Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Rabu, 16 November 2011

Bulan Magha Nan Agung

Bulan Magha Nan Agung
Oleh Yang Mulia Bhikkhu
Dhammakaro



Pada hari Purnama Sidhi di bulan Magha, lebih dari 25 abad yang lalu, terjadilah suatu peristiwa nan agung dalam sejarah kehidupan Sang Buddha Gotama. Tepatnya di sebuah Taman Tupai di vihara hutan Bambu (Veluvana Arama).

Peristiwa Agung nan Suci itu adalah :
  • Hadirnya 1250 bhikkhu.
  • Mereka semua telah mencapai tingkat kesucian tertinggi (Arahat).
  • Mereka adalah para bhikkhu yang ditahbis sendiri oleh Sang Buddha dengan cara Ehi bhikkhu Upasampada.
  • Mereka hadir tanpa diundang dan tanpa kesepakatan.
Pada pertemuan nan agung tersebut Sammasambuddha Gotama membabarkan Ovadapapatimokkha yang merupakan inti Ajaran Beliau yang terdiri atas tiga syair, sebagai berikut :

Kesabaran merupakan praktek Dhamma yang tertinggi; Para Buddha bersabda, Nibbana adalah yang tertinggi. Jika seseorang yang telah menjadi bhikkhu masih menyakiti, merugikan orang lain, maka sesungguhnya ia bukan seorang samana.

Jangan berbuat jahat, tambahlah kebajikan, sucikan hati dan pikiran. Inilah ajaran para Buddha.

Tidak menghina, tidak menyakiti, mengendalikan diri selaras dengan Patimokkha; Makan secukupnya, tidak berlebih-lebihan; Hidup di tempat yang sunyi, berusaha melatih samadhi. Inilah ajaran para Buddha.

Ajaran yang terkandung dalam Ovadapatimokkha, sangatlah dalam dan mempunyai makna yang demikian tinggi, begitu sulit dan rumit untuk dipahami dan diselami. Bagi kita yang penghayatan Dhammanya belum cukup, akan sangat sukar untuk mencerna dengan baik. Karena apa ? Sebab pembabaran Ovadapapatimokkha, bukanlah dibabarkan kepada umat biasa atau siswa-siswi Sang Buddha yang masih puthujjhana(belajar/belum mencapai tingkat kesucian), melainkan Ovadapapatimokkha tersebut, dibabarkan di hadapan para Arahat (bhikkhu-bhikkhu yang telah mencapai tingkat kesucian tertinggi).

Namun demikian, kita umat Buddha tetap mengambil hikmah yang terkandung dalam pembabaran Ovadapapatimokkha, walaupun tidak sesempurna yang dibabarkan. Apalagi dalam kondisi kehidupan dewasa ini, penuh dengan gejolak, karena krisis ekonomi, keamanan dan keyakinan.

Dalam bait, syair dan kalimat pertama, Sang Buddha bersabda: Khantî paramam tapo titikkha, Kesabaran merupakan praktek Dhamma yang tertinggi. Dalam suasana kehidupan masyarakat dewasa ini, yang sedang merangkak menuju proses alam demokrasi, dan diwarnai ketidaktahuan oleh sebagian masyarakat, sehingga sering terjadi tindakan yang menyimpang dari nilai dan prinsip demokrasi yang sebenarnya. Maka ajaran ini, dapat kita jadikan senjata yang ampuh. Seperti sabda Sang Buddha dalam Dhammapada ayat 5 Kebencian tidak akan pernah berakhir bila dibalas dengan kebencian. Tetapi kebencian akan berakhir bila dibalas dengan cinta kasih. Demikian pula kebrutalan, kekerasan, fitnahan dan tindakan jahat lainnya tidak akan berakhir bila dibalas dengan tindakan yang sama. Tetapi akan berakhir bila kita balas dengan kesabaran, pengertian dan kebijaksanaan.

Kesabaran dibagi menjadi dua bagian yaitu :
  • Adhivasasana Khanti (kesabaran jasmani). Yang dimaksud kesabaran jasmani adalah suatu sikap tenang dan wajar tidak mudah merengek-rengek atau berteriak-teriak dan marah-marah bila kita sedang lapar, haus, kepanasan, kedinginan dan kecapaian. Misalnya di saat kita sedang kerja bakti di vihâra atau melakukan perjalanan jauh (Dhammavisata), mendengarkan ceramah Dhamma, latihan meditasi dan aktivitas lainnya. Kekuatan kesabaran akan tumbuh dan berkembang dalam diri kita bilamana ada latihan dengan cara setahap demi setahap. Sehingga lambat laun daya tahan fisik akan terbentuk dan memberikan perisai atau pelindung pada diri kita.
  • Titikha khanti (kesabaran batin). Hal ini, merupakan tahapan yang lebih tinggi dari kesabaran jasmani. Bilamana seseorang telah memiliki kesabaran batin, ia tidak akan mudah tergoyah dan akan selalu waspada bila ada fitnahan, caci maki dan hinaan, tidak akan mudah marah dan kesal karena perbedaan paham. Tidak akan mudah tersinggung dan mendendam bila ditunjukkan kesalahannya.
Selain ajaran tersebut di atas demikian berharga bagi kita, sebagai bekal menyongsong kehidupan era baru, ada pula ajaran yang begitu penting yang harus kita pahami dan selami, untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup, yaitu: Patimokkhâ ca samvaro (mengendalikan diri selaras dengan Patimokkha atau tata tertib). Dalam Buddha Sâsana, telah dibabarkan dengan jelas dan terang tentang tata tertib umat Buddha. Seorang bhikkhu dan bhikkhuni mempunyai Patimokkhasila, seorang samanera dan samaneri mempunyai dasasila dan sekiyavattha; seorang upasaka dan upasika mempunyai Pancasila dan Atthasila.

Mengapa ada tata tertib ? Tata tertib merupakan penuntun umat manusia menuju keharmonisan, kedamaian, keselamatan dan kebahagiaan abadi, Nibbana. Bilamana kita semua dapat menjalani dan menghayati kehidupan ini sesuai dengan tata tertibnya masing-masing, maka tidak akan terjadi peristiwa-peristiwa yang tragis, sadis dan memilukan. Di sinilah pentingya memiliki Samvara. Dengan selalu mengendalikan ucapan (tidak berbicara kasar, berbohong, memfitnah, mencaci dan menghina), perbuatan (menipu, mencuri, membunuh dan berasusila) dan pikiran (etika jahat, irihati, serakah dan benci). Sesungguhnya seseorang telah menang menghadapi musuh yang paling dahsyat. Hilangnya benih keserakahan, kebencian dan kebodohan yang merupakan akhir perjuangan manusia.

Dengan menghayati dan menyelami makna yang terkandung dalam pembabaran Ovadapapatimokkha kita dapat merealisasi cita-cita tertinggi, Nibbana.

Berjuanglah semaksimal mungkin dalam kehidupan anda sebagai insan yang memiliki keyakinan, yang kokoh dan mantap tentang ajaran kebenaran. Selamat berjuang, semoga sukses.

Selamat Hari Raya Magha Puja 2543/2000
Semoga Semua Makhluk Berbahagia.

[ Dikutip dari Berita Dhammacakka, Edisi 20 Februari 2000 ]

Senin, 29 Agustus 2011

Bodhidharma, Sesepuh Zen



Bodhidharma, Sesepuh Zen



Agama  Buddha Chan (Chan Zhong) sebuah tradisi utama lainnya dari agama Buddha Mahayana, muncul sebagai akibat kunjungan bersejarah ke Tiongkok yang dilakukan oleh seorang suciwan agung dari India, Bodhidharma. Bodhidharma tiba di Kanton (Guang Dong) pada tahun 520 Masehi. Chan adalah terjemahan dari istilah Sanskerta DHYANA, yang berarti meditasi. Dengan demikian, agama Buddha Chan mensyaratkan para umatnya untuk mempraktikkan praktik-praktik meditasi yang ketat dan dalam, yang memotong habis intelektualisme. Ini terkadang membuat orang menjadi percaya bahwa praktik ini sangat mirip dengan praktik Tanah Suci. Praktik Tanah Suci juga menyingkirkan pengetahuan intelektual, serta mengajarkan para umatnya untuk berkeyakinan penuh terhadap Buddha Amitabha untuk memperoleh keselamatan, sekalipun bagi agama Buddha Chan keselamatan bukanlah "JALAN MUDAH". Bagi agama Buddha Chan, keselamatan membutuhkan kekuatan dan upaya diri untuk mencapai keselamatan, serta tidak bergantung pada Buddha mana pun untuk membantu pencapaian Pencerahan. Namun, kedua tradisi ini sama-sama populer bagi orang Tionghoa, dan kemudian juga bagi orang Jepang di abad ke-12. Di Jepang, agama Buddha Chan ini dikenal sebagai agama Buddha Zen. Dua aliran utama yang muncul dari tradisi ini adalah RINZAI (LIN CI) dan SOTO (CAO DONG), yang hanya berbeda dalam cara pendekatannya menuju Pencerahan.

Bodhidharma (470-543 Masehi) adalah sesepuh ke-28 agama Buddha, sekaligus sebagai sesepuh pertama dari agama Buddha Chan, tradisi yang didirikannya di Tiongkok. Ajarannya diwariskan turun-temurun dengan apa yang dikenal sebagai "TRANSMISI BATIN/PEWARISAN BATIN" terhadap sejumlah sesepuh. Salah satu sesepuh yang paling terkenal adalah HUI NENG (637-713 Masehi), yang merupakan sesepuh ke enam.

Sesampainya di Tiongkok, Bodhidharma dipanggil menghadap ke istana oleh Kaisar WU DI dari Dinasti Liang, yang juga merupakan sesosok umat Buddha yang penuh semangat serta yang membanggakan dirinya karena banyak mendukung agama Buddha. Karena bangga atas pengetahuannya akan agama Buddha serta sumbangsih yang telah diberikannya kepada Sangha, ia bertanya kepada sang suciwan, "seberapa banyak jasa kebajikan yang telah diperolehnya?".

"Tidak ada jasa kebajikan apa pun" adalah jawaban yang mengejutkan dari Bodhidharma.

Sang Kaisar sering kali mendengarkan ajaran dari para guru terkenal yang berkata, "jika berbuat baik, Engkau akan menerima kebaikan. Jika berbuat buruk, Engkau akan menerima keburukan. Hukum Karma tak berubah, akibat timbul dari penyebab laksana bayang-bayang mengikuti bendanya'. Namun sekarang sang suciwan menyatakan bahwa Kaisar belum memperoleh jasa kebajikan apa pun. Kaisar merasa sangat kebingungan.

Mengapa Bodhidharma menjawab seperti itu? Mungkin karena beliau tengah mencoba berkata, dengan sedikit kata-kata, bahwa jika seseorang melakukan perbuatan baik dengan niat untuk memperoleh jasa kebajikan bagi dirinya sendiri, itu bukan lagi praktik Buddhis. Itu berarti bahwa orang itu tidak benar-benar tengah mempraktikkan Dharma, namun lebih untuk memuaskan egonya sendiri ataupun meningkatkan kesejahteraannya sendiri, dan malah mungkin supaya dikenal dan dihargai. Dalam hal ini, bagaimana mungkin ada jasa kebajikan apa pun dalam perbuatan seperti ini? Dan sebagai guru Zen, ia tidak berkata banyak. Karena itu, ia hanya menjawab, "Tidak ada jasa kebajikan apa pun".

Merasa terkejut, Kaisar lalu menanyakan pertanyaan berikutnya, "Lalu, apa inti agama Buddha itu?"

Bodhidharma segera menjawab. "Kekosongan di mana-mana, tiada inti apa pun". Jawaban ini membuat Kaisar tertegun karena ia tak mampu memahami makna yang mendalam dari istilah "Tiada inti apa pun" dalam ajaran Buddha. Para guru lainnya telah bersusah-payah menjelaskan bahwa inti ajaran agama Buddha terkandung dalam doktrin-doktrin seperti Hukum Sebab Akibat (Hukum Karma), Empat Kebenaran Mulia, Cita-cita Bodhisatwa, dan sebagainya. Namun orang yang dianggapnya sebagai sosok sesepuh agung agama Buddha ini hanya menyatakan bahwa "tidak ada inti apa pun"

Lalu Kaisar menanyakan pertanyaannya yang terakhir, "Karena Engkau menyatakan bahwa dalam agama Buddha semua hal tidak memiliki inti, lalu siapakah yang tengah berbicara di hadapankun saat ini?" Bodhidharma menjawab, "Saya tidak tahu". Sang Kaisar sangat terkejut, karena ia tidak mampu memahami maksud Bodhidharma.

Dengan penuh kebingungan, Kaisar lalu menyuruh sang suciwan pergi dari istana. Demikianlah, untuk pertama kalinya Tiongkok mencicipi ajaran Chan.

Setelah itu, Bodhidharma menyendiri lagi, merenung, "Karena sesosok ahli yang terpelajar dan hebat seperti Kaisar pun tidak mampu memahami apa yang aku tengah coba sampaikan, mungkin kondisinya belum matang bagiku untuk mengajar......" Ia lalu menyendiri di sebuah gua di Biara Shao Lin (Shao Lin Si) yang terkenal itu. Disana, ia duduk dalam perenungan yang mendalam seraya menghadap ke dinding gua selama sekitar sembilan tahun, menunggu waktu yang tepat, saat ajaran-ajarannya bisa dipahami dan diterima rakyat disana.

Bodhidharma datang ke Tiongkok untuk memberikan ajarannya yang khusus, yang bisa dikatakan terkandung dalam syair ini :
                               PEWARISAN AJARAN SECARA KHUSUS DI LUAR KITAB SUCI,
                              TAK BERGANTUNG PADA KATA ATAUPUN HURUF,
                              LANGSUNG MENEMBUS KE HATI,
                              MELIHAT KE DALAM SIFAT DIRI SENDIRI.

Bodhidharma selanjutnya tinggal di Tiongkok selama sekitar 50 tahun, mengajar di saat yang tepat, dan menggunakan LANKAVATARA SUTRA (LENG JIA JING) dalam ajarannya. Ia digantikan oleh para sesepuh berikut ini :
                      - Sesepuh ke-2 : Hui Ke (486-593 Masehi)
                      - Sesepuh ke-3 : Seng Can (wafat tahun 606 Masehi)
                      - Sesepuh ke-4 : Dao Xin (580-651 Masehi)
                      - Sesepuh ke-5 : Hong Reng (602-675 Masehi)
                      - Sesepuh ke-6 : Hui Neng (638-713 Masehi)

Adalah Hui Neng, seorang pandai kayu yang buta huruf, yang akhirnya membuat agama Buddha Chan berkembang subur di Tiongkok, lebih dari sebelumnya.

Mungkin menarik untuk dicatat disini bahwa setelah kepergian Bodhidharma, Kaisar Wu Di membicarakan kejadian tersebut dengan guru spiritualnya, BAO ZHI. Sang guru bertanya kepada sang Kaisar, "Apakah Yang Mulia mengetahui siapakah orang ini sesungguhnya? Beliau ini adalah Avalokitesvara Mahasatva yang tengah mewariskan Jejak Hati Buddha....."

Betapa menyesalnya Kaisar karena telah menyuruhnya pergi dari istana. Bertahun-tahun kemudian, tatkala mengetahui sang suciwan telah wafat, Kaisar sangat berduka. Ia lalu membuatkan sebuah pahatan untuk mengenang sang sesepuh agung tersebut. Pahatan itu berbunyi :
              "ADUHAI! AKU MELIHATNYA TAPI TAK MELIHATNYA,
               AKU BERJUMPA DENGANNYA TAPI TAK BERJUMPA DENGANNYA,
               AKU BERTEMU DENGANNYA TAPI TAK BERTEMU DENGANNYA,
               SEKARANG, DAN SEBELUM INI, SUNGGUH AKU MENYESALINYA!."

Bodhidharma memiliki banyak umat yang penuh bakti, dan hari wafatnya diperingati pada tanggal 5 bulan 10 penanggalan bulan. Beliau sering kali dilukiskan sebagai sesosok biksu kelana, atau dilukiskan berdiri menjejak sebatang ilalang yang membawanya menyeberang sungai, suatu mukjizat yang membuat orang -orang yang menyakini kekuatannya ini menganggap beliau sebagai seorang ARHANT atau LUO HAN, suatu istilah dalam bahasa Mandarin yang artinya "DEWA ABADI". Menurut tradisi Tionghoa, Bodhidharma adalah salah satu dari 18 Luo Han yang sangat dekat dengan umat manusia. Lukisan kelompok Luo Han ini umumnya terdapat di banyak wihara, dan para Luo Han ini digambarkan memiliki aneka jenis kekuatan adialami, yang dilambangkan oleh hewan-hewan liar yang merunduk jinak di samping mereka, dan atau oleh benda-benda khusus yang dihubungkan dengan mereka ini. Sekalipun para Luo Han ini berada satu tataran di bawah tataran Bodhisatwa, mereka ini adalah makhluk-makhluk yang telah Tercerahkan, yang patut kita hormati. Oleh umat Buddha, Bodhidharma atau DA MO dipuja sebagai pendiri TRADISI PERENUNGAN AGUNG atau CHAN/ZEN. Dan oleh orang-orang lainnya, ia dipuja atas kekuatan perlindungannya, atau sebagai suciwan agung dari Biara Shao Lin.

Sumber : Buddha dan Bodhisatwa dalam agama Buddha Tionghoa
Penerbit : Yayasan Serlingpa Dharmakirti

Senin, 18 Juli 2011

Warga negara yang baik dalam Buddhisme

Warga negara yang baik dalam Buddhisme

Oleh Ari Mariyono, S.Ag   
 
Komponen suatu negara merupakan bentuk bagian yang sangat majemuk yang mana terdiri dari berbagai jenis budaya, adat istiadat yang membentuknya. Dalam hal ini tidaklah terlepas dari Peran Sumber Daya Manusia yang menempati bagian negara tersebut, yaitu kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran bangsa itu dapat dikondisikan oleh Sumber Daya Manusia yang menempatinya. Peran warga negara untuk memajukan bangsa dan negara merupakan kewajiban sepenuhnya yang harus dipatuhi oleh semua penduduk sebuah negara tersebut. 

Kewajiban Menjadi Warga Negara 

Pada hakikatnya setiap warga negara memiliki kewajiban dalam pembelaan tanah air serta wajib menyampaikan pendapatnya untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan negara serta wajib mematuhi peraturan yang ada dalam negaranya. Hal ini diatur dalam undang-undang yang berlaku dalam kenegaraannya masing-masing. Di Indonesia hal tersebut diatur dalam UUD 1945 (Kansil, 2004: 50-54) yaitu terdapat dalam pasal-pasal dalam Undang Undang dasar yaitu: 

Pasal 27 ayat tiga, Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
Pasal 28 ayat 3 poin kesatu, Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Pasal 28 ayat 3 poin kedua, Setiap warga negara berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Pasal 30 ayat 1, Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
Pasal 30 ayat 2, Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. 

Pasal-pasal tersebut merupakan sarana untuk warga negara dalam menyumbangkan kemampuan, bakat, serta kepandaian dalam memajukan serta mengabdikan diri pada bangsa dan negara. 

Pandangan agama Buddha terhadap peran sebagai warga negara dimulai dari membangun individu manusia yang bermoral baik, menjalankan norma yang ada dalam masyarakat dan agama serta mentaati peraturan yang ada dalam suatu negara. Dhammananda (2003: 416) menekankan bahwa kedamaian suatu negara atau dunia akan tercapai jika setiap indivudu dapat mengamankan dirinya sehingga kedamaian dapat dimulai dari diri sendiri dan berkembang dalam lingkungan yang lebih luas. Dengan dimulai dari individu yang baik maka dapat diterima dalam masyarakat, sehingga mampu memberikan ide atau gagasan untuk diterima di dalam masyarakat. Gagasan atau ide yang diterima tentunya memiliki manfaat untuk kemajuan bersama. Tindakan sederhana demikian merupakan contoh peran sebagai warga negara. 

Selain itu Buddha menekankan bahwa seseorang harus memiliki suatu keahlian sehingga dapat menghidupi dirinya sendiri dan memberikan manfaat terhadap makhluk lain, maupun dapat berperan dalam kepentingan banyak orang. Buddha bersabda dalam Ma?ggala sutta, Khuddakapatha (?anamoli, 2005: 146) bahwa seseorang yang memiliki banyak pengetahuan dan keterampilan merupakan berkah utama. Untuk mewujudkan manusia yang mempunyai keahlian serta keterampilan, Buddha dalam Angutara Nikãya (Hare, 2001: 188) menekankan manusia untuk: 
(1) menjadi rajin dan terampil, 
(2) menjaga harta kekayaan, 
(3) memiliki dan menjadi teman yang baik, serta 
(4) memiliki mata pencaharian yang benar. Nasihat ini jika diterapkan pada setiap individu, maka akan tercipta warga negara yang memiliki kepedulian terhadap sesama, tanggung jawab yang tinggi sehingga kedamaian dan ketenteraman dapat terwujud dengan adanya peran yang aktif dari warga negaranya.

Dalam agama Buddha warga negara dilihat dari cara menjalani kehidupan terdiri dari dua kelompok besar (Rashid,1997: 23) yaitu:
1. Gharavasa (umat awam) adalah orang yang menjalani hidup berkeluarga atau tidak berkeluarga yaitu mempunyai pekerjaan, seperti: petani, pedagang, militer dan lain-lain yang memberikan penghasilan untuk biaya kehidupan mereka.
2. Pabbajita adalah orang yang meninggalkan kehidupan berumah tangga, keduniawian, dan menjalani hidup suci (brahmacari). Pabbajita terdiri dari bhikkhu, bhikkhuni, samanera, samaneri (Panjika 2004: 341 dan 372) bhikkhu adalah rohaniawan agama Buddha laki-laki, bhikkhuni adalah rohaniawan agama Buddha perempuan, samanera adalah calon bhikkhu, samaneri adalah calon bhikkhuni.

Dilihat dari dua cara kehidupan tersebut masing-masing mempunyai peran dalam upaya pembelaan negara. Dalam hal ini umat awam lebih bebas dalam mengekpresikan dirinya dalam kehidupan bernegara jika dibandingkan dengan para pabbajita. Dalam Buddhisme, umat Buddha perumah tangga dapat berpartisipasi dalam semua aspek kehidupan politik, termasuk menguasai dan mempergunakan kekuasaan politik. Selain itu menurut Dammananda (2003: 419) umat Buddha (khusus umat awam) diperbolehkan ikut dalam peperangan, hal ini seperti yang diceritakan bahwa suatu ketika Sinha, seorang jenderal angkatan bersenjata, menghadap Buddha dan menanyakan tentang peperangan untuk alasan yang benar diperbolehkan. 

Dalam Dhamma menegaskan jika terdapat seseorang yang patut menerima hukuman harus dihukum. Dan ia yang patut diberi hadiah harus diberi hadiah. Jangan melukai makhluk hidup apapun, tetapi berlakulah adil, penuh cinta, dan kebaikan. Orang yang dihukum atas kejahatannya akan terluka bukan dari niat buruk hakimnya tetapi melalui tindakan jahat itu sendiri. Dalam hal ini Buddha mengajarkan bahwa semua peperangan di mana manusia mencoba membantai saudaranya sangat disayangkan. Terkecuali jika tidak ada cara lain mereka yang terlibat perang untuk memelihara kedamaian dan keteraturan, setelah menghabiskan segala cara untuk menghindari konflik. 

Dalam Dhamma menekankan bahwa jika seseorang yang berjuang demi kedamaian dan kebenaran akan mendapatkan ganjaran besar: bahkan kekalahannya akan dianggap sebagai kemenangan. Namun dalam hal ini Buddha tetap lebih mengutamakan bentuk penyelesaian masalah dengan perdamaian karena perdamaian merupakan kemenangan sepenuhnya.

Sebagai warga negara para pabbajita mempunyai peran dalam mengabdikan dirinya dalam kenegaraan. Menurut Dhammananda (http://www.samaggiphala.or.id/naskahdammadtl.phpidhalcontbuddhism_politik.htmlpathhmid) peran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Para pabbajita dapat mendidik para raja dan menteri (para politisi) dengan mengajarkan Dharma kepada mereka, menjadi penengah dalam berbagai permasalahan politik dan melindungi hak-hak para warga negara pada saat diperlukan. 
2. Para pabbajita tidak terlibat sebagai pribadi dalam pengendalian dan pelaksanaan kekuasaan politik. Mereka tidak terlibat dalam pergulatan kekuasaan politik. Dengan kata lain, para pabbajita boleh terlibat dalam politik tetapi harus dibatasi misalnya para pabbajita hanya boleh diminta untuk memberikan pertimbangan atau nasihat dalam pengambilan keputusan, tetapi para pabbajita tidak boleh menjadi politisi. 

Dalam pembahasan ini Dhammananda berbicara tentang tidak ada kerugian bagi para pabbajita berpartisipasi dalam politik artinya para pabbajita berbicara tentang pendidikan Dhamma dan menjadi penengah dalam permasalahan politik namun bukan ikut dalam perebutan kekuasaan politik. Hal ini berdasarkan alasan-alasan yang tepat, seperti (http://www.samaggiphala.or.id/naskahdammadtl. phpidhalcontbuddhism_politik.htmlpathhmid):
(a) Hal itu disebabkan oleh sejarah politik sosial seperti dalam kasus para Dalai Lama di Tibet.
(b) Mereka yang tidak mempunyai pilihan lain karena lingkungan politik tempat mereka berada. Misalnya, apabila mereka dipilih oleh pihak-pihak yang berwenang untuk menjabat sebagai menteri, wakil rakyat, anggota badan legislatif, dan lainnya.

Sebagai warga negara keteladanan Buddha sangatlah luas yaitu terbukti bahwa telah memberikan ajaran moral kepada umatnya. Setelah mencapai Kebuddhaan, Buddha menempuh perjalanan ke banyak tempat di India untuk membabarkan Dhamma. Selama proses pembabaran Dhamma, Buddha terlibat dalam berbagai peristiwa yang berkenaan dengan politik. Buddha menyelesaikan perselisihan serta memberikan pendidikan nilai-nilai spiritual kepada para raja dan menteri. Buddha tidak terlibat dalam pengendalian dan pelaksanaan kekuasaan politik. Buddha juga tidak terlibat dalam pergulatan kekuasaan politik, tetapi Buddha peduli terhadap situasi kesejahteraan negara. Sebagai contoh dalam Dhammapada Atthakatha Buddha berperan dalam mendamaikan perang saat suku Koliya dan Sakya memperebutkan air sungai, Buddha memberi nasihat kepada mereka agar tidak melakukan peperangan. 

Buddha bersabda “Demi keperluan sejumlah air, yang sedikit nilainya, kalian seharusnya tidak mengorbankan hidupmu yang jauh sangat berharga dan tak ternilai” (Setyabudi dan Tim Penerjemah Vidyãsenã, 1997: 318). Jika Beliau tidak menghentikan peperangan maka pertumpahan darah akan terjadi. 


Penutup
Jika semua manusia mengamalkan ajaran moral dari Buddha maka kedamaian seluruh dunia akan terwujud. Di mana setiap warga negara dapat menyelesaikan segala permasalahan dengan sikap damai, tanpa peperangan dan bentuk konfik apapun, dengan demikian akan tercipta keadaan harmonis dan keseimbangan di semua bidang dan masing-masing individu berperan dalam mewujudkan kesejahteraan bersama. 

Referensi
Dhammananda, Sri. 2003. Keyakinan Umat Buddha. Terjemahan oleh Ida Kurniati. 2005. Jakarta: Yayasan Penerbit Karania.

-------------------. 2008. Agama Buddha dan politik (Online) (http://www.samaggiphala.or.id/naskahdamma_dtl.phpid306hal3contbuddhism_politik.htmlpathhmid diakses 12 April 2008). 

Hare, E. M. (Ed.). 2001. Thebook of Gradual Sayings, vol III (Anguttara Nikaya). Oxford: The Pali Texts Society. Kansil. 2004. Sekitar UUD 1945 Dewasa Ini. Jakarta: Perum Percetakan Negara Republik Indonesia. 

Nyanamoli. (Ed.). 2005. The Minor Reading (Khuddakapatha). Oxford: The Pali Texts Society. 

Panjika. 2004. Kamus Umum Buddha Dhamma. Jakarta: Tri Sattva Buddhis Center.

Rashid, Teja SM. 1997. Sila dan Vinaya. Jakarta: Buddhis Bodhi.

Setyabudi, Dharmakusuma, dan Tim Penerjemah Vidyãsenã. 1997. Dhammapada Atthakatha. Jogyakarta: Vidyãnenã

Sabtu, 18 Juni 2011

Bergaul Dengan Orang Bijak

Bergaul Dengan Orang Bijak

Dikisahkan pada suatu waktu, ada sejumlah besar pedagang yang sedang berlayar ke samudera dengan sebuah kapal. Ditengah perjalanan, kapal mereka diterjang badai dengan amat dahsyatnya sehingga mengalami kerusakan berat. Bagian dasar kapal bocor dan air sudah mulai masuk ke dalam. Diancam bahaya seperti ini mereka menjadi sangat cemas dan ketakutan.

Masing-masing mencoba mengatasi kejadian yang menegangkan itu dengan cara sendiri-sendiri. Ada yang menangis meraung-raung meratapi 'nasib' yang sedang menimpa diri mereka.

Ada juga yang dengan gencar menyebut mantra atau aji-aji yang dipercaya dapat menangkal badai. Ada pula yang sambil berkomat-kamit mengeluarkan segala jinat, 'hu' atay pusaka yang selama ini selalu dibawa-bawa kemana pun mereka pergi. Mereka percaya benda-benda itu mampu melindungi diri mereka dari segala macam bahaya. Selain itu ada pula yang sembari menjanjikan kaul bersujud memohon ampun kepada dewa badai supaya tidak murka dan berhenti meniupkan badai. Adapula yang menengadahkan kedua telapak tanggannya ke langit, mencoba memelas kepada Sang Pencipta sekaligus pencabut nyawa bagi umat manusia. Mereka mencoba memelas dengan memperlihatkan ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, kebaktian dan ketakwaan kepadanya supaya hari kematiannya diperpanjang lagi.

Di antara pedagang itu, ternyata ada seorang laki-laki yang bukannya sibuk mencari jalan keluar dalam mengatasi musibah tersebut, melainkan hanya duduk dengan tenangnya di atas geladak kapal. Tidak ada rasa taku atau cemas sedikit pun di wajahnya, seolah-olah kejadian itu sama sekali tidak tampak olehmatanya, jerit-jerit kekhawatiran itu tidak terdengar oleh telinganya, suasana yang menegangkan itu tidak mencekam batinnya, dan bahaya yang mengerikan itu tidak disadarinya.

Melihat pemandangan yang aneh tersebut, semua teman seperjalanannya merasa sangat heran. Mereka kemudian berbondong-bondong mendatanginya untuk menanyakan mengapa ia bersikap demikian.

Sebelum menjelaskan alasannya, laki-laki bijak itu mengungkapkan betapa sia-sianya semua upaya yang ditempuh oleh teman-temannya dalam mengatasi masalah tersebut. Kehidupan umat manusia, juga makhluk-makhluk lainnya, sesungguhnya tidaklah bergulir mengikuti guratan nasib atau takdir yang telah ditentukan sebelumnya.

Dunia ini bukanlah sebuah panggung sandiwara dimana umat manusia dipaksa memerankan adegan-adegan sebagaimana yang digubah sebelumnya. Setiap makhluk mempunyai hak dan kepercayaan yang kesahihannya tidak pernah terbuktikan.

Fenomena-fenomena alam terjadi dan berubah hanya oleh sebab-sebab yang alamiah atau ilmiah, sama sekali tidak terpengaruh oleh kepercayaan yang seharusnya sudah punah sejak kebangkitan peradaban manusia. Demikian pula dengan jimat, 'hu' pusaka dan benda-benda keramat lainnya. Yang dapat menjadi pelindung sejati bagi diri seseorang bukanlah sesuatu yang berasa di luar dirinya, apalagi hanya sekedar benda mati yang tak berjiwa semacam itu.

Pada jaman dimana segala kekuatan alam sudah dapat dijelaskan serta dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan, seseorang tidaklah semestinya takut lagi pada dewa-dewa 'tertentu' yang keberadaannya tidak pasti. Sungguh memprihatinkan apabila seseorang termakan oleh promosi tentang tokoh-tokoh fiktif yang digambarkan sebagai penyelamat agung yang senantiasa menolong umat manusia. Setiap orang sesungguhnya dapat menjadi juru selamat bagi diri sendiri.

Karena itu, seseorang hendaknya bersandar pada diri sendiri, bukan kepada makhluk kudus lain betapa pun luhur kedudukannya. Hukum Alam tidaklah pernah pandan gbulu atau berpihak pada siapa pun, dan tidaklah dapat disuap atau dibujuk dengan doa-doa permohonan.

Karena itu, tidaklah perlu berdoa pada suatu makhluk yang bersikap sewenang-wenang, yang eksistensinya sangat meragukan. Manusia bukanlah makhluk rendah yang harus mengemis-ngemis keselamatan apalagi hanya sekedar 'makanan' dan 'rejeki'.

Selanjutnya laki-laki bijak itu menjelaskan mengapa ia sama sekali tidak kelihatan takut, cemas atau khawatir atas bahaya yang mengancam dirinya. Ia hanya duduk dengan tenang karena sudah menyadari serta mempertimbangkan bahwa tidak ada jalan keluar yang wajar dari bahaya tersebut.

Kematian sesungguhnya bukan suatu hal yang menakutkan. Kematian tidak lebih hanyalah padamnya lima kelompok kehidupan. Cepat atau lambat, hal ini pasti menimpa setiap orang. Bagaikan batu karang besar yang puncaknya menjulang ke angkasa, niscaya berubah dan hancur; demikian pula perubahan, kelapukan dan kematian menguasai semua makhluk, tak terkecuali - apakah dia seorang bangsawan, agamawan, pedagang, pekerja atau orang hina-dina. Tidak ada satu makhluk hidup pun yang dapat terhindar dari kematian. Dimana ada kelahiran disitu pula ada kematian. Ini adalah suatu Hukum Alam yang tidak dapat dielakkan.

Bila kita renungkan secara mendalam, seseorang yang dipandang secara duniawi sebagai makhluk yang hidup sebenarnya setiap saat mengalami kematian dan kelahiran kembali yang berulang-ulang. Tidak ada satu bagian pun dair lima kelompok kehidupan yang dapat bertahan terus, kekal.

Rupa atauu badan jasmaniah mulai dari yang tertampak dengan jelas sampai dengan sel-sel yang sangat kecil sekalipun senantiasa mengalami perubahan atau kerusakan. Begitu pula dengan perasaan, ingatan, corak batin dan kesadaran. Semua yang berkondisi tidak kekal.

Apabila mempunya pengertian semacam itu, dan yakin atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan semasa hidupnya - yang menjadi salah satu kondisi penentu bagi kehidupan selanjutnya, maka seseorang tidak akan merasa takut, cemas atau khawatir atas kematian yang bakal menimpa dirinya.

Kematian dapat diterima dalam kewajaran. Dengan mengisi kehidupan dengan perbuatan-perbuatan baik melalui pikiran, ucapan dan tindakan - seseorang dapat mengharapkan kehidupan mendatang yang baik dan menetukan kehidupan mendatang. Apabila seseorang tercekam rasa ketakutan yang tak beralasan (perwujudan dari 'dosa'), melekat pada kehidupan, dunia, harta benda, kemasyuran, kedudukan, kehidupan mendatang bagi dirinya dapatlah dipastikan yaitu suatu kehidupan, yaitu kehidupan yang suram, penuh penderitaan.

Sebaliknya dengan menjaga keadaan batin agar tetap tenang serta mengembangkan pengertian benar; maka kehidupan mendatang yang cerah dan menyenangkan adalah suatu harapan yang nyata bagi dirinya. Salah satu dari sekian banyak cara untuk menenangkan batin ialah dengan merenungkan jasa kebajikan yang pernah diperbuat semasa hidupnya.

Diceritakan oleh laki-laki bijak itu bahwa menjelang keberangkatannya menuju samudra, ia telah mempersembahkan dana kepada Sangha, menyatakan pernaungan pada Sang Tiratana, berpantang dari pembunuhan, pencurian, perzinahan. pendusataan dan pemabukan. Jasa kebajikan inilah yang menjadi pokok perenungan bagi dirinya di saat-saat yang kritis. Dalam Agama Buddha, perenungan - perenungan ini disebut Caganussati dan Sila nussati yang merupakan dua di antara 10 macam perenungan (Annusati 10).

Mendengar penjelasan laki-laki bijak itu, hilanglah perasaan takut yang sebelum ini sangat mencekam para pedagang yang sedang mengalami musibah tersebut. Kini sadarlah mereka atas hakikat kehidupan di dunia ini. Timbullah keyakinan yang benar terhadap Sang Tiratana ; Buddha, Dhamma dan Sangha, di hadapan laki-laki bijak itu mereka semua menyatakan kebulatan tekadnya untuk menjalani Pancasila.

Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap pembunuhan, air samudra menggenang hingga sebatas lutut. Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap pencurian, air samudra menggenang sebatas pinggang. Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap perzinahan, air samudra menggenang sebatas dada. Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap pendustaan, air samudra menggenang hingga sebatas leher. Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap mabuk-mabukan, air semudra menggenang sebatas mulut.

Begitu kelima sila selesai diucapkan semuanya, laki-laki bijak itu memberikan nasihat singkat : "Tidak ada pelindung selain diri sendiri. Tidak ada penyelamat lain selain diri sendiri. Bagaimanapun kehidupan mendatang, semua itu tergantung dari diri Anda sendiri, bukan orang lian, dewa, malaikat maupun makhluk adikodrati.

"Anda sekalian hendaknya merenungkan sila yang telah Anda tekadkan untuk dijalankan dengan kesungguhan hati. Pelaksanaan Dhamma yang telah Anda lakukan, inilah yang menjadi pelindung Anda yang sejati."

Para pedagang itu menuruti serta melaksanakan nasihat laki-laki bijak itu. Mereka akhirnya sanggup menyambut kematian dengan penuh ketenangan dan kemantapan diri, seolah-olah menyambut seorang tamu. Begitu kesadaran ajal (cuti-citta) mereka padam, mereka semua terlahir kembali di Alam Surga Tavatimsa. Mereka menikmati kebahagiaan surgawi di alam sana dalam waktu yang lama berkat tekadnya yang kuat dalam menjalankan Pancasila.

Dari kisah di atas, tampaklah dengan jelas betapa besar peranan seorang bijak dalam mengarahkan orang-orang lain pada jalur yang tepat. Dengan modal teladan pribadinya yang nyata dan kearifannya., orang bijak sanggup mengikis habis kesesatan batin yang bercokol pada orang-orang lain dan sebaliknya memupuk keyakinan surgawi, hanyalah sebagian kecil dari banyak manfaat yang dapat diraih dengan menjalin pergaulan dengan orang bijak. Singkat kata,"Bergaul dengan orang bijak" adalah suatu Berkah Utama.

Sementara orang mungkin berpendapat bahwa orang bijak tersebut dapatlah dianggap 'gagal' menolong serta menyelamatkan teman-teman seperjalanannya karena mereka semua akhirnya mati terbenam dalam samudra. Sesungguhnya, makna 'keselamatan' dalam pandangan Agama Buddha memang sangatlah berbeda jauh dengan konsep yang dianut oleh beberapa kepercayaan dan agama lain.  Orang bijak bukanlah seorang Buddha Abadi, bodhisattva ideal ataupun juru selamat yang menghidupkan orang mati, menyembuhkan sakit, atau menyelamatkan dari segala bencana malapetaka bagi mereka yang percaya atau melafalkan namanya.

Bagi orang bijak, semua itu sesungguhnya hanyalah suatu keselamatan yang semu ~ walaupun seandainya merupakan suatu kenyataan bukan semata-mata dongeng belaka. Apalah artinya suatu kehidupan, kesembuhan atau keselamatan, apabila seseorang tidak tahu akan kesunyataan mulia (ariya-sacca). Orang bijak tidak ingin menjadi seorang penghibur yang berusaha mengelabuinya, menutupi atau menjauhkan orang-orang lain dari hakikat hidup. Tetapi, sebaliknya dengan berbagai cara orang bijak senantiasa berusaha agar mereka dapat menyadari, menatap serta menerima hakikat hidup dengan pengertian benar. Inilah sesungguhnya keselamatan yang sejati.

Pergaulan dengan orang bijak adalah suatu faktor penunjang bagi timbulnya kebajikan, pengetahuan, pandangan benar, kearifan dan kebijaksanaan.

Selasa, 31 Mei 2011

Buddhisme Dan Politik

Buddhisme Dan Politik

Oleh: Yang Mulia Bhikkhu K. Sri. Dhammananda Nayaka Mahathera
 


Sang Buddha berasal dari sebuah kasta ksatria dimana Beliau banyak bergaul dengan para raja, pangeran, dan menteri.Walaupun demikian, Beliau tidak pernah memaksakan pengaruh kekuatan politik untuk memperkenalkan ajaranNya. Ataupun memperbolehkan ajaranNya disalahgunakan untuk memperoleh kekuatan politik. .Tetapi saat ini banyak politisi mencoba menyeret nama agama Buddha ke dalam politik dengan memperkenalkan Beliau sebagai komunis, kapitalis, atau bahkan seorang imperialis. Mereka telah lupa bahwa filosofi politik baru sebagaimana yang telah kita kenal benar-benar berkembang di dunia barat, jauh setelah masa Sang Buddha.

Usaha untuk mencampuradukkan agama dengan politik pun sering terjadi. Padahal, kalau dilihat agama berdasarkan pada moralitas, kemurnian, dan keyakinan, sedangkan dasar politik adalah kekuatan. Dilihat dari sejarah masa lalu, agama telah sering digunakan untuk memberi hak bagi orang-orang yang berkuasa. Agama digunakan untuk membenarkan perang dan penaklukan, penganiayaan, kekejaman, pemberontakan, penghancuran karya~karya seni dan kebudayaan.

Ketika agama.digunakan sebagai perantara tindakan-tindakan politik, agama tidak lagi dapat memberikan keteladanan moral yang tinggi dan derajatnya direndahkan oleh kebutuhan-kebutuhan politik duniawi.

Tujuan Buddha Dhamma tidak diarahkan pada penciptaan lembaga-lembaga politik baru dan menyusun rencana-rencana politik. Pada dasarnya, agama mencari pendekatan masalah-masalah kemasyarakatan dengan memperbaiki individu-individu dalam masyarakat tersebut dan menganjurkan beberapa prinsip umum untuk dituntun ke arah nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Memperbaiki kesejahteraan anggota-anggotanya dan lebih adil dalam membagi sumber daya-sumber daya.

Sistem politik dapat menjaga kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat, tapi ada batasannya, Bagaimanapun idealnya suatu sistem politik, tidak dapat menimbulkan kedamaian dan kebahagiaan selama orang-orang dalam sistem tersebut dikuasai keserakahan, kebencian, dan kebodohan. Sebagai tambahan, tidak peduli sistem politik apa yang diambil, ada faktor-faktor universal tertentu yang harus dialami anggota-anggota masyarakat, yaitu pengaruh-pengaruh kamma baik dan buruk, kurangnya kepuasan sejati atau kebahagiaan abadi dalam dunia yang bersifat dukkha (ketidakpuasan), anicca (ketidakkekalan), anatta (tanpa keakuan). Bagi umat Buddha tiada tempat dalam samsara di mana ada kebebasan sejati bahkan tidak di surga-surga atau dunia para Brahma.

Meskipun suatu sistem politik yang baik dan adil menjamin hak asasi manusia dan mengawasi keseimbangan, penggunaan kekuatan adalah suatu kondisi penting bagi suatu kehidupan bahagia dalam masyarakat. Masyarakat seharusnya tidak membuang-buang waktunya dengan pencarian tanpa akhir bagi sistem politik muktahir di mana manusia dapat bebas sepenuhnya. Karena kebebasan penuh tidak dapat ditemukan dalam sistem apapun melainkan hanya dalam batin yang bebas. Untuk menjadi bebas, orang-orang harus mencari ke dalam pikiran mereka sendiri dan bekerja ke arah pembebasan diri mereka sendiri dari belenggu kebodohan dan keinginan.

Kebebasan dalam arti sebenarnya hanya mungkin ketika manusia menggunakan Dhamma untuk mengembangkan sifatnya melalui perkataan, perbuatan yang baik dan melatih pikirannya sedemikian rupa untuk mengembangkan potensi mentalnya dan mencapai tujuan akhir yaitu penerangan.

Sementara mengetahui manfaat memisahkan agama dari politik dan keterbatasan sistem politik dalam menimbulkan kedamaian dan kebahagiaan. Ada beberapa aspek dari ajaran Sang Buddha yang mempunyai hubungan dekat dengan perencanaan politik masa kini.

Pertama-tama, Sang Buddha berbicara tentang kesamaan dari semua manusia jauh sebelum Abraham Lincoln. Dan kelas-kelas juga kasta~kasta adalah pembatas buatan yang didirikan oleh masyarakat. Satu-satunya klasifikasi manusia, menurut Sang Buddha, adalah berdasarkan pada kualitas perbuatan moral mereka.

Kedua, Sang Buddha mendorong jiwa kerjasama sosial dan partisipasi aktif dalam masyarakat modern.

Tiga, karena tak seorang pun ditunjuk oleh Sang Buddha sebagai penerus, anggota-anggota Sangha dituntun oleh Dhamma dan Vinaya, atau singkatnya, Aturan Hukum. Hingga hari ini setiap anggota Sangha mematuhi Aturan Hukum yang menentukan dan menuntun perbuatan mereka.

Keempat, Sang Buddha mendorong jiwa konsultasi dan proses demokrasi. Ini diperlihatkan dalam kelompok Sangha yang semua anggotanya mempunyai hak untuk memutuskan masalah-masalah umum. Ketika.suatu pernyataan serius timbul dan membutuhkan perhatian, persoalan-persoaian dihadapkan kepada para bhikkhu dan dibahas dalam sikap demokrasi sistem dewan perwakilan rakyat yang digunakan masa kini. Prosedur pemerintahan ini mungkin meqgejutkan bagi banyak orang yang mengetahui bahwa dalam majelis agama Buddha di India lebih dari 2500 tahun yang lalu dapat ditemukan dasar praktek dewan perwakilan rakyat mesa kini. Seorang petugas khusus serupa dengan "Tuan Pembicara" ditunjuk untuk menjaga martabat majelis. Petugas kedua, yang berperan serupa dengan kepala penggerak dewan perwakilan rakyat, juga ditunjuk untuk melihat apakah kuorum terjamin. Masalah-masalah diajukan dalam bentuk suatu mosi yang terbuka untuk diskusi. Dalam beberapa kasus hal itu dilakukan satu kali, dalam kasus lain tiga kali. Demikian praktek dewan perwakilan rakyat, suatu rancangan dibaca tiga kali sebelum menjadi hukum. Jika diskusi memperlihatkan suatu perbedaan pendapat, hal itu harus diselesaikan dengan pengambilan suara mayoritas melalui pemungutan suara.

Pendekatan agama Buddha terhadap politik adalah moralisasi dan tanggung jawab penggunaan kekuatan masyarakat. Sang Buddha mengkotbahkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian sebagai pesan universal. Beliau tidak menyetujui kekerasan atau penghancuran kehidupan dan mengumumkan bahwa tidak ada satu hal yang dapat disebut sebagai suatu perang 'adil'. Beliau mengajarkan, "Yang menang melahirkan kebencian, yang kalah hidup dalam kesedihan. Barang siapa yang melepaskan keduanya baik kemenangan dan kekalahan akan berbahagia dan damai". Sang Buddha tidak hanya mengajarkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian, Beliau mungkin guru agama pertama dan satu-satunya yang pergi ke medan perang secara pribadi untuk mencegah pecahnya suatu perang. Beliau menguraikan ketegangan antara suku Sakya dan suku Koliya yang siap berperang atas air Sungai Rahini. Beliau juga meminta Raja Ajatasattu supaya jangan menyerang Kerajaan Vajji.

Sang Buddha mendiskusikan penting dan perlunya suatu pemerintahan yang baik. Beliau memperlihatkan bagaimana suatu negara dapat menjadi korup, merosot nilainya dan tidak bahagia ketika kepala pemerintahan menjadi korup dan tidak adil. Beliau berbicara menentang korupsi dan bagaimana suatu pemerintahan harus bertindak berdasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan.

Suatu kali Sang Buddha berkata, "Ketika penguasa suatu negara adil dan baik para menteri menjadi adil dan baik; ketika para menteri adil dan baik, para pejabat tinggi adil dan baik; ketika para pejabat tinggi adil dan baik, rakyat jelata menjadi baik; ketika rakyat jelata menjadi baik, orang-orang menjadi adil dan baik". (Anguttara Nikaya)

Di dalam Cakkavatti Sihananda Sutta, Sang Buddha berkata bahwa kemerosotan moral dan kejahatan seperti pencurian, pemalsuan, kekerasan, kebencian, kekejaman, dapat timbul dari kemiskinan. Para raja dan aparat pemerintah mungkin menekan kejahatan melalui hukuman, tetapi menghapus kejahatan malalui kekuatan, takkan berhasil.

Dalam Kuradanda Sutta, Sang Buddha menganjurkan pengem'bangan ekonomi sebagai ganti. Kekuatan untuk mengurangi kejahatan. Pemerintahan harus menggunakan sumber daya negara untuk memperbaiki keadaan ekonomi negara. Hal itu dapat dimulai pada bidang pertanian dan pengembangan daerah pedalaman, memberikan dukungan keuangan bagi pengusaha dan perusahaan, memberi upah yang cukup bagi pekerja untuk menjaga suatu kehidupan yang layak sesuai dengan martabat manusia.

Dalam Jataka, Sang Buddha telah memberikan10 aturan untuk pemerintahan yang baik, yang dikenal sebagai "Dasa Raja Dhamma". Kesepuiuh aturan ini dapat diterapkan bahkan pada masa kini oleh pemerintahan manapun yang berharap dapat mengatur negaranya. Peraturan-peraturan tersebut sebagai berikut :

  1. Bersikap bebas/tidak picik dan menghindari sikap mementingkan diri sendiri.
  2. Memelihara suatu sifat moral tinggi.
  3. Siap mengorbankan kesenangan sendiri bagi kesejahteraan rakyat.
  4. Bersikap jujur dan menjaga ketulusan hati.
  5. Bersikap.baik hati dan lembut.
  6. Hidup sederhana sebagai teladan rakyat.
  7. Bebas dari segala bentuk kebencian.
  8. Melatih tanpa kekerasan.
  9. Mempraktekkan kesabaran, dan
  10. Menghargai pendapat masyarakat untuk meningkatkan kedamaian dan harmoni.

Mengenai perilaku para penguasa, Beliau lebih lanjut menasehatkan:

  • Seorang penguasa yang baik harus bersikap tidak memihak dan tidak berat sebelah terhadap rakyatnya.
  • Seorang penguasa yang baik harus bebas.dari segala bentuk kebencian terhadap rakyatnya.
  • Seorang penguasa yang baik harus tidak memperlihatkan ketakutan apa pin dalam penyelenggaraan hukum jika itu dapat dibenarkan.
  • Seorang penguasa yang baik harus memiliki pengertian yang jernih akan hukum yang diselenggarakan. Hukum harus diselenggarakan tidak hanya karena penguasa mempunyai wewenang untuk menyelenggarakan hukum. Dan.dikerjakan dalam suatu sikap yang masuk akal dan dengan pikiran sehat, (Cakkavati Sihananda Sutta)

Dalam Milinda Panha dinyatakan: Jika seseorang yang tidak cocok, tidak mampu tidak bermoral, tidak layak, tidak berkemampuan, tidak berharga atas kedudukan sebagai raja, telah mendudukkan dirinya sendiri sebagai seorang raja atau seorang penguasa dengan wewenang besar, dia akan menjadi sasaran penyiksaan. Menjadi sasaran berbagai macam hukuman oleh rakyat. Karena dengan keberadaannya yang tidak cocok dan tidak berharga, dia telah menempatkan dirinya secara tidak tepat dalam kedudukannya. Sang penguasa seperti halnya orang lain yang kejam dan melanggar moral etika dan aturan dasar dari semua hukum-hukum sosial umat manusia, adalah sebanding sebagai sasaran hukuman dan lebih lagi, yang pantas menjadi kecaman adalah penguasa yang berbuat sendiri sebagai seorang perampok masyarakat. Dalam suatu cerita Jataka, disebutkan bahwa seorang penguasa yang menghukum orang yang tidak bersatah dan tidak menghukum orang telah melakukan kejahatan, tidak cocok untuk mengatur suatu negara.

Raja yang selalu memperbaiki dirinya sendiri dan secara hati-hati memeriksa tingkah lakunya baik perbuatan, ucapan dan pikiran, mencoba untuk rnenemukan dan mendengar pendapat publik apakah dia telah bersalah atau tidak atas kesalahan atau kekeliruan dalam mengatur kerajaannya. Jika ditemukan bahwa dia telah mengatur secara tidak benar, masyarakat akan mengeluh bahwa mereka telah dihancurkan oleh penguasa yang jahat dengan perlakuan yang tidak adil, hukuman, pajak, atau tekanan-tekanan lain termasuk korupsi dalam segala bentuk, dan mereka akan bereaksi menentangnya dalam satu atau lain cara. Sebaliknya, jika seorang penguasa mengatur dengan cara yang benar mereka akan memberkahinya dengan "Panjang umur Yang Mulia" (Majjhima Nikaya)

Penekanan Sang Buddha pada tugas moral dari seorang penguasa untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat telah mengilhami Raja Asoka pada abad ketiga Sebelum Masehi untuk berbuat demikian. Raja Asokaa, contoh seorang raja berhasil dengan prinsip ini, berketetapan untuk hidup menurut Dhamma dan mengkhotbahkan Dhamma serta melayani rakyatnya dan semua umat manusia. Dia mengajarkan tanpa kekerasan kepada tetangga-tetangganya, meyakinkan mereka dan mengirim utusan kepada para raja membawa pesan perdamaian dan tanpa agresi. Dengan penuh semangat mempraktekkan kebajikan moral, .kejujuran, ketulusan, welas asih, kebaikan hati, tanpa kekerasan, penuh perhatian dan toleransi terhadap semua manusia, tidak tinggi hati, tidak tamak, dan melukai binatang. Beliau mendorong kebebasan beragama dan secara berkala.membabarkan Dhamma kepada orang-orang di pedalaman. Beliau menangani pekerjaan kebutuhan masyarakat, seperti: mendirikan rumah sakit-rumah sakit untuk manusia dan binatang, memasok obat-obatan, menanam hutan-hutan kecil dan pohon-pohon di tepi jalan, menggali sumur-sumur, dan membangun tanggul-tanggul air dan rumah-rumah peristirahatan. Beliau juga melarang bertindak kejam terhadap binatang-binatang.

Kadang-kadang Sang Buddha dikatakan sebagai pembaharu sosial. Antara lain Beliau mencela sistem kasta, memperkenalkan persamaan manusia, berbicara akan kebutuhan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi, memperkenalkan pentingnya pembagian kekayaan yang lebih pantas diantara yang kaya dan yang miskin, meningkatkan status wanita, menganjurkan memasukkan kemanusiaan dalam pemerintahan dan administrasi, dan mengajarkan bahwa suatu masyarakat harus dijalankan tanpa keserakahan. Tetapi dengan penuh pertimbangan dan welas asih bagi rakyat.

Meskipun demikian, kontribusiNya terhadap umat manusia jauh lebih besar. Karena Beliau mulai pada titik yang tidak pernah dilakukan oleh pembaharuan sosial lain, yaitu, dengan masuk ke akar yang terdalam dari penyakit manusia yang ditemukan dalam batin manusia. Hanya di dalam batin manusia pembaharuan sejati dapat berpengaruh. Pembaharuan yang dipaksakan mempunyai usia yang .sangat pendek karena tidak mempunyai akar atau pondasi. Tetapi pembaharuan yang bersemi sebagai hasil transformasi kesadaran dalam (diri) manusia tetap berakar. Sementara cabang-cabangnya menyebar keluar, menarik makanan dari sumber yang tak pernah gagal yaitu bawah sadar yarig penting seka!i bagi aliran kehidupan itu sendiri. Jadi pembaharuan muncul ketika pikiran manusia telah menyiapkan jalan untuk mereka, dan mereka hidup selarna manusia menghidupkannya kembali dengan sumber cinta mereka sendiri akan kebenaran dan keadilan, terhadap sesama manusia.

Doktrin yang dikhotbahkan Sang Buddha tidak berdasarkan pada filosofi politik. Bukan pula sebuah doktrin yang mendorong manusia menuju kesenangan duniawi. Doktrin tersebut menyiapkan jalan ke Nibbana. Dengan kata lain tujuan akhirnya adalah untuk mengakhiri keinginan (tanha) yang membuat manusia tetap terikat pada dunia. Sebuab bait dari Dhammapada (75) menyarikan dengan baik pernyataan ini, "Jalan yang menuntun kepada perolehan duniawi adalah satu, dan jalan-jalan yang menuntun ke Nibbana (dengan menjalani suatu kehidupan agama) adalah lain".

Betapapun, ini tidak berarti bahwa agama Buddha tidak dapat atau harus tidak terlibat dalam proses politik, yang merupakan suatu realitas sosial. Bagaimanapun kehidupan anggota masyarakat dibentuk oleh hukum-hukum dan peraturan-peraturan, aturan-aturan ekonomi, lembaga-lembaga, yang dipengaruhi oleh penataan politik dari masyarakat tersebut. Namun, jika seorang umat Buddha berharap untuk terlibat dalam politik, dia harus tidak menyalahgunakan agama untuk memperoleh kekuatan politik. Juga tidak dianjurkan bagi mereka yang telah melepaskan kehidupan duniawi untuk menjalani suatu kehidupan agama yang murni untuk secara aktif terlibat dalam politik.

Sumber: What Buddhist Believe, Kuala Lumpur, Buddist Misionary Society, 1987, pp 229-236.
Diterjemahkan dari Buddhism and Politics, Buddhist Digest English Series 25 Oleh: Ven. K. Sri Dhammananda.
Dimuat di dalam Majalah "Buddha Cakkhu" No. 05/XVII/96. 

[Sumber: What Buddhist Believe, Kuala Lumpur, Buddist Misionary Society, 1987, pp 229-236. Diterjemahkan dari Buddhism and Politics, Buddhist Digest English Series 25 Oleh: Ven. K. Sri Dhammananda. Dikutip dari Majalah "Buddha Cakkhu" No. 05/XVII/96. ]  

Kamis, 26 Mei 2011

Buddha Dharma Dan Kecantikan

Buddha Dharma Dan Kecantikan 
Oleh: Jo Priastana S.S, M. Hum.


Sudah menjadi kodrat bahwa setiap orang suka akan kecantikan. Karena realitas dalam diri manusia dan juga masyarakat adalah senang akan kecantikan. Wanita yang cantik disukai pria, diburu periklanan, dijadikan bintang sinteron, dan wanita akan selalu merasa dan mengusahakan agar dirinya senantiasa menjadi cantik.

Tetapi apakah sesungguhnya kecantikan itu? Mengapa pria memburu wanita yang cantik dan kerap bertekuk lutut di kerling matanya? Mengapakah wanita mengusahakan kecantikan dirinya, tidakkah mereka itu korban dari stereotipe, citra, mitos, ideal, atau definisi kecantikan yang dikonsepsikan justru bukan oleh kaumnya sendiri, melainkan entah itu oleh masyarakat, budaya, ideologi kaum patriarkhi (lelaki), pedagang, atau industri kapitalis.


Benarkah kecantikan itu ada secara kodrati, obyektif, dan universal; atau kecantikan itu relatif, subyektif, dan hasil konstruksi sosial semata? Apakah kecantikan hanya sebatas kulit, atau lebih dari sebatas permukaan kulit, namun jauh menjangkau lebih dalam lagi (inner beauty) yang menyelusup sampai kepada kepribadian dan intelegensia?


Konstruksi Kecantikan


Apakah cantik? Pertanyaan sederhana ini sulit jawabnya. Setiap orang -atau juga sekelompok orang- punya definisi sendiri tentang cantik. Yang pasti, industri kecantikan tumbuh subur dengan memanfaatkan kebutuhan orang untuk tampil cantik. Dalam situasi krisis ekonomi seperti sekarangpun, urusan untuk tampil cantik, cantik fisik yang ikut mendongkrak rasa percaya diri tetap saja tidak kunjung surut.


Memang kecantikan selalu dikejar wanita dan menjadi problem psikologis banyak wanita yang kurang percaya diri. Hal ini terjadi karena kecantikan tidak lepas dari konstruksi sosial. Majalah, film, televisi, dan periklanan, sering menyajikan perempuan dengan bentuk tubuh yang dikonstruksikan ideal, karenanya Industri kecantikan seperti pelangsingan tubuh dan perawatan awet muda tumbuh menjadi industri milyaran dollar.


Kecantikan tampaknya relatif, karena tiap masyarakat punya definisinya tentang cantik. Tubuh yang subur pernah menjadi citra kecantikan wanita Jawa seperti tampak pada relief candi Borobudur, begitu pula masyarakat Fiji di Pasifik. Para perempuan suku Dayak di Kalimantan mengenakan anting-anting yang makin banyak jumlahnya. Sampai paruh pertama abad 20, perempuan di Cina yang kakinya kecil dianggap cantik.


Sepanjang peradaban manusia, apa yang disebut cantik selalu berubah menurut apa yang dikonstruksikan oleh masyarakat itu. Pandangan tentang cantik berubah bersama perkembangan teknologi. Di Barat, semenjak Revolusi Industri terjadi perubahan konsep kecantikan. Dimulainya era industrialisasi membuat banyak perempuan bekerja di luar rumah dan independen secara material.


Keadaan ini, seperti yang diungkapkan Naomi Wolf, aktivis gerakan perempuan dalam bukunya The Beauty Myth, mendorong perempuan membelanjakan uangnya, menjadi konsumen demi kecantikan yang sejalan dengan penciptaan mitos cantik secara massal oleh kaum industri kapitalis; seperti misalnya: tubuh yang ramping cenderung kurus, muka cantik, bersih, dan kulit kencang.


Karena mitos dan kriteria cantik itu, banyak wanita tergoda terhadap tawaran paket mempercantik diri yang kini banyak bertebaran. Mulai dari melangsingkan tubuh, memutihkan kulit, mentato alis mata, membentuk bokong atau payudara, membuat lesung pipit, sampai mendandani "organ paling intim". Paha, pinggul, lengan, dan perut adalah tidak bagus kalau terlihat gemuk sehingga ada paket sedot lemak untuk merampingkannya. Tampaknya di mata bengkel kecantikan, selalu ada saja bagian tubuh yang dianggap tidak indah, dari ujung rambut hingga ujung kaki sampai bagian terdalam.


Citra kecantikan dikonstruksikan oleh kaum industri kapitalis kecantikan seperti yang ditawarkan iklan dalam media massa. Padahal menurut Wendy Chapkins dalam Beauty Secrets, Women and the Politics of Appearance (1986), kecantikan seperti yang ditawarkan itu akan mengubah bentuk wajah dan tubuh seseorang menjadi apa yang ingin dicitrakan suatu merk kosmetika atau suatu program kecantikan.


Banyak orang mengejar citra cantik seperti yang telah dikonstruksikan secara sosial, agar tetap terlihat muda, kulit yang kenyal dan halus seperti bayi, khususnya para wanita separuh baya. Padahal usia tetap merambat dan sebenarnya tidak ada yang dapat melawan hukum alam anicca bahwa tidak ada yang kekal di dunia, semua akan menjadi tua dan mati.


"Jika bumi, gunung semeru, dan samudra hancur oleh kobaran api dari tujuh matahari, dan tak ada sebutir debupun yang tersisa, lalu kenapa berpikir bahwa manusia yang begitu lemah adalah abadi?"
(Nagarjuna dalam Suhrleka).

"Akhir yang pasti dari tubuh adalah berubah menjadi debu, mengering, dan membusuk; dan adalah tumpukan tulang kotor yang tidak memiliki apa-apa, organ-organ tubuh akan rusak dan membusuk. Ketahuilah bahwa tubuh memiliki sifat akan terurai."
(Nagarjuna dalam Suhrleka).

Dewasa ini, kecantikan yang dicitrakan dan dikonstruksikan secara sosial itu berkaitan dengan modus ekonomi. Padahal mungkin saja kecantikan memang terletak pada mata orang yang melihat dan subyektif sifatnya. Kita menyebut sesuatu cantik, indah, atau bagus, bila hal itu menyukakan atau menyenangkan kita dengan cara tertentu. Apa yang menyenangkan seseorang tidak berarti juga menyenangkan orang lain. Itulah sebabnya kadang-kadang dikatakan bahwa kecantikan itu hanya ada pada orang yang melihat.


Tetapi mengapakah kecantikan bisa juga dikatakan untuk orang yang sama, dan banyak orang memburu wanita-wanita yang dikatakan cantik. Selain subyektif, tidakkah ada nilai yang obyektif sehingga banyak orang dapat mengatakan bahwa dia itu, entah Lady Di almh., Paramita Rusady, Dessy Ratnasari, Megawati, Hartati Murdaya, Julia Roberts, atau Kwan Ce Lin memang cantik.


Thomas Aquinas (1225-1274) dan Immanuel Kant (1724-1804) mengajarkan kita bahwa keindahan seperti kecantikan misalnya mengandung aspek subyektif dan obyektif. Kenikmatan estetis yang diberikan obyek-obyek tertentu kepada pengamat (subyek) bersangkutan dengan nilai-nilai intrinsik yang ada dalam obyek itu sendiri. Jadi selain memang orang itu cantik, subyektifitas seseorang juga menentukan. Bagi suami, istrinya tentulah dianggap cantik.


Kecantikan Luar


Memang ada yang bilang kecantikan itu relatif, namun ada juga yang memberikan ukuran bahwa kecantikan merupakan perpaduan harmoni, keseimbangan, dan keselarasan. Ada kecantikan luar (outer beauty) yang menyangkut fisik, seperti kulit, wajah, dan bentuk; tetapi yang lebih penting lagi adalah kecantikan dalam (inner beauty) yang berhubungan dengan seluruh kepribadian dan dimensi psikis-rohani dan lebih abadi sifatnya.


Kendati begitu, baik kecantikan luar (outer beauty) maupun kecantikan dalam (inner beauty) memiliki nilainya sendiri dan tidak perlu diabaikan, karena keseluruhan kecantikan wanita terletak pada sifatnya yang tidak terduga. Wanita adalah makhluk yang kaya akan dimensi. Karena itu wanita sudah sewajarnya merawat dan memperhatikan tubuhnya, memiliki kosmetik atau melakukan perawatan kecantikan sekedarnya agar dapat muncul semua kepribadian dan kecantikan dalamnya.


Kecantikan luar memang lebih langsung menonjol dan tampak, misalnya pada wajah, paras, bentuk, dan kulit. Karenanya, kulit, terutama kulit wajah banyak yang memperlakukannya bagaikan sebuah tanaman: perlu dipelihara, disiram, diberi pupuk supaya subur, dengan cara memakai kosmetik atau pergi ke klinik bedah kosmetik. Banyak wanita mengusahakan kecantikan dirinya dengan tidak sewajarnya melalui berbagai cara, bahkan pergi ke paranormal, orang pintar, dukun, dan sebagainya untuk pemasangan susuk agar dirinya terlihat cantik dan suaminya tidak pernah meninggalkannya.


Tetapi darimanakah asal usul sebab musababnya seseorang itu cantik, cantik sejak lahirnya, cantik meski dibungkus oleh pakaian yang butut atau tidak terhias aksesoris perhiasan. Tidak hanya cantik, mungkin juga disertai kepintaran dan berada dalam keluarga yang kaya. Sedangkan sebaliknya, ada mereka yang miskin, tidak cantik, atau tidak cerdas. Atau ada yang cantik, cerdas, tetapi miskin; dan kaya, bodoh, tetapi cantik.


Mallika seorang perempuan miskin bersahaja dan tidak menarik pernah bertanya kepada Sang Buddha, apa sebabnya ada wanita yang buruk rupa, miskin, tanpa wibawa dan pengaruh? Ada pula wanita yang buruk rupa, tetapi kaya raya, sangat berwibawa dan berpengaruh. Ada wanita yang cantik, tetapi miskin, tanpa wibawa dan pengaruh. Lainnya wanita yang cantik, sekaligus kaya, berwibawa dan berpengaruh.


Menurut Sang Buddha, perbuatan wanita dalam kehidupan di masa lalu itulah yang menentukan, misalnya cepat marah menghasilkan wajah yang buruk, dan sifatnya yang kikir mengakibatkan kemiskinan dalam kehidupan berikutnya. (Anguttara Nikaya IV, 20 :197)


Kecantikan merupakan pahala dari perbuatan baik dan kemurahan hati dalam kehidupan sebelumnya.
"Wajah yang cantik, suara yang merdu, kegantengan, dan kebijaksanaan, kekuasaan, serta mempunyai banyak pengikut, semua ini dapat diperoleh sebagai pahala perbuatan baik." (Nidhikhanda Sutta)

Memang, kulit yang halus dan sehat adalah dambaan setiap wanita. Bukan apa-apa, kulit adalah bagian tubuh yang langsung terlihat, sehingga setiap kejanggalan pada kulit akan menarik perhatian. Dalam pergaulan, hal itu akan membuat seseorang merasa kurang percaya diri. Di samping kulit yang halus, sebagian wanita juga mendambakan kulit yang cerah.


Tetapi, kulit setiap orang itu memang tidak sama. Dan itu dapat disebabkan karena faktor internal seperti ras, keturunan, dan genetik, maupun faktor eksternal yang meliputi kebiasaan seseorang, misalnya merokok, terbakar sinar matahari (ultraviolet), minum obat antibiotik, maupun akibat pemakaian kosmetik secara berlebihan.


Memang kulit merupakan etalase kecantikan fisik. Bahkan Sang Buddha sendiri dalam rangka untuk menyadari kerelatifan kecantikan, ketidakkekalan tubuh yang bagaimanapun moleknya dan agar tidak melekat terhadap kecantikan yang hanya bentuk luar itu, melukiskan kecantikan fisik itu tidak lebih hanya sebatas kulit.


"Dilihat dari sudut pandang yang berbeda, kemolekan tubuh seorang wanita adalah tidak murni, punya sembilan lubang, seperti bejana bau busuk dan sulit diisi; dan dari sudut pandang lainnya sebuah selubung kulit yang dihiasi."
(Nagarjuna dalam Suhrleka).

Ratthapala, seorang murid Sang Buddha melukiskan wanita (penggoda) sebagai berikut:
"Lihatlah tubuh itu khayali, membalut seperangkat rangka, penuh luka, berpenyakit, dan menuntut banyak pikiran. Baginya tiada yang pernah tetap, tiada abadi. Lihatlah wujud khayali, walaupun dalam pakaian gemerlap, dengan cincin dan perhiasan, tulang belulang bersarungkan kulit. Kuku diwarnai cat, wajah dipulas bedak, cukup memperdaya si dungu, namun tidak bagi pencari kekekalan. (Majjhima Nikaya 82)

Bila Buddha mengingatkan bahwa kecantikan fisik itu hanyalah sebatas kulit, dan tidaklah perlu tergantung atau melekat kepadanya, maka filsuf Yunani Plato mengungkapkan bahwa kecantikan tidak pernah menempel pada sesuatu yang berdaging; karena itu sia-sialah semua upaya manusia untuk mempertahankan kecantikannya. Kecantikan Platonik yang memuja keabadian ini mengingatkan bahwa kecantikan adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat bentuknya dari wajah, kaki, tangan, tubuh, dan dari segala sesuatu yang berdaging.


Kecantikan Dalam


Sesungguhnya mereka yang memang cantik tak perlu kuatir terhadap aksesoris luar tubuhnya. Pakaian yang indah belum tentu bisa mengangkat rupa seseorang yang memang tidak cantik. Mengapa mesti menyembunyikan bentuk tubuh yang tidak indah di balik pakaian yang mewah. Cinderella, biarpun pakaiannya butut tetap saja tidak bisa menyembunyikan kecantikannya. Akhirnya diketahui dan dipersunting pangeran. Akan tetapi, orang cantik yang suka berteriak-teriak, memaki-maki, berperilaku buruk; maka ia sama sekali tidak cantik di dalamnya.


Kecantikan itu yang penting dari dalam. Tidak usah grogi ketika usia bertambah dan kulit wajah mulai berkerut. Kecantikan abadi itu muncul dari dalam diri, dari hati dan pikiran yang tenang. Bukankah usia tak dapat mencegah pudarnya kecantikan. Tetapi, apa yang dihimpun, dipupuk dalam rohani akan menambah kekuatan, kekayaan, dan bahkan juga bisa menambah kemudaan dan kecantikan. Kecantikan dalam ini (inner beauty), sebagaimana ungkap Plato, tidak pernah menempel pada sesuatu yang berdaging. Karena itu, sia-sialah semua upaya manusia untuk mempertahankan kecantikannya. Menurut Plato, kecantikan dalam itu tidak pernah datang dan tidak pernah pergi, tidak pernah berkembang dan tidak pernah layu, sesuatu yang dalam pandangan siapiapun sama (tetap cantik), di manapun, sekarang dan sampai kapanpun.


Karena itu, bila kemudaan kulit telah memudar seiring dengan bertambahnya usia, mereka yang bijaksana tentu tidak harus cemas dan takut. Justru dengan menjadi tua dan rohani terisi, seseorang akan bertambah matang dan bijaksana.


Keriput yang muncul merupakan warna-warni pelangi hukum anicca yang tidak bisa dihindari, ibarat garis-garis senyuman (smile lines) cermin dari kematangan dan kebijaksanaan. Anggukan kepala, senyuman, dan tatapan matanya bagaikan sinar matahari yang mencerahkan dan menentramkan bagi anak cucu yang datang bersimpuh menanti belaiannya. Karena itu, mengapa harus takut menjadi tua?


Sang Buddha mengatakan bahwa kecantikan adalah hasil dari perbuatan baik dan kemurahan hati. Sejalan dengan itu, maka resep untuk menjadi cantik di bawah ini (dimuat dalam Kompas, 7 Mei 2000) kiranya sangat bermanfaat dan patut dilakukan.


"Untuk mendapatkan bibir yang menawan, ucapkanlah kata-kata kebaikan; untuk mendapatkan mata yang indah, carilah kebaikan pada diri setiap orang; untuk mendapatkan bentuk badan yang langsing, berbagilah makanan dengan mereka yang kelaparan...

Untuk mendapatkan tubuh yang indah, berjalanlah dengan ilmu pengetahuan... Kecantikan perempuan tidak terletak pada pakaian yang dikenakan, bukan pada kehalusan wajah dan bentuk tubuhnya... tetapi pada matanya: cara ia memandang dunia, karena di matanyalah terletak gerbang menuju ke setiap hati manusia, di mana cinta dapat berkembang."
 

Rabu, 25 Mei 2011

Bhikkhu Sangat Di Hormati Tetapi Tidak Ditiru



Bhikkhu Sangat Di Hormati Tetapi Tidak Ditiru



Bagi setiap umat Buddha, bhikkhu adalah figur yang sangat dihormati. Bhikkhu dianggap sebagai “simbol” dari kebajikan, simbol keluhuran Dhamma, dan tempat yang meminta nasihat. Kehidupan bhikkhu yang begitu sederhana, selalu berpijak pada peraturan kedisiplinan (vinaya) yang tinggi serta pengabdi yang tak mengenal pamrih ini benar-benar merupakan suri teladan yang sangat dihormati oleh setiap umat Buddha maupun anggota masyarakat yang lainnya.


Aturan-aturan kedisiplinan yang begitu ketat membuat kehidupan seorang bhikkhu menjadi sangat jauh dari segala bentuk kejahatan, tipu muslihat, kelicikan dan dengki. Mereka selalu berusaha untuk membasmi semua bentuk pikiran, ucapan dan perbuatan yang tidak baik dalam dirinya, dan selalu berusaha untuk membangkitkan nilai-nilai kebajikan dari dalam dirinya untuk kemajuan batinnya dan demi kepentingan masyarakat.


Mereka selalu memberikan bimbingan Dhamma, mencerdaskan umat Buddha agar bisa mengerti dan memahami Kebenaran yang diajarkan oleh Sang Buddha, membimbing kita semua agar selalu berjalan dalam Dhamma untuk mencapai kebahagiaan, serta selalu menjadi “kawan” terbaik yang bisa memberikan nasihat di setiap saat kita menghadapi berbagai problema kehidupan.


Oleh karena itu, seorang bhikkhu sangat dihormati oleh setiap umat Buddha. Dimanapun kita menjumpai satu atau beberapa orang bhikkhu, kita tak segan-segan untuk merangkapkan kedua tangan didepan dada – beranjali – sambil menundukkan kepala sebagai perwujudan rasa hormat yang mendalam. Bahkan tidak jarang kita membungkukkan badan, sehingga kepala menyentuh tanah untuk bernamaskara kepada seorang Bhikhu.


Begitu hormatnya seorang umat Buddha kepada bhikkhu, sehingga ia rela bersujud sampai kepala yang sangat dihormatinya itu menyentuh tanah. Umat Buddha sangat menghormati keteladanan yang telah ditunjukkan oleh para bhikkhu melalui praktek kehidupan yang sangat sederhana tetapi penuh dengan keluhuran.


“Bhikkhu memang sangat dihormati, tetapi bhikkhu sangat berbeda dengan guru. Kalau bagi masyarakat Jawa, “guru” itu digugu dan dituru, namun, seorang bhikku hanya digugu tetapi tidak ditiru.” Demikian petikan dari salah sebuah ceramah yang pernah disampaikan oleh Sri Pannavaro Sanghanayaka Thera, bhikkhu muda yang sangat mahir dalam membabarkan Dhamma.


Mengapa bhikkhu hanya digugu tapi tidak ditiru? Meskipun semua orang begitu menghormati bhikkhu, berapa persenkah diantara mereka yang mau meniru kehidupan seorang bhikkhu? Berapa orang diantara sekian juta umat Buddha di Indonesia yang bersedia menjadi bhikkhu? Bhikkhu memang dihirmati, disanjung dan bahkan disujuti, tetapi... masih terlampau sedikit umat yang mau “meniru” kehidupan bhikkhu.


Melepaskan Kebahagiaan Duniawi.


Banyak perbuatan baik yang bisa dilakukan oleh setiap orang. Misalnya berdana kepada mereka yang memerlukan, membangun rumah sakit, mengunjungi panti asuhan, menyokong ayah dan ibu, saling membantu jika ada yang menghadapi kesusahan, memaafkan kesalahan orang lain, dan lain-lain. Perbuatan-perbuatan bajik seperti ini sering kita lakukan dimana dan kapan saja.


Namun, ada satu jenis kebajikan yang mungkin akan sangat sulit dilakukan oleh setiap orang. Tidak semua orang dapat dan mampu melakukannya. Apalagi dalam zaman modern seperti sekarang ini, dimana setiap orang berusaha untuk memenuhi setiap keinginan untuk memuaskan diri pribadi.


Kebajikan yang sangat sulit dilakukan ini hanya dapat ditempuh dengan keinginan yang luar biasa kuatnya, keinginan yang bisa mengalahkan setiap ambisi. Keinginan ini sesungguhnya merupakan keinginan unuk mendapatkan sesuatu yang jauh lebuh besar dari apa yang bisa dicapai oleh mereka yang enggan menempuh kebajikan ini.


Apakah sesungguh perbuatan bajik yang sangat luar biasa ini?


Kebajikan ini tak lain adalah memutuskan semua keinginan duniawi, mengalahkan setiap godaan nafsu, untuk kemudian memasuki kehidupan sederhana yang sangat minim kebutuhannya – menjalankan kehidupan kebhikkhuan.


Tidak semua orang bisa melakukan kebajikan ini. Sebab terlalu banyak hal yang membelenggu dan mencegah umat manusia untuk memasuki dunia kebhikkhuan. Nafsu keinginan dan keterikatan pada hal-hal duniawi adalah faktor utama yang teramat sulit untuk dipatahkan.


Oleh karena itu, mereka yang mempunyai tekad yang kuat dan berhasil melangkah memasuki kehidupan kebhikkhuan, sesungguhnya merupakan orang-orang yang sangat gigih dan ulet dalam perjuangan moralnya. Orang seperti ini sangat langkah dalam dunia modern sekarang ini.


Dalam kitab suci Dhammapada ayat 103 tercantum sabda Sang Buddha:


“Walaupun seribu kali seseorang apat menakllukkan seribu musuh dalam satu pertempuran, namun orang yang bisa menaklukkan dirinya sendiri sesungguhnya merupakan penakluk terbesar.”


Setiap umat Buddha menyadari hal ini, sehingga mereka semua memberi hirmat yang sangat besar kepada setiap orang yang menjalankan kebhikkhuan. Mereka menghormati bhikkhu karena kemampuannya untuk melepaskan ikatan duniawi, karena kemurniannya dalam menjalankan peraturan hidup sederhana, dan karena bimbingan-bimbingan Dhamma yang diperoleh untuk menuju kebahagiaan.


Kegiatan Bhikkhu Sehari-hari.


Setiap bhikkhu memiliki kewajiban untuk mengembangkan batinnya sendiri dan membimbing dalam jalan yang benar. Di samaping melayani kebutuhan ritual, seorang bhikkhu harus tekun mempelajari Dhamma dan bermeditasi untuk mengembangkan kebijaksanaan, disamping menjalankan sejumlah peraturan kebhikkhuan.


Secara umum, corak kehidupan bhikkhu bisa dibedakan atas dua jenis, yaitu:

  • Bhikkhu yang mengutama latihan yaitu para bhikkhu yan senang bermeditasi dihutan-hutan atau ditempat-tempat terpencil untuk mengembangkan kebijaksanaannya. Mereka umumnya hidup menyepi, jauh dari keramaian, dan hanya mengunjungi umat pada saat pindapata untuk menerima persembahan dana makanan.
  • Bhikkhu yang mengutamakan pelayanan terhadap umat yaitu para bhikkhu yang hidup dalam lingkungan masyarakat. Ada yang menjadi guru agama, melayani kebutuhna umat untuk melakukan upacara ritual, menjadi penerjemah, ikut aktif dalam organisasi sosial keagamaan, dan lainlain.
Kedua kelompok bhikkhu ini mempunyai penekanan dalam praktik yang berbeda. Namun bukan berarti bahwa kelimpok yang satu tidak melayani masyarakat dan yang lainnya tidak pernah bermeditasi untuk mengembangkan batin. Kedua kelompok ini sama-sama harus melaksanakan praktik meditasi maupun pelayanan kepada masyarakat, hanya saja penekanannya berbeda.


Tak mungkin ada bhikkhu yang mengutamakan latihan kemudian hidup tanpa memerlukan umat. Ia tetap masih memerlukan partisipasi umat, dan ia masih tetap berkomunikasi dengan umat jika ada yang datang meminta nasihat kepadanya. Begitu pula, kelompok bhikkhu yang mengutamakan pelayanan kepada masyarakat pun harus memikirkan perkembangan batinnya. Ia harus tetap tekun menjalankan sila dan bermeditasi agar bisa tercapai cita-citanya sebagai bhikkhu.


Dalam sebuah vihara, biasanya terdapat semacam peraturan yang disepakati bersama oleh setiap bhikkhu sebagai jadwal kegiatan rutin. Pagi hari, biasanya mereka melakukan pembacaan paritta pagi dan melakukan meditasi sebelum tiba saat untuk sarapan pagi.


Setelah itu, para bhikkhu menerima umat/tamu, berbincang-bincang atau memberikan wejangan Dhamma. Ada bhikkhu yang memenuhi permintaan umat untuk membacakan paritta, ada pula yang belajar.membaca ajaran-ajaran Sang Buddha di perpusktaan, dan sebagainya.


Bhikkhu akan makan siang sekitar pukul 11-12 siang. Setelah berisirahat sebentar, para bhikkhu ada yangmenerima tamu, ada yang memberikan ceramah, ada yang mengajar di sekolah sebagai dosen, ada yang mengerjakan tugas organisasi, ada yang belajar Dhamma, dan lain-lain.


Menjelang malam hari, para bhikkhu kembali membacakan paritta senja dan melakukan meditasi. Malam hari biasanya para bhikkhu diundang untuk membacakan paritta di rumah-rumah duka, memberikan ceramah dalam kebaktian, dan sebagainya.


Pada setiap hari uposatha, para bhikkhu akan berkumpul di depan altar Sang Buddha di Uposathagara untuk mendengarkan pembacaan patimokkha (aturan kedisplinan), yang biasanya diawali dengan pemberitahuan atau saling meminta maaf atas pelanggaran-pelanggaran terhadap vinaya.


Sehari sebelum hari uposatha para bhikkhu melakukan dandakamma (mencukur rambut, kumis dan jenggot).


Bagi bhikkhu yang tinggal di kota-kota besar, kegiatan untuk melayani umat sering merupakan kegiatan terbanyak. Sebab tidak sedikit umat yang mengundang bhikkhu untuk kepentingan ritualnya, antara lain untuk pemberkatan rumah/usaha baru, menerima undangan makan, membaca paritta untuk orang sakit/ meninggal, dan lain-lain.


Disamping itu, tak jarang bhikkgu harus menjadi “pendengar” yang baik ats semua keluhan/penderitaan yang dialami oleh umat, kemudian berusaha untuk memberikan jalan keluarnya berdasarkan ajaran Sang Buddha. Entah disadari atau tidak, mayoritas umat Buddha pasti mengharapkan agar bhikkhu bisa membantunya untuk menyelesaikan semua permasalahan yang dihadapinya, baik itu persoalan keluarga, dagang, hubungan antar manusia, dan sebagaianya.


Perilaku Umat Terhadap Bhikkhu


Di dalam Sigalovada Sutta, Sang Buddha berkata kepada seorang pemuda yang bernama Sivali:


“Dengan enam cara seorang bhikkhu akan melayani umat”
  1. Mencegah mereka berbuat jahat.
  2. Menganjurkan mereka berbuat kebajikan.
  3. Mencintai mereka dengan penuh kasih sayang.
  4. Mengajar sesuatu yang mereka belum pernah dengar.
  5. Memperbaiki dan menjelasskan sesuatu yang mereka pernah dengar.
  6. Menunjukkan jalan ke Nibbana.
Dan, dengan lima cara seorang umat akan melayani para bhikkhu:
  1. Dengan perbuatan yang penuh kasih sayang.
  2. Dengan ucapan yang ramah tamah.
  3. Dengan pikiran yang penuh kasih sayang.
  4. Dengan selalu membuka pintu untuk mereka.
  5. Dengan memberikan keperluan hidup mereka.
Sang Buddha mengajarkan tentang perilaku timbal-balik antara bhikkhu dan umat./ Setiap bhikkhu mempunyai kewajiban terhadap umat, dan setiap umat pun harus melaksanakan kewajibannya kepada bhikkhu. Cara hidup yang saling menguntungkan, saling bantu-membantu, dan saling menyokong ini hendalnya selalu kita terapkan.

Kesediaan bhikkhu untuk selalu melayani umat membuat para bhikkhu semakin dekat di hati umat. Suasana keakraban tercipta lewat keramahan para bhikkhu. Lambat laun hal ini membuat umat semakin terbiasa dengan kebiasaan para bhikkhu. Sehingga keakraban ini kadang kala membuat umat menjadi lupa diri. Tanpa disadari sering terlontar ucapan-ucapan yang tidak pantas untuk disampaikan kepada seorang bhikkhu.

Misalnya: kata-kata “guyonan’ yang seharusnya hanya diperuntukkan bagi teman sebaya, “Hei, Bhante.” “Dasarn, Bhante.” “Kesini dong, Bhante.” Dan masih banyak lagi contoh-contoh sapaan lain yang tapa sadar terlontar dari mulut umat yang akhirnya mengabaikan tata krama karena “merasa’ sudah cukup “akrab” dengan para bhikkhu.

Pernah suatu ketika, seorang ibu yang cukup lanjut usia datang ke sebuah vihara. Dengan muka yang cukup sedih dia masuk ke kuti. Kebetukan ada seorang bhikkhu di dalamnya. Dengan kesedihannya, ibu ini datang menghampiri bhikkhu seraya ingin memegang tangan bhikkhu untuk memberikans alam. Tentu saja bhikkhu ini buru-buru menghindar untuk mencegah “kontak” yang tidak perlu. Ketidak-tahuan membuat ibu ini berbuat demikian.

Ada lagi kasus lain yang pernah terjadi di sebuah vihara. Seorang gadis menelephon untuk minta bicara dengan seorang bhikkhu. Kebetulan bhikkhu itu tidak berada ditempat. Gadis ini denga kalimatnya yang cengene terus memaksaakan ingin bertemu dengan bhikkhu yang dicarinya.

Pantaskah tindakan ini bagi seorang umat yang menghormati bhikkhunya?

Disaat seseorang mengalami musibah, menghadapai persoalan atau mengalami depresi, seorang bhikkhu sering menjadi tempat untuk meminta bimbingan dan nasihat yang paling tepat. Umat yang demikian akan sering mengunjungi bhikkhu untuk berkonsultasi, dan bhikkhu pun akan selalu siap untuk membantu.

Lama kelamaan, umat akan semakin mengagumi bhikkhu. Ia akan melihat bhikkhu sebagai seorang insan yang sangat baik dan sangat bijaksana. Bhikkhu adalah orang yang penuh pengertian, yang bisa memahami kesulitan yang kita hadapi dan bisa membantu kita dalam suka dan duka.

Pandangan yang penuh kekaguman ini lambat laun akan berkembamng, berkembang, dan berubah, menjelam menjadi perasaan simpati, akhirnya berubah wujud menjadi “kemelekatan”. Beruntunglah kalau umat dan bhikkhu segera menyadari hal ini. Jarak tetap akan dijaga.

Namun, bagaimana kalau hal sebaliknya yang terjadi?

Bhikkhupun Perlu Dukungan.

Hendaknya umat menyadari pengabdian seorang bhikkhu yang tanpa pamrih. Pelayanan bhikkhu terhadap umat seharusnya dibalas dengan perilaku yang baik dan sopan. Pengethuan umat tentang peraturan yang dijalankan oleh para bhikkhu mutlak diperlukan agar bisa membantu para bhikkhu dalam menjaga kemurnian sila.

Kelanggengan kebhikkhuan seseorang sangat diperlukan, baik oleh bhikkhu itu sendiri maupun oleh umat Buddha. Seorang bhikkhu perlu mempertahankan keteguhannya dalam menjalankan vinaya, agar cita-cita luhurnya bisa tercapai. Umat pun perlu mengusahakan agar setiap bhikkhu dapat hidup dengan layak, jauh dari segala godaan yang bisa mempengaruhi pratik kehidupan sucinya, sehingga para bhikkhu tetap bisa memberikan pelayanan ritual dan bimbingan Dhamma kepada kita semua.

Dengan sangat sulit untuk melepaskan ikatan keduniawian. Sangat sulit untuk melangkah memasuki dunia kebhikkhuan. Oleh karena itu, sangat langka bhikkhu yang baik di tanah air kita.

Dengan menyadari hal ini, dengan mengutamakan kepentingan orang banuyak, marilah kita ciptakan kondisi yang baik untuk seorang bhikkhu melaksanakan kehidupan sucinya. Mereka pun butuh dukunga moral dari setiap umat Buddha, sebagaimana kita membutuhkan bimbingan Dhamma dari mereka.
[ Dikutip dari Majalah Dhamam Cakkhu No.24/XIII/92 ]