasi samatha sampai memperoleh tingkat konsentrasi yang tinggi. Ketika sampai ke jhana (tingkat konsentrasi) yang tinggi ia merubah meditasinya dari samatha ke vipassana.
Bhikkhu ini tekun berlatih dan rajin mencatat setiap proses apapun yang muncul. Sampailah ia pada nana kedua dalam vipassana. Sayangnya setelah itu bhikkhu ini tak mampu meraih pengetahuan batin yang lebih tinggi karena keterikatannya pada jhana. Ia memiliki salah satu nikanti, ya itu tadi, keterikatan yang sangat halus akibat terkonsentrasinya pikiran pada jhana-jhana.
Bhikkhu ini hanya mampu mondar-mandir dari nana satu sampai kedua. Begitu terus bolak-balik. Ia benar-benar terperangkap pada konsentrasinya yang tinggi. Sang Buddha menyebut pengalaman ini sebagai Dhamma raga, dhamma nandi. Artinya kenikmatan yang timbul akibat meraih dhamma. Dhamma yang dimaksud disini adalah jhana-jhana. Baik Dhamma raga maupun Dhamma Nandi adalah nikanti.
Bhikkhu ini sendiri tak menyadari ia masuk dalam perangkap nikanti. Sang Buddhalah yang memberitahu Bhikkhu Ananda alasan kenapa bhikkhu itu tak mampu meraih kearahatan.

IV.4. UDAYABHAYA NANA
Ketika kita mampu melewati perangkap nikanti (yang umumnya terjadi di nana kedua) kita akan memasuki kondisi “sangat buruk” tapi penuh pengalaman batin. Keadaan ini seolah-olah “buruk” tapi menjadi sebuah pengalaman yang baik di awal pencapaian nana keempat (Udayabhaya nana : kemampuan melihat muncul dan lenyapnya fenomena jasmani dan batin).
Tentu tahap keempat ini bisa kita masuki setelah kita berada para proses yang sangat sulit, yang sangat “sakit” yakni tahapan pengetahuan batin kedua. Sekali lagi pikiran menjadi sangat tangkas dan mudah dikendalikan. Seluruh tubuh terasa nyaman dan ringan. Perasaaan pun bahagia. Karena kondisi yang nyaman ini lah seorang yogi bisa terperangkap atau terikat dengan hal ini. Keadaan ini dinamakan upakilesa.
Upakilesa bisa diterjemahkan sebagai hal-hal yang buruk. Jadi pengalaman yang menyenangkan di atas pun bisa masuk ke dalam “hal yang buruk” dalam dhamma. Pengalaman yang menyenangkan ini banyak mengotori pengertian kita, kebijaksanaan kita. Karena “kenikmatannya” ia membuat kita tak mampu meraih tingkat kemajuan batin yang lebih tinggi. Nyanaponika Thera menterjemahkan upakilesa sebagai korupsi, sesuatu yang bersifat jahat dan buruk, mengikis kebijaksanaan kita sedikit demi sedikit. Ia, upakilesa adalah salah satu dari sepuluh kilesa (kekotoran batin) dalam vipassana.
Dalam kasus di atas secepatnya kita memberitahu guru pembimbing bahwa kita memiliki kendala ini. Sehingga beliau bisa memberikan beberapa petunjuk yang akan membuat kita mampu keluar dari perangkap ini. Apa yang seharusnya kita lakukan adalah terus mengawasi, melihat apapun proses yang timbul pada latihan kita dan mencatatnya seteliti mungkin.
Dengan cara semacam di atas lah kita mampu keluar dari perangkap “proses yang menyenangkan” ini. Biasanya setelah itu muncul perasaan-perasaan yang tak menyenangkan seperti rasa tak bahagia, bosan dan gelisah. Meski demikian pikiran tetap terkonsentrasi dengan baik bahkan semakin tajam. Pun pengetahuan semakin banyak diperoleh.
Dalam kondisi ini proses apapun yang muncul mampu kita lihat dan catat. Setelah dicatat dalam sekejap proses ini lenyap. Setelah itu kita mencatat lagi proses yang muncul kemudian. Proses terakhir ini, yang sempat kita lihat dan catat pun lenyap pula. Dari pengalaman-pengalaman ini muncul kesimpulan, “apapun yang muncul pasti akan lewat/lenyap juga”.
Dalam hal meditasi jalan, ketika kita mencatat gerakan mengangkat, …“angkat … angkat …angkat”. Gerakan pertama dari mengangkat yang sempat tercatat tak lama kemudian lenyap. Kemudian muncul gerakan baru. Ketika gerakan yang baru ini kita catat lagi, gerakan ini pun lenyap juga. Dengan cara ini terlihat banyak gerakan kaki muncul dan lenyap begitu gerakan ini muncul. Disini kita dihadapkan langsung pada muncul dan lenyapnya fenomena jasmani.
Demikian juga yang terjadi pada objek pikiran. Ketika suatu bentuk pikiran muncul kita mencatat, “berpikir … berpikir… berpikir …”. Maka bentuk pikiran ini akan lenyap. Kemudian muncul lagi bentuk pikiran yang lain. Kita melakukan hal yang sama dengan mencatatnya, “berpikir … berpikir … berpikir …”. Maka bentuk pikiran yang baru ini pun lenyap. Dari pengalaman ini muncul kesimpulan di dalam diri, O… ternyata pikiran adalah subjek dari ketidakkekalan. Tak ada satu pun bentuk pikiran yang kekal. Mereka akan muncul kemudian lenyap”.
Meski demikian sulit melihat bentuk-bentuk pikiran dalam tiga karakteristik alam (bersifat anicca, dukkha dan anatta) kecuali kemunculan dan kelenyapan bentuk-bentuk pikiran itu. Faktanya jauh lebih mudah melihat tiga karakteristik almiah dari proses-proses jasmani seperti mangangkat, meletakkan mendorong, menjatuhkan pada meditasi jalan, dan lain-lain dibanding pengalaman melihat proses batin.

BAB V
FAKTOR – FAKTOR KEBERHASILAN

V.1. LIMA FAKTOR KEBERHASILAN
Sang Buddha menyebutkan adanya lima faktor yang diperlukan seorang yogi untuk meraih keberhasilan. Faktor-faktor ini adalah :
  1. Saddha (Keyakinan) Keyakinan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha khususnya yang behubungan dengan metode vipassana. Munculnya keyakinan bahwa metode yang diberikan oleh guru meditasi mampu mengantarkan kita pada pencerahan.
  2. Kesehatan Seorang yogi harus memiliki kesehatan yang baik. Jika sehat kita mampu melakukan latihan meditasi secara optimal (siang dan malam). Dari pengalaman ada yogi yang tak tidur selama tujuh hari tujuh malam. Jadi, dengan tubuh yang sehat kita bisa berlatih terus-menerus. Sebaliknya dengan tubuh yang rapuh dan sakit-sakitan tak mampu membawa seorang yogi meraih keberhasilan.
  3. Harus jujur dan berterus terang Kita tak boleh memberikan laporan palsu pada guru pembimbing. Dalam menceritakan proses vipassana kita harus berkata jujur, terbuka, rendah hati dan langsung (tidak berbelit-belit) kepada guru.
  4. Viriya (semangat): Sang Buddha menggambarkan semangat yang berhubungan dengan meditasi ke dalam dua kata. Yang pertama adalah parakama. Parakama adalah daya upaya yang terus menerus ditingkatkan. Kata kedua adalah dahla viriya; artinya daya upaya yang teguh (usaha yang keras). Apabila digabungkan kedua kata itu berarti kita harus memiliki daya upaya teguh yang berkesinambungan. Ada kata lain yang digunakan Sang Buddha yakni Anikita Dhara. Nikita artinya meletakkan dan dhara artinya beban atau tanggung jawab. Jadi arti kedua kata terakhir ini adalah kita memiliki tanggung jawab pada latihan sampai memperoleh pencerahan yakni saat kita mampu meletakkan seluruh beban. Diilustrasikan bagaimana selama ini kita selalu memanggul baban (lima khanda: lima aggregat) seumur hidup bahkan sepanjang siklus kehidupan. Hanya mereka yang telah mencapai kearahatan sajalah yang benar-benar telah meletakkan baban itu dari pundaknya.
  5. Harus memiliki pengetahuan akan muncul dan lenyapnya fenomena Muncul pertanyaan, “bagaimana mungkin seorang pemula bisa melihat muncul dan lenyapnya berbagai fenomena jasmani dan batin”? Tidak. Tak ada seorang pun meditator pemula yang bisa melihat fenomena ini di awal latihan. Apakah ini berarti yogi bersangkutan tak bisa memenuhi kelima faktor keberhasilan di atas? Yang ingin dikatakan Sang Buddha adalah; apabila seorang yogi berjuang sunggguh-sungguh dia akan memperoleh pengetahuan yakni kemampuan melihat muncul dan lenyapnya fenomena fisik dan mental. Dengan kata lain ia akan memiliki kemampuan menyadari muncul dan lenyapnya fenomena. Itu yang dimaksudkan oleh Sang Buddha.
Sekarang saya (=peceramah, DVP) akan menjelaskan nana (pengetahuan batin) keempat (Udayabhaya nana) yakni pengetahuan menyadari muncul dan lenyapnya fenomena jasmani dan batin. Beberapa yogi punya kemampuan yang sangat baik menyadari proses ini. Bahkan bagi yogi ini rasa sakit yang timbul bisa menjadi objek yang baik untuk dilihat kemunculan dan kelenyapannya.
Caranya adalah demikian; dengan mengerahkan segenap tenaga secara perlahan kita bisa menuju ke pusat rasa sakit. Bila usaha ini berhasil terlihat bagaimana rasa sakit tak akan bisa eksis, berbentuk demikian, selamanya. Rasa sakit itu akan “meledak”, berubah bentuk atau memudar, bahkan perlahan-lahan lenyap. Beberapa yogi bahkan pernah menyadari timbul dan tenggelamnya perasaan atau sensasi yang dinamakan vedana khanda (kumpulan unsur-unsur perasaan atau sensasi yang termasuk ke dalam kelompok batin).

V.2. KEMAJUAN BATIN
Ketika seorang yogi telah memiliki kelima faktor penunjang keberhasilan maka ada garansi baginya untuk bisa meraih magga (jalan) dan phala (buah) jika ia meneruskan latihannya dengan sungguh-sungguh. Hal ini diawali, sekali lagi, dengan melihat muncul dan lenyapnya fenomena jasmani dan batin.

Setelah itu ia menyadari apapun yang dilihatnya ia “melihat” anicca, ketidakkekalan. Apapun yang muncul kemudian lenyap. Ketika ia mencatat proses rasa sakit, kram, kaku atau kesemutan ia akan melihat kemunculan dan kelenyapan sensasi rasa sakit susul menyusul dengan jelas dan terang.
Ketika, misalnya, ia mencatat muncul dan lenyapnya suatu gerakan ia melihat patahan tiap-tiap gerakan dari proses muncul dan lenyap. Kemunculan dan kelenyapan ini datang susul menyusul. Dengan cara ini ia mampu mencatat setiap kemunculan dan kelenyapan objek apapun.
Setelah itu proses kemunculan dan kelenyapan ini menjadi jarang-jarang Karena prosesnya telah berubah. Sebagian besar hal yang dilihatnya adalah proses kelenyapan, keluruhan atau pecahnya dibanding timbulnya suatu objek. Sampai ia benar-benar merasa semua proses jasmani dan batin meluruh, lenyap seketika begitu “ia” muncul.
Kadang seorang yogi melihat proses keluruhan ini begitu cepatnya. Begitu ia mampu mencatat suatu objek, objek itu pun lenyap. Sehingga kita semakin jarang melihat munculnya objek-objek.
Pada tahap ini tak terlihat lagi wujud tubuh, fisik, secara jelas misalnya wujud sebuah tangan, lengan, kaki atau kepala, dan lain-lain. Semua bentuk menghilang. Kita sudah kehilangan rasa terhadap berbagai macam wujud. Apa yang benar-benar dilihat, disadari adalah proses keluruhan, pecah atau menghilang yang sangat cepat.
Bahkan, cukup sering kita kehilangan kesadaran barang satu dua detik. Ini artinya ketika kita melihat proses lenyapnya fenomena jasmani-batin yang sangat cepat kesadaran yang mencatat proses ini pun lenyap dengan sama cepatanya. Jadi, baik subjek yang melihat maupun objek yang dilihat secara cepat meluruh, lenyap, hilang satu persatu dengan sangat cepatnya. Tahap ini dinamakan kemampuan (pengetahuan) batin melihat proses melenyap. Dalam bahasa Pali dinamakan Bhanga nana.
Pada tahap ini beberapa yogi mampu melihat pikiran bawah sadarnya. Bisa dikatakan dengan bahasa lain kita bisa melihat pikiran bawah sadar di antara pikiran-pikiran sadar. Cukup sering pula kita melihat pikiran bawah sadar melalui perasaan kita.
Setelah di tahap bhanga nana beberapa yogi memutuskan untuk sementara waktu berada di sini. Artinya ia memutuskan untuk mentrampilkan diri di tahap ini sebelum masuk ke tahap selanjutnya. Ini sebuah keputusan yang baik.
Pada tahap ini para yogi melihat tiadanya sensasi rasa sakit pada jasmani seperti kaku, kram, kesemutan dan lainnya. Ini membuat kita bisa duduk dalam waktu lama tanpa menanggung penderitaan jasmani. Tak ada kecenderungan untuk lekas-lekas berdiri di saat meditasi duduk.
Kita bisa duduk antara tiga sampai empat jam dengan rasa nyaman. Akibatnya kita leluasa untuk melihat proses hilang, lenyapnya fenomena jasmani dan batin. Kadang-kadang seperti yang telah saya (penceramah, DVP) katakan sebelumnya, kita kehilangan rasa terhadap wujud jasmani. Apa yang benar-benar kita lihat hanyalah proses timbul-tenggelamnya fenomena jasmani dan batin.

V.3. MUNCULNYA RASA TAKUT DAN JIJIK
Secara bertahap muncul rasa takut dan jijik melihat proses melenyap yang terjadi pada jasmani dan batin. Karena apa yang kita lihat, kita catat, hanya proses meluruh, hilang dan lenyapnya fenomena jasmani dan batin yang terjadi dengan sangat cepat.
Tak ada yang tersisa. Semuanya melenyap. Bahkan pada detik-detik terakhir semua fenomena, apapun yang berbentuk. Sankhara, adalah subjek dari kelenyapan, ketidakkekalan. Hal-hal ini lah yang menimbulkan perasaan ngeri, takut tadi.
Bagi para yogi yang pengetahuan batinnya belum matang muncul rasa takut tanpa mengetahui takut terhadap apa. Hal ini terjadi karena ia belum secara jelas melihat proses lenyapnya fenomena jasmani dan batin. Soal rasa takut ini seorang yogi tidak takut terhadap dunia atau terhadap hidup. Tapi ia benar-benar merasa takut ketika kesadarannya melihat proses hilangnya, luruhnya, lenyapnya segala sesuatu yang berhubungan dengan jasmani dan batin.
Bentuk rasa takut di atas berbeda dengan rasa takut ketika kita melihat binatang buas seperti ular atau harimau. Dalam kasus bersua dengan binatang buas muncul perasaan enggan, emoh dan berusaha buru-buru menghindar dari objek yang ditakuti. Bentuk rasa takut demikian bersifat akusala. Artinya rasa takut ini bersifat dosa, salah satu dari kekotoran batin.
Sementara rasa takut yang ditimbulkan oleh pengetahuan batin di atas tak bersifat dosa. Meski pengalaman mencatat proses melenyap pada jasmani dan batin ini menakutkan sama sekali tak muncul rasa tak muncul rasa enggan. Yang ada adalah perasaan takut. Titik. Rasa takut ini bersifat kusala.
Bersifat kusala, baik, karena rasa takut ini muncul akibat melihat proses lenyapnya fenomena jasmani dan batin.
Semakin lama berlatih melihat lenyapnya segala sesuatu semakin akrab kita dengan rasa takut. Karena keterampilan kita bertambah, kita mampu pula melihat bentuk-bentuk pikiran yang akan muncul. Ketika kita mampu mencatat bentuk-bentuk pikiran yang akan muncul, bentuk-bentuk pikiran ini lenyap, tak jadi muncul.
Akibatnya konsentrasi kita semakin tajam. Di sisi lain melihat kelenyapan, keluruhan dan hilangnya segala sesuatu mendasari munculnya perasaan jijik. Rasa jijik yang muncul mendasari pula munculnya perasaan tak senang akan proses-proses jasmani dan batin yang sekejap muncul dan lenyap.
Muncul pula perasaan “sakit”. Meski tak ada hambatan berarti pada jasmani dan batin muncul perasaan tak bahagia atas proses meditasi yang tengah kita lakukan. Bisa dikatakan perasaan suram mendominasi kita sampai ke tingkat depresi serta enggan melakukan ini dan itu. Perasaan-perasaan ini sampai terpantul di wajah kita.
Karena munculnya perasaan suram di atas muncul pikiran meditasi yang tengah kita lakukan mengalami kemunduran. Bahkan cukup sering muncul perasaan putus asa; apakah meditasi ini akan dilanjutkan atau tidak. Nasihat seorang guru dalam hal ini adalah “catat sajalah apapun bentuk perasaan yang muncul dengan penuh kesabaran, kecermatan dan teliti”.
Jika taat atas nasehat guru dengan mencatat apapun yang muncul kita bisa melewati tahap ini dengan sangat gampang. Sementara, kembali ke soal jijik di atas rasa jijik ini bukan seperti melihat ulat atau kotoran sapi. Kita jijik “melihat” fenomena jasmani dan batin yang muncul dan lenyap tanpa henti khususnya soal kemunculan dan kelenyapan segala sesuatu yang terjadi dengan cepatnya.
Hal-hal di atas mendasari munculnya perasaan bosan terhadap semua hal. Bosan terhadap formasi; bentukan-bentukan. Bosan terhadap hidup. Bosan pada dunia. Seolah kita tak menemukan satu tempat pun dimana kita bisa hidup nyaman dan bahagia.
Dalam hal bosan ada seorang yogi yang ingin nyemplung ke laut atau ke jurang yang dalam. Ini terjadi karena yogi tersebut tak menemukan satu pun proses jasmani dan batin yang memuaskan. Bila konsentrasi cukup baik kita bisa melihat munculnya kecenderungan untuk cepat-cepat bangkit dari meditasi duduk setelah lewat 30 sampai 40 menit meski tak ada penderitaan fisik yang berarti.
Kondisi di atas bisa dijelaskan demikian; Konsentrasi baik. Kesadaran baik. Tapi kita memiliki hasrat untuk bangkit dari duduk karena kita tidak merasa nyaman dengan kondisi yang terjadi saat ini.
Hati-hatilah bila memasuki proses ini. Beberapa yogi memutuskan untuk pulang begitu mereka memasuki proses ini. Jadi, mereka mausuk ke kuti masing-masing untuk berkemas-kemas dan minta izin pulang kepada guru.
Kemudian kami katakan demikian, “Baiklah kamu boleh pulang. Tapi tunggulah satu hari lagi. Saat ini kembali ke tempat mu awasi saja apa yang kamu rasakan”.
Karena sangat hormat dan cinta kepada guru mereka mematuhi apa yang kami (penceramah, DVP) katakan.
“Baiklah saya akan tinggal satu hari lagi,” begitu yang umumnya mereka jawab.
Tak lama inilah proses yang umumnya muncul dan mereka catat “bosan … bosan … bosan …”. Atau lagi, “tidak bahagia … tak bahagia … tak bahagia”.
Satu malam berlalu. Keesokan harinya kami memanggil yogi-yogi tersebut satu persatu. “Bukanlah hari ini kamu akan pulang?”.
“Tidak. Saya tidak jadi pulang. Proses meditasi saya sekarang sangat bagus”, kata mereka umumnya.
Pengetahuan batin di atas dinamakan nibbida nana atau dengan nama lain mucituka nana. Nibbida nana adalah pengetahuan atas munculnya rasa jijik. Mucituka nana artinya pengetahuan atau hasrat akan keterlepasan atau kebebasan.
Ketika kita kembali berlatih muncul perasaan bahagia. Tapi sekali lagi kita merasakan ketidakenakkan jasmani seperti munculnya rasa nyeri, kaku, pegal-pegal, kram atau kesemutan. Kesakitan jasmani ini terasa lebih keras dari sakit-sakit sebelumnya. Kita kehilangan kesabaran karena kemunculan penderitaan fisik di saat seperti ini.
Pada awal-awal latihan, misalnya di tahap nana ke satu, dua dan tiga kita masih bisa sabar menghadapi rasa sakit. Saat ini rasa sakit yang sama muncul lagi. Kita mampu mencatat munculnya rasa sakit dengan baik tetapi muncul rasa tak sabar menghadapinya. Kita cenderung ingin merubah-rubah posisi duduk. Kita ingin segera bangkit, meski akhirnya tak jadi kita lakukan, dan lain-lain.
Di samping itu bagaimana soal keinginan atau hasrat akan kebebasan dan keterlepasan itu bisa dijelaskan ? Prosesnya demikian; muncul keinginan untuk terbebas dari fenomena proses jasmani dan batin yang muncul dan tenggelam. Keinginan ini memunculkan daya upaya yang sungguh-sungguh. Daya upaya yang sungguh-sungguh ini menumbuhkan konsentrasi yang semakin kuat.
Semakin tajam konsentrasi rasa sakit yang kita alami dan catat terasa semakin kuat. Tapi sama sekali tak muncul perasaan enggan untuk mencatat setiap sensasi yang muncul. Karena sadar bila berhenti mengamati proses ini kita tak bisa membebaskan diri atau keluar dari proses ini. Kesadaran ini memunculkan nana tersendiri (merupakan nana ke sepuluh dalam vipassana).

V.4. MENUJU BATAS WILAYAH PARA ARIYA
Akhirnya proses ketidaksabaran menghadapi rasa sakit bisa kita lewati juga. Semua rasa sakit itu telah “pergi”. Ketidaknyamanan jasmani kita sudah lewat. Karenanya muncul perasaan damai dan bahagia. Konsentrasi menjadi lebih stabil dan semakin tajam.
Tak lama muncul perasaan tenang. Tapi, kemunculan perasaan tenang, nyaman dan bahagia ini tak akan berlangsung lama. Karena tahu dari pengalaman sebelumnya setiap objek yang kita amati merupakan subjek dari ketidakkekalan.
Pikiran benar-benar terkonsentrasi penuh. Meski kita berniat mengalihkan perhatian ke objek-objek yang kita sukai pikiran tak mau pergi ke arah itu. Ini artinya pikiran sudah menjadi sangat elastis.
Karena konsentrasi kita sedemikian baik, nana, pengetahuan batin muncul begitu terang, tajam dan “menembus”. Kita mampu melihat kemunculan dan kelenyapan objek apapun. Tak ada satupun objek yang kemunculan dan kelenyapannya tak teramati oleh kesadaran kita. Pengamatan kita menjadi stabil. Kita merasa nyaman dan tenang. Tapi perasaan yang muncul tak bahagia juga tidak tidak bahagia melihat keadaan ini.
Umumnya kita masuk di proses ini antara lima sampai sepuluh hari. Bahkan ada yogi yang berada di proses ini sampai satu bulan. Saya (penceramah, DVP) merasa sangat alamiah sifatnya bagi sementara yogi “memilih” berada pada tahap yang baik ini cukup lama sebelum mereka meraih magga dan phala (jalan dan buah).
Dalam wawancara beberapa yogi berkata demikian, “Tidak ada yang baru … benar-benar tidak ada yang baru. Hanya muncul dan lenyap. Begitu terus. Tapi konsentrasi kami sangat baik”.
Latihan fakta ini. Bahkan ketika kita mencapai kearahatan, seorang arahat benar-benar tak melihat sesuatu yang baru. Arahat melihat seperti yang kita lihat. Arahat melihat fenomena muncul dan lenyap proses jasmani dan batin. Bukankah tak ada sesuatu yang baru disini?
Pengalaman batin di atas dinamakan sankharaupekkha nana, pengetahuan atas keseimbangan segala sesuatu. Ini adalah nana kesebelasan dalam vipassana. Bisa dikatakan ini adalah nana yang sangat baik dalam meditasi vipassana.
Pada tahap ini kita memiliki kekuatan konsentrasi dan kesadaran yang sangat baik untuk mengamati objek. Karena besarnya kedua kekuatan ini kita hanya sebentar di tahap ini. Sebentar di sini relatif karena waktu yang umum digunakan seorang yogi berada di tahap ini adalah antara satu sampai dua bulan.
Kita mampu melihat muncul dan lenyapnya fenomena jasmani dan batin dengan sangat cepat. Sedemikian cepatnya objek-objek ini muncul dan lenyap sehingga mendatangkan rasa pusing. Rasa pusing adalah indikasi bahwa kita akan segera meninggalkan tahap ini.
Setelah mencapai “hasil”, ketika mengulas kembali pengalaman latihan-latihan sebelumnya kita menyadari banyak hal, “Oh ini begini, itu begitu, dan lain-lain”.
Tahap diatas dinamakan anuloma nana. Anuloma nana adalah kemampuan batin beradaptasi dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya. Mengapa dikatakan adaptasi karena pada tahap ini muncul pengertian yang lebih tajam atas pengetahuan-pengetahuan batin yang muncul pada latihan-latihan terdahulu.
Setelah proses ini dilewati kita sampai pada suatu batas antara wilayah umat awam dan wilayah yang sangat berharga, suatu wilayah dimana hanya para praktisi tingkat tinggi (para ariya) sajalah yang “menghuninya”. Terdapat pembatas di antara kedua wilayah itu. Kemampuan batin memahami batas ini dinamakan gothrabhu nana atau matangnya pengetahuan.
Bila kita berada di batas ini secara pasti hanya ada satu arah; melangkah ke depan. Sekarang kita benar-benar berada di batas ini. Segera setelah kita melaksanakan suatu tekad, suatu ketetapan hati maka kita melangkah ke wilayah lain yakni wilayah para ariya (wilayah para orang suci).
Tapi sebelum itu para yogi harus benar-benar mengalami empat nana terakhir. Keempatnya dimulai dari melihat muncul dan lenyapnya segala fenomena sampai ke gotrabhu nana. Keempat nana itu dikelompokkan ke dalam patipada nana dassana visudhi artinya pengetahuan atas pemurnian dan penglihatan batin. Keempat inilah jalan pengetahuan itu.
Pemurnian sendiri terdiri dari tujuh jenis. Kita harus mengalami pemurnian itu satu persatu sampai mencapai hasil. Pemurnian pertama adalah pemurnian atas sila (etika moral). Kedua pemurnian akan pikiran dan bentuk-bentuk pikiran. Ketiga, pemurnian akan cara pandang (visi ke depan). Keempat, pemurnian atas keragu-raguan. Kelima, pemurnian terhadap suatu pengetahuan atas apa yang disebut “jalan” dan yang “bukan jalan”. Keenam, pemurnian terhadap teori dan praktek serta visi ke depan. Ketujuh, magga nana, pemurnian atas visi dan pengetahuan-pengetahuan batin sebelumnya.
Yang perlu dimengerti setiap kemampuan menyadari dan mencatat proses apapun yang muncul dalam latihan semakin dekat kita dengan “hasil”.
Selamat berlatih.

BAB VI
PATICCA SAMUPADDA
Tujuan meditasi adalah untuk mencapai konsentrasi pikiran yang lebih tinggi. Kita menyebutnya dengan istilah konsentrasi jhana. Kadang kita menyebutnya dengan konsentrasi appana atau samadhi appana.
Konsentrasi jhana diterjemahkan sebagai konsentrasi yang menetap. Sementara samadhi appana diterjemahkan sebagai konsentrasi penyerapan. Keduanya memiliki arti yang sama.
Saat pikiran berada pada kondisi konsentrasi yang terpusat pada satu obyek meditasi, dan menggenggam kuat obyek tersebut, hal ini dinamakan konsentrasi yang terpusat. Juga secara penuh konsentrasi menyerap obyek meditasi. Karenanya inipun disebut konsentrasi penyerapan, samadhi appana.
Beberapa pemeditasi samatha bertujuan memiliki atau memperoleh kekuatan supra natural, melalui konsentrasi terpusat. Seperti para pertapa di jaman dahulu yang masuk ke hutan-hutan dan berlatih meditasi samatha untuk memperoleh kekuatan supra natural.
Walaupun pemeditasi samatha memiliki kekuatan supra natural, mereka tidak mampu menyadari tiga corak dari proses batin dan jasmani, yakni anicca, dukkha dan anatta. Sebab tujuan mereka adalah memiliki konsentrasi yang kuat, bukannya, menyadari setiap proses-proses yang berlangsung pada batin dan jasmani.
Ada juga alasan lain mengapa pemeditasi samatha tidak dapat menyadari nama (batin) dan rupa (jasmani). Jika pikiran terkonsentrasi sangat kuat terhadap obyek, maka kita tidak dapat menyadari proses-proses yang terjadi pada batin dan jasmani. Karena konsentrasi itu terlalu kuat, sehingga menghalangi untuk menyadari proses-proses yang terjadi pada batin dan jasmani.
Tujuan mempraktekkan meditasi vipassana adalah untuk mencapai nibbana. Menghancurkan kekotoran-kekotoran batin serta menimbulkan pengertian benar atas proses yang terjadi pada batin dan jasmani.
Maka, para pemeditasi vipassana harus memiliki tingkat konsentrasi tertentu namun tidak terlalu kuat. Tingkat konsentrasi khanika samadhi adalah suatu tingkatan konsentrasi dimana kita akan membangun pengetahuan pandangan terang melalui pengamatan pada proses-proses batin dan jasmani.
Pengetahuan pandangan terang ini akan menghancurkan kilesa (kekotoran batin). Bagi para pemeditasi vipassana, jika belum mencapai magga dan phala, masih dapat menghancurkan sebagian kilesa walaupan tidak secara tuntas.
Ada tiga jenis penghancuran kilesa. Kita menyebutnya tiga jenis pahana. Disini pahana berarti penghancuran. Sebenarnya penghancuran ini terdiri dari lima jenis. Tetapi untuk memudahkan dijelaskan tiga jenis penghancuran saja.
Pertama, tadanga pahana, penghancuran sebagian. Kedua, vikkhambana pahana, penghancuran sementara. Terakhir, samucheda pahana, penghancuran kilesa secara total.
Penghancuran kilesa sebagian dilakukan oleh vipassana nana atau pengetahuan pandangan terang. Penghancuran sementara dilakukan oleh konsentrasi yang dalam (samadhi). Penghancuran kilesa secara total dilakukan oleh jalan pengetahuan (phala) pencerahan (= kebijaksanaan, penerjemah).
Saat mempraktekkan meditasi vipassana dan kesadaran menjadi stabil terus-menerus, pikiran secara bertahap makin terkonsentrasi. Bila kesadaran itu dapat berlangsung terus-menerus, maka konsentrasi yang dicapai semakin dalam. Hal ini membuat semakin jelas pengetahuan pandangan terang yang diperoleh.
Dengan konsentrasi yang lebih dalam, pengetahuan pandangan terang kita menjadai semakin menembus dan tajam. Kemudian kesadaran tersebut dapat digunakan untuk menyadari proses-proses pada batin dan jasmani.
Misalnya kita mendengar sebuah lagu yang sangat indah dan menyukainya. Apa yang kemudian terjadi ? Kita merasa senang, “Ah, sangat indah. Saya menyukainya.”
Timbulnya perasaan senang itu bergantung pada telinga dan lagu yang merdu. Maka muncul perasaan senang terhadap lagu tersebut. Jika hal itu tidak dapat disadari dan dicatat sebagai “mendengar … mendengar …”, kita akan semakin menikmati lagu tersebut. Sehingga bertambah kuat kemelekatan untuk terus mendengarkan itu.
Ketika perasaan senang itu semakin kuat, akan timbul keinginan untuk terus mendengarkan lagu itu. Kadang, malah ingin bertemu dengan penyanyinya.
Sementara mendengarkan lagu yang merdu itu kita lengah untuk menyadari dan mencatatnya dalam batin sebagai “mendengar … mendengar …”. Bahkan semakin menikmatinya. Lalu keinginan untuk bertemu dengan penyanyinya atau mendengarkan lagu itu terus-menerus muncul, tergantung pada perasaan senang atas lagu tersebut. Mengapa ? Sebab kita lengah untuk mengamati dan menyadarinya.
Dengan semakin kuatnya keinginan untuk bertemu penyanyinya atau mendengarkan lagu itu, maka kita akan melakukan sesuatu untuk bertemu dengan penyanyi lagu itu. Mungkin kita akan pergi menemuinya.
Perbuatan tersebut bisa baik dan juga bisa buruk. Saat bertemu dengan sang penyanyi, kita akan membicarakan sesuatu. Pembicaraan itu bisa baik atau tidak baik. Ini disebut tindakan melalui kata-kata, vaci kamma (Pali).
Tindakan ini timbul dan tergantung pada semakin kuatnya keinginan yang muncul dengan datangnya keinginan untuk bertemu dengan sang penyanyi atau mendengarkan lagu tersebut.
Dari contoh di atas nampak jelas mengapa kita selalu membangun rantai kekotoran batin secara berkelanjutan. Sebab kita tidak mencatat dan menyadari hal itu sebagai apa adanya. Munculnya perasaan senang terhadap lagu tersebut tergantung pada telinga atau lagu itu. Dalam bahasa Pali ini disebut salayatana paccaya phasso, phassa paccaya vedana, yakni ketergantungan pada asal mula.
Phassa paccaya vedana, karena kita memiliki telinga. Telinga melakukan kontak dengan lagu. Kontak ini disebut phassa. Hal ini terkondisi karena adanya telinga dan lagu. Adanya kontak menimbulkan perasaan senang atau tidak senang. Itulah vedana (perasaan). Phassa paccaya vedana, perasaan itu terkondisi melalui kontak.
Karena perasaan senang kita berhasrat untuk bertemu penyanyi atau mendengarkan lagu itu berulang-ulang. Hasrat tersebut disebabkan oleh perasaan senang. Dalam bahasa Pali disebut vedana paccaya tanha. Artinya hasrat itu dikondisikan oleh perasaan senang.
Saat keinginan itu lengah untuk dicatat atau disadari, maka keinginan tersebut bertambah kuat. Keinginan yang bertambah kuat itu disebut kelobaan dan upadana. Kita menggenggam hal itu. Tanpa pernah kita coba melepaskannya. Menggenggamnya dengan sangat kuat. Kelobaan ini dibangkitkan oleh nafsu keinginan. Dalam bahasa Pali disebut tanha paccaya upadana.
Karenanya, salah satu kondisi mental yang cocok, yang timbul bersamaan dengan kesadaran mendenar adalah perasaan. Ini sangat jelas, lebih kuat dari kondisi mental lainnya. Segera setelah mendengar lagu, kita harus mencatatnya sebagai “mendengar … mendengar …”. Penuh perhatian, segenap tenaga dan sesegera mungkin. Sehingga kesadaran menjadi semakin kuat, menguasai kesadaran mendengar. Akibatnya kesadaran tidak dapat lagi mendengar lagu dengan jelas. Hal ini akan membuat tidak munculnya penilaian, baik atau buruk.
“Mendengar … mendengar…” kita catat. Maka pendengaran tidak dapat lagi mengetahui obyek dengan baik, karena tidak mampu menilai apakah lagu itu baik atau buruk, menyenangkan dan tidak menyenangkan. Walau demikian tetap ada kontak, namun perasaan senang dan tidak senang tidak muncul. Karena kesadaran tidak memiliki kesempatan untuk menilai obyek itu baik atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Sehingga tidak timbul perasaan senang atau tidak senang. Perasaan disingkirkan oleh kesadaran.
Dikarenakan menyadari apa yang kita dengar, maka tidak akan timbul perasaan menyenangkan atau tidak menyenangkan. Dengan cara ini perasaan disingkirkan atau dilemahkan oleh kesadaran yang berkesinambungan. Tidak lagi muncul perasaan senang. Sehingga tidak timbul keinginan untuk mendengarkan lagu atau bertemu dengan penyanyinya.
Karena tidak adanya nafsu-nafsu keinginan, maka kelobaan tidak muncul. Dengan lenyapnya kelobaan terhadap sebuah obyek, kita tidak memerlukan tindakan apapun untuk meraihnya. Dengan tidak adanya tindakan, tidak akan ada kelahiran kembali (dalam hal ini berhubungan dengan kesadaran mendengar). Kelahiran kembali berhenti di sini.
Dengan cara ini semua penderitaan dihentikan. Tak ada lagi penderitaan. Mengapa ? Karena kita menyadari obyek-obyek tersebut, menjadi waspada akan apa yang didengar dan dicatat dalam batin sebagai “mendengar … mendengar …”.
Kontak terjadi karena adanya telinga dan lagu. Namun kita menyadari dan mencatatnya dalam batin. Dengan kesadaran ini pikiran tidak dapat menilai sebuah lagu atau obyek sebagai sesuatu yang baik atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Sehingga tidak lagi ada perasaan senang dan tidak senang. Dengan tidak adanya perasaan senang dan tidak senang, tidak ada keinginan untuk bertemu dengan penyanyi atau mendengarkan lagu. Ini disebut vedana nirodha tanha nirodha.
Karena tidak adanya perasaan atau sensasi-sensasi, keinginan tidak muncul. Ini membuat kelobaan berakhir. Hal demikian disebut tanha nirodha upadana nirodha.
Dengan berakhirnya kelobaan, berakhir pula keinginan. Ini disebut upadana nirodha bhava nirodha.
Karena tidak adanya tindakan, baik atau buruk, tidak ada lagi kelahiran kembali. Ini disebut bhava nirodha jati nirodha.
Pada keadaan ini proses-proses batin dan jasmani dihentikan. Proses-proses itu tidak akan berlangsung lebih lama lagi. Penderitaan dihentikan. Kita mencapai suatu keadaan tanpa penderitaan. Mengapa ?
Ini disebabkan kita selalu menyadari apa yang kita dengar dan mencatatnya dalam batin. Karenanya kita menjadi waspada terhadap kesadaran mendengar.
Apabila kita dapat melihat munculnya kesadaran mendengar saat mendengar sesuatu, maka kesadaran atau pikiran tidak dapat memberikan suatu penilaian terhadap obyek sebagai sesuatu yang baik atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan.
Ini disebut “menutup semua jendela”. Jendela macam apa yang ditutup? Jendela telinga ditutup dengan kesadaran sehingga musuh tidak dapat masuk ke dalamnya.
Siapa yang menjadi musuh ? Tanha (vedana atau perasaan adalah pelopornya). Maka saat kita mendengar sebuah lagu dan kesadaran menjadi konstan secara berkesinambungan, tidak ada kekotoran yang masuk ke diri kita. Telinga di tutup. Dengan demikian kesadaran mencegah kekotoran batin yang datang dari pikiran lewat jendela telinga.
Hal yang sama terjadi pada kelima indra lainnya. Saat melihat sesuatu, sadari dan catat sebagai “melihat … melihat …”. Jendela mata dapat ditutup. Ketika mencium sesuatu, sadari dan catat sebagai “mencium … mencium …”. Jendela penciuman ditutup. Bila makan sesuatu, kita harus mencatat semua tindakan makan sebagai “mengambil membuka mulut … memasukkan makanan ke dalam mulut … mengunyah … merasakan … dan lain lain”.
Sewaktu kita mengamati setiap proses-proses batin atau jasmani, maka tidak akan ada lagi kenikmatan terhadap segala sesuatu yang dimakan. Karena kesadaran secara penuh mencegah kekotoran batin dari jendela lidah.
Katakanlah saat kita merasakan sesuatu yang manis sambil menikmati makanan, maka harus disadari dan dicatat dalam batin sebagai “mengunyah … mengunyah …” atau “manis … manis …” Kemudian ketika kesadaran semakin bertambah tajam, kita tidak akan mengetahui rasa manis itu lagi. Karena yang disadari saat itu adalah kesadaran mengunyah atau sesuatu yang berhubungan dengan menggerakkan dua rahang. Maka, kita tidak perlu mengidentifikasi rasa itu. Tidak perlu mengidentifikasi gerakan dua rahang sebagai diri. Ada dua rahang yang bergerak secara konstan dan juga ada sesuatu diantara dua rahang tersebut. Hanya itu saja. Selanjutnya kita tidak akan sedikitpun menikmati rasa manis tersebut.
Karena tidak dapat menikmati rasa manis, maka tidak ada nafsu keinginan untuk menikmatinya. Bila mampu melakukan pencatatan secara jelas dan terperinci, secara bertahap kita ingin memuntahkannya. Mengapa ? Karena kita menjadi enggan terhadap makanan tersebut. Apakah itu sesuatu yang baik ? Jawabannya bukan. Sebab, keenganan juga salah satu dari kekotoran batin, yaitu dosa.
Kita harus memiliki perasaan yang netral. Tanpa perasaan menyenangkan atau tidak menyenangkan. Jika kita merasa senang akan timbul nafsu keinginan. Jika merasa tidak senang, timbul keenganan. Maka, perasaan kita haruslah netral.
Untuk membuat perasaan menjadi netral, kita harus menyadarinya. Dengan demikian kita tidak akan mengetahui makanan itu baik atau tidak baik, disukai atau tidak disukai. Inilah yang disebut dengan menutup jendela lidah.
Semua hal di atas disebut indrya samvara. Indrya berarti enam panca indera. Samvara berarti menutup. Kita menutup telinga dengan kesadaran. Maka, tidak akan ada lagi kekotoran batin yang masuk ke dalam pikiran melalui telinga karena kita telah menutupnya. Inilah yang dimaksudkan dengan menutup enam panca indera.
Oleh sebab itu apapun yang kita dengar haruslah dicatat sebagai “mendengar … mendengar …”. Apapun yang dilihat, disadari dan dicatat sebagai “melihat … melihat …”. Apapun yang dicium, disadari dan dicatat sebagai “mencium … mencium …’. Apapun yang dirasakan hendaknya disadari dan dicatat sebagai “merasa … merasa …” atau “mengunyah …mengunyah …”. Dan seterusnya. Apapun yang kita sentuh, sadari dan catat sebagai “menyentuh … menyentuh …”. Bila menyentuh sesuatu yang keras, sadari dan catat sebagai “keras … keras …”. Juga saat kita menyentuh sesuatu yang lunak, sadari dan catat sebagai “lunak … lunak …”. Sehingga tidak ada lagi kekotoran batin sama sekali. Sebab, kita menyadari hal ini sebagai kesadaran menyentuh.
Dengan konsentrasi yang lebih terpusat dan kebijaksanaan yang lebih terang, kita akan dapat menyadari timbul dan lenyapnya kesadaran mendengar. Kemudian kita menyadari ketidakkekalan dari kesadaran mendengar, anicca. Sehingga tidak ada lagi nafsu keinginan atau keenganan. Tidak ada kekotoran batin sama sekali. Inilah tujuan dari meditasi vipassana. Inilah maksud pencapaian dan menghentikan penderitaan melalui kesadaran atas proses-proses batin dan jasmani sebagaimana adanya.
Pemeditasi samatha tidak dapat menyadari proses-proses yang terjadi pada batin dan jasmani, sebab tujuan mereka adalah mencapai tingkat-tingkat konsentrasi yang lebih tinggi.
Akhirnya, kembali lagi, ada tiga jenis penghancuran atau penyingkiran. Bila telinga mendengar lagu yang merdu dan kita menyadari serta mencatatnya sebagai “mendengar … mendengar”, maka kita akan mengetahui adanya pendengaran dan obyek serta pikiran yang mencatat hal itu dengan konsentrasi yang terpusat.
Apabila kita tidak mencatat hal tersebut, maka akan timbul nafsu keinginan untuk mendengarkan lagu atau bertemu dengan penyanyinya. Munculnya nafsu keinginan ini tergantung pada perasaan atau sensasi. Namun jika kita mampu menyadari dan mencatat dalam batin apa yang kita dengar, mengetahui hal itu sebagai mendengar sebuah lagu dan pikiran menyadari hal itu. Ini yang dimaksud dengan vipassana nana (=pengetahuan pandangan terang), dimana diperoleh pengertian benar atas kesadaran mendengar, adanya sebuah lagu atau suara dan pikiran yang tengah menyadari hal tersebut. Dengan pengertian yang benar ini akan dapat menghapus semua kekotoran batin yang mungkin timbul.
Namun, ada kekotoran batin lainnya. Sebagai contoh, bila kita melihat sesuatu ada nafsu keinginan untuk melihat. Bila kita merasakan sesuatu akan timbul keinginan untuk mencicipi. Nafsu-nafsu keinginan ini, yaitu tanha, lobha, masih tetap ada. Sebab apa yang kita hancurkan adalah naf
su keinginan, tanha yang akan timbul bila kita gagal menyadari pendengaran tersebut.
Maka, beberapa bagian dari nafsu keinginan telah dihancurkan oleh pengertian yang benar saat kita menyadari pendengaran. Inilah yang dimaksud dengan penghancuran sebagian kilesa oleh vipassana nana, pengetahuan pandangan terang.
Semoga kita semua dapat menutup keenam pintu panca indera kita dengan kesadaran seutuhnya dan mencapai keberhasilan.

Penerjemah,
Surabaya, akhir Oktober 2002