Ajaran Zen Bodhidharma, oleh Bodhidharma
Diterjemahkan oleh Tonny (2009)
Diterjemahkan oleh Tonny (2009)
Garis Besar Praktik
Banyak jalur menuntun ke Sang Jalan, namun pada dasarnya hanya ada ada dua: kebijaksanaan dan praktik.
Memasuki melalui kebijaksanaan berarti mencapai intisari melalui petunjuk dan meyakini semua makhluk hidup memiliki hakikat sejati yang sama, yang tidak terlihat karena tertutup oleh sensasi dan delusi. Mereka yang beralih dari delusi kembali ke realitas; yang bermeditasi menghadap tembok; hilangnya diri dan orang lain; antara yang awam dan yang bijak apa dasarnya sama; dan siapa yang tetap tidak tergerakan bahkan oleh naskah-naskah suci, berada dalam kondisi sejalan yang hening dan sempurna dengan kebijaksanaan. Tanpa gerak, tanpa usaha, mereka memasuki [Jalan] melalui kebijaksanaan.
Memasuki melalui praktik menunjuk pada empat praktik yang meliputi: menderita ketidakadilan, beradaptasi dengan kondisi-kondisi, tidak mencari apapun, dan mempraktikkan Dharma.
Pertama, menderita ketidakadilan. Ketika mereka yang mencari Sang Jalan menghadapi kesulitan, mereka seharusnya berpikir pada diri mereka, "Untuk berabad-abad lampau yang tak terhitung, saya beralih dari hal yang esensial ke hal yang remeh dan berkelana melalui semua bentuk eksistensi, seringkali marah tanpa sebab dan bersalah atas kejahatan tak terkira. Sekarang, meskipun saya tidak melakukan suatu kesalahan, saya dihukum oleh masa laluku. Tidak para dewa maupun manusia bisa menduga saat perbuatan jahat akan menanggung akibatnya. Saya menerimanya dengan hati yang terbuka dan tanpa mengeluhkan ketidakadilan." Sutra-sutra berkata, "Ketika kamu menjumpai kesulitan janganlah marah karena sudah sewajarnya." Dengan pemahaman demikian kamu akan selaras dengan kebijaksanan. Dan dengan menderita ketidakadilan engkau akan memasuki Sang Jalan.
Kedua, beradaptasi dengan kondisi-kondisi. Sebagai makhluk tidak kekal, kita dikuasai oleh kondisi-kondisi, tidak oleh diri kita sendiri. Semua penderitaan dan kebahagiaan yang kita alami bergantung pada kondisi-kondisi. Jika kita diberkahi oleh beberapa imbalan besar, seperti ketenaran atau keberuntungan, ini hanyalah buah dari benih yang ditanam oleh kita di masa lampau. Ketika kondisi berubah, ia berakhir. Mengapa harus terlampau bahagia dengan keadaan ini? Namun sementara kesuksesan dan kegagalan bergantung pada kondisi-kondisi, pikiran tidak bertambah bahagia ataupun berkurang. Mereka yang tetap tak-tergerakkan oleh angin kebahagiaan dengan senyap mengikuti Sang Jalan.
Ketiga, tidak mencari apapun. Manusia di dunia ini tersesat. Mereka selalu menginginkan sesuatu—selalu, dalam satu kata, mencari. Namun yang bijak tersadar. Mereka memilih kebijaksanaan dibanding kebiasaan. Mereka menyesuaikan pikiran mereka dengan yang sublim dan membiarkan tubuh mereka berubah dengan berlalunya musim-musim. Semua fenomena adalah kosong. Tubuh tidak berisi sesuatu yang layak diinginkan. Bencana selamanya datang silih berganti dengan kemakmuran! Berhuni di dalam tiga alam adalah berdiam di dalam rumah yang terbakar. Memiliki tubuh adalah derita. Adakah yang masih memiliki tubuh mengenal damai? Mereka yang memahami hal ini melepaskan diri mereka dari semua keberadaan dan berhenti membayangkan atau mencari sesuatu. Sutra-sutra berkata, "Mencari adalah penderitaan. Tidak mencari apapun adalah kebahagiaan." Ketika kamu tidak mencari apapun, kamu sedang berada di Sang Jalan.
Keempat, mempraktikkan Dharma. Dharma adalah kebenaran bahwa seluruh sifat aseli adalah murni. Dari kebenaran ini, semua penampilan adalah kosong. Kekotoran dan kemelekatan, subyek dan obyek tidak eksis. Sutra-sutra berkata, "Dharma tidak meliputi makhluk hidup karena ia bebas dari ketidakmurnian makhluk hidup, dan Dharma tidak meliputi diri karena ia bebas dari ketidakmurnian diri." Mereka yang cukup bijak meyakini dan memahami bahwa kebenaran ini dibutuhkan untuk praktik sesuai Dharma. Dan saat apa yang nyata tidak terdapat sesuatu yang layak untuk disesalkan, mereka menyerahkan tubuh, hidup dan harta benda mereka sebagai amal (dana), tanpa menyesal, tanpa kesombongan pemberi, pemberian atau penerima, dan tanpa bias atau kemelekatan. Dan untuk menghilangkan ketidakmurnian mereka mengajar orang lain, namun tanpa menjadi melekat pada wujud. Dengan demikian, melalui praktik mereka sendiri mereka mampu menolong orang lain dan mengikuti Jalan Pencerahan. Dan bersama dengan berdana, mereka juga mempraktikkan kebajikan (paramita) lainnya. Namun sementara mempraktikkan enam kebajikan (paramita) untuk menghilangkan delusi, mereka tidak mempraktikkan apapun. Ini apa yang dimaksud sebagai mempraktikkan Dharma.
Banyak jalur menuntun ke Sang Jalan, namun pada dasarnya hanya ada ada dua: kebijaksanaan dan praktik.
Memasuki melalui kebijaksanaan berarti mencapai intisari melalui petunjuk dan meyakini semua makhluk hidup memiliki hakikat sejati yang sama, yang tidak terlihat karena tertutup oleh sensasi dan delusi. Mereka yang beralih dari delusi kembali ke realitas; yang bermeditasi menghadap tembok; hilangnya diri dan orang lain; antara yang awam dan yang bijak apa dasarnya sama; dan siapa yang tetap tidak tergerakan bahkan oleh naskah-naskah suci, berada dalam kondisi sejalan yang hening dan sempurna dengan kebijaksanaan. Tanpa gerak, tanpa usaha, mereka memasuki [Jalan] melalui kebijaksanaan.
Memasuki melalui praktik menunjuk pada empat praktik yang meliputi: menderita ketidakadilan, beradaptasi dengan kondisi-kondisi, tidak mencari apapun, dan mempraktikkan Dharma.
Pertama, menderita ketidakadilan. Ketika mereka yang mencari Sang Jalan menghadapi kesulitan, mereka seharusnya berpikir pada diri mereka, "Untuk berabad-abad lampau yang tak terhitung, saya beralih dari hal yang esensial ke hal yang remeh dan berkelana melalui semua bentuk eksistensi, seringkali marah tanpa sebab dan bersalah atas kejahatan tak terkira. Sekarang, meskipun saya tidak melakukan suatu kesalahan, saya dihukum oleh masa laluku. Tidak para dewa maupun manusia bisa menduga saat perbuatan jahat akan menanggung akibatnya. Saya menerimanya dengan hati yang terbuka dan tanpa mengeluhkan ketidakadilan." Sutra-sutra berkata, "Ketika kamu menjumpai kesulitan janganlah marah karena sudah sewajarnya." Dengan pemahaman demikian kamu akan selaras dengan kebijaksanan. Dan dengan menderita ketidakadilan engkau akan memasuki Sang Jalan.
Kedua, beradaptasi dengan kondisi-kondisi. Sebagai makhluk tidak kekal, kita dikuasai oleh kondisi-kondisi, tidak oleh diri kita sendiri. Semua penderitaan dan kebahagiaan yang kita alami bergantung pada kondisi-kondisi. Jika kita diberkahi oleh beberapa imbalan besar, seperti ketenaran atau keberuntungan, ini hanyalah buah dari benih yang ditanam oleh kita di masa lampau. Ketika kondisi berubah, ia berakhir. Mengapa harus terlampau bahagia dengan keadaan ini? Namun sementara kesuksesan dan kegagalan bergantung pada kondisi-kondisi, pikiran tidak bertambah bahagia ataupun berkurang. Mereka yang tetap tak-tergerakkan oleh angin kebahagiaan dengan senyap mengikuti Sang Jalan.
Ketiga, tidak mencari apapun. Manusia di dunia ini tersesat. Mereka selalu menginginkan sesuatu—selalu, dalam satu kata, mencari. Namun yang bijak tersadar. Mereka memilih kebijaksanaan dibanding kebiasaan. Mereka menyesuaikan pikiran mereka dengan yang sublim dan membiarkan tubuh mereka berubah dengan berlalunya musim-musim. Semua fenomena adalah kosong. Tubuh tidak berisi sesuatu yang layak diinginkan. Bencana selamanya datang silih berganti dengan kemakmuran! Berhuni di dalam tiga alam adalah berdiam di dalam rumah yang terbakar. Memiliki tubuh adalah derita. Adakah yang masih memiliki tubuh mengenal damai? Mereka yang memahami hal ini melepaskan diri mereka dari semua keberadaan dan berhenti membayangkan atau mencari sesuatu. Sutra-sutra berkata, "Mencari adalah penderitaan. Tidak mencari apapun adalah kebahagiaan." Ketika kamu tidak mencari apapun, kamu sedang berada di Sang Jalan.
Keempat, mempraktikkan Dharma. Dharma adalah kebenaran bahwa seluruh sifat aseli adalah murni. Dari kebenaran ini, semua penampilan adalah kosong. Kekotoran dan kemelekatan, subyek dan obyek tidak eksis. Sutra-sutra berkata, "Dharma tidak meliputi makhluk hidup karena ia bebas dari ketidakmurnian makhluk hidup, dan Dharma tidak meliputi diri karena ia bebas dari ketidakmurnian diri." Mereka yang cukup bijak meyakini dan memahami bahwa kebenaran ini dibutuhkan untuk praktik sesuai Dharma. Dan saat apa yang nyata tidak terdapat sesuatu yang layak untuk disesalkan, mereka menyerahkan tubuh, hidup dan harta benda mereka sebagai amal (dana), tanpa menyesal, tanpa kesombongan pemberi, pemberian atau penerima, dan tanpa bias atau kemelekatan. Dan untuk menghilangkan ketidakmurnian mereka mengajar orang lain, namun tanpa menjadi melekat pada wujud. Dengan demikian, melalui praktik mereka sendiri mereka mampu menolong orang lain dan mengikuti Jalan Pencerahan. Dan bersama dengan berdana, mereka juga mempraktikkan kebajikan (paramita) lainnya. Namun sementara mempraktikkan enam kebajikan (paramita) untuk menghilangkan delusi, mereka tidak mempraktikkan apapun. Ini apa yang dimaksud sebagai mempraktikkan Dharma.
Khotbah Aliran Darah
Segala sesuatu yang hadir di dalam tiga alam berasal dari pikiran. Oleh sebab itu Para Buddha di masa lampau dan masa depan mengajarkan dari pikiran ke pikiran tanpa menkhawatirkan tentang definisi. Tapi jika mereka tidak menjabarkannya, apa yang mereka maksud sebagai pikiran? Tanyamu. Itu adalah pikiranmu. Jawabku. Itu adalah pikiranku. Jika saya tidak memiliki pikiran bagaimana saya bisa menjawab? Jika kamu tidak mempunyai pikiran bagaimana bisa kamu bertanya? Yang sedang bertanya adalah pikiranmu. Melalui berkalpa-kalpa tanpa akhir tanpa permulaan, apapun yang kamu lakukan, di manapun kamu berada, itulah pikiran sejatimu, itulah buddha sejatimu. "Pikiran ini adalah buddha" kata pendapat serupa. Di luar pikiran kamu tidak akan pernah menemukan Buddha lainnya. Mencari pencerahan atau nirvana di luar pikiran adalah hal yang tidak mungkin. Realitas hakikat-sejati-diri, hilangnya sebab dan akibat, adalah apa yang dimaksud sebagai pikiran. Pikiranmu adalah nirvana. Kamu mungkin mengira bahwa kamu bisa menemukan Buddha atau pencerahan di suatu tempat di luar pikiran, namun tempat demikian tidak ada.
Mencoba untuk menemukan Buddha atau pencerahan seperti mencoba menangkap ruang. Ruang memiliki nama namun tidak berbentuk. Ia bukanlah sesuatu yang bisa kamu ambil atau letakkan. Dan kamu pasti tidak bisa menangkapnya. Di luar pikiran kamu tidak akan pernah melihat seorang Buddha. Buddha adalah hasil dari pikiran. Mengapa mencari Buddha di luar pikiran?
Para Buddha di masa lampau dan masa depan hanya membicarakan tentang pikiran ini. Pikiran tersebut adalah Buddha, dan Buddha adalah pikiran. Di luar pikiran tidak ada Buddha dan di luar Buddha tidak ada pikiran. Jika kamu mengira ada Buddha di luar pikiran, di manakah dia? Tidak ada Buddha di luar pikiran, jadi mengapa membayangkannya? Kamu tidak akan mengenal pikiran sejatimu selama kamu masih menipu dirimu sendiri. Selama kamu masih terpikat oleh wujud mati, kamu belum bebas. Jika kamu tidak mempercayaiku, menipu dirimu sendir tidak akan membantu. Ini bukanlah kesalahan Para Buddha. Manusia masih tersesat. Mereka tidak sadar akan pikiran mereka sendiri sebagai Buddha. Jika tidak mereka tidak akan mencari Buddha di luar pikiran.
Para Buddha tidak menyelamatkan Para Buddha. Jika kamu menggunakan pikiranmu untuk mencari Buddha, kamu tidak akan melihat Buddha. Selama kamu mencari Buddha di suatu tempat lain, kamu tidak akan pernah melihat bahwa pikiranmu adalah Buddha. Jangan menggunakan seorang Buddha untuk berbakti pada seorang Buddha. Dan jangan menggunakan pikiran untuk memohon pada seorang Buddha. Para Buddha tidak melafalkan sutra. Para Buddha tidak menjaga sila-sila. Dan Para Buddha tidak melanggar sila-sila. Para Buddha tidak merawat atau merusak apapun. Para Buddha tidak melakukan kebaikan ataupun kejahatan.
Mencari seorang Buddha, kamu harus melihat hakikat-sejati dirimu. Siapapun yang melihat hakikat-sejatinya adalah seorang Buddha. Jika kamu tidak melihat hakikat-sejati dirimu, memohon pada Para Buddha, melafalkan sutra-sutra, membuat persembahan, dan menjaga sila-sila semuanya adalah tidak berguna. Memohon pada Para Buddha menghasilkan karma baik, melafalkan sutra-sutra menghasilkan ingatan yang baik; menjaga sila-sila menghasilkan kelahiran kembali yang lebih baik, dan memberikan persembahan menghasilkan berkah di masa depan—tetapi tidak ada Buddha. Jika kamu tidak memahaminya sendiri, kamu harus menemukan seorang guru untuk memahaminya hingga akhir dari kelahiran dan kematian. Namun jika ia tidak melihat hakikat-sejati dirinya, orang demikian bukanlah seorang guru. Bahkan jika ia mampu melafalkan Kedua belas Bagian Kitab Suci ia tidak bisa menghindari Perputaran Kelahiran dan Kematian. Ia menderita dalam tiga alam tanpa harapan untuk bebas. Di masa lampau, Bhiksu Bintang Baik mampu melafalkan seluruh Kitab Suci. Namun ia tidak bisa menghindari Perputaran tersebut, karena ia tidak melihat hakikat-sejati dirinya. Jika ini dialami oleh Bintang Baik, maka manusia dewasa ini yang melafalkan sedikit dari sutra atau shastras dan mengiranya sebagai Dharma adalah bodoh. Jika kamu belum melihat pikiranmu, melafalkan demikian banyak prosa adalah tidak bermanfaat.
Untuk menemukan Buddha kamu hanya perlu melihat hakikat-sejati diri. Hakikat-sejatimu adalah Buddha. Dan Buddha adalah orang yang bebas: bebas dari perencanaan, bebas dari kekhawatiran. Jika kamu belum melihat hakikat-sejati dirimu dan berkeliling ke mana-mana sepanjan hari untuk mencari di suatu tempat lain, kamu tidak akan menemukan buddha. Kebenarannya adalah tidak ada sesuatu yang perlu dicari. Namun untuk mencapai pemahaman demikian kamu membutuhkan seorang guru dan kamu butuh berjuang demi membuat dirimu memahaminya. Kehidupan dan kematian adalah penting. Jangan menderita karenanya dengan sia-sia.
Tidak ada keuntungan dari menipu diri sendiri. Bahkan jika kamu memiliki gunung permata dan sebanyak mungkin pelayan sebanyak butiran pasir sepanjang Sungai Gangga, kamu melihat mereka ketika matamu terbuka. Namun bagaimana ketika matamu tertutup? Kamu seharusnya menyadari karena itu bahwa semua yang kamu lihat seperti sebuah mimpi atau ilusi.
Jika kamu tidak menemukan seorang guru dengan segera, kamu akan hidup di kehidupan ini dengan sia-sia. Memang benar, kamu memiliki hakikat-kebuddhaan. Namun tanpa pertolongan dari seorang guru kamu tidak akan mengetahuinya. Hanya satu orang di antara sejuta yang tercerahkan tanpa bantuan seorang guru. Jika, terlebih dulu, dengan serangkaian kondisi-kondisi, seseorang memahami apa yang dimaksud Buddha, orang tersebut tidak membutuhkan seorang guru. Orang demikian memiliki kesadaran alamiah menguasai apapun yang diajarkan. Namun jika kamu tidak diberkahi yang demikian, belajar dengan tekun, dan dengan menerima instruksi kamu akan memahaminya.
Orang yang tidak memahami dan mengira bisa melakukannya juga tanpa belajar tidak berbeda dengan mereka yang jiwanya tersesat yang tidak bisa membedakan yang putih dari hitam. Secara keliru mengumumkan Buddha-Dharma, orang demikian pada nyatanya menyerapah Buddha dan menumbangkan Dharma. Mereka berkhotbah seakan-akan mereka membawa hujan. Namun yang mereka lakukan adalah khotbahnya Si Jahat bukan khotbah Buddha. Guru mereka adalah Raja Mara dan murid mereka adalah pengikut Mara. Orang yang tersesat yang mengikuti ajaran demikian tanpa sadar tenggelam lebih dalam di Lautan Kelahiran dan Kematian. Jika mereka tidak melihat hakikat-sejati mereka, bagaimana mereka bisa menyebut diri mereka Para Buddha? Mereka adalah pembohong yang menipu orang lain memasuki alam setan. Jika mereka tidak melihat hakikat-sejati mereka, mereka mengkhotbahkan Kedua Belas Bagian Kitab Suci tidak lain hanyalah ceramah dari Si Jahat. Sekutu mereka adalah Mara, bukan Sang Buddha. Tidak sanggup memisahkan putih dari hitam, bagaimana mereka bisa menghindari kelahiran dan kematian?
Siapapun yang melihat hakikat dirinya adalah Buddha; siapapun yang belum melihat adalah yang fana (mortal). Namun jika kamu bisa menemukan hakikat-kebuddhaan terpisah dari hakikat tidak-kekal dirimu, di manakah itu? Hakikat tidak-kekal kita adalah hakikat kebuddhaan. Di luar hakikat ini tidak ada Buddha. Buddha adalah hakikat kita. Tidak ada Buddha di luar hakikat ini. Dan tidak ada hakikat di luar Buddha. Tapi seandainya saya tidak melihat hakikat-sejati saya, tak bisakah saya mencapai pencerahan dengan memuja Para Buddha, melafalkan sutra, melakukan persembahan, menjaga sila-sila, mempraktikkan keyakinan, atau melakukan perbuatan baik?
Tidak, kau tidak bisa. Mengapa tidak?
Jika kamu mencapai semuanya, ini bersifat kondisional, ini adalah karma. Hasilnya adalah balasan setimpal. Kondisi ini kembali ke Siklus. Dan selama kamu menjadi sasaran dari kelahiran dan kematian, kamu tidak akan mencapai pencerahan. Untuk mencapai pencerahan kamu harus melihat hakikat-sejati diri. Jika kamu belum melihat hakikat-sejati dirimu, semua perbincangan tentang sebab dan akibat ini adalah omong kosong. Para Buddha tidak mempraktikkan omong kosong. Seorang Buddha bebas dari karma, bebas dari sebab dan akibat. Menyebut dia telah mencapai semuanya adalah memfitnah Buddha. Apa yang mungkin bisa dicapainya? Bahkan berfokus pada sebuah pemikiran, sebuah kekuatan, sebuah pemahaman, atau sebuah sudut pandang adalah tidak mungkin bagi seorang Buddha. Seorang Buddha tidak bias prasangka. Hakikat dari pikirannya pada dasarnya adalah kosong, bukan murni juga bukan tidak murni. Ia bebas dari praktik dan pencapaian. Ia bebas dari sebab dan akibat.
Seorang Buddha tidak menjaga sila-sila. Seorang Buddha tidak melakukan perbuatan baik ataupun perbuatan jahat. Seorang Buddha tidak bersemangat ataupun malas. Seorang Buddha adalah seseorang yang tidak melakukan apapun, seseorang yang bahkan tidak bisa memfokuskan pikiranya pada seorang Buddha. Seorang Buddha bukan Buddha. Jangan pikirkan Para Buddha. Jika kamu tidak mengetahui apa yang saya katakan, kamu tidak akan mengenal pikiranmu sendiri. Orang yang tidak melihat hakikat-sejati diri dan membayangkan diri mereka bisa mempraktikan kesembronoan setiap saat adalah menyembunyikan diri dan bodoh. Mereka jatuh dalam runag yang tanpa akhir. Mereka seperti sedang mabuk. Mereka tidak bisa membedakan baik dari yang buruk. Jika kamu bermaksud membina praktik yang demikian, kamu harus melihat hakikat-sejati diri sebelum kamu bisa mengakhiri pemikiran rasional. Mencapai pencerahan tanpa melihat hakikat-sejati diri adalah tidak mungkin.
Bahkan yang lain melakukan semua jenis kejahatan, mengaku bahwa karma tidak ada. Mereka secara salah berpendirian bahwa segala sesuatu adalah kosong, sehingga melakukan kejahatan tidaklah salah. Orang yang demikian terjerumus dalam neraka kegelapan tanpa akhir tanpa harapan untuk bebas. Mereka yang bijaksana tidak mempertahankan pemahaman demikian.
Namun seandainya setiap gerakan atau kondisi, kapanpun ia berlangsung, adalah pikiran, mengapa kita tidak melihat pikiran saat tubuh seseorang mati?
Pikiran selalu hadir. Kamu hanya tidak melihatnya.
Namun seandainya pikiran hadir, mengapa kita tidak melihatnya?
Apakah kamu pernah mimpi?
Tentu.
Ketika kamu bermimpi, dirimukah itu?
Ya.
Dan apakah yang kamu lakukan dan katakan berbeda dari dirimu?
Tidak.
Namun jika tidak, karena itu tubuh ini adalah tubuh sejatimu. Dan tubuh sejati itu adalah pikiranmu. Dan pikiran ini, melalui berkalpa-kalpa tanpa akhir tanpa permulaan, tidak pernah berubah. Ia tidak pernah hidup atau mati, muncul atau hilang, tumbuh atau merosot. Ia tidak murni ataupun tercemar, baik atau jahat, masa lalu atau masa depan. Ia tidak benar ataupun salah. Ia bukan laki-laki ataupun perempuan. Ia tidak muncul sebagai bhiksu ataupun orang awam, ahli ataupun pemula, bijaksana atau dungu, Buddha atau fana. Ia tidak berjuang untuk pencapaian dan tidak menderita karma. Ia tidak memiliki kekuatan atau bentuk. Ia seperti ruang. Kamu tidak dapat memilikinya dan kamu tidak bisa kehilangannya. Gerakannya tidak bisa dihalangi oleh pegunungan, sungai dan dinding batu. Ia adalah kekuatan tak terhentikan yang menembus Gunung Lima Skandha dan menyeberangi sungai Samsara. Tidak ada karma bisa menahan tubuh sejati ini. Namun pikiran ini lembut dan sulit dilihat. Ia tidak sama dengan pikiran yang merasakan. Semua orang ingin melihat pikiran ini, dan mereka yang menggerakan tangan dan kaki mereka dengan cahayanya sebanyak butiran pasir sepanjang Sungai Gangga, namun saat kamu bertanya padanya, mereka tidak bisa menjelaskannya. Mereka seperti boneka. Ia adalah milik mereka untuk digunakan. Mengapa mereka tidak melihatnya?
Segala sesuatu yang hadir di dalam tiga alam berasal dari pikiran. Oleh sebab itu Para Buddha di masa lampau dan masa depan mengajarkan dari pikiran ke pikiran tanpa menkhawatirkan tentang definisi. Tapi jika mereka tidak menjabarkannya, apa yang mereka maksud sebagai pikiran? Tanyamu. Itu adalah pikiranmu. Jawabku. Itu adalah pikiranku. Jika saya tidak memiliki pikiran bagaimana saya bisa menjawab? Jika kamu tidak mempunyai pikiran bagaimana bisa kamu bertanya? Yang sedang bertanya adalah pikiranmu. Melalui berkalpa-kalpa tanpa akhir tanpa permulaan, apapun yang kamu lakukan, di manapun kamu berada, itulah pikiran sejatimu, itulah buddha sejatimu. "Pikiran ini adalah buddha" kata pendapat serupa. Di luar pikiran kamu tidak akan pernah menemukan Buddha lainnya. Mencari pencerahan atau nirvana di luar pikiran adalah hal yang tidak mungkin. Realitas hakikat-sejati-diri, hilangnya sebab dan akibat, adalah apa yang dimaksud sebagai pikiran. Pikiranmu adalah nirvana. Kamu mungkin mengira bahwa kamu bisa menemukan Buddha atau pencerahan di suatu tempat di luar pikiran, namun tempat demikian tidak ada.
Mencoba untuk menemukan Buddha atau pencerahan seperti mencoba menangkap ruang. Ruang memiliki nama namun tidak berbentuk. Ia bukanlah sesuatu yang bisa kamu ambil atau letakkan. Dan kamu pasti tidak bisa menangkapnya. Di luar pikiran kamu tidak akan pernah melihat seorang Buddha. Buddha adalah hasil dari pikiran. Mengapa mencari Buddha di luar pikiran?
Para Buddha di masa lampau dan masa depan hanya membicarakan tentang pikiran ini. Pikiran tersebut adalah Buddha, dan Buddha adalah pikiran. Di luar pikiran tidak ada Buddha dan di luar Buddha tidak ada pikiran. Jika kamu mengira ada Buddha di luar pikiran, di manakah dia? Tidak ada Buddha di luar pikiran, jadi mengapa membayangkannya? Kamu tidak akan mengenal pikiran sejatimu selama kamu masih menipu dirimu sendiri. Selama kamu masih terpikat oleh wujud mati, kamu belum bebas. Jika kamu tidak mempercayaiku, menipu dirimu sendir tidak akan membantu. Ini bukanlah kesalahan Para Buddha. Manusia masih tersesat. Mereka tidak sadar akan pikiran mereka sendiri sebagai Buddha. Jika tidak mereka tidak akan mencari Buddha di luar pikiran.
Para Buddha tidak menyelamatkan Para Buddha. Jika kamu menggunakan pikiranmu untuk mencari Buddha, kamu tidak akan melihat Buddha. Selama kamu mencari Buddha di suatu tempat lain, kamu tidak akan pernah melihat bahwa pikiranmu adalah Buddha. Jangan menggunakan seorang Buddha untuk berbakti pada seorang Buddha. Dan jangan menggunakan pikiran untuk memohon pada seorang Buddha. Para Buddha tidak melafalkan sutra. Para Buddha tidak menjaga sila-sila. Dan Para Buddha tidak melanggar sila-sila. Para Buddha tidak merawat atau merusak apapun. Para Buddha tidak melakukan kebaikan ataupun kejahatan.
Mencari seorang Buddha, kamu harus melihat hakikat-sejati dirimu. Siapapun yang melihat hakikat-sejatinya adalah seorang Buddha. Jika kamu tidak melihat hakikat-sejati dirimu, memohon pada Para Buddha, melafalkan sutra-sutra, membuat persembahan, dan menjaga sila-sila semuanya adalah tidak berguna. Memohon pada Para Buddha menghasilkan karma baik, melafalkan sutra-sutra menghasilkan ingatan yang baik; menjaga sila-sila menghasilkan kelahiran kembali yang lebih baik, dan memberikan persembahan menghasilkan berkah di masa depan—tetapi tidak ada Buddha. Jika kamu tidak memahaminya sendiri, kamu harus menemukan seorang guru untuk memahaminya hingga akhir dari kelahiran dan kematian. Namun jika ia tidak melihat hakikat-sejati dirinya, orang demikian bukanlah seorang guru. Bahkan jika ia mampu melafalkan Kedua belas Bagian Kitab Suci ia tidak bisa menghindari Perputaran Kelahiran dan Kematian. Ia menderita dalam tiga alam tanpa harapan untuk bebas. Di masa lampau, Bhiksu Bintang Baik mampu melafalkan seluruh Kitab Suci. Namun ia tidak bisa menghindari Perputaran tersebut, karena ia tidak melihat hakikat-sejati dirinya. Jika ini dialami oleh Bintang Baik, maka manusia dewasa ini yang melafalkan sedikit dari sutra atau shastras dan mengiranya sebagai Dharma adalah bodoh. Jika kamu belum melihat pikiranmu, melafalkan demikian banyak prosa adalah tidak bermanfaat.
Untuk menemukan Buddha kamu hanya perlu melihat hakikat-sejati diri. Hakikat-sejatimu adalah Buddha. Dan Buddha adalah orang yang bebas: bebas dari perencanaan, bebas dari kekhawatiran. Jika kamu belum melihat hakikat-sejati dirimu dan berkeliling ke mana-mana sepanjan hari untuk mencari di suatu tempat lain, kamu tidak akan menemukan buddha. Kebenarannya adalah tidak ada sesuatu yang perlu dicari. Namun untuk mencapai pemahaman demikian kamu membutuhkan seorang guru dan kamu butuh berjuang demi membuat dirimu memahaminya. Kehidupan dan kematian adalah penting. Jangan menderita karenanya dengan sia-sia.
Tidak ada keuntungan dari menipu diri sendiri. Bahkan jika kamu memiliki gunung permata dan sebanyak mungkin pelayan sebanyak butiran pasir sepanjang Sungai Gangga, kamu melihat mereka ketika matamu terbuka. Namun bagaimana ketika matamu tertutup? Kamu seharusnya menyadari karena itu bahwa semua yang kamu lihat seperti sebuah mimpi atau ilusi.
Jika kamu tidak menemukan seorang guru dengan segera, kamu akan hidup di kehidupan ini dengan sia-sia. Memang benar, kamu memiliki hakikat-kebuddhaan. Namun tanpa pertolongan dari seorang guru kamu tidak akan mengetahuinya. Hanya satu orang di antara sejuta yang tercerahkan tanpa bantuan seorang guru. Jika, terlebih dulu, dengan serangkaian kondisi-kondisi, seseorang memahami apa yang dimaksud Buddha, orang tersebut tidak membutuhkan seorang guru. Orang demikian memiliki kesadaran alamiah menguasai apapun yang diajarkan. Namun jika kamu tidak diberkahi yang demikian, belajar dengan tekun, dan dengan menerima instruksi kamu akan memahaminya.
Orang yang tidak memahami dan mengira bisa melakukannya juga tanpa belajar tidak berbeda dengan mereka yang jiwanya tersesat yang tidak bisa membedakan yang putih dari hitam. Secara keliru mengumumkan Buddha-Dharma, orang demikian pada nyatanya menyerapah Buddha dan menumbangkan Dharma. Mereka berkhotbah seakan-akan mereka membawa hujan. Namun yang mereka lakukan adalah khotbahnya Si Jahat bukan khotbah Buddha. Guru mereka adalah Raja Mara dan murid mereka adalah pengikut Mara. Orang yang tersesat yang mengikuti ajaran demikian tanpa sadar tenggelam lebih dalam di Lautan Kelahiran dan Kematian. Jika mereka tidak melihat hakikat-sejati mereka, bagaimana mereka bisa menyebut diri mereka Para Buddha? Mereka adalah pembohong yang menipu orang lain memasuki alam setan. Jika mereka tidak melihat hakikat-sejati mereka, mereka mengkhotbahkan Kedua Belas Bagian Kitab Suci tidak lain hanyalah ceramah dari Si Jahat. Sekutu mereka adalah Mara, bukan Sang Buddha. Tidak sanggup memisahkan putih dari hitam, bagaimana mereka bisa menghindari kelahiran dan kematian?
Siapapun yang melihat hakikat dirinya adalah Buddha; siapapun yang belum melihat adalah yang fana (mortal). Namun jika kamu bisa menemukan hakikat-kebuddhaan terpisah dari hakikat tidak-kekal dirimu, di manakah itu? Hakikat tidak-kekal kita adalah hakikat kebuddhaan. Di luar hakikat ini tidak ada Buddha. Buddha adalah hakikat kita. Tidak ada Buddha di luar hakikat ini. Dan tidak ada hakikat di luar Buddha. Tapi seandainya saya tidak melihat hakikat-sejati saya, tak bisakah saya mencapai pencerahan dengan memuja Para Buddha, melafalkan sutra, melakukan persembahan, menjaga sila-sila, mempraktikkan keyakinan, atau melakukan perbuatan baik?
Tidak, kau tidak bisa. Mengapa tidak?
Jika kamu mencapai semuanya, ini bersifat kondisional, ini adalah karma. Hasilnya adalah balasan setimpal. Kondisi ini kembali ke Siklus. Dan selama kamu menjadi sasaran dari kelahiran dan kematian, kamu tidak akan mencapai pencerahan. Untuk mencapai pencerahan kamu harus melihat hakikat-sejati diri. Jika kamu belum melihat hakikat-sejati dirimu, semua perbincangan tentang sebab dan akibat ini adalah omong kosong. Para Buddha tidak mempraktikkan omong kosong. Seorang Buddha bebas dari karma, bebas dari sebab dan akibat. Menyebut dia telah mencapai semuanya adalah memfitnah Buddha. Apa yang mungkin bisa dicapainya? Bahkan berfokus pada sebuah pemikiran, sebuah kekuatan, sebuah pemahaman, atau sebuah sudut pandang adalah tidak mungkin bagi seorang Buddha. Seorang Buddha tidak bias prasangka. Hakikat dari pikirannya pada dasarnya adalah kosong, bukan murni juga bukan tidak murni. Ia bebas dari praktik dan pencapaian. Ia bebas dari sebab dan akibat.
Seorang Buddha tidak menjaga sila-sila. Seorang Buddha tidak melakukan perbuatan baik ataupun perbuatan jahat. Seorang Buddha tidak bersemangat ataupun malas. Seorang Buddha adalah seseorang yang tidak melakukan apapun, seseorang yang bahkan tidak bisa memfokuskan pikiranya pada seorang Buddha. Seorang Buddha bukan Buddha. Jangan pikirkan Para Buddha. Jika kamu tidak mengetahui apa yang saya katakan, kamu tidak akan mengenal pikiranmu sendiri. Orang yang tidak melihat hakikat-sejati diri dan membayangkan diri mereka bisa mempraktikan kesembronoan setiap saat adalah menyembunyikan diri dan bodoh. Mereka jatuh dalam runag yang tanpa akhir. Mereka seperti sedang mabuk. Mereka tidak bisa membedakan baik dari yang buruk. Jika kamu bermaksud membina praktik yang demikian, kamu harus melihat hakikat-sejati diri sebelum kamu bisa mengakhiri pemikiran rasional. Mencapai pencerahan tanpa melihat hakikat-sejati diri adalah tidak mungkin.
Bahkan yang lain melakukan semua jenis kejahatan, mengaku bahwa karma tidak ada. Mereka secara salah berpendirian bahwa segala sesuatu adalah kosong, sehingga melakukan kejahatan tidaklah salah. Orang yang demikian terjerumus dalam neraka kegelapan tanpa akhir tanpa harapan untuk bebas. Mereka yang bijaksana tidak mempertahankan pemahaman demikian.
Namun seandainya setiap gerakan atau kondisi, kapanpun ia berlangsung, adalah pikiran, mengapa kita tidak melihat pikiran saat tubuh seseorang mati?
Pikiran selalu hadir. Kamu hanya tidak melihatnya.
Namun seandainya pikiran hadir, mengapa kita tidak melihatnya?
Apakah kamu pernah mimpi?
Tentu.
Ketika kamu bermimpi, dirimukah itu?
Ya.
Dan apakah yang kamu lakukan dan katakan berbeda dari dirimu?
Tidak.
Namun jika tidak, karena itu tubuh ini adalah tubuh sejatimu. Dan tubuh sejati itu adalah pikiranmu. Dan pikiran ini, melalui berkalpa-kalpa tanpa akhir tanpa permulaan, tidak pernah berubah. Ia tidak pernah hidup atau mati, muncul atau hilang, tumbuh atau merosot. Ia tidak murni ataupun tercemar, baik atau jahat, masa lalu atau masa depan. Ia tidak benar ataupun salah. Ia bukan laki-laki ataupun perempuan. Ia tidak muncul sebagai bhiksu ataupun orang awam, ahli ataupun pemula, bijaksana atau dungu, Buddha atau fana. Ia tidak berjuang untuk pencapaian dan tidak menderita karma. Ia tidak memiliki kekuatan atau bentuk. Ia seperti ruang. Kamu tidak dapat memilikinya dan kamu tidak bisa kehilangannya. Gerakannya tidak bisa dihalangi oleh pegunungan, sungai dan dinding batu. Ia adalah kekuatan tak terhentikan yang menembus Gunung Lima Skandha dan menyeberangi sungai Samsara. Tidak ada karma bisa menahan tubuh sejati ini. Namun pikiran ini lembut dan sulit dilihat. Ia tidak sama dengan pikiran yang merasakan. Semua orang ingin melihat pikiran ini, dan mereka yang menggerakan tangan dan kaki mereka dengan cahayanya sebanyak butiran pasir sepanjang Sungai Gangga, namun saat kamu bertanya padanya, mereka tidak bisa menjelaskannya. Mereka seperti boneka. Ia adalah milik mereka untuk digunakan. Mengapa mereka tidak melihatnya?
Sang Buddha berkata bahwa manusia tersesat. Ini lah alasan mengapa saat mereka bertindak mereka terjerumus dalam sungai tumimbal lahir tanpa akhir. Dan ketika mereka mencoba untuk keluar mereka hanya tenggelam lebih dalam. Dan semuanya karena mereka amelihat hakikat-sejati mereka. Seandainya manusia tidak tersesat mengapa mereka akan menanyakan sesuatu sesuatu yang tepat di hadapan mereka? Tidak seorangpun dari mereka memahami gerakan dari tangan dan kakinya sendiri. Sang Buddha tidak keliru. Manusia tersesat tidak mengenal siapa diri mereka. Seorang Buddha dan tak seorangpun mengenal sesuatu yang sedemikian sulitnya untuk diungkap. Hanya yang bijak mengenal pikiran, pikiran ini disebut sebagai hakikat-sejati, pikiran ini disebut sebagai pembebasan. Tidak kelahiran tidak juga kematian bisa menahan pikiran ini. Tak ada yang bisa. Ia juga disebut sebagai Tathagata Yang Tak Terhentikan, Tidak Terpahami, Diri Saklar, Yang Abadi, Sang Bijak Agung. Namanya beragam namun inti sarinya tidak. Para Buddha beragam juga, namun tidak ada yang meninggalkan pikirannya sendiri. Kapasitas pikiran adalah tanpa batas, dan perwujudannya adalah tidak terbatas. Melihat wujud dengan matamu, mendengarkan suara dengan telingamu, mencium bau dengan hidungmu, mencicipi rasa dengan lidahmu, setiap gerakan atau keadaan adalah pikiranmu seutuhnya. Pada setiap momen, di mana tidak ada bahasa, itulah pikiranmu.
Sutra-sutra berkata, "Wujud Tathagata adalah tanpa akhir. Dan demikian juga kesadaran-Nya." Variasi tanpa-akhir dari wujud adalah milik pikiran. Kemampuannya untuk membedakan sesuatu, apapun gerak atau keadaannya, adalah kesadaran pikiran. Namun pikiran tidak memiliki wujud dan kesadarananya tanpa batas. Oleh karena itu dikatakan, "Wujud Tathagata adalah tanpa akhir. Dan demikian juga kesadaran-Nya." Sebuah tubuh material dari empat unsur adalah masalah. Tubuh material adalah sasaran dari kelahiran dan kematian. Namun tubuh sejati ada tanpa keberadaan, karena tubuh sejati Tathagata tidak pernah berubah. Dalam sutra-sutra dikatakan, "Manusia seharusnya menyadari bahwa hakikat-kebuddhaan adalah sesutu yang selalu mereka miliki." Kashyapa segera menyadari hakikat-sejati dirinya.
Hakikat-sejati kita adalah pikiran. Dan pikiran adalah hakikat-sejati kita. Hakikat-sejati ini sama dengan pikiran semua Buddha. Para Buddha di masa lampau dan masa depan hanya mewariskan pikiran ini. Di luar pikiran ini tidak ada Buddha di manapun. Namun orang yang tersesat tidak menyadari bahwa pikiran mereka sendiri adalah Buddha. Mereka tetap mencari di luar. Mereka tidak pernah berhenti berdoa pada Para Buddha atau memuja Para Buddha dan bertanya-tanya di manakah buddha? Jangan memperturutkan hati dengan ilusi demikian. Cukup kenalilah pikiranmu. Di luar pikiran tidak ada Buddha yang lain. Sutra-sutra berkata, "Segala sesuatu yang memiliki wujud adalah ilusi." Juga dikatakan, "Di manapun jamu berada, terdapat seorang Buddha." Pikiranmu adalah Buddha. Jangan menggunakan seorang Buddha memuja Buddha.
Bahkan seandainya seorang Buddha atau bodhisattva sekonyong-konyong muncul di hadapanmu, tidak perlu menaruh hormat. Pikiran kita ini adalah kosong dan tidak berisi wujud yang demikian. Mereka yang terikat pada wujud penampilan adalah Si Jahat. Mereka jatuh dari Sang Jalan. Mengapa pemujaan adalah sifat alami ilusif pikiran? Mereka yang memuja tidak mengenal [hakikat-sejati], dan mereka yang tidak mengenal [hakikat-sejati] memuja. Dengan memuja kamu berada di bawah pengaruh mantra Si Jahat. Saya menekankan hal ini karena saya khawatir jika kamu tidak sadar soal ini. Hakikat dasar seorang Buddha tidak memiliki wujud demikian. Camkan ini, bahkan jika sesuatu yang tidak lazim seharusnya muncul. Jangan menggapainya, dan jangan takut akannya, dan jangan ragu bahwa Pikiran-mu pada dasarnya adalah murni. Di mana mungkin ada ruang untuk wujud demikian? Juga, pada wujud penampilan hantu, siluman, atau makhluk suci, bersikaplah tidak menaruh hormat tidak juga merasa takut. Pikiranmu pada dasarnya adalah kosong. Semua wujud penampilan adalah ilusi. Jangan terikat pada wujud penampilan. Jika kamu membayangkan seorang Buddha, Dharma, atau seorang Bodhisattva dan menaruh hormat pada mereka, kamu memerosotkan dirimu sendiri pada alam manusia fana. Jika kamu mencari pemahaman langsung, jangan terikat pada wujud penampilan seperti apapun, dan kamu akan berhasil. Saya tidak memiliki saran lain. Sutra-sutra berkata, "Semua penampakan adalah ilusi." Mereka tidak memiliki keberadaan yang tetap, atau wujud pasti. Mereka tidak permanen. Jangan melekat pada penampakan dan kamu akan menyatukan pikiran dengan Buddha. Sutra-sutra berkata, "Yang bebas dari semua wujud adalah Buddha."
Namun mengapa kita seharusnya tidak memuja Para Buddha dan Bodhisattva?
Si Jahat dan siluman memiliki kekuatan menampilkan diri. Mereka bisa menciptakan penampilan para bodhisattva dalam beragam wujud. Namun mereka keliru. Tidak satupun dari mereka adalah Buddha. Buddha adalah pikiranmu sendiri. Jangan keliru mengarahkan pemujaanmu.
Buddha dalam Bahasa Sansekerta digunakan untuk yang engkau sebut sebagai yang sadar, kesadaran yang menakjubkan. Merespon, melengkungkan alismu, mengedipkan matamu, menggerakkan tangan dan kakimu, semuanya adalah hakikat kesadaran yang menakjubkan-mu. Dan hakikat ini adalah pikiran. Dan pikiran adalah Buddha. Dan Buddha adalah Jalan. Dan Jalan adalah Zen (Dhyana). Namun kata Zen adalah suatu yang masih merupakan teka-teki baik untuk para fana dan bijak. Melihat hakikat-sejati dirimu adalah Zen. Jika kamu tidak melihat hakikat-sejati dirimu, bukanlah Zen.
Bahkan jika kamu bisa membabarkan seribu sutra dan shastra, jika kamu tidak melihat hakikat-sejati dirimu sendiri, babaran adalah ajaran para fana, bukan seorang Buddha. Sang Jalan sejati adalah agung. Ia tidak bisa diungkapkan dalam bahasa. Apalah gunanya naskah-naskah suci? Namun seseorang yang melihat kakikat-sejati dirinya sendiri menemukan Sang Jalan, bahkan jika ia bisa membaca satu huruf pun. Orang yang melihat hakikat-sejati diri adalah Buddha. Dan dikarenakan tubuh Buddha pada dirinya sendiri adalah murni dan tak tercela, dan semua yang ia katakan adalah ungkapan dari pikirannya, pada dasarnya adalah kosong, Buddha tidak bisa di temukan dalam kata-kata atau di manapun dalam Kedua belas bagian Kitab Suci.
Sang Jalan pada dasarnya adalah sempurna. Ia tidak butuh penyempurnaan. Sang Jalan tidak memiliki wujud atau suara. Ia lembut dan sulit dikenali. Seperti ketika kamu minum air: kamu tahu betapa panas atau dinginnya air, namun kamu tidak bisa memberitahukan pada yang lain. Yang mana hanya Tathagata yang tahu, manusia dan dewa tetap tidak menyadarinya. Kesadaran makhluk fana sangatlah dangkal. Selama mereka melekat pada penampakan luar, mereka tidak menyadari bahwa pikiran mereka adalah kosong.
Dan dengan secara keliru melekat pada wujud penampilan segala sesuatu mereka kehilangan Sang Jalan. Jika kamu memahami bahwa segala sesuatu berasal dari pikiran, jangan menjadi terikat. Sekali terikat, kamu menjadi tidak waspada. Namun sekali kamu melihat hakikat-sejati dirimu, seluruh Kitab Suci menjadi terlalu banyak uraian. Ribuan sutra dan shastra ini hanyalah jumlah untuk pikiran yang bersih. Pemahaman berasal dari antara kalimat. Apa baiknya sebuah doktrin? Kebenaran sejatu melampai kata-kata. Doktrin adalah kata-kata. Ia bukanlah Sang Jalan. Sang Jalan adalah tanpa-kata. Kata-kata adalah ilusi. Kata-kata tak ubahnya hal-hal yang muncul di dalam mimpimu di malam hari, dengan istana atau keretanya, taman berhutan atau singa-singa tepi danaunya. Jangan membayangkan kesenangan apapun dari hal-hal demikian. Mereka semuanya adalah buaian tumimbal lahir. Ingatlah hal ini dalam pikiranmu ketika kamu mendekati kematian. Jangan terikat pada penampilan, dan engkau akan menembus semua rintangan. Sesaat ragu-ragu dan kamu akan dikuasai oleh mantra Si Jahat. Tubuh sejatimu adalah murni dan kedap. Namun dikarenakan oleh delusi-delusi kamu tidak awas akannya. Dan karena hal ini kamu mengalami [akibat] karma dengan sia-sia. Di mana dan kapanpun kamu menemukan kebahagiaan, di siu kamu menemukan ikatan. Namun sekali kamu tersadar akan tubuh dan pikiran sejatimu, engkau tidak akan terikat oleh kemelekatan lagi.
Siapapun, yang meninggalkan yang transenden (yang melampaui batasan pengalaman, pentrj.) demi keduniawian, dalam salah satu wujudnya yang banyak sekali, adalah seorang fana. Seorang Buddha adalah seseorang yang menemukan kebebasan dalam kondisi yang menguntungkan maupun buruk. Karena kekuatan-Nya yang demikian sehingga karma tidak dapat menahan-Nya. Tidak peduli jenis karma apapun, Buddha merubahnya. Surga dan neraka tidak ada artinya untuk-Nya. Namun kesadaran seorang fana adalah suram jika dibandingkan dengan milik seorang Buddha yang menembus segala sesuau yang di dalam dan luar. Jika engkau tidak yakin jangan bertindak. Sekali bertindak, engkau akan mengembara melalui kelahiran dan kematian serta menyesali tidak memiliki perlindungan. Kemalangan dan kesulitan diciptakan oleh pikirn yang keliru. Untuk memahami pikirian ini kau harus bertindak tanpa tindakan. Hanya dengan demikian kamu akan melihat segala sesuatu dari sudut pandang Tathagata.
Namun ketika kamu pertama kali menapak di atas Sang Jalan, kesadaranmu tidak akan terfokus. Namun kamu tidak seharusnya ragu bahwa semua kegaduhan demikian berasal dari pikiranmu dan tidak dari yang lain.
Jika, seakan-akan dalam mimpi, kamu melihat semua cahaya yang lebih terang daripada matahari, kemelekatan yang tersisa padamu akan berakhir sekejap dan hakikat dari kenyataan akan tersingkap. Kejadian yang demikian berfungsi sebagai landasan untuk pencerahan. Namun ini adalah sesuatu yang hanya kamu ketahui. Kamu tidak bisa menjelaskannya kepada yang lain.
Atau jika, ketika kamu sedang berjalan, berdiri, duduk atau berbaring dalam sebuah hutan yang tenang, kamu melihat sebuah cahaya, tidak peduli apakah ia terang atau buram, jangan katakan pada yang lain dan jangan fokus padanya. Ini adalah cahaya dari hakikat-sejatimu.
Atau jika, ketika kamu sedang berjalan berdiri, duduk atau berbaring dalam keheningan dan kekelaman malam, segala sesuatu tampak seakan-akan di siang hari, jangan menjadi kaget. Ini adalah pikiranmu snediri yang menyingkapkan dirinya sendiri.
Atau jika, ketika kamu sedang bermimpi di malam, kau melihat bulan dan bintang dengan semua kejernihannya, ini berarti gerak dari pikiranmu akan segera berhenti. Namun jangan bercertita pada yang lain. Dan jika mimpimu tidak jelas, seperti jika kau berjalan dalam kegelapan, hal ini dikarenakan pikiranmu ditutupi oleh kekhawatiran.
Ini juga adalah sesuatu yang kamu ketahui. Jika kamu melihat hakikat-sejati dirimu, kamu tidak butuh lagi membaca sutra atau memuja Para Buddha. Intelek dan pengetahuan tidak hanya tidak berguna namun juga adalah awan mendung bagi kesadaranmu. Doktrin hanya bertujuan untuk menunjuk kepada pikiran. Sekali kau melihat pikiramu, mengapa mesti memperhatikan doktrin?
Sutra-sutra berkata, "Wujud Tathagata adalah tanpa akhir. Dan demikian juga kesadaran-Nya." Variasi tanpa-akhir dari wujud adalah milik pikiran. Kemampuannya untuk membedakan sesuatu, apapun gerak atau keadaannya, adalah kesadaran pikiran. Namun pikiran tidak memiliki wujud dan kesadarananya tanpa batas. Oleh karena itu dikatakan, "Wujud Tathagata adalah tanpa akhir. Dan demikian juga kesadaran-Nya." Sebuah tubuh material dari empat unsur adalah masalah. Tubuh material adalah sasaran dari kelahiran dan kematian. Namun tubuh sejati ada tanpa keberadaan, karena tubuh sejati Tathagata tidak pernah berubah. Dalam sutra-sutra dikatakan, "Manusia seharusnya menyadari bahwa hakikat-kebuddhaan adalah sesutu yang selalu mereka miliki." Kashyapa segera menyadari hakikat-sejati dirinya.
Hakikat-sejati kita adalah pikiran. Dan pikiran adalah hakikat-sejati kita. Hakikat-sejati ini sama dengan pikiran semua Buddha. Para Buddha di masa lampau dan masa depan hanya mewariskan pikiran ini. Di luar pikiran ini tidak ada Buddha di manapun. Namun orang yang tersesat tidak menyadari bahwa pikiran mereka sendiri adalah Buddha. Mereka tetap mencari di luar. Mereka tidak pernah berhenti berdoa pada Para Buddha atau memuja Para Buddha dan bertanya-tanya di manakah buddha? Jangan memperturutkan hati dengan ilusi demikian. Cukup kenalilah pikiranmu. Di luar pikiran tidak ada Buddha yang lain. Sutra-sutra berkata, "Segala sesuatu yang memiliki wujud adalah ilusi." Juga dikatakan, "Di manapun jamu berada, terdapat seorang Buddha." Pikiranmu adalah Buddha. Jangan menggunakan seorang Buddha memuja Buddha.
Bahkan seandainya seorang Buddha atau bodhisattva sekonyong-konyong muncul di hadapanmu, tidak perlu menaruh hormat. Pikiran kita ini adalah kosong dan tidak berisi wujud yang demikian. Mereka yang terikat pada wujud penampilan adalah Si Jahat. Mereka jatuh dari Sang Jalan. Mengapa pemujaan adalah sifat alami ilusif pikiran? Mereka yang memuja tidak mengenal [hakikat-sejati], dan mereka yang tidak mengenal [hakikat-sejati] memuja. Dengan memuja kamu berada di bawah pengaruh mantra Si Jahat. Saya menekankan hal ini karena saya khawatir jika kamu tidak sadar soal ini. Hakikat dasar seorang Buddha tidak memiliki wujud demikian. Camkan ini, bahkan jika sesuatu yang tidak lazim seharusnya muncul. Jangan menggapainya, dan jangan takut akannya, dan jangan ragu bahwa Pikiran-mu pada dasarnya adalah murni. Di mana mungkin ada ruang untuk wujud demikian? Juga, pada wujud penampilan hantu, siluman, atau makhluk suci, bersikaplah tidak menaruh hormat tidak juga merasa takut. Pikiranmu pada dasarnya adalah kosong. Semua wujud penampilan adalah ilusi. Jangan terikat pada wujud penampilan. Jika kamu membayangkan seorang Buddha, Dharma, atau seorang Bodhisattva dan menaruh hormat pada mereka, kamu memerosotkan dirimu sendiri pada alam manusia fana. Jika kamu mencari pemahaman langsung, jangan terikat pada wujud penampilan seperti apapun, dan kamu akan berhasil. Saya tidak memiliki saran lain. Sutra-sutra berkata, "Semua penampakan adalah ilusi." Mereka tidak memiliki keberadaan yang tetap, atau wujud pasti. Mereka tidak permanen. Jangan melekat pada penampakan dan kamu akan menyatukan pikiran dengan Buddha. Sutra-sutra berkata, "Yang bebas dari semua wujud adalah Buddha."
Namun mengapa kita seharusnya tidak memuja Para Buddha dan Bodhisattva?
Si Jahat dan siluman memiliki kekuatan menampilkan diri. Mereka bisa menciptakan penampilan para bodhisattva dalam beragam wujud. Namun mereka keliru. Tidak satupun dari mereka adalah Buddha. Buddha adalah pikiranmu sendiri. Jangan keliru mengarahkan pemujaanmu.
Buddha dalam Bahasa Sansekerta digunakan untuk yang engkau sebut sebagai yang sadar, kesadaran yang menakjubkan. Merespon, melengkungkan alismu, mengedipkan matamu, menggerakkan tangan dan kakimu, semuanya adalah hakikat kesadaran yang menakjubkan-mu. Dan hakikat ini adalah pikiran. Dan pikiran adalah Buddha. Dan Buddha adalah Jalan. Dan Jalan adalah Zen (Dhyana). Namun kata Zen adalah suatu yang masih merupakan teka-teki baik untuk para fana dan bijak. Melihat hakikat-sejati dirimu adalah Zen. Jika kamu tidak melihat hakikat-sejati dirimu, bukanlah Zen.
Bahkan jika kamu bisa membabarkan seribu sutra dan shastra, jika kamu tidak melihat hakikat-sejati dirimu sendiri, babaran adalah ajaran para fana, bukan seorang Buddha. Sang Jalan sejati adalah agung. Ia tidak bisa diungkapkan dalam bahasa. Apalah gunanya naskah-naskah suci? Namun seseorang yang melihat kakikat-sejati dirinya sendiri menemukan Sang Jalan, bahkan jika ia bisa membaca satu huruf pun. Orang yang melihat hakikat-sejati diri adalah Buddha. Dan dikarenakan tubuh Buddha pada dirinya sendiri adalah murni dan tak tercela, dan semua yang ia katakan adalah ungkapan dari pikirannya, pada dasarnya adalah kosong, Buddha tidak bisa di temukan dalam kata-kata atau di manapun dalam Kedua belas bagian Kitab Suci.
Sang Jalan pada dasarnya adalah sempurna. Ia tidak butuh penyempurnaan. Sang Jalan tidak memiliki wujud atau suara. Ia lembut dan sulit dikenali. Seperti ketika kamu minum air: kamu tahu betapa panas atau dinginnya air, namun kamu tidak bisa memberitahukan pada yang lain. Yang mana hanya Tathagata yang tahu, manusia dan dewa tetap tidak menyadarinya. Kesadaran makhluk fana sangatlah dangkal. Selama mereka melekat pada penampakan luar, mereka tidak menyadari bahwa pikiran mereka adalah kosong.
Dan dengan secara keliru melekat pada wujud penampilan segala sesuatu mereka kehilangan Sang Jalan. Jika kamu memahami bahwa segala sesuatu berasal dari pikiran, jangan menjadi terikat. Sekali terikat, kamu menjadi tidak waspada. Namun sekali kamu melihat hakikat-sejati dirimu, seluruh Kitab Suci menjadi terlalu banyak uraian. Ribuan sutra dan shastra ini hanyalah jumlah untuk pikiran yang bersih. Pemahaman berasal dari antara kalimat. Apa baiknya sebuah doktrin? Kebenaran sejatu melampai kata-kata. Doktrin adalah kata-kata. Ia bukanlah Sang Jalan. Sang Jalan adalah tanpa-kata. Kata-kata adalah ilusi. Kata-kata tak ubahnya hal-hal yang muncul di dalam mimpimu di malam hari, dengan istana atau keretanya, taman berhutan atau singa-singa tepi danaunya. Jangan membayangkan kesenangan apapun dari hal-hal demikian. Mereka semuanya adalah buaian tumimbal lahir. Ingatlah hal ini dalam pikiranmu ketika kamu mendekati kematian. Jangan terikat pada penampilan, dan engkau akan menembus semua rintangan. Sesaat ragu-ragu dan kamu akan dikuasai oleh mantra Si Jahat. Tubuh sejatimu adalah murni dan kedap. Namun dikarenakan oleh delusi-delusi kamu tidak awas akannya. Dan karena hal ini kamu mengalami [akibat] karma dengan sia-sia. Di mana dan kapanpun kamu menemukan kebahagiaan, di siu kamu menemukan ikatan. Namun sekali kamu tersadar akan tubuh dan pikiran sejatimu, engkau tidak akan terikat oleh kemelekatan lagi.
Siapapun, yang meninggalkan yang transenden (yang melampaui batasan pengalaman, pentrj.) demi keduniawian, dalam salah satu wujudnya yang banyak sekali, adalah seorang fana. Seorang Buddha adalah seseorang yang menemukan kebebasan dalam kondisi yang menguntungkan maupun buruk. Karena kekuatan-Nya yang demikian sehingga karma tidak dapat menahan-Nya. Tidak peduli jenis karma apapun, Buddha merubahnya. Surga dan neraka tidak ada artinya untuk-Nya. Namun kesadaran seorang fana adalah suram jika dibandingkan dengan milik seorang Buddha yang menembus segala sesuau yang di dalam dan luar. Jika engkau tidak yakin jangan bertindak. Sekali bertindak, engkau akan mengembara melalui kelahiran dan kematian serta menyesali tidak memiliki perlindungan. Kemalangan dan kesulitan diciptakan oleh pikirn yang keliru. Untuk memahami pikirian ini kau harus bertindak tanpa tindakan. Hanya dengan demikian kamu akan melihat segala sesuatu dari sudut pandang Tathagata.
Namun ketika kamu pertama kali menapak di atas Sang Jalan, kesadaranmu tidak akan terfokus. Namun kamu tidak seharusnya ragu bahwa semua kegaduhan demikian berasal dari pikiranmu dan tidak dari yang lain.
Jika, seakan-akan dalam mimpi, kamu melihat semua cahaya yang lebih terang daripada matahari, kemelekatan yang tersisa padamu akan berakhir sekejap dan hakikat dari kenyataan akan tersingkap. Kejadian yang demikian berfungsi sebagai landasan untuk pencerahan. Namun ini adalah sesuatu yang hanya kamu ketahui. Kamu tidak bisa menjelaskannya kepada yang lain.
Atau jika, ketika kamu sedang berjalan, berdiri, duduk atau berbaring dalam sebuah hutan yang tenang, kamu melihat sebuah cahaya, tidak peduli apakah ia terang atau buram, jangan katakan pada yang lain dan jangan fokus padanya. Ini adalah cahaya dari hakikat-sejatimu.
Atau jika, ketika kamu sedang berjalan berdiri, duduk atau berbaring dalam keheningan dan kekelaman malam, segala sesuatu tampak seakan-akan di siang hari, jangan menjadi kaget. Ini adalah pikiranmu snediri yang menyingkapkan dirinya sendiri.
Atau jika, ketika kamu sedang bermimpi di malam, kau melihat bulan dan bintang dengan semua kejernihannya, ini berarti gerak dari pikiranmu akan segera berhenti. Namun jangan bercertita pada yang lain. Dan jika mimpimu tidak jelas, seperti jika kau berjalan dalam kegelapan, hal ini dikarenakan pikiranmu ditutupi oleh kekhawatiran.
Ini juga adalah sesuatu yang kamu ketahui. Jika kamu melihat hakikat-sejati dirimu, kamu tidak butuh lagi membaca sutra atau memuja Para Buddha. Intelek dan pengetahuan tidak hanya tidak berguna namun juga adalah awan mendung bagi kesadaranmu. Doktrin hanya bertujuan untuk menunjuk kepada pikiran. Sekali kau melihat pikiramu, mengapa mesti memperhatikan doktrin?
Bergerak dari fana ke Buddha, kamu harus mengakhiri karma, tumbuhkan kesadaranmu, dan terimalah apa yang diberikan oleh kehidupan. Jika kamu selalu mudah marah, kau akan berpaling dari hakikat-dirimu dengan melawan Sang Jalan. Tidak ada manfaat dari menipu diri sendiri. Para Buddha bergerak dengan bebas melalui kelahiran dan kematian, muncul dan menghilang jika diingikan-Nya. Mereka tidak bisa dirintang oleh karma atau ditaklukkan oleh Si Jahat. Sekali yang fana melihat hakikat-sejati diri mereka, semua kemelekatan berakhir. Kesadaran tidak tersembunyi. Namun kamu hanya bisa menemukannya saat ini juga. Hanya pada saat ini. Jika kamu benar-benar ingin menemukan Sang Jalan, jangan terikat pada apapun. Sekali kau mengakhiri karma dan menumbuhkan kesadaranmu, kemelekatan apapun yang tersisa akan berakhir. Pemahaman datang secara alamiah. Kamu tidak perlu melakukan upaya apapun. Tetapi para fanatik tidak memahami apa maksud Sang Buddha. Dan semakin keras mereka berusaha, semakin jauh mereka dari maksud dari Para Bijak. Sepanjang setiap hari mereka memuja Para Buddha dan membaca sutra-sutra. Namun mereka tetap buta akan hakikat dirinya yang suci, dan mereka tidak bisa menghindar dari Siklus.
Buddha adalah seorang pemalas. Ia tidak mengejar-ngejar demi keberuntungan dan ketenaran. Apa baiknya hal demikian pada akhir nanti? Orang yang tidak melihat hakikat-sejati dirinya dan mengira bahwa membaca sutra, memuja Para Buddha, belajar dengan keras dan lama, berpraktik siang dan malam tanpa pernah berbaring, atau mendapatkan pengetahuan adalah Dharma, menyerapah Dharma. Para Buddha dari masa lalu dan masa depan hanya berbicara tentang melihat hakikat-sejati dirimu. Semua praktik adalah tak-permanen. Hingga mereka melihat hakikat-sejati mereka orang yang mengaku telah mencapai yang tak-terlampaui, penerangan sempurna adalah pembohong. Di antara sepuluh murid Shakyamuni, Ananda adalah yang paling terkemuka dalam belajar. Namun ia tidak mengenal Sang Buddha. Semua yang ia lakukan adalah belajar dan mengingat. Para Arahat tidak mengenal Sang Buddha. Semua yang mereka tahu adalah begitu banyak praktik untuk realisasi, dan mereka terperangkap dalam sebab dan akibat. Yang demikian ini adalah karma fana: tidak terhindar dari kelahiran dan kematian. Dengan bertindak bertentangan dari apa yang dimaksud, orang yang demikian menghina Sang Buddha. Membunuh mereka tidak akan salah. Sutra-sutra berkata, "Karena para icchantika (makhluk yang tercemar secara mendalam sehingga sulit menyadari hakikat diri, pentj.) tidak memiliki keyakinan, membunuh mereka tidak akan dipersalahkan, ketika orang yakin mencapai tahap Kebuddhaan.”
Hingga engkau melihat hakikat-sejati dirimu, kau tidak seharusnya ke mana-mana mengkritik kebaikan orang lain. Tidak ada gunanya menipu dirimu sendiri. Baik dan buruk adalah berbeda. Sebab dan akibat adalah jelas. Surga dan neraka adalah tepat di hadapan matamu. Namun para dungu tidak percaya dan jatuh langsung ke dalam neraka gelap tanpa ujung tanpa bahkan mengetahuinya. Apa yang menahan mereka dari memyakini adalah beratnya karma mereka. Mereka seperti orang buta yang tidak percaya terdapat sesuatu benda seperti cahaya. Bahkan jika kamu menjelaskan pada mereka, mereka masih tidak percaya, karena mereka buta. Bagaimana mereka mungkin mengenali cahaya?
Fakta yang sama berlaku juga untuk para dungu yang berakhir di antara peringkat terbawah eksistensi atau di antara yang miskin dan hina. Mereka tidak bisa hidup dan tidak bisa mati. Dan meskipun mereka menderita, jika kamu bertanya padanya, mereka menjawab mereka sebahagia para dewa. Semua yang fana, meskipun mereka mengira diri mereka terhormat dan mapan, adalah sama tidak sadarnya. Karena beratnya karma mereka, para dungu tidak bisa percaya dan tidak bisa terbebaskan.
Orang yang melihat bahwa pikiran mereka adalah Buddha tidak perlu mencukur rambutnya. Orang biasa adalah Buddhas juga. Jika mereka tidak melihat hakikat-sejati mereka, orang yang mencukur rambut mereka hanyalah para fanatik.
Namun ketika orang awam yang menikah tidak berhenti melakukan persetubuhan, bagaimana mereka bisa menjadi Buddha? Saya hanya berbicara tentang melihat hakikat-sejati dirimu. Saya tidak berbicara tentang persetubuhan hanya karena kamu belum melihat hakikat-sejati dirimu. Sekali kamu melihat hakikat-sejati dirimu, persebutuhan pada dasarnya adalah tidak penting. Persetubuhan berakhir bersamaan dengan saat kamu berbahagia di dalamnya. Bahkan jika beberapa kebiasaan bertahan, mereka tidak akan melukaimu, karena hakikat-sejati dirimu adalah pada esensinya murni. Meskipun bergumul dalam tubuh material empat elemen, hakikat-sejatimu pada dasarnya adalah murni. Ia tidak bisa tercemar.
Tubuh sejatimu pada dasarnya murni. Ia tidak bisa tercemar. Tubuh sejatimu tidak memiliki sensasi, tanpa lapar atau haus, tanpa panas atau dingin, tanpa sakit, tanpa cinta atau kemelekatan, tanpa hasrat atau sakit, tanpa baik atau buruk, tanpa pendek atau panjang, tanpa kelemahan atau kekuatan. Sebenarnya, tidak ada sesuatu pun di sini. Hanya karena kamu melekat pada tubuh material ini hal-hal seperti lapar dan haus, hangat dan dingin, dan sakit muncul. Sekali kamu berhenti untuk melekat dan membiarkan sesuatu terjadi, kamu akan terbebaskan, bahkan dari kelahiran dan kematian. Kamu akan merubah segala sesuatu. Kamu akan memiliki kekuatan spiritual yang tak terhalangi. Dan kamu akan menjadi damai di manapun kamu berada. Jika kamu meragukan ini, kau tidak akan melihat menembus apapun. Kamu lebih baik tidak melakukan apapun. Sekali kamu bertindak, kamu tidak bisa menghindari siklus kelahiran dan kematian. Namun ketika kamu melihat hakikat-sejati mu, kamu adalah seorang Buddha bahkan jika kamu bekerja sebagai tukang daging.
Tapi tukang daging menciptakan karma dengan membunuh hewan. Bagaimana mereka bisa menjadi Buddha?
Saya hanya berbiacara tentang melihat hakikat-sejati dirimu. Saya tidak berbicara tentang menghasilkan karma. Meskipun apa yang kita lakukan, karma kita tidak menjerat kita. Melalui berkalpa-kalpa tanpa akhir, hanya karena manusia tidak melihat hakikat-sejati sehingga mereka berakhir di dalam neraka. Sepanjang seseorang menciptakan karma, ia tetap melalui kelahiran dan kematian. Namun ketika seseorang menyadari hakikat-sejati asalnya, ia berhenti menciptakan karma. Jika ia tidak melihat hakikat-sejatinya, memuja Para Buddha tidak akan melepaskannya dari karmanya, tidak peduli apakah ia adalah tukang daging atau bukan. Namun sekali ia melihat hakikat-sejatinya, semua keraguan hilang. Bahkan karma miliki seorang tukang daging memiliki akibat pada orang demikian. Di India, kedua puluh tujuh sesepuh hanya mewariskan jejak pikiran tersebut.
Dan satu-satunya alasan saya datang ke China adalah untuk mewariskan ajaran [pencerahan] seketika Mahayana. Pikiran ini adalah Buddha. Saya tidak berbicara tentang sila, pemujaan atau praktik asketik seperti menenggelamkan dirimu dalam air dan api, menapak di roda pisau, makan sekali sehari, atau tidak pernah berbaring. Semua ini adalah fanatik, ajaran yang bersifat sementara. Sekali kamu mengenali gerakmu, hakikat-sejati sadar yang ajaib, pikiranmu adalah pikiran seluruh Para Buddha. Para Buddha di masa lalu dan masa depan hanya berbicara tentang mewariskan pikiran tersebut. Mereka tidak mengajarkan yang lain. Jika seseorang memahami ajaran ini, bahkan jika ia buta huruf ia adalah seorang Buddha. Jika kamu tidak melihat hakikat-sejati sadar yang ajaib dirimu, kamu tidak akan pernah menemukan seorang Buddha bahkan jika kamu memecahkan tubuhmu hingga ke atom-atomnya.
Buddha adalah tubuh sejatimu, pikiran sejatimu. Pikiran ini tidak memiliki wujud dan ciri, tanpa sebab dan akibat, tanpa otot dan tulang. Ia mirip dengan ruang. Kamu tidak bisa merengkuhnya. Ia bukan batin atau materialis atau nihilis. Kecuali Tathagata, tidak ada yang lain— tidak makhluk fana, tidak makhluk yang tercemar—bisa memahaminya.
Namun pikiran ini tidak berada di suatu tempat di luar tubuh material empat elemen. Tanpa pikiran ini kita tidak bisa bergerak. Tubuh tidak memiliki kesadaran. Seperti tanaman atau batu, tubuh tidak memiliki hakikat-sejati. Jadi bagaimana ia bergerak? Pikiranlah yang bergerak. Bahasa dan tingkah laku, persepsi dan konsepsi semuanya adalah fungsi dari pikiran yang bergerak. Semua gerakan adalah gerak pikiran. Gerak adalah fungsinya. Terpisah dari gerak tidak ada pikiran, dan terpisah dari pikiran tidak ada gerak. Namun gerak bukanlah pikiran. Dan pikiran bukanlah gerak. Gerakan pada dasarnya tanpa-pikiran. Dan pikiran pada dasarnya tanpa-gerak. Namun gerak takkan ada tanpa pikiran. Dan pikiran takkan ada tanpa gerak. Tidak ada pikiran agar gerak menjadi ada jika terpisah, tidak ada pikiran agar gerak menjadi ada jika terpisah. Gerak adalah fungsi dari pikiran, dan fungsinya adalah geraknya. Meskipun demikian, pikiran tidak bergerak ataupun berfungsi, esensi dari fungsinya adalah ketiadaan dan ketiadaan pada esensinya adalah tanpa-gerak. Gerak itu sama dengan pikiran. Dan pikiran pada esensinya adalah tanpa-gerak. Karena itu sutra-sutra mengajarkan pada kita agar bergerak tanpa bergerak, berpindah tanpa berpindah, melihat tanpa melihat, tertawa tanpa tertawa, mengetahui tanpa mengetahui, bahagia tanpa bahagia, berjalan tanpa berjalan, berdiri tanpa berdiri. Dan sutra-sutra berkata, "Lampauilah bahasa. Lampauilah pikiran." Intinya, melihat, mendengar, dan mengetahui adalah sepenuhnya tiada. Kemarahan, kebahagiaan atau rasa sakitmu seperti boneka itu. Kamu mencari namun kamu tidak akan menemukan sesuatu.
Menurut sutra-sutra, perbuatan jahat menghasilkan kesulitan dan perbuatan baik menhasilkan berkah. Orang yang marah pergi ke neraka dan orang yang bahagia pergi ke ke surga. Namun sekali kamu mengetahui hakikat-sejati kemarahan dan kebahagiaan adalah kosong dan kamu membiarkannya pergi, kamu membebaskan dirimu dari karma. Jika kamu tidak melihat hakikat-sejatimu, mengutip sutra-sutra tidak akan membantu. Saya akan terus pergi, namun ceramah pendek ini harus dilaksanakan.
Buddha adalah seorang pemalas. Ia tidak mengejar-ngejar demi keberuntungan dan ketenaran. Apa baiknya hal demikian pada akhir nanti? Orang yang tidak melihat hakikat-sejati dirinya dan mengira bahwa membaca sutra, memuja Para Buddha, belajar dengan keras dan lama, berpraktik siang dan malam tanpa pernah berbaring, atau mendapatkan pengetahuan adalah Dharma, menyerapah Dharma. Para Buddha dari masa lalu dan masa depan hanya berbicara tentang melihat hakikat-sejati dirimu. Semua praktik adalah tak-permanen. Hingga mereka melihat hakikat-sejati mereka orang yang mengaku telah mencapai yang tak-terlampaui, penerangan sempurna adalah pembohong. Di antara sepuluh murid Shakyamuni, Ananda adalah yang paling terkemuka dalam belajar. Namun ia tidak mengenal Sang Buddha. Semua yang ia lakukan adalah belajar dan mengingat. Para Arahat tidak mengenal Sang Buddha. Semua yang mereka tahu adalah begitu banyak praktik untuk realisasi, dan mereka terperangkap dalam sebab dan akibat. Yang demikian ini adalah karma fana: tidak terhindar dari kelahiran dan kematian. Dengan bertindak bertentangan dari apa yang dimaksud, orang yang demikian menghina Sang Buddha. Membunuh mereka tidak akan salah. Sutra-sutra berkata, "Karena para icchantika (makhluk yang tercemar secara mendalam sehingga sulit menyadari hakikat diri, pentj.) tidak memiliki keyakinan, membunuh mereka tidak akan dipersalahkan, ketika orang yakin mencapai tahap Kebuddhaan.”
Hingga engkau melihat hakikat-sejati dirimu, kau tidak seharusnya ke mana-mana mengkritik kebaikan orang lain. Tidak ada gunanya menipu dirimu sendiri. Baik dan buruk adalah berbeda. Sebab dan akibat adalah jelas. Surga dan neraka adalah tepat di hadapan matamu. Namun para dungu tidak percaya dan jatuh langsung ke dalam neraka gelap tanpa ujung tanpa bahkan mengetahuinya. Apa yang menahan mereka dari memyakini adalah beratnya karma mereka. Mereka seperti orang buta yang tidak percaya terdapat sesuatu benda seperti cahaya. Bahkan jika kamu menjelaskan pada mereka, mereka masih tidak percaya, karena mereka buta. Bagaimana mereka mungkin mengenali cahaya?
Fakta yang sama berlaku juga untuk para dungu yang berakhir di antara peringkat terbawah eksistensi atau di antara yang miskin dan hina. Mereka tidak bisa hidup dan tidak bisa mati. Dan meskipun mereka menderita, jika kamu bertanya padanya, mereka menjawab mereka sebahagia para dewa. Semua yang fana, meskipun mereka mengira diri mereka terhormat dan mapan, adalah sama tidak sadarnya. Karena beratnya karma mereka, para dungu tidak bisa percaya dan tidak bisa terbebaskan.
Orang yang melihat bahwa pikiran mereka adalah Buddha tidak perlu mencukur rambutnya. Orang biasa adalah Buddhas juga. Jika mereka tidak melihat hakikat-sejati mereka, orang yang mencukur rambut mereka hanyalah para fanatik.
Namun ketika orang awam yang menikah tidak berhenti melakukan persetubuhan, bagaimana mereka bisa menjadi Buddha? Saya hanya berbicara tentang melihat hakikat-sejati dirimu. Saya tidak berbicara tentang persetubuhan hanya karena kamu belum melihat hakikat-sejati dirimu. Sekali kamu melihat hakikat-sejati dirimu, persebutuhan pada dasarnya adalah tidak penting. Persetubuhan berakhir bersamaan dengan saat kamu berbahagia di dalamnya. Bahkan jika beberapa kebiasaan bertahan, mereka tidak akan melukaimu, karena hakikat-sejati dirimu adalah pada esensinya murni. Meskipun bergumul dalam tubuh material empat elemen, hakikat-sejatimu pada dasarnya adalah murni. Ia tidak bisa tercemar.
Tubuh sejatimu pada dasarnya murni. Ia tidak bisa tercemar. Tubuh sejatimu tidak memiliki sensasi, tanpa lapar atau haus, tanpa panas atau dingin, tanpa sakit, tanpa cinta atau kemelekatan, tanpa hasrat atau sakit, tanpa baik atau buruk, tanpa pendek atau panjang, tanpa kelemahan atau kekuatan. Sebenarnya, tidak ada sesuatu pun di sini. Hanya karena kamu melekat pada tubuh material ini hal-hal seperti lapar dan haus, hangat dan dingin, dan sakit muncul. Sekali kamu berhenti untuk melekat dan membiarkan sesuatu terjadi, kamu akan terbebaskan, bahkan dari kelahiran dan kematian. Kamu akan merubah segala sesuatu. Kamu akan memiliki kekuatan spiritual yang tak terhalangi. Dan kamu akan menjadi damai di manapun kamu berada. Jika kamu meragukan ini, kau tidak akan melihat menembus apapun. Kamu lebih baik tidak melakukan apapun. Sekali kamu bertindak, kamu tidak bisa menghindari siklus kelahiran dan kematian. Namun ketika kamu melihat hakikat-sejati mu, kamu adalah seorang Buddha bahkan jika kamu bekerja sebagai tukang daging.
Tapi tukang daging menciptakan karma dengan membunuh hewan. Bagaimana mereka bisa menjadi Buddha?
Saya hanya berbiacara tentang melihat hakikat-sejati dirimu. Saya tidak berbicara tentang menghasilkan karma. Meskipun apa yang kita lakukan, karma kita tidak menjerat kita. Melalui berkalpa-kalpa tanpa akhir, hanya karena manusia tidak melihat hakikat-sejati sehingga mereka berakhir di dalam neraka. Sepanjang seseorang menciptakan karma, ia tetap melalui kelahiran dan kematian. Namun ketika seseorang menyadari hakikat-sejati asalnya, ia berhenti menciptakan karma. Jika ia tidak melihat hakikat-sejatinya, memuja Para Buddha tidak akan melepaskannya dari karmanya, tidak peduli apakah ia adalah tukang daging atau bukan. Namun sekali ia melihat hakikat-sejatinya, semua keraguan hilang. Bahkan karma miliki seorang tukang daging memiliki akibat pada orang demikian. Di India, kedua puluh tujuh sesepuh hanya mewariskan jejak pikiran tersebut.
Dan satu-satunya alasan saya datang ke China adalah untuk mewariskan ajaran [pencerahan] seketika Mahayana. Pikiran ini adalah Buddha. Saya tidak berbicara tentang sila, pemujaan atau praktik asketik seperti menenggelamkan dirimu dalam air dan api, menapak di roda pisau, makan sekali sehari, atau tidak pernah berbaring. Semua ini adalah fanatik, ajaran yang bersifat sementara. Sekali kamu mengenali gerakmu, hakikat-sejati sadar yang ajaib, pikiranmu adalah pikiran seluruh Para Buddha. Para Buddha di masa lalu dan masa depan hanya berbicara tentang mewariskan pikiran tersebut. Mereka tidak mengajarkan yang lain. Jika seseorang memahami ajaran ini, bahkan jika ia buta huruf ia adalah seorang Buddha. Jika kamu tidak melihat hakikat-sejati sadar yang ajaib dirimu, kamu tidak akan pernah menemukan seorang Buddha bahkan jika kamu memecahkan tubuhmu hingga ke atom-atomnya.
Buddha adalah tubuh sejatimu, pikiran sejatimu. Pikiran ini tidak memiliki wujud dan ciri, tanpa sebab dan akibat, tanpa otot dan tulang. Ia mirip dengan ruang. Kamu tidak bisa merengkuhnya. Ia bukan batin atau materialis atau nihilis. Kecuali Tathagata, tidak ada yang lain— tidak makhluk fana, tidak makhluk yang tercemar—bisa memahaminya.
Namun pikiran ini tidak berada di suatu tempat di luar tubuh material empat elemen. Tanpa pikiran ini kita tidak bisa bergerak. Tubuh tidak memiliki kesadaran. Seperti tanaman atau batu, tubuh tidak memiliki hakikat-sejati. Jadi bagaimana ia bergerak? Pikiranlah yang bergerak. Bahasa dan tingkah laku, persepsi dan konsepsi semuanya adalah fungsi dari pikiran yang bergerak. Semua gerakan adalah gerak pikiran. Gerak adalah fungsinya. Terpisah dari gerak tidak ada pikiran, dan terpisah dari pikiran tidak ada gerak. Namun gerak bukanlah pikiran. Dan pikiran bukanlah gerak. Gerakan pada dasarnya tanpa-pikiran. Dan pikiran pada dasarnya tanpa-gerak. Namun gerak takkan ada tanpa pikiran. Dan pikiran takkan ada tanpa gerak. Tidak ada pikiran agar gerak menjadi ada jika terpisah, tidak ada pikiran agar gerak menjadi ada jika terpisah. Gerak adalah fungsi dari pikiran, dan fungsinya adalah geraknya. Meskipun demikian, pikiran tidak bergerak ataupun berfungsi, esensi dari fungsinya adalah ketiadaan dan ketiadaan pada esensinya adalah tanpa-gerak. Gerak itu sama dengan pikiran. Dan pikiran pada esensinya adalah tanpa-gerak. Karena itu sutra-sutra mengajarkan pada kita agar bergerak tanpa bergerak, berpindah tanpa berpindah, melihat tanpa melihat, tertawa tanpa tertawa, mengetahui tanpa mengetahui, bahagia tanpa bahagia, berjalan tanpa berjalan, berdiri tanpa berdiri. Dan sutra-sutra berkata, "Lampauilah bahasa. Lampauilah pikiran." Intinya, melihat, mendengar, dan mengetahui adalah sepenuhnya tiada. Kemarahan, kebahagiaan atau rasa sakitmu seperti boneka itu. Kamu mencari namun kamu tidak akan menemukan sesuatu.
Menurut sutra-sutra, perbuatan jahat menghasilkan kesulitan dan perbuatan baik menhasilkan berkah. Orang yang marah pergi ke neraka dan orang yang bahagia pergi ke ke surga. Namun sekali kamu mengetahui hakikat-sejati kemarahan dan kebahagiaan adalah kosong dan kamu membiarkannya pergi, kamu membebaskan dirimu dari karma. Jika kamu tidak melihat hakikat-sejatimu, mengutip sutra-sutra tidak akan membantu. Saya akan terus pergi, namun ceramah pendek ini harus dilaksanakan.
Khotbah Bangun
Intisari dari Sang Jalan adalah ketidakmelekatan (pelepasan). Dan tujuan dari praktik tersebut adalah kebebasan dari penampilan. Sutra-sutra berkata, Ketidakmelekatan adalah pencerahan sebab menghilangkan penampilan. Kebuddhaan berarti kesadaran. Para fana yang pikirannya sadar meraih Jalan Pencerahan dan dengan demikian disebut sebagai Buddha. Sutra-sutra berkata, "Mereka yang membebaskan dirinya dari semua penampilan disebut sebagai Buddha." Penampilan dari penampilan sebagai tanpa-penampilan tidak bisa diliha dengan mata namun hanya bisa diketahui dengan melalui kebijaksanaan. Siapapun yang mendengar dan meyakini ajaran ini menaiki Kereta Besar (Mahayana) dan meninggalkan ketiga alam. Ketiga alam tersebut adalah keserakahan, kemarahan dan delusi (kegelapan batin atau khayal). Meninggalkan ketiga alam berarti berpaling dari keserakahan, kemarahan dan delusi, kemudian kembali ke moralitas (sila), meditasi (samadhi) dan kebijaksanaan (prajna). Keserakahan, kemarahan dan delusi tidak memiliki hakikat-sejati dalam dirinya. Mereka tergantung pada yang fana. Dan siapapun yang mampu merefleksi adalah keluar dari batas untuk melihat bahwa hakikat-dasar dari keserakahan, kemarahan dan delusi adalah hakikat-dasar Kebuddhaan. Di luar keserakahan, kemarahan dan delusi tidak ada hakikat-dasar Kebuddhaan yang lainnya Sutra-sutra berkata, "Para Buddha hanya menjadi buddha jika hidup dengan ketiga racun dan memeliharanya pada Dharma murni." Ketiga racun adalah keserakahan, kemarahan, dan delusi.
Kendaraan Besar adalah yang terbesar dari semua kendaraan (yana). Ia adalah kendaraan Para Bodhisattva, yang menggunakan segalanya tanpa menggunakan apapun dan yang berpindah terus menerus tanpa berpindah. Yang demikian adalah kendaraan Para Buddha.
Sutra-sutra berkata, "Tanpa kendaraan adalah kendaraan Para Buddha."
Siapapun yang menyadari bahwa keenam indera tidak nyata, bahwa kelima skandha adalah fiksi, tidak ada hal demikian yang bisa ditemukan di dalam tubuh, memahami bahasa Para Buddha. Sutra-sutra berkata, "Gua dari kelima skandha adalah aula Zen (Dhyana). Terbukanya mata batin adalah pintu Kendaraan Besar." Apakah yang lebih jelas?
Tidak berpikir apapun adalah Zen. Saat kamu memahami ini, berjalan, berdiri, duduk atau berbaring, apapun yang kamu lakukan adalah Zen. Mengetahui bahwa pikiran adalah kekosongan sama dengan melihat Buddha. Para Buddha di kesepuluh arah tidak memiliki pikiran. Meihat tanpa-pikiran adalah melihat Buddha.
Mengorbankan diri sendiri tanpa penyesalan adalah praktik dana yang terbesar. Melampaui gerak dan diam adalah meditasi tertinggi. Para fana tetap bergerak, dan Para Arahat tetap tenang. Namun meditasi tertinggi berada di atas keduanya, para fana dan Para Arahat tersebut. Orang yang meraih pemahaman demikian membebaskan dirinya dari semua penampilan tanpa usaha dan menyembuhkan semua penyakit tanpa pengobatan. Yang demikian adalah kekuatan dari Zen yang agung.
Menggunakan pikiran untuk mencari realitas adalah delusi. Tidak menggunakan pikiran untuk mencari realitas adalah kesadaran. Membebasakan diri sendiri dari kata-kata adalah pembebasan. Kokoh tanpa tercemar oleh debu sensai adalah menjaga Dharma. Melampaui kehidupan dan kematian adalah meninggalkan rumah.
Tanpa menderita akibat keberadaan yang lain adalah mencapai Sang Jalan. Tanpa menghasilkan delusi adalah pencerahan. Tanpa terjebak dalam ketidaktahuan adalah kebijaksanaan. Tanpa penderitaan adalah nirvana. Dan tanpa penampilan pikiran adalah pantai seberang
Ketika kamu masih tercemar, pantai ini ada. Ketika kamu bangun, ia tidak ada. Para fana tetap tinggal di pantai ini. Namun mereka yang menemukan yang terbesar di antara semua kendaraan tidak tinggal di pantai ini maupun pantai seberang. Mereka mampu untuk meninggalkan kedua pantai. Mereka yang melihat pantai seberang berbeda dari pantai ini tidak memahami Zen.
Delusi berarti kefanaan. Dan kesadaran berarti Kebuddhaan. Mereka tidak sama. Dan mereka tidak berbeda. Hanya manusialah yang memisahkan antara delusi dari kesadaran. Ketika kita terjebak dalam khayal terdapat sebuah dunia untuk melarikan diri. Ketika kita sadar, tidak ada apapun untuk dihindari.
Dalam cahaya Dharma tanpa-bias, para fana tidak berbeda dari para bijak. Sutra-sutra berkata bahwa Dharma tanpa-bias adalah sesuatu yang tidak bisa ditembus oleh para fana dan tidak bisa dipraktikkan oleh para bijak. Dharma tanpa-bias hanya dipraktikkan oleh Para Bodhisattva-Mahasattva dan Para Buddha. Melihat dengan membedakan antara kehidupan dari kematian atau membedakan antara gerak dari ketenangan adalah menjadi bias. Menjadi tanpa bias berarti melihat pada penderitaan tidak berbeda dari nirvana, karena hakikat keduanya adalah kekosongan.
Dengan membayangkan bahwa mereka mengakhiri penderitaan dan mencapai nirvana Para Arahat berakhir dengan terperangkap oleh nirvana. Namun Para Bodhisattva mengetahui bahwa penderitaan pada dasarnya adalah kosong. Dan dengan tetap dalam kekosongan mereka tetap berada dalam nirvana. Nirvana berarti tanpa kelahiran dan tanpa kematian. Ia melampaui kelahiran dan kematian serta melampaui nirvana. Ketika pikiran berhenti bergerak, ia memasuki nirvana. Nirvana adalah pikiran yang kosong. Ketika delusi tidak ada, Para Buddha mencapai nirvana. Di mana penderitaan tidak ada, Para Bodhisattva memasuki tempat pencerahan. Sebuah tempat yang tanpa penghuni adalah tempat yang tanpa keserakahan, kemarahan atau delusi. Keserakahan adalah alam dari hasrat-keinginan, kemarahan adalah alam dari wujud, dan delusi adalah alam tanpa-wujud. Ketika pikiran muncul, kamu memasuki ketiga alam. Ketika pikiran berakhir, kamu meninggalkan ketiga alam. Awal atau akhir dari ketiga alam, keberadaan dan ketidakberadaan segala sesuatu, bergantung pada pikiran. Hal ini bisa diterapkan untuk apapun, bahkan untuk benda mati seperti batu dan kayu.
Siapa yang mengetahui bahwa pikiran adalah palsu dan sama sekali tanpa sesuatu yang nyata mengetahui bahwa pikirannya sendiri bukan ada juga bukan tiada. Para fana terus menerus menciptakan pikiran, mengakuinya sebagai yang ada. Dan Para Arahat terus-menerus meniadakan pikiran, mengakunya sebagai sesuatu yang tiada. Namun Para Bodhisattva dan Buddha tidak menciptakan ataupun meniadakan pikiran. Inilah apa yang dimaksud dengan pikiran itu bukan ada juga bukan tiada. Pikiran yang bukan ada juga bukan tiada itu disebut sebagai Jalan Tengah.
Jika kamu menggunakan pikiranmu untuk mempelajari kenyataan, kamu tidak akan memahami baik pikiranmu ataupun kenyataan. Jika kamu mempelajari kenyataan tanpa menggunakan pikiranmu, kamu akan memahami keduanya. Mereka yang tidak-memahami tidak memahami pemahaman. Dan mereka yang memahami, memahami tidak-memahami. Orang yang memiliki penglihatan sejati mengetahui pikiran adalah kosong. Mereka melampaui memahami dan tidak-memahami. Ketiadaan keduanya, memahami dan tidak-memahami adalah pemahaman yang sejati. Melihat dengan penglihatan sejati, wujud bukanlah hanya wujud, karena wujud bergantung pada pikiran. Dan pikiran bukanlah hanya pikiran, karena pikiran bergantung pada wujud. Pikiran dan wujud saling menciptakan dan meniadakan satu sama lain. Apa yang ada menjadi ada terkait dengan yang tidak ada. Dan apa yang tidak ada menjadi tidak ada terkait dengan yang ada. Inilah penglihatan sejati. Dengan melalui penglihatan demikian tiada yang terlihat dan tiada yang tak-terlihat. Penglihatan demikian melampaui sepuluh arah tanpa melihat: karena tidak ada sesuatu yang terlihat; sebab tanpa-melihat adalah melihat; sebab melihat bukanlah melihat. Apa yang para fana lihat adalah khayalan. Penglihatan sejati tak-melekat pada melihat. Pikiran dan dunia adalah bertentangan, dan penglihatan muncul ketika keduanya bertemu. Ketika pikiranmu tidak tumbuh di dalam, dunia tidak muncul di luar. Ketika dunia dan pikiran keduanya menjadi terawang, inilah penglihatan sejati. Dan pemahaman demikian adalah pemahaman sejati.
Tidak melihat apapun adalah mengenali Sang Jalan, dan tidak memahami apapun adalah mengetahui Dharma, karena melihat adalah bukan melihat juga bukan tidak melihat dan karena memahami adalah bukan memahami juga bukan tidak-memahami. Melihat tanpa-melihat adalah penglihatan sejati. Memahami tanpa-memahami adalah pemahaman sejati.
Penglihatan sejati tidak hanya melihat melihat. Ia juga melihat tidak-melihat. Dan pemahaman sejati tidak hanya memahami memahami. Ia juga memahami tidak-memahami. Jika kamu hanya memahami segala sesuatu, kamu tidak memahami. Hanya jika tidak ada yang kamu pahami ini adalah pemahaman sejati. Memahami adalah bukan memahami juga bukan tidak-memahami.
Sutra-sutra berkata, "Tidak melepaskan kebijaksanaan adalah kebodohan." Ketika pikiran tidak ada, memahami dan tidak-memahami adalah benar keduanya. Ketika pikiran muncul, memahami dan tidak-memahami keduanya keliru. Ketika kau paham, realitas bergantung padamu. Ketika kamu tidak paham, kamu bergantung pada realitas. Ketika realitas bergantung padamu, apa yang menjadi tidak nyata menjadi nyata. Ketika kamu bergantung pada realitas, apa yang nyata menjadi keliru. Ketika kamu bergantung pada realitas, segala sesuatu menjadi salah. Ketika realitas bergantung padamu, segala sesuatu menjadi benar. Oleh sebab itu, para bijak tidak menggunakan pikirannya untuk mencari realitas, atau realitas mencari pikirannya, pikirannya untuk mencari pikirannya, atau realitas untuk mencari realitas. Pikirannya tidak menyebabkan tumbuhnya realitas. Dan realitas tidak menumbuhkan pikirannya. Dan karena baik pikiran dan realitas keduanya tetap diam, ia senantiasa dalam samadhi.
Saat pikiran fana muncul, Kebuddhaan menghilang. Saat pikiran fana menghilang, Kebuddhaan muncul. Ketika pikiran muncul, realitas menghilang. Ketika pikiran menghilang, realitas muncul. Siapapun yang mengetahui bahwa tidak ada apapun bergantung pada tidak ada apapun telah menemukan Sang Jalan. Dan siapa saja yang tahu bahewa pikiran bergantung pada tidak ada sesuatupun senantiasa berada dalam pencerahan.
Ketika kamu tidak memahami, kamu salah. Ketika kamu memahami, kamu tidak salah. Hal ini karena hakikat dari salah adalah kosong. Ketika kamu tidak memahami benar terlihat salah. Ketika kamu memahami, salah adalah salah, karena salah tidak ada. Sutra-sutra berkata, "Tidak ada memiliki sifatnya sendiri. " Bertindak. Jangan bertanya. Ketika kamu bertanya, kamu salah. Salah adalah hasil dari pertanyaan. Saat kamu mencapai pemahaman demikian, perilaku salahmu di masa lalu tersapu habis. Ketika kamu terjebak dalam khayal, keenam indera dan kelima selubung (panca skandha) adalah konstruksi penderitaan dan kefanaan. Ketika kamu bangun keenam indera dan kelima selubung adalah konstruksi dari nirvana dan keabadian.
Siapapun yang mencari Sang Jalan tidak mencari di luar dirinya. Ia tahu bahwa pikiran adalah Sang Jalan. Namun ketika ia memukan pikiran, ia tidak menemukan apapun. Dan ketika ia menemukan Sang Jalan, ia tidak menemukan apapun. Jika kamu mengira kamu bisa menggunakan pikiran untuk menemukan Sang Jalan, kamu diliputi khayal. Ketika kamu diliputi khayal, Kebuddhaan ada. Ketika kamu sadar, ia tidak ada. Hal ini disebabkan oleh kesadaran sendiri adalah Kebuddhaan.
Intisari dari Sang Jalan adalah ketidakmelekatan (pelepasan). Dan tujuan dari praktik tersebut adalah kebebasan dari penampilan. Sutra-sutra berkata, Ketidakmelekatan adalah pencerahan sebab menghilangkan penampilan. Kebuddhaan berarti kesadaran. Para fana yang pikirannya sadar meraih Jalan Pencerahan dan dengan demikian disebut sebagai Buddha. Sutra-sutra berkata, "Mereka yang membebaskan dirinya dari semua penampilan disebut sebagai Buddha." Penampilan dari penampilan sebagai tanpa-penampilan tidak bisa diliha dengan mata namun hanya bisa diketahui dengan melalui kebijaksanaan. Siapapun yang mendengar dan meyakini ajaran ini menaiki Kereta Besar (Mahayana) dan meninggalkan ketiga alam. Ketiga alam tersebut adalah keserakahan, kemarahan dan delusi (kegelapan batin atau khayal). Meninggalkan ketiga alam berarti berpaling dari keserakahan, kemarahan dan delusi, kemudian kembali ke moralitas (sila), meditasi (samadhi) dan kebijaksanaan (prajna). Keserakahan, kemarahan dan delusi tidak memiliki hakikat-sejati dalam dirinya. Mereka tergantung pada yang fana. Dan siapapun yang mampu merefleksi adalah keluar dari batas untuk melihat bahwa hakikat-dasar dari keserakahan, kemarahan dan delusi adalah hakikat-dasar Kebuddhaan. Di luar keserakahan, kemarahan dan delusi tidak ada hakikat-dasar Kebuddhaan yang lainnya Sutra-sutra berkata, "Para Buddha hanya menjadi buddha jika hidup dengan ketiga racun dan memeliharanya pada Dharma murni." Ketiga racun adalah keserakahan, kemarahan, dan delusi.
Kendaraan Besar adalah yang terbesar dari semua kendaraan (yana). Ia adalah kendaraan Para Bodhisattva, yang menggunakan segalanya tanpa menggunakan apapun dan yang berpindah terus menerus tanpa berpindah. Yang demikian adalah kendaraan Para Buddha.
Sutra-sutra berkata, "Tanpa kendaraan adalah kendaraan Para Buddha."
Siapapun yang menyadari bahwa keenam indera tidak nyata, bahwa kelima skandha adalah fiksi, tidak ada hal demikian yang bisa ditemukan di dalam tubuh, memahami bahasa Para Buddha. Sutra-sutra berkata, "Gua dari kelima skandha adalah aula Zen (Dhyana). Terbukanya mata batin adalah pintu Kendaraan Besar." Apakah yang lebih jelas?
Tidak berpikir apapun adalah Zen. Saat kamu memahami ini, berjalan, berdiri, duduk atau berbaring, apapun yang kamu lakukan adalah Zen. Mengetahui bahwa pikiran adalah kekosongan sama dengan melihat Buddha. Para Buddha di kesepuluh arah tidak memiliki pikiran. Meihat tanpa-pikiran adalah melihat Buddha.
Mengorbankan diri sendiri tanpa penyesalan adalah praktik dana yang terbesar. Melampaui gerak dan diam adalah meditasi tertinggi. Para fana tetap bergerak, dan Para Arahat tetap tenang. Namun meditasi tertinggi berada di atas keduanya, para fana dan Para Arahat tersebut. Orang yang meraih pemahaman demikian membebaskan dirinya dari semua penampilan tanpa usaha dan menyembuhkan semua penyakit tanpa pengobatan. Yang demikian adalah kekuatan dari Zen yang agung.
Menggunakan pikiran untuk mencari realitas adalah delusi. Tidak menggunakan pikiran untuk mencari realitas adalah kesadaran. Membebasakan diri sendiri dari kata-kata adalah pembebasan. Kokoh tanpa tercemar oleh debu sensai adalah menjaga Dharma. Melampaui kehidupan dan kematian adalah meninggalkan rumah.
Tanpa menderita akibat keberadaan yang lain adalah mencapai Sang Jalan. Tanpa menghasilkan delusi adalah pencerahan. Tanpa terjebak dalam ketidaktahuan adalah kebijaksanaan. Tanpa penderitaan adalah nirvana. Dan tanpa penampilan pikiran adalah pantai seberang
Ketika kamu masih tercemar, pantai ini ada. Ketika kamu bangun, ia tidak ada. Para fana tetap tinggal di pantai ini. Namun mereka yang menemukan yang terbesar di antara semua kendaraan tidak tinggal di pantai ini maupun pantai seberang. Mereka mampu untuk meninggalkan kedua pantai. Mereka yang melihat pantai seberang berbeda dari pantai ini tidak memahami Zen.
Delusi berarti kefanaan. Dan kesadaran berarti Kebuddhaan. Mereka tidak sama. Dan mereka tidak berbeda. Hanya manusialah yang memisahkan antara delusi dari kesadaran. Ketika kita terjebak dalam khayal terdapat sebuah dunia untuk melarikan diri. Ketika kita sadar, tidak ada apapun untuk dihindari.
Dalam cahaya Dharma tanpa-bias, para fana tidak berbeda dari para bijak. Sutra-sutra berkata bahwa Dharma tanpa-bias adalah sesuatu yang tidak bisa ditembus oleh para fana dan tidak bisa dipraktikkan oleh para bijak. Dharma tanpa-bias hanya dipraktikkan oleh Para Bodhisattva-Mahasattva dan Para Buddha. Melihat dengan membedakan antara kehidupan dari kematian atau membedakan antara gerak dari ketenangan adalah menjadi bias. Menjadi tanpa bias berarti melihat pada penderitaan tidak berbeda dari nirvana, karena hakikat keduanya adalah kekosongan.
Dengan membayangkan bahwa mereka mengakhiri penderitaan dan mencapai nirvana Para Arahat berakhir dengan terperangkap oleh nirvana. Namun Para Bodhisattva mengetahui bahwa penderitaan pada dasarnya adalah kosong. Dan dengan tetap dalam kekosongan mereka tetap berada dalam nirvana. Nirvana berarti tanpa kelahiran dan tanpa kematian. Ia melampaui kelahiran dan kematian serta melampaui nirvana. Ketika pikiran berhenti bergerak, ia memasuki nirvana. Nirvana adalah pikiran yang kosong. Ketika delusi tidak ada, Para Buddha mencapai nirvana. Di mana penderitaan tidak ada, Para Bodhisattva memasuki tempat pencerahan. Sebuah tempat yang tanpa penghuni adalah tempat yang tanpa keserakahan, kemarahan atau delusi. Keserakahan adalah alam dari hasrat-keinginan, kemarahan adalah alam dari wujud, dan delusi adalah alam tanpa-wujud. Ketika pikiran muncul, kamu memasuki ketiga alam. Ketika pikiran berakhir, kamu meninggalkan ketiga alam. Awal atau akhir dari ketiga alam, keberadaan dan ketidakberadaan segala sesuatu, bergantung pada pikiran. Hal ini bisa diterapkan untuk apapun, bahkan untuk benda mati seperti batu dan kayu.
Siapa yang mengetahui bahwa pikiran adalah palsu dan sama sekali tanpa sesuatu yang nyata mengetahui bahwa pikirannya sendiri bukan ada juga bukan tiada. Para fana terus menerus menciptakan pikiran, mengakuinya sebagai yang ada. Dan Para Arahat terus-menerus meniadakan pikiran, mengakunya sebagai sesuatu yang tiada. Namun Para Bodhisattva dan Buddha tidak menciptakan ataupun meniadakan pikiran. Inilah apa yang dimaksud dengan pikiran itu bukan ada juga bukan tiada. Pikiran yang bukan ada juga bukan tiada itu disebut sebagai Jalan Tengah.
Jika kamu menggunakan pikiranmu untuk mempelajari kenyataan, kamu tidak akan memahami baik pikiranmu ataupun kenyataan. Jika kamu mempelajari kenyataan tanpa menggunakan pikiranmu, kamu akan memahami keduanya. Mereka yang tidak-memahami tidak memahami pemahaman. Dan mereka yang memahami, memahami tidak-memahami. Orang yang memiliki penglihatan sejati mengetahui pikiran adalah kosong. Mereka melampaui memahami dan tidak-memahami. Ketiadaan keduanya, memahami dan tidak-memahami adalah pemahaman yang sejati. Melihat dengan penglihatan sejati, wujud bukanlah hanya wujud, karena wujud bergantung pada pikiran. Dan pikiran bukanlah hanya pikiran, karena pikiran bergantung pada wujud. Pikiran dan wujud saling menciptakan dan meniadakan satu sama lain. Apa yang ada menjadi ada terkait dengan yang tidak ada. Dan apa yang tidak ada menjadi tidak ada terkait dengan yang ada. Inilah penglihatan sejati. Dengan melalui penglihatan demikian tiada yang terlihat dan tiada yang tak-terlihat. Penglihatan demikian melampaui sepuluh arah tanpa melihat: karena tidak ada sesuatu yang terlihat; sebab tanpa-melihat adalah melihat; sebab melihat bukanlah melihat. Apa yang para fana lihat adalah khayalan. Penglihatan sejati tak-melekat pada melihat. Pikiran dan dunia adalah bertentangan, dan penglihatan muncul ketika keduanya bertemu. Ketika pikiranmu tidak tumbuh di dalam, dunia tidak muncul di luar. Ketika dunia dan pikiran keduanya menjadi terawang, inilah penglihatan sejati. Dan pemahaman demikian adalah pemahaman sejati.
Tidak melihat apapun adalah mengenali Sang Jalan, dan tidak memahami apapun adalah mengetahui Dharma, karena melihat adalah bukan melihat juga bukan tidak melihat dan karena memahami adalah bukan memahami juga bukan tidak-memahami. Melihat tanpa-melihat adalah penglihatan sejati. Memahami tanpa-memahami adalah pemahaman sejati.
Penglihatan sejati tidak hanya melihat melihat. Ia juga melihat tidak-melihat. Dan pemahaman sejati tidak hanya memahami memahami. Ia juga memahami tidak-memahami. Jika kamu hanya memahami segala sesuatu, kamu tidak memahami. Hanya jika tidak ada yang kamu pahami ini adalah pemahaman sejati. Memahami adalah bukan memahami juga bukan tidak-memahami.
Sutra-sutra berkata, "Tidak melepaskan kebijaksanaan adalah kebodohan." Ketika pikiran tidak ada, memahami dan tidak-memahami adalah benar keduanya. Ketika pikiran muncul, memahami dan tidak-memahami keduanya keliru. Ketika kau paham, realitas bergantung padamu. Ketika kamu tidak paham, kamu bergantung pada realitas. Ketika realitas bergantung padamu, apa yang menjadi tidak nyata menjadi nyata. Ketika kamu bergantung pada realitas, apa yang nyata menjadi keliru. Ketika kamu bergantung pada realitas, segala sesuatu menjadi salah. Ketika realitas bergantung padamu, segala sesuatu menjadi benar. Oleh sebab itu, para bijak tidak menggunakan pikirannya untuk mencari realitas, atau realitas mencari pikirannya, pikirannya untuk mencari pikirannya, atau realitas untuk mencari realitas. Pikirannya tidak menyebabkan tumbuhnya realitas. Dan realitas tidak menumbuhkan pikirannya. Dan karena baik pikiran dan realitas keduanya tetap diam, ia senantiasa dalam samadhi.
Saat pikiran fana muncul, Kebuddhaan menghilang. Saat pikiran fana menghilang, Kebuddhaan muncul. Ketika pikiran muncul, realitas menghilang. Ketika pikiran menghilang, realitas muncul. Siapapun yang mengetahui bahwa tidak ada apapun bergantung pada tidak ada apapun telah menemukan Sang Jalan. Dan siapa saja yang tahu bahewa pikiran bergantung pada tidak ada sesuatupun senantiasa berada dalam pencerahan.
Ketika kamu tidak memahami, kamu salah. Ketika kamu memahami, kamu tidak salah. Hal ini karena hakikat dari salah adalah kosong. Ketika kamu tidak memahami benar terlihat salah. Ketika kamu memahami, salah adalah salah, karena salah tidak ada. Sutra-sutra berkata, "Tidak ada memiliki sifatnya sendiri. " Bertindak. Jangan bertanya. Ketika kamu bertanya, kamu salah. Salah adalah hasil dari pertanyaan. Saat kamu mencapai pemahaman demikian, perilaku salahmu di masa lalu tersapu habis. Ketika kamu terjebak dalam khayal, keenam indera dan kelima selubung (panca skandha) adalah konstruksi penderitaan dan kefanaan. Ketika kamu bangun keenam indera dan kelima selubung adalah konstruksi dari nirvana dan keabadian.
Siapapun yang mencari Sang Jalan tidak mencari di luar dirinya. Ia tahu bahwa pikiran adalah Sang Jalan. Namun ketika ia memukan pikiran, ia tidak menemukan apapun. Dan ketika ia menemukan Sang Jalan, ia tidak menemukan apapun. Jika kamu mengira kamu bisa menggunakan pikiran untuk menemukan Sang Jalan, kamu diliputi khayal. Ketika kamu diliputi khayal, Kebuddhaan ada. Ketika kamu sadar, ia tidak ada. Hal ini disebabkan oleh kesadaran sendiri adalah Kebuddhaan.
Jika kamu mencari Sang Jalan, Sang Jalan tidak akan muncul hingga tubuhmu menghilang. Seperti melepas kulit kayu dari pohon. Tubuh terikat karma ini mengalami perubahan terus menerus. Ia tidak memiliki realitas yang menetap. Berpraktik menurut pemikiranmu. Jangan membenci kehidupan dan kematian atau mencintai kehidupan dan kematian. Jaga setiap pikiranmu bebas dari delusi, dan dalam kehidupan kamu akan menyaksikan awal dari nirvana dan dalam kematian kamu akan mengalami ketenangan tanpa kelahiran kembali.
Melihat wujud namun tidak tercemar oleh wujud atau mendengar bunyi namun tidak tercemar oleh bunyi adalah pembebasan. Mata yang tidak terikat pada wujud adalah pintu Zen. Singkatnya, mereka yang mengamati keberadaan dan hakikat sejati dari fenomena serta tetap tidak terikat, terbebaskan. Mereka yang mengamati [hanya] penampilan eksternal berada dalam belas kasih mereka. Tidak menjadi sasaran dari penderitaan adalah apa yang dimaksud sebagai pembebasan. Ketika kamu tahu bagaimana cara melihat wujud, wujud tidak menumbuhkan pikiran dan pikiran tidak menumbuhkan wujud. Wujud dan pikiran keduanya adalah murni.
Ketika delusi tiada, pikiran adalah alam Para Buddha. Ketika delusi hadir, pikiran adalah neraka. Para fana menciptakan delusi. Dan dengan menggunakan pikiran untuk melahirkan pikiran mereka selalu menemukan dirinya di dalam neraka. Para Bodhisattva melihat melalui delusi. Dan tanpa menggunakan pikiran untuk melahirkan pikiran mereka senantiasa berada dalam alam Para Buddha. Jika kamu tidak menggunakan pikiran untuk menciptakan pikiran, setiap tahap pikiran adalah kosong dan setiap pemikiran terhenti. Kamu berpergian dari alam-buddha satu ke yang lainnya. Jika kamu menggunakan pikiranmu untuk menciptakan pikiran, setiap tahap pikiran menjadi terganggu dan setiap pemikiran berada dalam gerak. Kamu berpergian dari satu neraka ke neraka berikutnya. Ketika pikiran muncul, terdapat karma baik dan karma buruk, surga dan neraka. Ketika tiada pikiran yang muncul, tidak ada karma baik atau karma buruk, tiada surga dan neraka.
Tubuh itu tidak ada tidak juga tidak ada. Karena itu keberadaan sebagai yang fana dan tanpa-keberadaan sebagai yang bijak adalah konsepsi di mana di luar jangkauan seorang bijak. Hatinya kosong dan lowong seperti langit. Hal demikian adalah hasil dari pengamatan pada Sang Jalan. Ini di luar pemahaman Para Arahat dan para fana.
Ketika pikiran mencapai nirvana, kamu tidak melihat nirvana, karena pikiran adalah nirvana. Jika kamu melihat nirvana berada di suatu tempat di luar pikiran, kamu sedang menipu dirimu sendiri.
Setiap penderitaan adalah benih-Kebuddhaan, sebab penderitaan mendorong para fana untuk mencari kebijaksanaan. Namun kamu hanya bisa mengatakan bahwa penderitaan membangkitkan Kebuddhaan. Kamu tidak bisa mengatakan penderitaan adalah Kebuddhaan. Tubuh dan pikiranmu adalah ladangnya. Penderitaan adalah benihnya. Kebijaksanaan adalah tunasnya, dan Kebuddhaan butir padinya. Buddha dalam pikiran laksana harum dari sebuah pohon. Buddha berasal dari pikiran bebas penderitaan, sama seperti bau harum berasal dari sebuah pohon yang bebas dari pembusukan. Tidak ada bau harum tanpa pohon dan tidak ada Buddha tanpa pikiran. Jika ada bau harum tanpa sebuah pohon, ini adalah bau harum yang berbeda. Jika ada Buddha tanpa pikiranmu, ia adalah Buddha yang berbeda.
Ketika tiga racun muncul dalam pikiranmu, kau berada dalam alam kotoran. Ketika ketiga racun tidak muncul dalam pikiranmu, kamu berada dalam alam kemurnian. Sura-sutra berkata, "Jika kamu mengisi sebuah tanag dengan ketidakmurnian dan kotoran, tidak akan ada Buddha yang akan muncul." Ketidakmurnian dan kotoran merujuk pada racun-racun. Buddha merujuk pada pikiran yang murni dan tersadarkan.
Tidak ada bahasa yang bukan Dharma. Berbicara sepanjang hari tanpa mengatakan sesuatu adalah Sang Jalan. Diam sepanjang hari dan masih mengatakan sesuatu bukanlah Sang Jalan. Dengan demikian kata-kata Tathagata tidak bergantung pada keheningan, juga keheningan-Nya tidak bergantung pada kata-kata, demikian juga tidak kata-kata-Nya tetap ada terpisah dari keheningan. Mereka yang paham, kata-kata dan keheningan, keduanya adalah samadhi. Jika kamu berbicara saat kamu tahu, kata-katamu adalah bebas. Jika kamu diam saat kamu tidak tahu, keheninganmu adalah ikatan. Jika kata-kata tidak terikat pada penampilan, ia bebas. Jika keheningan terikat pada penampilan, ia terikat. Bahasa pada dasarnya adalah bebas. Bahasa tidak ada kaitannya dengan kemelekatan. Dan kemelekatan tidak ada kaitannya dengan bahasa. Realitas tidak memiliki tinggi atau rendah. Jika kamu melihat tinggi atau rendah, itu tidak nyata. Sebuah rakit tidak nyata. Namun penumpang rakit nyata. Seseorang yang mengemudikan rakit demikian bisa menyeberangi sesuatu yang tidak nyata. Itulah sebabnya itu nyata.
Menurut dunia terdapat laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin. Menurut Sang Jalan, tidak ada laki-laku atau perempuan, kaya atau miskin. Ketika para dewi merealisasi sang Jalan, ia tidak mengganti jenis kelaminnya. Ketika anak lak-laki penjaga kandang sadar akan kebenarannya, ia tidak mengganti statusnya. Bebas dari jenis kelamin dan status, mereka memiliki penampilan dasar yang sama. Para dewi mencari selama dua belas tahun demi kewanitaannya tanpa hasil. Mencari selama dua belas tahun demi kejantanan seseorang akan sama saja tanpa hasil. Kedua belas tahun menunjukkan kedua belas pintu masuk.
Tanpa pikiran tiada Buddha. Tanpa Buddha tiada pikiran. Serupa dengan, tanpa air tiada es, dan tanpa es tiada air. Siapapun yang berbicara tentang pikiran tidak akan mendalami. Jangan terikat pada penampilan dari pikiran. Sutra-sutra berkata, "Ketika kamu melihat tanpa-penampilan, kamu melihat Buddha." Ini yang dimaksud dengan menjadi bebas dari penampilan pikiran. Tanpa pikiran tiada Buddha bermakna bahwa Buddha berasal dari pikiran. Pikiran melahirkan Buddha. Namun meskipun Buddha berasal dari pikiran, pikiran tidak berasal dari Buddha, seperti halnya ikan berasal dari air, namun air tidak berasal dari ikan. Siapapun yang ingin melihat ikan melihat air terlebih dahulu sebelum ia melihat ikan. Dan siapapun ingin melihat Buddha melihat pikiran terlebih dahulu sebelum ia melihat Buddha. Saat kamu melihat ikan, kamu melupakan airnya. Dan saat kamu melihat Buddha, kamu melupakan pikiran. Jika kamu tidak melupakan pikiran, pikiran akan membingungkanmu, seperti air akan mengacaukanmu jika kamu tidak melupakannya.
Kefanaan dan Kebuddhaan laksana air dan es. Menderita akibat tiga racun adalah kefanaan. Termurnikan oleh tiga pelepasan adalah Kebuddhaan. Yang membeku menjadi es pada musim dingin meleleh menjadi air di musim panas. Singkirkan es dan tidak ada air lagi. Singkirkan kefanaan dan tidak ada lagi Kebuddhaan. Jelasnya, hakikat dari es adalah hakikat dari air. Dan hakikat dari air adalah hakikat dari es. Dan hakikat dari kefanaan adalah hakikat Kebuddhaan. Kefanaan dan Kebuddhaan memiliki hakikat yang sama, seperti halnya Wutou dan Futzu memiliki akar yang sama namun musim yang berbeda. Hanya karena delusi akan perbedaan yang disebabkan kita memiliki kata “kefanaan” dan “kebuddhaan.” Ketika ular berubah menjadi naga, tidak merubah ukurannya. Dan ketika yang fana menjadi bijak, ia tidak merubah wajahnya. Ia mengetahui pikirannya melalui kebijaksaan internalnya dan merawat tubuhnya melalui disiplin eksternal.
Para fana membebaskan Para Buddha dan Para Buddha membebaskan para fana. Ini yang dimaksud denfan ketanpa-biasan. Para fana membebaskan Para Buddha karena penderitaan menciptakan kesadaran. Dan Para Buddha membebaskan para fana karena kesadaran menghilangkan penderitaan. Tidak ada yang membanu kecuali penderitaan. Dan tidak ada yang membantu kecuali kesadaran. Jika kita tidak menderita, tidak akan ada sesuatu yang menghasilkan kesadaran. Dan jika tidak ada kesadaran, tidak akan ada sesuatu yang menghilangkan penderitaan. Ketika kamu terjebak dalam khayal, Para Buddha membebaskan para fana. Ketika kamu sadar, para membebaskan Para Buddha. Para Buddha tidak menjadi Buddha kareana mereka sendiri. Mereka dibebaskan oleh para fana. Para Buddha menganggap delusi sebagai ayah mereka dan keserakahan sebagai ibu mereka. Delusi dan keserakahan adalah nama lain dari kefanaan. Delusi dan kefanaan seperti tangan kiri dan tangan kanan. Tidak ada perbedaan lainnya.
Ketika kamu terjebak dalam delusi (khayal), kamu berada di pantai ini. Ketika kamu sadar, kamu berada di pantai lainnya. Namun saat kamu mengetahui pikiranmu adalah kosong dan kamu melihat tidak ada penampilan, kamu berada di luar batas delusi dan kesadaran. Dan saat kamu berada di luar batas delusi dan kesadaran, pantai yang lain tidak ada. Tathagata tidak berada di pantai ini ataupun pantai seberang. Dan Ia tidak ada di separuh jalan. Para Arahat berada di separuh jalan dan para fana berada di pantai ini. Di pantai seberang adalah Kebuddhaan. Para Buddha memiliki tiga tubuh: Tubuh Transformasi (Nirmanakāya), Tubuh Hadiah (Sambhogakāya), dan Tubuh Sejati (Dharmakāya). Tubuh Transformasi juga disebut sebagai tubuh inkarnasi. Tubuh Transformasi muncul ketika para fana melakukan perbuatan baik, Tubuh Hadiah hadir ketika mereka merenungkan kebijaksanaan, dan Tubuh Sejati muncul ketika mereka sadar akan yang mahamulia. Tubuh Transformasi adalah yang kamu lihat sebagai terbang ke segala arah membebaskan yang lain kapanpun Ia bisa. Tubuh Hadiah mengakhiri keraguan-keraguan. Pencerahan Agung yang terjadi di Himalaya seketika menjadi benar. Tubuh Sejati tidak tidak melakukan atau berkata apapun. Ia tetap dalam keheningan sempurna. Namun sebenarnya, tidak ada satupun tubuh-buddha, kurang dari tiga. Ajaran tentang ketiga tubuh berdasarkan pada tingkat pemahaman manusia –yang dangkal, menengah, atau mendalam. Orang dengan pemahaman dangkal membayangkan mereka menimbun berkah dan mengelirukan Tubuh Transformasi sebagai Sang Buddha. Orang dengan pemahaman menengah membayangkan bahwa mereka mengakhiri penderitaan dan mengelirukan Tubuh Hadiah sebagai Buddha. Dan orang dengan pemahaman mendalam membayangkan mereka menyelami Kebuddhaan dan keliru menganggap Tubuh Sejati sebagai Buddha.
Namun orang dengan pemahaman terdalam berada di antaranya, tidak terganggu oleh apapun. Dikarenakan pikiran yang jernih adalah Buddha mereka mencapai pemahaman Buddha tanpa menggunakan pikiran. Ketiga tubuh, seperti semua hal lainnya, tak-tercapai dan tak-terlukiskan. Pikiran tanpa-halangan mencapai Sang Jalan. Sutra-sutra berkata, "Para Buddha tidak mengkhotbahkan Dharma. Mereka tidak membebaskan para fana. Dan mereka tidak menyelami Kebuddhaan." Inilah yang saya maksud. Individu menciptakan karma; karma tidak menciptakan individu. Mereka menciptakan karma dalam kehidupan ini dan menerima akibatnya di kehidupan selanjutnya. Mereka tidak pernah menghindar. Hanya seseorang yang secara sempurna tidak menciptakan karma dalam kehidupan ini dan tidak menerima akibatnya. Sutra-sutra berkata, "Siapa yang tidak menciptakan karma mencapai Dharma." Ini bukanlah kata-kata kosong. Kamu bisa menciptakan karma namun kamu tidak bisa menciptakan orang. Ketika kamu menciptakan karma, kamu terlahir kembali dengan karmamu. Ketika kamu tidak menciptakan karma, kamu hilang bersama dengan karmamu. Dengan demikian, karena karma bergantung pada individu dan individu bergantung pada karma, jika seorang individu tidak menciptakan karma, karma tidak berkuasa atasnya. Dengan cara yang sama, "Manusia bisa memperluas Sang Jalan. Sang jalan tidak bisa memperluas seorang manusia."
Para fana terus menciptakan karma dan secara keliru bersikeras bahwa tidak ada akibat. Namun bisakah mereka menolak penderitaan? Bisakah mereka menolak bahwa apa yang keadaan pikiran saat ini taburkan akan dituai oleh pikiran selanjutnya? Bagaimana mereka melarikan diri? Namun jika keadaan pikiran saat ini tidak menaburkan apapun, pikiran selanjutnya tidak menuai apapun. Jangan menyalahartikan karma.
Sutra-sutra berkata, "Meskipun meyakini Para Buddha, orang yang mengira Para Buddha mempraktikkan kekerasan bukanlah Buddhis. Hal yang sama berlaku juga untuk mereka yang membayangkan bahwa Para Buddha adalah masalah kesejahteraan atau kemiskinan. Mereka adalah icchantika. Mereka tidak memiliki keyakinan." Seseorang yang memahami ajaran dari para bijak adalah seorang bijak. Seseorang yang memahami ajaran para fana adalah seorang fana. Seorang fana bisa meninggalkan ajaran para fana dan mengikuti ajaran para bijak sehingga menjadi orang bijak. Namun para dungu di dunia ini lebih suka mencari orang bijak ke mana-mana. Mereka tidak percaya aan kebijaksanaan pikiran mereka adalah sang bijak itu sendiri. Sutra-sutra berkata, "Di antara manusia yang tidak memiliki pemahaman, jangan mengkhotbahkan sutra ini." Dan sutra-sutra berkata, "Pikiran adalah ajaran." Namun orang yang tidak memiliki pemahaman tidak yakin akan pikiran mereka atau bahwa dengan memahami ajaran ini mereka bisa menjadi seorang bijak. Mereka lebih suka mencari pengetahuan yang jauh dan dahaga akan benda-benda dalam ruang, gambar-buddha, lilin, dupa, dan warna-warni. Mereka menjadi mangsa kesesatan dan kehilangan pikiran mereka hingga menjadi gila.
Sutra-sutra berkata, "Ketika kamu melihat bahwa semua penampilan itu tanpa-penampilan, kamu melihat tathagata." Pintu tak terhitung jumlahnya ke kebenaran semuanya berasal dari pikiran. Ketika penampilan pikiran menjadi terawang seperti ruang, mereka lenyap. Penderitaan tanpa akhir kita adalah akar dari penyakit. Ketika para fana hidup, mereka takut akan kematian. Ketika mereka kenyang, mereka cemas akan lapar. Mereka adalah Ketidakpastian Mahabesar. Namun para bijak tidak memikirkan masa lalu. Dan mereka tidak cemas tentang mas depan. Tidak juga mereka melekat pada masa kini. Dan dari momen ke momen mereka mengikuti Sang Jalan. Jika kamu tidak juga tersadarkan akan kebenaran agung ini, kamu sebaiknya mencari seorang guru di bumi atau surga. Jangan memperparah kekuranganmu.
Melihat wujud namun tidak tercemar oleh wujud atau mendengar bunyi namun tidak tercemar oleh bunyi adalah pembebasan. Mata yang tidak terikat pada wujud adalah pintu Zen. Singkatnya, mereka yang mengamati keberadaan dan hakikat sejati dari fenomena serta tetap tidak terikat, terbebaskan. Mereka yang mengamati [hanya] penampilan eksternal berada dalam belas kasih mereka. Tidak menjadi sasaran dari penderitaan adalah apa yang dimaksud sebagai pembebasan. Ketika kamu tahu bagaimana cara melihat wujud, wujud tidak menumbuhkan pikiran dan pikiran tidak menumbuhkan wujud. Wujud dan pikiran keduanya adalah murni.
Ketika delusi tiada, pikiran adalah alam Para Buddha. Ketika delusi hadir, pikiran adalah neraka. Para fana menciptakan delusi. Dan dengan menggunakan pikiran untuk melahirkan pikiran mereka selalu menemukan dirinya di dalam neraka. Para Bodhisattva melihat melalui delusi. Dan tanpa menggunakan pikiran untuk melahirkan pikiran mereka senantiasa berada dalam alam Para Buddha. Jika kamu tidak menggunakan pikiran untuk menciptakan pikiran, setiap tahap pikiran adalah kosong dan setiap pemikiran terhenti. Kamu berpergian dari alam-buddha satu ke yang lainnya. Jika kamu menggunakan pikiranmu untuk menciptakan pikiran, setiap tahap pikiran menjadi terganggu dan setiap pemikiran berada dalam gerak. Kamu berpergian dari satu neraka ke neraka berikutnya. Ketika pikiran muncul, terdapat karma baik dan karma buruk, surga dan neraka. Ketika tiada pikiran yang muncul, tidak ada karma baik atau karma buruk, tiada surga dan neraka.
Tubuh itu tidak ada tidak juga tidak ada. Karena itu keberadaan sebagai yang fana dan tanpa-keberadaan sebagai yang bijak adalah konsepsi di mana di luar jangkauan seorang bijak. Hatinya kosong dan lowong seperti langit. Hal demikian adalah hasil dari pengamatan pada Sang Jalan. Ini di luar pemahaman Para Arahat dan para fana.
Ketika pikiran mencapai nirvana, kamu tidak melihat nirvana, karena pikiran adalah nirvana. Jika kamu melihat nirvana berada di suatu tempat di luar pikiran, kamu sedang menipu dirimu sendiri.
Setiap penderitaan adalah benih-Kebuddhaan, sebab penderitaan mendorong para fana untuk mencari kebijaksanaan. Namun kamu hanya bisa mengatakan bahwa penderitaan membangkitkan Kebuddhaan. Kamu tidak bisa mengatakan penderitaan adalah Kebuddhaan. Tubuh dan pikiranmu adalah ladangnya. Penderitaan adalah benihnya. Kebijaksanaan adalah tunasnya, dan Kebuddhaan butir padinya. Buddha dalam pikiran laksana harum dari sebuah pohon. Buddha berasal dari pikiran bebas penderitaan, sama seperti bau harum berasal dari sebuah pohon yang bebas dari pembusukan. Tidak ada bau harum tanpa pohon dan tidak ada Buddha tanpa pikiran. Jika ada bau harum tanpa sebuah pohon, ini adalah bau harum yang berbeda. Jika ada Buddha tanpa pikiranmu, ia adalah Buddha yang berbeda.
Ketika tiga racun muncul dalam pikiranmu, kau berada dalam alam kotoran. Ketika ketiga racun tidak muncul dalam pikiranmu, kamu berada dalam alam kemurnian. Sura-sutra berkata, "Jika kamu mengisi sebuah tanag dengan ketidakmurnian dan kotoran, tidak akan ada Buddha yang akan muncul." Ketidakmurnian dan kotoran merujuk pada racun-racun. Buddha merujuk pada pikiran yang murni dan tersadarkan.
Tidak ada bahasa yang bukan Dharma. Berbicara sepanjang hari tanpa mengatakan sesuatu adalah Sang Jalan. Diam sepanjang hari dan masih mengatakan sesuatu bukanlah Sang Jalan. Dengan demikian kata-kata Tathagata tidak bergantung pada keheningan, juga keheningan-Nya tidak bergantung pada kata-kata, demikian juga tidak kata-kata-Nya tetap ada terpisah dari keheningan. Mereka yang paham, kata-kata dan keheningan, keduanya adalah samadhi. Jika kamu berbicara saat kamu tahu, kata-katamu adalah bebas. Jika kamu diam saat kamu tidak tahu, keheninganmu adalah ikatan. Jika kata-kata tidak terikat pada penampilan, ia bebas. Jika keheningan terikat pada penampilan, ia terikat. Bahasa pada dasarnya adalah bebas. Bahasa tidak ada kaitannya dengan kemelekatan. Dan kemelekatan tidak ada kaitannya dengan bahasa. Realitas tidak memiliki tinggi atau rendah. Jika kamu melihat tinggi atau rendah, itu tidak nyata. Sebuah rakit tidak nyata. Namun penumpang rakit nyata. Seseorang yang mengemudikan rakit demikian bisa menyeberangi sesuatu yang tidak nyata. Itulah sebabnya itu nyata.
Menurut dunia terdapat laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin. Menurut Sang Jalan, tidak ada laki-laku atau perempuan, kaya atau miskin. Ketika para dewi merealisasi sang Jalan, ia tidak mengganti jenis kelaminnya. Ketika anak lak-laki penjaga kandang sadar akan kebenarannya, ia tidak mengganti statusnya. Bebas dari jenis kelamin dan status, mereka memiliki penampilan dasar yang sama. Para dewi mencari selama dua belas tahun demi kewanitaannya tanpa hasil. Mencari selama dua belas tahun demi kejantanan seseorang akan sama saja tanpa hasil. Kedua belas tahun menunjukkan kedua belas pintu masuk.
Tanpa pikiran tiada Buddha. Tanpa Buddha tiada pikiran. Serupa dengan, tanpa air tiada es, dan tanpa es tiada air. Siapapun yang berbicara tentang pikiran tidak akan mendalami. Jangan terikat pada penampilan dari pikiran. Sutra-sutra berkata, "Ketika kamu melihat tanpa-penampilan, kamu melihat Buddha." Ini yang dimaksud dengan menjadi bebas dari penampilan pikiran. Tanpa pikiran tiada Buddha bermakna bahwa Buddha berasal dari pikiran. Pikiran melahirkan Buddha. Namun meskipun Buddha berasal dari pikiran, pikiran tidak berasal dari Buddha, seperti halnya ikan berasal dari air, namun air tidak berasal dari ikan. Siapapun yang ingin melihat ikan melihat air terlebih dahulu sebelum ia melihat ikan. Dan siapapun ingin melihat Buddha melihat pikiran terlebih dahulu sebelum ia melihat Buddha. Saat kamu melihat ikan, kamu melupakan airnya. Dan saat kamu melihat Buddha, kamu melupakan pikiran. Jika kamu tidak melupakan pikiran, pikiran akan membingungkanmu, seperti air akan mengacaukanmu jika kamu tidak melupakannya.
Kefanaan dan Kebuddhaan laksana air dan es. Menderita akibat tiga racun adalah kefanaan. Termurnikan oleh tiga pelepasan adalah Kebuddhaan. Yang membeku menjadi es pada musim dingin meleleh menjadi air di musim panas. Singkirkan es dan tidak ada air lagi. Singkirkan kefanaan dan tidak ada lagi Kebuddhaan. Jelasnya, hakikat dari es adalah hakikat dari air. Dan hakikat dari air adalah hakikat dari es. Dan hakikat dari kefanaan adalah hakikat Kebuddhaan. Kefanaan dan Kebuddhaan memiliki hakikat yang sama, seperti halnya Wutou dan Futzu memiliki akar yang sama namun musim yang berbeda. Hanya karena delusi akan perbedaan yang disebabkan kita memiliki kata “kefanaan” dan “kebuddhaan.” Ketika ular berubah menjadi naga, tidak merubah ukurannya. Dan ketika yang fana menjadi bijak, ia tidak merubah wajahnya. Ia mengetahui pikirannya melalui kebijaksaan internalnya dan merawat tubuhnya melalui disiplin eksternal.
Para fana membebaskan Para Buddha dan Para Buddha membebaskan para fana. Ini yang dimaksud denfan ketanpa-biasan. Para fana membebaskan Para Buddha karena penderitaan menciptakan kesadaran. Dan Para Buddha membebaskan para fana karena kesadaran menghilangkan penderitaan. Tidak ada yang membanu kecuali penderitaan. Dan tidak ada yang membantu kecuali kesadaran. Jika kita tidak menderita, tidak akan ada sesuatu yang menghasilkan kesadaran. Dan jika tidak ada kesadaran, tidak akan ada sesuatu yang menghilangkan penderitaan. Ketika kamu terjebak dalam khayal, Para Buddha membebaskan para fana. Ketika kamu sadar, para membebaskan Para Buddha. Para Buddha tidak menjadi Buddha kareana mereka sendiri. Mereka dibebaskan oleh para fana. Para Buddha menganggap delusi sebagai ayah mereka dan keserakahan sebagai ibu mereka. Delusi dan keserakahan adalah nama lain dari kefanaan. Delusi dan kefanaan seperti tangan kiri dan tangan kanan. Tidak ada perbedaan lainnya.
Ketika kamu terjebak dalam delusi (khayal), kamu berada di pantai ini. Ketika kamu sadar, kamu berada di pantai lainnya. Namun saat kamu mengetahui pikiranmu adalah kosong dan kamu melihat tidak ada penampilan, kamu berada di luar batas delusi dan kesadaran. Dan saat kamu berada di luar batas delusi dan kesadaran, pantai yang lain tidak ada. Tathagata tidak berada di pantai ini ataupun pantai seberang. Dan Ia tidak ada di separuh jalan. Para Arahat berada di separuh jalan dan para fana berada di pantai ini. Di pantai seberang adalah Kebuddhaan. Para Buddha memiliki tiga tubuh: Tubuh Transformasi (Nirmanakāya), Tubuh Hadiah (Sambhogakāya), dan Tubuh Sejati (Dharmakāya). Tubuh Transformasi juga disebut sebagai tubuh inkarnasi. Tubuh Transformasi muncul ketika para fana melakukan perbuatan baik, Tubuh Hadiah hadir ketika mereka merenungkan kebijaksanaan, dan Tubuh Sejati muncul ketika mereka sadar akan yang mahamulia. Tubuh Transformasi adalah yang kamu lihat sebagai terbang ke segala arah membebaskan yang lain kapanpun Ia bisa. Tubuh Hadiah mengakhiri keraguan-keraguan. Pencerahan Agung yang terjadi di Himalaya seketika menjadi benar. Tubuh Sejati tidak tidak melakukan atau berkata apapun. Ia tetap dalam keheningan sempurna. Namun sebenarnya, tidak ada satupun tubuh-buddha, kurang dari tiga. Ajaran tentang ketiga tubuh berdasarkan pada tingkat pemahaman manusia –yang dangkal, menengah, atau mendalam. Orang dengan pemahaman dangkal membayangkan mereka menimbun berkah dan mengelirukan Tubuh Transformasi sebagai Sang Buddha. Orang dengan pemahaman menengah membayangkan bahwa mereka mengakhiri penderitaan dan mengelirukan Tubuh Hadiah sebagai Buddha. Dan orang dengan pemahaman mendalam membayangkan mereka menyelami Kebuddhaan dan keliru menganggap Tubuh Sejati sebagai Buddha.
Namun orang dengan pemahaman terdalam berada di antaranya, tidak terganggu oleh apapun. Dikarenakan pikiran yang jernih adalah Buddha mereka mencapai pemahaman Buddha tanpa menggunakan pikiran. Ketiga tubuh, seperti semua hal lainnya, tak-tercapai dan tak-terlukiskan. Pikiran tanpa-halangan mencapai Sang Jalan. Sutra-sutra berkata, "Para Buddha tidak mengkhotbahkan Dharma. Mereka tidak membebaskan para fana. Dan mereka tidak menyelami Kebuddhaan." Inilah yang saya maksud. Individu menciptakan karma; karma tidak menciptakan individu. Mereka menciptakan karma dalam kehidupan ini dan menerima akibatnya di kehidupan selanjutnya. Mereka tidak pernah menghindar. Hanya seseorang yang secara sempurna tidak menciptakan karma dalam kehidupan ini dan tidak menerima akibatnya. Sutra-sutra berkata, "Siapa yang tidak menciptakan karma mencapai Dharma." Ini bukanlah kata-kata kosong. Kamu bisa menciptakan karma namun kamu tidak bisa menciptakan orang. Ketika kamu menciptakan karma, kamu terlahir kembali dengan karmamu. Ketika kamu tidak menciptakan karma, kamu hilang bersama dengan karmamu. Dengan demikian, karena karma bergantung pada individu dan individu bergantung pada karma, jika seorang individu tidak menciptakan karma, karma tidak berkuasa atasnya. Dengan cara yang sama, "Manusia bisa memperluas Sang Jalan. Sang jalan tidak bisa memperluas seorang manusia."
Para fana terus menciptakan karma dan secara keliru bersikeras bahwa tidak ada akibat. Namun bisakah mereka menolak penderitaan? Bisakah mereka menolak bahwa apa yang keadaan pikiran saat ini taburkan akan dituai oleh pikiran selanjutnya? Bagaimana mereka melarikan diri? Namun jika keadaan pikiran saat ini tidak menaburkan apapun, pikiran selanjutnya tidak menuai apapun. Jangan menyalahartikan karma.
Sutra-sutra berkata, "Meskipun meyakini Para Buddha, orang yang mengira Para Buddha mempraktikkan kekerasan bukanlah Buddhis. Hal yang sama berlaku juga untuk mereka yang membayangkan bahwa Para Buddha adalah masalah kesejahteraan atau kemiskinan. Mereka adalah icchantika. Mereka tidak memiliki keyakinan." Seseorang yang memahami ajaran dari para bijak adalah seorang bijak. Seseorang yang memahami ajaran para fana adalah seorang fana. Seorang fana bisa meninggalkan ajaran para fana dan mengikuti ajaran para bijak sehingga menjadi orang bijak. Namun para dungu di dunia ini lebih suka mencari orang bijak ke mana-mana. Mereka tidak percaya aan kebijaksanaan pikiran mereka adalah sang bijak itu sendiri. Sutra-sutra berkata, "Di antara manusia yang tidak memiliki pemahaman, jangan mengkhotbahkan sutra ini." Dan sutra-sutra berkata, "Pikiran adalah ajaran." Namun orang yang tidak memiliki pemahaman tidak yakin akan pikiran mereka atau bahwa dengan memahami ajaran ini mereka bisa menjadi seorang bijak. Mereka lebih suka mencari pengetahuan yang jauh dan dahaga akan benda-benda dalam ruang, gambar-buddha, lilin, dupa, dan warna-warni. Mereka menjadi mangsa kesesatan dan kehilangan pikiran mereka hingga menjadi gila.
Sutra-sutra berkata, "Ketika kamu melihat bahwa semua penampilan itu tanpa-penampilan, kamu melihat tathagata." Pintu tak terhitung jumlahnya ke kebenaran semuanya berasal dari pikiran. Ketika penampilan pikiran menjadi terawang seperti ruang, mereka lenyap. Penderitaan tanpa akhir kita adalah akar dari penyakit. Ketika para fana hidup, mereka takut akan kematian. Ketika mereka kenyang, mereka cemas akan lapar. Mereka adalah Ketidakpastian Mahabesar. Namun para bijak tidak memikirkan masa lalu. Dan mereka tidak cemas tentang mas depan. Tidak juga mereka melekat pada masa kini. Dan dari momen ke momen mereka mengikuti Sang Jalan. Jika kamu tidak juga tersadarkan akan kebenaran agung ini, kamu sebaiknya mencari seorang guru di bumi atau surga. Jangan memperparah kekuranganmu.
Terjemahan dari:
Bodhi-dharma's Bloodstream Sermon
Bodhi-dharma's Bloodstream Sermon
Dikutip dari :
https://forum.dhammacitta.org/index.php?topic=10903.0