Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Rabu, 24 Februari 2010

Alam Neraka


Alam Neraka
Oleh UP. Dharma Mitra (Peter Lim)


Sang Buddha bersabda : "DOSE NAHICANDAJATATAYA DOSA SA DISAMNIRYAM UPPAJJANTI : Semua makhluk dilahirkan di alam neraka (niraya) dengan kekuatan dosa (kebencian) " .

Suatu saat berceritalah si A, kepada teman-temannya bahwa dia akan lebih senang kalau nantinya, setelah meninggal dunia, sebaiknya dilahirkan di alam neraka. Mengapa…? Karena, menurutnya di alam neraka bakalan ketemu aktris / aktor yang cakep. Apakah pendapat ini benar atau salah? Sungguh sulit sekali diketemukan jawabannya, karena hingga saat dan detik ini, walaupun katanya dunia sudah sedemikian canggih, biro perjalanan dengan jurusan kesana belum terbentuk mungkin karena peminatnya belum ada, atau ketidakmampuan mendata daerah pariwisata (siapa tahu ada !) yang terdapat disana.  
 
Kalau kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang sederhana, neraka (niraya) berarti tiada kebahagiaan dan di dalam agama Buddha, alam ini merupakan salah satu dari empat alam derita (duggati bhumi). Di alam neraka ini, boleh dikatakan tiada dijumpai kebahagiaan sama sekali, di mana-mana yang dijumpai adalah jeritan, tangisan dan rintihan yang memilukan, sebagai akibat dari pembayaran hutang-hutang akusala karma (perbuatan perbuatan jahat), yang pernah diperbuat sebelumnya. Pembayaran hutang-hutang akusala karma (perbuatan-perbuatan jahat) ini, bisa saja dalam bentuk siksaan/deraan sebagai alat bayanya. Ibarat orang yang menderita kesakitan, mis : kanker maka disaat saat yang kritis ini, akan merintih-rintih menahan sakit, dan bagaimanapun cantik atau gantengnya seseorang, PASTI refleksi pancaran wajahnya akan menimbulkan gambaran yang jelek. Kalau tak percaya, cobalah dibuat mimik wajah bagaikan jeruk purut (jeruk yang asamnya luar biasa), apakah akan timbul kepermukaan, wujud yang cantik/ganteng ? Kita pasti akan kelihatan cantik/ganteng, kalau berada dalam kondisi yang sehat ! Demikian juga halnya, walaupun memiliki cantik bagaikan dewi tapi kalau sudah berada di alam neraka, maka kecantikannya akan amburadul (ngak karuan) atau pudar sebagai akibat dari, menahan siksaan/deraan yang dialami. 

Alam neraka bukanlah merupakan alam yang final, dalam arti kata kekal mengalami siksaan/deraan. Terlahirkan di alam ini sifatnya adalah transien (sementara) dan hanya untuk melunasi, akusala karma (perbuatan-perbuatan jahat) yg telah disemai, di kehidupan sebelumnya. Setelah hutang-hutang akusala karma (perbuatan-perbuatan jahat) ini terlunasi, maka akan ditumimbal lahirkan lagi, di salah satu dari 31 alam kehidupan, yang disesuaikan dengan kekuatan karma (perbuatan), yang dimiliki. Jika kekuatan karma (perbuatan) baik lebih dominan, dibandingkan kekuatan karma (perbuatan) jahat, maka akan ditumimbal lahirkan di alam Manusia, Dewa atau Brahma TAPI jika kekuatan perbuatan jahat lebih dominan, maka akan ditumimbal lahirkan di alam duggati (alam derita) mis : alam setan, binatang, jin atau neraka. Didalam agama Buddha dijelaskan bahwa terdapat 8 Maha Niraya (neraka besar) terdiri dari :


  1. Sanjiva : makhluk apapun juga yang terlahirkan di alam neraka ini, akan merasakan penderitaan yang luar biasa, sebagai akibat dari karma buruk yang dimilikinya. Di alam ini, makhluk makhluknya dipotong-potong menjadi kepingan-kepingan yang tiada akhirnya. Apakah akan mengalami kematian setelah menerima siksaan ini…? Ya, pasti ! Tapi setelah mati ia akan hidup dan hidup lagi, sampai kekuatan akusala karmanya habis, dan setelah itu dia akan terlepaskan dari alam siksaan ini dan ditumimbal lahirkan, di salah satu dari 31 alam kehidupan, yang disesuaikan dengan kekuatan karma, yang dimiliki. Sanjiva bisa juga berarti hidup dan hidup lagi.

  2. Kalasuta : benang hitam. Makhluk apapun juga yang terlahirkan di alam neraka ini, akan merasakan penderitaan yang luar biasa, sebagai akibat dari karma buruk, yang dimilikinya. Makhluk makhluk yg terlahirkan di alam ini, tubuhnya dijelujuri (dijahit) dengan benang hitam dan dipukuli, dengan beliung sampai sisa-sisa akusala karma (perbuatan-perbuatan jahat) nya HABIS, barulah terbebaskan dari derita ini.

  3. Sanghata : neraka penghancur. Makhluk apapun juga yang ditumimbal lahirkan di alam neraka ini, akan merasakan pernderitaan yang luar biasa, sebagai akibat dari karma buruk, yang dimilikinya. Makhluk makhluk yg terlahirkan di alam ini, akan merasakan terpaan/terjangan benda-benda keras, mis : batu karang dari empat penjuru angin, ke arah tubuhnya tanpa henti-hentinya. Semuanya ini akan berakhir, jika akusala karmanya telah terlunasi.
  4. Roruva : daerah tertarus. Makhluk apapun juga yang ditumimbal lahirkan di alam neraka ini, akan merasakan penderitaan yang luar biasa, sebagai akibat dari karma buruk, yang dimilikinya. Makhluk makhluk yg terlahirkan di alam ini, akan merasakan masuknya nyala api dan asap ke tubuh, melalui sembilan lubang mis : telinga, hidung, mulut dan lain lain serta membakar di dalamnya. Dan pada akhirnya akan menimbulkan keperihan yang luar biasa. Derita ini akan berakhir, jika sisa-sisa akusala karmanya telah habis.
  5. Maha roruva : daerah tertarus yang besar. Makhluk apapun juga yang ditumimbal lahirkan di alam neraka ini, akan merasakan penderitaan yang luar biasa, sebagai akibat dari karma buruk, yang dimilikinya. Makhluk makhluk yang dilahirkan di alam neraka ini, juga akan merasakan penderitaan yang luar biasa, ia dipanggang bagaikan sate di atas bara yang menyala. Ratapan dan tangisan yang menderu-deru, terdengar keras sekali di alam ini. Siksaan di alam ini juga akan berakhir, jika hutang-hutang akusala karma (perbuatan jahat) telah terlunasi.
  6. Tapana : pembakar. Makhluk apapun juga yang ditumimbal lahirkan di alam ini, akan merasakan penderitaan yang luar biasa, sebagai akibat dari karma buruk yang dimilikinya. Makhluk makhluk yang terlahirkan di alam ini, tubuhnya akan dibakar dengan tangan terikat di tiang besi yang panas dan lantainya menyala-nyala, diiringi dengan adanya api yang besar sekali. Sungguh derita yang menyakitkan sekali dan akan berakhir, jika sisa-sisa akusala karmanya habis.

  7. Patapa : pembakaran yang hebat. Makhluk apapun juga yang ditumimbal lahirkan di alam neraka ini akan merasakan penderitaan yang luar biasa akibat dari karma buruk yang dimilikinya. Makhluk makhluk yg terlahirkan di alam ini, akan di dera penderitaan yang luar biasa dan juga akan berakhir, jika sisa-sisa akusala karmanya habis.

  8. Avici : tanpa penghentian. Makhluk apapun juga yang ditumimbal lahirkan di alam neraka ini, akan merasakan penderitaan yang luar biasa, sebagai akibat dari karma buruk, yang dimilikinya. Makhluk makhluk yg terlahirkan di alam ini, akan selalu merasakan serangan api dari segala sisi, yang tanpa hentinya. Diantara ke delapan alam neraka ini, maka neraka Avici adalah yang paling lama masa hukumannya dan juga merupakan neraka yang paling menderita serta berat siksaannya. Terlahirkan di neraka Avici adalah sebagai akibat dari melakukan 5 perbuatan durhaka (panca nantariya karma) yang terdiri dari : membunuh ibu, membunuh ayah, melukai Sang Buddha, membunuh arahat dan memecah belah Sangha (persaudaraan para Bhikkhu/Bhikkhuni).  
    Di neraka Avici disaat ini, berdiam Devadatta yang mana di masa kehidupan Sang Buddha Gautama, sering berusaha mencelakakan Sang Buddha dan memecah belah Sangha. Setelah mengetahui kondisi dan keadaan yang menyedihkan di alam neraka, apakah masih ada terpikirkan di akall logika kita, untuk mau terlahirkan di alam neraka, hanya untuk menjumpai aktris dan aktor idola? Adalah suatu hal yang mustahil, memikirkan sesuatu yang indah, jika kondisi pikiran kita lagi kacau atau berada dalam kesakitan. Hamburger yang bagai-manapun nikmatnya, akan jadi hambar jika kondisi badan sakit-sakitan ! Agar terhindari dari jeratan alam neraka, marilah kita menjauhi/ mengharamkan :

    1. Tindakan-tindakan yang bisa mencelaka-kan/membunuh makhluk hidup, misalnya para Bhikkhu/ni, umat yang taat pada agamanya, baik dia beragama Buddha, Islam, Kristen, Katholik maupun Hindu.

    2. Penggunaan kekuasaan untuk memeras, menganiaya dan menyiksa ataupun membunuh makhluk lainnya.

    3. Korupsi atau mengambil sesuatu yang bukan-lah merupakan HAK, mencari keuntungan berupa materi (uang, benda-benda berharga dan lain lain), yang bertentangan dengan kebenaran, sehingga menimbulkan penderitaan bagi makhluk lain. SUKHA VAGGA XV : 204 "KESEHATAN : anugerah yang utama. KEPUASAN : kekayaan yang terbesar. KEPERCAYAAN : keluarga yang terbaik. NIRWANA : berkah yang tertinggi".

    4. Perbuatan-perbuatan yang merugikan masyarakat, mis : membakar kota, rumah tempat ibadah (Vihara, Mesjid, Gereja maupun Puri), kantor atau merusak candi-candi dan tempat tempat suci peninggalan sejarah agama, apapun juga.

    5. Pandangan hidup yang sempit, mis : anti agama (selalu memuji-muji agama yang dianutnya lah, yang terbaik sedangkan agama orang lain dicela habis-habisan), tidak percaya akan hukum karma(siapa yang menabur/menyemai maka dialah yang akan selalu memetik) dan selalu menyalahkan orang lain atas kemalangan/kekurangan yang dimilikinya, tidak meyakini akan adanya proses tumimbal lahir sehingga memiliki pandangan hidup yang salah, yang menyatakan hidup hanya sekali dan oleh karena itu, hidup ini dinikmati sepuas-puasnya, dengan menghalalkan segala macam cara, untuk mencapai tujuan yang didambakan. Perbuatan durhaka yang tidak terampuni adalah membunuh orang tua (ayah dan ibu), membunuh arahat (orang suci setingkat Buddha), melukai Sang Buddha dan menyebabkan terjadinya perpecahan di dalam Sangha (persaudaraan para bhikkhu-/bhik-khuni).

    6. Perbuatan asusila (perzinahan) dan melakukan pengguguran kandungan.

    7. Pelanggaran sila mis : melakukan hubungan intim, dengan suami/istri orang lain, merebut suami/istri orang lain, untuk dijadikan teman hidup ataupun keisengan belaka dan merusak kerukunan hidup rumah tangga orang lain. Di dalam sabdaNYA, Sang Buddha menekankan bahwa ada empat ganjaran bagi orang yang suka berzina yaitu :

      1. kehilangan rezeki

      2. terganggu tidurnya

      3. dikutuk oleh orang dan

      4. akan masuk neraka.
      Hanya orang-orang yang diliputi oleh kebodohanlah, akan melakukan tindakan tercela yaitu perzinahan. Kenikmatan yang sekejab, dibayar dengan penderitaan sepanjang masa!

    Kesimpulan :
    Adalah suatu pandangan yang sangat keliru, jika masih beranggapan bahwa kecantikan/kegantengan, akan mampu bertahan di alam neraka. Yang logisnya adalah pada waktu mengalami / menjalani siksaan, kemungkinan besar adalah rambutnya sudah awut-awutan, wajahnya pucat dan berkeringat menahan sakit, lidahnya menjulur karena kehausan, mulutnya mengeluarkan cairan yang beraneka ragam, bisa saja darah, dahak, liur maupun lendir, berceceran dimana mana. Apakah dikondisi ini, masih bisa dikategorikan cantik / ganteng .? Hiiiii amit-amit ! Kalau diperhatikan dari ke delapan jenis alam neraka di atas, maka tidak satupun dijumpai keadaan/kondisi yang memungkinkan, di dapatnya sedikit saja kebahagiaan. Bisa disimpulkan bahwa makna dari kata niranya (neraka) adalah tiada kebahagiaan, benar adanya. Adakah yang ingin mencobanya? Kalau tidak, marilah direnungkan dan diamalkan ajaran luhur Sang Buddha, dalam bentuk yang nyata, disetiap derap langkah yang akan dilalui.
    "Bagaikan kota di perbatasan yang dijaga ketat, yang dikitari oleh benteng-benteng yang kuat. Demikianlah hendaknya anda menjaga diri anda JANGAN sampai membiarkan anda tergelincir AGAR kesedihan tak menyusul sesampai di neraka"demikianlah yang telah disabdakan oleh Sang Buddha. Selagi kita berada di alam manusia, marilah kita melindungi diri kita, dengan dimilikinya sila yang baik, agar terbebas dari perbuatan tecela. Selalulah waspada dan mawas diri, akan gerak-gerik kenikmatan duniawi. Janganlah sampai terjerumus ke perbuatan perbuatan tercela. Hiduplah penuh dengan cinta kasih dan kasih sayang, kepada siapapun juga. Dengan dikuasainya tanha (nafsu keinginan) dan tersirnanya avijja (kebodohan)berkat dari prajna (kebijaksanaan) Sang Buddha, maka kita akan terbebaskan dari alam neraka, begitu kematian datang menjemput. Akhir kata, dengan adanya pengertian yang benar tentang kondisi alam neraka ini HENDAK-NYA, kita disetiap saat dan detik, selalu mengkontribusikan perbuatan terpuji, baik melalui pikiran, ucapan maupun tindakan badan jasmani sehingga akhirnya berdaya guna, bagi semua makhluk dan terutama sekali bagi bangsa dan negara kita tercinta. Indonesia.
    Sabbe satta sabba dukkha pamuccantu - Sabbe satta bhavantu sukhitata. Semoga semua makhluk terbebaskan dari derita dan Semoga semuanya senantiasa berbahagia...sadhu…..sadhu..sadhu....

Ajaran Yang Menjamin Keberhasilan

 

Buddhe dhamme ca sanghe ca dharo saddhan nivesaye

Orang yang bijaksana akan meletakkan keyakinannya kepada Buddha, Dhamma dan Sangha.
 
(Pabbatupama Sutta, Kosala Sanyutta)


Jika ajaran dari suatu agama tidak bisa diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat, maka agama tersebut tentu tidak bias berkembang. Agar bisa diterima dalam masyarakat, ajaran-ajaran dasar dari suatu agama harus bisa diterapkan ke dalam nilai-nilai sosial, tujuan-tujuan sosial, dan urusan-urusan kemasyarakatan yang lain (bersifat keduniawian). Lantas, bagaimanakah dengan ajaran agama Buddha ? Apakah ajaran-ajaran dasar dari Sang Buddha yang terdapat dalam kitab suci Tipitaka bisa diaplikasikan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kehidupan bermasyarakat ?

Beberapa penulis yang membahas ajaran-ajaran Sang Buddha telah memberikan pendapat mereka tentang hubungannya antara agama Buddha dengan ilmu-ilmu kemasyarakatan. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa agama Buddha tidak mengajarkan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan sebagian lagi berpendapat sebaliknya.

Salah satu contoh adalah pendapat Max Weber yang mengatakan bahwa agama Buddha tidak mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan politik dan kemasyarakatan. Tetapi jika kita mempelajari agama Buddha secara mendalam, kita akan mendapatkan beberapa bukti kuat berdasarkan pada kitab suci Tipi?aka , untuk membuktikan bahwa pendapat Max Weber adalah salah. Dalam kaitannya dengan aspek-aspek sosial, perlu diingat bahwa Sang Buddha tidak pernah mengklaim diri-Nya sebagai pelopor perubahan kemasyarakatan di India. Menurut kitab suci Tipi?aka Sang Buddha disebut sebagai Pembabar Dhamma yang tiada bandingnya (Anuttara? Dhammacakka? pavatteti). Oleh karena itu Dhamma yang telah diputar oleh Sang Buddha dijadikan sebagai patokan, kriteria, penuntun masyarakat Buddhis dalam menjalankan kehidupan mereka sehari-hari. Dengan demikian sejak diputarnya Dhamma oleh Sang Buddha, telah terbentuklah masyarakat Buddhis yang berdasar pada ajaran-ajaranNya.

Tahap pertama yang terpenting adalah pemutaran roda Dhamma yang pertama Dhammacakkappavatthana Sutta yang telah dibabarkan oleh Beliau di Taman Rusa Isipatana, di kota Benares. Setelah kelima pertapa yang disebutkan dalam Dhammacakkappavatthana Sutta diterima oleh Sang Buddha maka telah terbentuklah untuk pertama kali dengan apa yang disebut masyarakat Sangha (meskipun dalam hal ini lebih tepat disebut sebagai kelompok Sangha). Hal ini merupakan hal yang sangat penting jika kita belajar aspek-aspek dasar agama Buddha. Untuk tahap berikutnya Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu, upasaka/upasika (murid-murid Beliau) tentang bagaimana cara-cara untuk mendapatkan kesejahteraan. Setelah Sang Buddha mendapat pengikut yang banyak maka terbentuklah apa yang dikatakan sebagai "masyarakat Buddhis".

Tentunya tidak dapat dipungkiri bahwa Sang Buddha meskipun Beliau bukan sebagai revolusioner di bidang sosial, tetapi Beliau menginginkan adanya dunia Buddhis, sebagai suatu kelompok/masyarakat yang baru di tengah-tengah beberapa kelompok masyarakat dari agama dan kepercayaan yang lain, yang ada pada waktu itu. Adapun tekad Sang Buddha untuk membentuk apa yang dinamakan masyarakat Buddhis bisa kita lihat dari Maha Parinibbana Sutta sebagai berikut : "Saya tidak akan berParinibbana sebelum ajaran-ajaran agung-Ku telah dimengerti, telah menyebar, serta telah diajarkan dengan baik kepada manusia."

Sang Buddha sangat memperhatikan secara mendalam tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh setiap manusia yang ada pada saat itu misalnya dengan meningkatkan kondisi dari masing-masing individu dan juga masyarakat untuk menunjang kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa pernyataan Dhamma Vinaya mengandung pengertian material dan spiritual.

Yang menjamin keberhasilan

Dalam Sutta Nipata, Maha Mangala Sutta terdapat ajaran dari Sang Buddha yang menjelaskan tentang cara-cara untuk mendapatkan keberhasilan. Khotbah di hutan Jeta pemberian saudagar Anattapindika ini membabarkan tentang 38 jenis perbuatan yang apabila dilakukan akan membawa seseorang bisa mendapatkan suatu keberhasilan. Secara garis besar ke-38 jenis perbuatan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu :

  1. Sila (kemoralan)
    Dasar kehidupan bermoral, terdiri dari tiga persiapan untuk dapat hidup bermoral, yang pertama; tak bergaul dengan orang yang dungu; bergaul dengan orang yang bijaksana; menghormat mereka yang patut untuk dihormat.

    Bagian kedua adalah penunjang untuk hidup bermoral; hidup di lingkungan yang sesuai; hal ini didapat berkat jasa dari kehidupan yang lampau; menuntun diri ke arah yang benar. Dan yang ketiga adalah pendidikan dalam hidup bermoral; memiliki pengetahuan; trampil serba bisa (dalam hal kebajikan); terlatih baik dalam tata susila; menyenangkan tutur katanya.

    Kehidupan sosial masyarakat; Dalam hal ini juga dibagi menjadi tiga bagian, yang pertama adalah kehidupan berkeluarga; membantu ayah dan ibu; menjaga baik-baik anak dan istri; serta memiliki pekerjaan yang penuh damai. Kedua adalah kehidupan sosial; suka berdana; berperilaku pantas; membantu sanak keluarga dan bertindak tidak tercela. Yang ketiga adalah kehidupan pribadi; berhenti berbuat jahat dan terbebas dari kejahatan; menghindari meminum minuman yang merusak; tekun dalam melaksanakan kehidupan bermoral.

  2. Samadhi (konsentrasi)
    Dalam hal ini terdapat dua bagian utama yaitu yang pertama adalah persiapan diri untuk bersamadhi; memiliki rasa hormat; rendah hati; merasa puas; senantiasa berterima kasih; mendengarkan dhamma pada saat yang sesuai.

    Bagian berikutnya adalah latihan untuk samadhi; sabar; bergaul dengan manusia teladan dalam dhamma; ikut serta dalam diskusi keagamaan.

  3. Pañña (kebijaksanaan)
    Juga terbagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah jalan menuju kebijaksanaan; menjalankan kehidupan suci; memahami empat kebenaran mulia; merealisasi Nibbana. Dan sebagai hasil dari kebijaksanaan adalah : pikiran tanpa kesedihan; tanpa noda dan mantap; tetap tidak terganggu walau dipengaruhi kesulitan-kesulitan duniawi (terutama pasang surutnya kehidupan di dunia ini, atau kondisi-kondisi kehidupan).
[ Dikutip dari Artikel Berita Dhammacakka Edisi : 30 Juli 2000 ] 

Agama Dan Penyalahgunaan Narkotika

 
Agama Dan Penyalahgunaan Narkotika
Oleh Bhikkhu Pandit P. Pemaratana Nayaka Mahathera 
 


Obat bius bukanlah sesuatu yang baru bagi umat manusia, sebagai contoh, marijuana (ganja) telah dikenal manusia hampir 5000 tahun. Narkotika seperti opium dan bermacam-macam produknya seperti heroin, morfin, paragorik dan kodein, biasanya digunakan dalam pengobatan sebagai obat penenang dan penawar sakit, sedangkan obat bius buatan manusia seperti LSD( Lysergic acid diethylamide/semacam obat bius yang keras) digunakan dalam jumlah tertentu untuk pengobatan gangguan mental dan gangguan emosional.

Akan tetapi dalam beberapa tahun belakangan ini, masalah obat bius menjadi begitu hangat khususnya diantara kaum muda, masalah ini mengancam beberapa atau seluruh negara di dunia sebagai masalah utama kesehatan. Beribu-ribu bahkan berjuta-juta pemuda menderita, hidup tanpa arti, dan tragis. Suatu penderitaan dan kesakitan yang tidak terbatas. Mengapa mereka menggunakan obat bius? Alasan-alasan yang diberikan oleh beberapa pengguna obat bius tersebut termasuk yang hanya " ingin tahu " dan " iseng saja " adalah " karena hanya itulah yang dapat dilakukan ". Alasan-alasan ini terutama yang diberikan oleh mereka yang sebelumnya tidak pernah menggunakan obat bius dan yang didesak serta didorong untuk memulainya.

Kadang-kadang obat bius digunakan sebagai jalan keluar dari keadaan yang tidak menyenangkan, terutama oleh mereka yang bingung dan frustasi dimana mereka kehilangan/tidak dapat menerima kenyataan. Bahaya yang mengancam dalam penggunaan obat bius ini ialah dapat membuat seseorang menjadi ketagihan atau lebih buruk lagi dapat kecanduan obat bius tersebut. Jika secara psikologi, seseorang sudah terikat dengan obat bius, maka akan sangat sulit baginya untuk menghilangkan kebiasaan tersebut.

Pengaruh-pengaruh buruk dari kelebihan penggunaan obat bius meliputi sakit mental, panik, cacat lahir, kehilangan koordinasi tubuh, penghayal, tidak bergairah, kegagalan dalam penggunaan organ tubuh. Secara sosial seorang pencandu obat bius biasanya akan menyebabkan kesulitan bagi dirinya sendiri daam kaitannya dengan hukum. Banyak sekali pencandu obat bius ditangkap karena mencuri atau melakukan kejahatan lainnya. Jika persediaan obat bius habis, pecandu obat bius akan melakukan kejahatan dalam upaya mendapatkan uang yang cukup untuk membeli obat bius yang mahal itu. Biasanya kesehatan yang buruk dari pecandu sering memperpendek hidupnya sekitar 15 sampai 20 tahun.

Gerakan Anti Obat Bius

Pemerintah mengalami kesulitan dalam kampanye anti obat bius, karena obat bius dapat dengan mudah disembunyikan dan dibawa. Selain itu, perdagangan obat bius merupakan bisnis yang sangat menguntungkan. Sebagai contoh, satu kilogram opium mentah yang dibeli dari petani di Turki sekitar 100 dollar US, setelah diproses menjadi morfin, heroin, dll, dan diseludupkan ke Amerika mungkin dapat dijual sekitar 600.000 dollar US. Karena keuntungan yang besar itu, maka hukum tidak akan dapat menghalangi perdagangan obat bius tersebut.

Oleh karena itu, dalam penyelesaian masalah ini, tidak hanya terletak pada hukuman yang berat bagi penyalur obat bius. Perhatian harus juga ditujukan untuk mendidik masyarakat akan bahaya dari penggunaan obat bius. Selain itu alternatif yang dapat dilakukan adalah memberikan kesempatan kepada kaum muda untuk keluar dari rasa frustasinya melalui kegiatan yang berguna dan tidak berbahaya. Dalam hal ini Agama dapat dan harus memainkan peranannya.

Sebagai contoh, sekolah minggu atau vihara-vihara merupakan tempat yang baik untuk menghabiskan waktu seseorang sekaligus untuk menahan diri dari penggunaan obat bius

dan kemabukan. Tempat seperti itu menyediakan pendidikan umat Buddha untuk hidup damai dan mengatur dirinya dalam hidup sehari-hari menurut Sila yang akan mengangkat standar hidupnya. Buddhisme mengajarkan suatu nilai moral dasar dan tidak hanya menolong diri sendiri tapi juga masyarakat agar hidup dalam dasar-dasar tersebut (Sila).

Pemerintah dapat mengadakan pendidikan demikian untuk melenyapkan bahaya yang dihasilkan dari kecanduan warga negaranya terhadap alkohol dan obat bius.

Pengaruh-pengaruh buruk dari penggunaan obat bius

Sang Buddha bersabda, " Keinginan terhadap sesuatu yang bersifat materi dan keinginan terhadap kenikmatan hawa nafsu akan membuat manusia menjadi egois dan tidak akan pernah puas. Orang seperti itu hanya memikirkan dirinya sendiri dan tidak perduli terhadap apa yang terjadi pada orang lain sebagai akibat dari kesalahan dan keegoisannya.

Gambaran ini sesuai bagi pecandu obat bius, yang mencari kesenangan bagi dirinya dan untuk sementara waktu melupakan masalahnya dengan menggunakan obat bius. Tindakannya dalam melakukan kejahatan untuk membiayai obat bius yang diperlukannya , dan pengaruh dari hal itu akan menimbulkan masalah-masalah buruk terhadap masyarakat. Secara singkat obat bius menyebabkan ketidaktahuan dan kegelapan pikiran. Mereka adalah " iblisnya pikiran " dan " penguras isi dompet ". Mereka menimbulkan kesengsaraan bagi suami-suami, istri-istri dan anak-anak. Mereka berbahaya bagi kesehatan manusia, hasilnya adalah kemerosotan dalam fisik dan moral.

Pada bagian atas digambarkan kepribadian pencandu obat bius. Hal ini penting untuk mengetahui karakter, kepribadian, dan tipe dari kecanduan obat bius agar dapat diberikan penanganan yang sesuai dalam merehabilitasi, memperbaiki atau mengobati mereka.

Pengetahuan akan kepribadian pencandu obat bius memungkinkan pemerintah yang bersangkutan, swasta maupun perwakilan-perwakilan kesejahteraan untuk menyediakan pendidikan terhadap bahaya dari ketergantungan obat bius ( kaum muda pengguna obat bius lebih meningkat jumlahnya dibanding kelompok-kelompok yang lebih tua dalam abad 20 dari pada abad-abad sebelumnya )

Tiga type dari pecandu obat bius

Kami mengklasifikasikan obat bius sebagai berikut :

  1. Pecandu-pecandu utama.
    Termasuk didalamnya orang-orang dengan kepribadian buruk,gelisah dan depresi. Pencandu-pencandu dengan kepribadian dengan kepribadian demikian memiliki motivasi yang mentah dan tidak memiliki kemampuan untuk mengenali tujuan secara dewasa.Pencandu-pecandu dengan kegelisahan dan karakteristik depresi ini memiliki cita-cita yang tinggi tetapi dengan penghargaan yang rendah.Reaksi mereka terhadap situasi lingkungan menghasilkan ketakutan dan depresi.Juga perlu dicatat bahawa orang-orang yang profesional dan semi profesional dengan pendidikan yang lebih tinggi dapat pula termasuk ke dalam kelompok terakhir. Oleh karena itu,pemerintah perlu segera melakukan sesuatu tindakan yang "sesuai" untuk merehabilitasi pencandu-pecandu yang menderita itu.
  2. Pecandu-pecandu Symptomatic.
    Mereka agresif, dan bersifat antisosial (psikopat). Mereka menolak untuk mengikuti peraturan moral masyarakat . Biasanya mereka juga melakukan tindakan-tindakan kejahatan.
  3. Pecandu-pecandu obat bius yang bersifat reaktif.
    Yang termasuk kelompok –kelompok ini adalah anak remaja. Bagi mereka penggunaan obat bius merupakan jalan untuk mendapatkan sambutan dari kelompok sebayanya. Anak muda ini mecoba obat bius karena ingin tahu dan dalam beberapa kasus karena ketidaktahuan akan bahaya obat bius. Untuk kelompok pecandu obat bius ini seharusnya disediakan pendidikan yang sesuai. Ketika Sang Buddha mencapai penerangan sempurna, Beliau menunjukan jalan bagi pengikutNya dengan cara mengundang "datang dan buktikan" (Ehipasiko). Jalan itu,yang paling menentukan dalam Empat Kesunyataan Mulia dari Buddhisme yang disebut juga Jalan Utama Beruas Delapan. Kedelapan ruas jalan ini digolongkan dalam Sila (Moralitas), Samadhi (konsentrasi), dan Panna (kebijaksanaan).
Sila terdiri dari berkata benar, perbuatan benar, dan mata pencaharian benar. Samadhi terdiri dari usaha benar, perhatian benar dan konsentrasi benar. Panna terdiri dari pengertian benar dan pikiran benar.

Untuk umat Buddha, peraturan moral yang terdiri dari lima aturan ( Panca Sila ) yang sederhana yaitu; menjauhkan diri dari pembunuhan, pencurian, prilaku seks yang tidak wajar, berkata dusta dan minuman yang memabukkan dan obat bius. Dengan lima perbuatan ini umat Buddha membangun dirinya sesuai dengan moral dasar, setiap hari membersihkan pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Selain itu, pada hari Uposatha (hari puasa) seperti hari-hari pada saat bulan purnama, ia dapat, jika ia mau untuk menjalankan tiga tambahan peraturan yang sifatnya lebih tinggi ( Atthanga sila atau delapan peraturan).

Sang Buddha tidak menganjurkan pertapaan yang berat, tetapi hanya sesuatu yang diperlukan untuk membebaskan seseorang karena cinta kasih yang besar. Suatu manfaat hidup sederhana dari umat Buddha teladan dengan mempraktekkan kemurahan hati serta mengembangkan kebajikan yang universal. Untuk kehidupan umat Buddha diberikan suatu nilai dasar moral yang mana menyelimuti kesucian pikiran, perkataan dan perbuatan.

Aturan susila dan disiplin, bagaimanapun hanya permulaan dari ajaran Sang Buddha. Tujuan mereka adalah untuk membuka jalan kepada kemajuan batin melalui pengembangan batin. Obat bius dan perusak pikiran yang lain tidak mempunyai tempat dalam memahami sifat dasar dari kenyataan yang sebenarnya.

Sigalovada Sutta

Sang Buddha mengemukakan beberapa kotbah untuk menambah ajaran-Nya. Kotbah-kotbah ini sering diucapkan dalam istilah yang sederhana dan dapat dengan mudah dimengerti. Sebagai contoh pertama, saya akan mengutip dari Sigalovada Sutta, yang mana terutama terdiri dari nasihat yang diberikan oleh Sang Buddha kepada Sigala.

Sang Buddha menasihati Sigala bahwa ada 6 saluran pemborosan untuk menghamburkan kekayaan, yang mana oleh seorang umat Buddha harus dihindari, mereka adalah:

Kegemaran akan minuman keras
Berkeliaran di jalan tanpa kenal waktu
Sering berpelesir
Gemar berjudi
Bergaul dengan orang jahat
Ketagihan akan kemalasan (malas bekerja)

Dalam hal pertama, Sang Buddha bersabda, "O, Sigala, ada 6 akibat buruk dari kegemaran akan minuman keras, yang mana disebabkan oleh ketagihan dan ketidaktahuan, yakni:

Harta bendanya segera habis
Menimbulkan pertengkaran
Mudah diserang penyakit
Mendapat reputasi buruk
Mendapat rasa malu
Kecerdasan menurun

Kemudian, di dalam Parabhava Sutta (sebab-sebab kemerosotan), Sang Buddha bersabda, "Manusia yang ketagihan kepada wanita, minuman keras, perbuatan jahat, menghambur-hamburkan segala sesuatu yang dimiliki, itulah sebab kemerosotan seseorang".

Dalam Manggala Sutta (berkah termulia), Sang Buddha ditanya bagaimanakah berkah termulia itu? Sang Buddha menjawab, " … menghindari dan menjauhi perbuatan jahat, menjauhkan diri dari minuman keras, dan tekun dalam menjalankan kebajikan, itulah berkah termulia."

Dari apa yang telah disebutkan di atas, sekarang jelaslah bahwa Buddhisme menyediakan petunjuk-petunjuk khusus bagi kemajuan dan perkembangan diri pemuda-pemuda di zaman moderen, jika kita lihat kembali mengenai self reliance dan latihan serta pencapaiannya dalam sejarah kita tidak dapat mengatakan bahwa agama secara umum telah sukses untuk jangka waktu yang panjang dalam menggali sifat-sifat baik dalam diri manusia. Kesalahan terletak pada sifat manusia itu. Insting binatang yang terdapat pada diri manusia " yang paling kuat yang dapat bertahan hidup "sering kali lebih kuat daripada ajaran agama.

Oleh karena itu agama modren harus mampu membangkitkan keyakinan penuh dalam diri manusia. Agama harus dapat menahan pernyataan-pernyataan keras dari pengetahuan ilmiah dan secara filosofis harus cukup luas mencakup semua elemen dari perjalanan-perjalanan manusia. Hanya agama yang demikian yang dapat memberikan kepada manusia suatu kesadaran yang mendalam tentang nilai-nilai spiritual dan perasaan aman serta mendominasi pikiran mereka sehingga dapat membuat mereka mengikuti jalan kebenaran tanpa rasa takut karena mengetahui benar bahwa pada akhirnya kebijakan akan menang.

Obat penenang tidak pernah dan tidak akan pernah menyentuh bagian terdalam dan kehidupan subyektif manusia untuk mempengaruhinya untuk perbaikan dan untuk masyarakat. Hanya dengan suatu agama yang sesuai dengan sifat alami pikiran yang akan bias menyentuh dan memperbaiki kekacauan serta mengobati pikirannya.

Alkoholisme Dan Kecanduan Obat Bius

Biasanya manusia menyukai rangsangan syaraf walaupun mereka merasa tidak begitu memerlukannya. Diantara perangsang tersebut, yang paling kuat ialah kecanduan alkohol dan obat bius Psychedelic. Pada tingkat permulaan, pecandu alkohol dan pecandu obat bius meminum dan menelan minuman keras ini dengan kesalahpengertian bahwa obat bius ini dapat memberikan tambahan tenaga bagi mereka. Pada akhirnya minuman keras yang sama dapat menyerangnya dan dapat membuatnya tidak berdaya sehingga menyebabkannya menjadi seorang psikoneurotis yang tidak tersembuhkan. Jika kecanduan alkohol dan obat bius, berkembang menjadi suatu kebiasaan hidup dalam diri seseorang, maka akan menimbulkan banyak kesukaran untuk keluar dari kebiasaan buruk tersebut.

Cara dan jalan terbaik adalah tidak terpengaruh, bahkan dalam jumlah yang sedikit atas kesenangan yang berbahaya ini. Bagi mereka yang telah dimangsa oleh kesenangan yang merusak ini, cara terbaik dan paling membantu untuk dilakukan adalah harus berteman lebih dekat dengan orang-orang bijaksana dan menjalankan ajaran agama serta tentu saja mencoba menghilangkan penggunaan obat bius . Jika keinginan terhadap alkohol dan obat bius tersebut timbul di dalam pikiran, maka seseorang dapat menghindari dan menghilangkan keinginan tersebut dengan beberapa macam minuman tanpa alkohol. Beberapa orang memakan sayuran hijau atau mikrobalan kuning (Sansekerta, amalaka dan haritake) dalam situasi sulit seperti ini.

Salah satu akibat buruk kecanduan alkohol dan kecanduan obat bius adalah dapat memperbudak dan memperlemah kemauan keras dari seseorang. Ini merupakan kebiasaan mental yang dapat mengacaukan dan dapat melemahkan pikiran. Orang tersebut disebut mengalami gangguan mental (Neurotik). Tidak sulit untuk sembuh dari hal tersebut.

Umumnya, sebagian besar masyarakat tidak mengetahui nilai-nilai kehidupan. Generasi yang lebih muda secara keseluruhan lebih banyak lagi. Semakin tidak tahu dan berpikir panjang, semakin mudah seseorang terjebak dalam kejahatan. Seperti yang disebutkan dalam tulisan diatas, alkohol dan obat bius adalah alat yang mudah untuk mendapatkan uang yang banyak. Dalam perdagangan seperti ini, orang yang bodoh karena kebodohannya biasanya bersedia membayar sesuai dengan permintaan si penjual.

Pikiran bijaksana harus sadar akan siasat buruk dari pedagang-pedagang yang merusak ini. Sudah waktunya bagi orang-orang sosial dan para dermawan, pemuka agama dan pemerintah untuk tampil ke depan dan berusaha sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan mereka untuk mencegah orang-orang bodoh yang dimangsa oleh sifat buruk dan kejahatan tersebut.

Meditasi

Kita sekarang melangkah pada persoalan dari pecandu obat bius dan meditasi. Sang Buddha menyatakan bahwa pikiran kita yang terkonsentrasi pada usaha benar dan pengertian benar dapat menghasilkan hasil yang besar. Pikiran yang bersih dan sehat akan menuju kepada kesehatan dan kehidupan yang tenang. Hal ini dapat dicapai apabila pikiran terkendali dan dijaga pada garis yang benar sehingga berguna bagi pemiliknya dan bagi masyarakat. Oleh karna itu pikiran seseorang bisa menjadi sahabat atau musuh. Kecanduan obat bius dalam pandangan ini adalah buruk karena menghasilkan kekacauan pikiran yang mana merugikan pemiliknya maupun orang lain. Penggunaan Halucinogen (Obat yang dapat menimbulkan hayalan) atau obat bius seperti LSD menghasilkan kekacauan dan kekeliruan pikiran. Obat bius ini mengakibatkan perubahan persepsi, pikiran dan perasaan atau pengaruh-pengaruh batiniah yang mana dapat membawa seseorang lebih keliru, bingung dan mengerikan. LSD berbahaya karena pandangan yang keliru atas hasilnya, dimana mengakibatkan pecandu sering melakukan bunuh diri.

Sebaliknya, meditasi adalah suatu proses daya cipta batin yang tidak pernah berakhir. Meditasi merubah emosi yang tidak terkendali, pikiran dan perasaan menjadi suatu kesatuan harmonis yang menerangi pikiran. Mental Buddhis berkembang melalui meditasi yang berkaitan dengan sublimasi, harmonisasi dan integrasi dari semua kwalitas manusia dan kemampuan yang menekankan pada pentingnya usaha individu (Viriya), Hasil dari pelaksanaan ajaran agama ialah daya cipta pikiran (Dhammavicaya), pengetahuan akan kebijaksanaan (Panna), kesadaran langsung dari pemusatan meditasi (Ekaggata), mencintai semua mahluk (Metta) dan keyakinan dengan pengertian (Saddha) terhadap guru yang telah mencapai penerangan sempurna. Orang bijaksana akan mengikuti petunjuk dari pimpinan agama dengan memusatkan perhatiannya. Pemeliharaan pikiran dan penerangan tidak dapat dicapai melalui pemakaian obat bius seperti LSD. Penggunaan obat bius hanya akan menyebabkan ketidakteraturan pengembangan pikiran dari orang biasa yang tidak berpengetahuan atau pertimbangan-pertimbangan yang memungkinkannya untuk mengetahui kebenaran.

Bagaimana Bermeditasi

Meditasi akan berhasil dengan jalan dipraktikkan, tidak hanya untuk mengembangkan kemaun keras, tetapi juga sebagai suatu alat yang mudah bagi pecandu alkohol dan pecandu obat bius untuk membuang kebiasaan buruk mereka dan menghancurkan kebiasaan tersebut. Oleh karna itu, bagaimana bermeditasi pada gilirannya akan dijelaskan pada bagian ini. Tempat yang terbaik untuk bermeditasi ialah tempat yang terpencil, sepi dan suasana religius yang tenang. Dapat di dalam rumah pemiliknya sendiri atau di ruang meditasi atau di tempat suci di vihara-vihara. Bangsa Indian kuno lebih menyukai di bawah pohon atau di batu besar di dalam hutan.

Sikap badan yang terbaik untuk bermeditasi ialah sikap bunga teratai maksudnya ialah duduk diatas lantai atau di atas alas duduk, letakkan kaki kiri di atas paha kanan dan kaki kanan di atas paha kiri. Sikap badan ini memungkinkan duduk dengan menyenangkan di atas bangku atau kursi dengan badan dan kepala tegak. Jika orang tersebut sudah duduk dengan baik pada posisi duduknya, ia harus menegangkan tubuhnya. Ketegangan akan menghentikan setiap ketegangan dan gerakan. Jika tubuh telah tenang, ia akan teguh seperti batu, batang kayu atau tumbuhan. Di dalam tubuh yang tenang, tidak ada usaha fisik maupun ketegangan yang diperlukan untuk sikap badan seperti itu. Cara terbaik dan termudah untuk mencapai obyek meditasi ialah melalui pernafasan, menghirup dan membuang nafas. Dimana saja seseorang berada dan kemana saja ia pergi, obyek meditasi ini seharusnya selalu bersamanya. Jika badan dalam keadaan tenang, sang mediator harus mencoba memusatkan pikirannya (mencapai kesadaran) hanya dalam dua bentuk gerakan, memasukkan dan mengeluarkan nafas. Dalam usaha ini, ia harus menghentikan semua bentuk pikiran dan mencoba untuk sadar akan gerakan pernafasan. Ketika mencapai kesadaran dengan konsentrasi yang benar, orang tersebut tidak mengetahui apa-apa, kecuali gerakan pernafasan. Ia melupakan sekitarnya, bahkan tubuhnya sendiri. Konsentrasi akan menuju ke pikiran yang terkendali dan menjinakkannya. Oleh karena pengendalian ini, kemauan keras akan berkembang dan memperkuat dirinya. Selain itu konsentrasi adalah suatu jalan untuk mempertajam pencapaian kesadaran yang mana membantu penajaman persepsi, dan pada gilirannya membantu gambaran yang benar atau pemikiran rasional yang akan menyebabkan timbulnya kemauan yang keras. Tidak ada batas waktu untuk mencapai konsentrasi pikiran. Sampai Anda merasa puas, anda boleh melanjutkan meditasi. Jikalau Anda adalah seorang pecandu alkohol atau pecandu obat bius, Anda harus menghentikan penelanan obat-obat dan alkohol ini paling sedikit tiga hari sebelum meditasi.

Renungkan secara mendalam atau dalam keheningan kalimat ini tujuh kali atau lebih: "Alkohol dan obat bius adalah merusak dan berbahaya bagi kesehatan pikiran. Sekarang keinginan dan perbudakanku terhadapnya dengan cepat diturunkan dan secara berangsur-angsur dihilangkan. Aku akan tumbuh sebagai manusia dengan kemauan keras. Sekarang aku dapat menghentikannya sama sekali. Ini adalah kemenanganku ".

[ Naskah asli: Religion and Drug abused, diterjemahkan oleh Edi Wijaya. Dikutip dari Majalah Dharma Prabha]

Minggu, 21 Februari 2010

Agama Dan Politik Moral


Agama Dan Politik Moral
Oleh Daniel Johan 



Dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan, hubungan antara agama dan politik jelas memiliki suatu keterkaitan, namun tetap harus dibedakan. Satu pihak, masyarakat agama memiliki kepentingan mendasar agar agama tidak dikotori oleh kepentingan politik, karena bila agama berada dalam dominasi politik, maka agama akan sangat mudah diselewengkan. Akibatnya agama tidak lagi menjadi kekuatan pembebas atas berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan, sebaliknya agama akan berkembang menjadi kekuatan yang menindas dan kejam.
 
Di pihak lain, adalah kewajiban moral agama untuk ikut mengarahkan politik agar tidak berkembang menurut seleranya sendiri yang bisa membahayakan kehidupan. Agar agama dapat menjalankan peran moral tersebut, maka agama harus dapat mengatasi politik, bukan terlibat langsung ke dalam politik praktis. Karena bila agama berada di dalam kooptasi politik, maka agama akan kehilangan kekuatan moralnya yang mampu mengarahkan politik agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang menekan kehidupan dan menyimpang dari batas-batas moral dan etika agama, masyarakat, dan hukum.

Dalam konteks keterkaitan ilmiah, maka hubungan antara agama dan politik harus kita waspadai sehingga ia tidak sampai berjalan pada posisi yang salah. Salah satu ukuran atau kunci yang paling mudah dikenali agar kita dapat menarik batas yang mana politik yang harus dihindari sehingga kita tidak terjebak ke dalam arus politik kotor, khususnya oleh kaum Buddhis adalah dengan menghindari penggunaan kekerasan. Artinya politik yang harus dihindari adalah politik yang menyangkut perebutan kekuasaan melalui penggunaan kekerasan, termasuk dengan memperalat orang lain atau suatu organisasi, apalagi bila sudah menggunakan simbol-simbol agama yang bisa sangat menyesatkan.

Jadi, agama secara moral dan politis berada pada posisi yang benar pada saat agama tidak menjadi alat untuk memperebutkan atau mempertahankan status quo kekuasaan. Sehingga pada saat agama mengarah kepada politik kekuasaan, pada saat itulah agama dalam posisi yang salah dan berbahaya. Jadi ada 2 hal keterkaitan yang menjadi wacana diskusi kita, pertama bagaimana agama dapat membentengi diri mereka dari setiap kecenderungan/kekuatan politik yang berkembang di sekitar mereka, sehingga agama dapat tetap menjadi kekuatan pembebas dan bukan sebaliknya menjadi yang dibebaskan atau pencipta masalah karena telah terdistorsi oleh kekuatan-kekuatan politik tersebut. Kedua bagaimana agama dapat memainkan peran moral mereka untuk ikut mengarahkan politik agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang menyimpang dan menekan kehidupan.

Tetapi kedua hal di atas hanya dapat berjalan dengan baik bila kita memiliki pemahaman yang cukup mendalam atas setiap proses politik yang berjalan. Tanpa adanya pemahaman atas proses politik, sulit bagi kita untuk membentengi diri karena proses pemahaman tersebut akan menimbulkan kepekaan nurani pada saat politik berjalan pada arah yang salah, sekaligus menimbulkan suatu perencanaan bagaimana arah politik yang seharusnya dan diharapkan, dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang menjadi keyakinan kita, baik menyangkut rasa keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan.

Sebaliknya, kebutaan kita atas persoalan politik akan membuat kita begitu mudah dibodohi oleh kepentingan-kepentingan dan muatan-muatan politik yang tidak jelas arahnya. Jadi usaha agar agama tidak dikotori dan diberi muatan politik tidak berarti agama harus mengalami pendangkalan fungsinya sebagai agen pembebas. Justru pemahaman atas proses politik diperlukan karena agama memiliki peranan yang penting agar nilai-nilai moral dan spiritual mampu memberikan muatan bagi politik, bukan sebaliknya. Selain itu, saat ini pemahaman atas sistem politik, baik yang menyangkut masalah ekonomi maupun sosial menjadi semakin penting bagi seorang Buddhis karena bagaimanapun juga, berbicara mengenai Buddhisme adalah berbicara mengenai bagaimana kita memahami penderitaan, untuk kemudian memahami sebab dan jalan untuk mengatasinya. Buddhisme akan kehilangan akarnya bila tidak sanggup lagi berbicara dan peduli dengan penderitaan dunia saat ini yang sudah sedemikian kompleks.

Tetapi memahami penderitaan saat ini tidaklah semudah kita memahami penderitaan pada zaman Buddha. Masyarakat luas saat itu tidaklah seburuk sekarang dan sistem yang ada juga belum terlalu kejam. Dan perubahan seseorang masih dapat memberikan pengaruh yang besar. Contohnya adalah Supata yang dikenal sebagai Anathapindika. Ia adalah seorang yang kaya raya, seorang banker pada zaman Buddha, menjadi pendukung seluruh orang miskin di wilayahnya. Tapi pada zaman sekarang, kita mungkin dapat menemukan seorang banker atau raja yang baik, atau bahkan mungkin mengganti penguasa yang lalim, tapi hal ini tetap saja tidak membawa perubahan yang mendasar. Ini bukan semata-mata kesalahan si banker atau penguasa yang lalim.

Ini menyangkut seluruh bagian dari suatu sistem yang pincang dan tidak demokratis. Melalui sistem ini manusia saling membunuh dan menerkam. Karenanya kita perlu mempertanyakan setiap sistem yang berlangsung, tapi bukan membenci orang-orang yang terlibat dalam sistem tersebut. Oleh karena itu pemahaman atas sistem politik, ekonomi, maupun ideologi menjadi sangat penting. Usaha untuk mengatasi penghancuran lingkungan, ketidakadilan, dan berbagai kesenjangan sosial, politik, dan ekonomi, misalnya, jelas menjadi tugas seorang Buddhis.. Tapi kita juga tidak boleh lalai untuk menyadari bahwa setiap komitmen moral yang kita miliki terhadap usaha pembebasan penderitaan, sesungguhnya bersifat politis.

Mengatasi penderitaan memang merupakan komitmen moral, tapi melakukan perubahan struktural yang tidak demokratis agar rakyat terbebas dari struktur sosial yang menindas dan banyak menimbulkan penderitaan, maupun yang melanggengkan ketergantungan dan ketidak berdayaan mereka, merupakan keputusan politik. Jadi jelas, pembebasan penderitaan saat ini tidak dapat dipahami hanya dalam konteks pribadi, karena Buddhisme selain memberi sarana bagi pembebasan pribadi, ia juga harus dapat melapangkan jalan bagi pembebasan sosial dan lingkungan.

Kita teringat dengan perjuangan Ambedhar, seorang pemimpin besar dan bapak konstitusi India. Meskipun ia menjadi Buddhis pada saat-saat akhir masa hidupnya, akan tetapi kedalaman spiritual dan intelektualnya membuat ia mampu membawa ajaran Buddha dengan cara yang mengagumkan. Ia tidak hanya menjadikan Buddhisme sebagai sumber pencerahan pribadi, tapi juga bagaimana nilai Buddhisme mampu memberikan pengharapan dan pencerahan bagi jutaan rakyat India, yang mengalami banyak ketidakadilan dan pendiskriminan saat itu. Buddhisme saat itu telah menjadi kekuatan pembebas yang begitu hebat, bukan hanya sebagai pembebasan pribadi, tapi juga pembebasan sosial dan politik.

Ambedhar senantiasa mengingatkan bahwa tidaklah cukup bagi seorang Buddhis berbicara mengenai sebab penderitaan hanya dari kebencian, keserakahan, dan kebodohan individual. Itu hanya satu sisi dari sebab "internal" karena di samping itu, struktur sosial dan politik yang pincang adalah juga sebab penderitaan sebagai sebab-sebab yang tidak tersentuh. Sebagai seorang Buddhis, transformasi pribadi memang harus tetap dilakukan, tapi kita akan tetap dibodohi bila kita tidak memahami secara jelas bagaimana sebuah sistem berjalan dan cara untuk mengubah sistem dan kondisi masyarakat yang menindas.

Bila selama ini etika sosial Buddhis telah menjadi begitu pribadi, maka kita perlu menginter- pretasikannya kembali sehingga sila selain berguna untuk menuntun cara hidup individu, ia juga harus dapat mempertanyakan berbagai sistem dan kebijaksanaan yang berlangsung dengan melihat bagaimana suatu sistem juga mengandung suatu kekerasan dan penindasan. Pancasila Buddhis misalnya, dalam masyarakat tradisional yang hidup sederhana, masalah-masalah etika/sila juga menjadi mudah dan sederhana. Seseorang dapat saja berkata "Saya baik, saya tidak membunuh, mencuri,….." tapi ketika masyarakat sudah berkembang semakin kompleks, kesederhanaan etika seperti itu menjadi kurang berfungsi. Tidak mencuri, sila kedua misalnya, secara formal seseorang mungkin memang bukan pencuri. Tapi bagaimana dengan sistem tata niaga atau sistem embargo ?. Apakah hal tersebut tidak melanggar sila.

Begitupun dengan pemikiran Buddhis atas pencerahan dan kebijaksanaan yang mutak diperlukan sehingga tidak selalu diartikan sebagai pencerahan pribadi.. Kebijaksanaan (panna) harus mengandung pemahaman yang benar atas diri sendiri dan masyarakat. Bila kita memahami masyarakat dan bila masyarakat dalam kondisi yang diliputi oleh ketidakadilan, mengeksploitasian, dan kekerasan, bagaimana tanggapan kita atas hal tersebut? Apakah kita melepaskan tanggung jawab moral sosial kita dan cukup menjadi "seorang Buddhis yang baik". Apa benar Buddhisme tidak memiliki tanggung jawab dan kepedulian sosial?

Kesadaran-kesadaran inilah yang masih perlu dibangun dan disadari oleh setiap generasi muda Buddhis para calon intelektual muda bangsa. Memang ini masih menjadi sesuatu yang sangat baru dan asing bagi sebagian besar masyarakat Buddhis, karena selama ini kita terlalu sering membiarkan diri kita berdiri terlalu jauh dari masalah-masalah sosial politik aktual. Tapi dengan memahami bahwa sistem juga adalah bagian yang tidak terlepas dari penyebab penderitaan, semoga kita dapat semakin terbuka untuk mulai belajar setiap proses sosial politik yang berlangsung, sehingga kita dapat semakin menyadari hakekat pembebasan yang menjadi amanat dasar dari Dharma.

Bila Dharma sesuatu yang tidak terikat oleh waktu, ia juga harus dapat berguna bagi usaha pembebasan di segala zaman. Sudah saatnya bagi generasi muda Buddhis, khususnya mahasiswa calon intelektual muda, untuk mulai berani berbicara mengenai landasan ekonomi, termasuk politik yang seringkali menjadi sebab tak tersentuh dari persoalan penderitaan dan kemanusiaan. Akhirnya mengapa pemahaman dan wawasan yang mendalam atas persoalan sosial politik diperlukan, karena sebagai manusia yang memiliki semangat spiritualitas Dharma, yang selalu bersandar kepada kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan, akan terusik nuraninya bila melihat politik berkembang menjadi kekuatan yang kotor, menekan dan menindas. Yang kita inginkan adalah politik moral yang dapat memperjuangkan kehidupan ke arah demokrasi, bukan politik binatang yang mematikan demokrasi dan kemanusiaan.

( Disampaikan pada Seminar Pelatihan Organisasi Wajib PATRIA I, DPD PATRIA Jawa Timur, 15-17 Agustus 1998 )

Agama Buddha Masa Kini

Agama Buddha Masa Kini
 
Oleh Yang Mulia Bhikkhu Piyadassi Mahathera


Agama Buddha, pertama dibabarkan oleh Sang Buddha sendiri dan kemudian bersama dengan murid-murid Beliau yang telah mencapai tingkat Arahat. Selama dua ratus tahun pertama dalam sejarahnya, agama Buddha hanya ada di India bagian Utara. Kemudian hadirlah Raja Asoka, seorang penguasa dunia yang unik, yang menerima ajaran Sang Buddha dan berusaha untuk mendidik rakyat India dengan cara menyebarkan ajaran Buddhis tersebut, terutama aspek etikanya. Asoka memerintahkan agar ajaran-ajaran itu dipahatkan pada batu-batu besar. Maka ajaran-ajaran itu pun menjadi khotbah pada batu dalam pengertian sebenarnya, bukan secara kiasan. Asoka sangat terkesan pada jiwa toleransi yang besar, yang diajarkan oleh Sang Buddha, dan di bawah kepemimpinan raja ini agama-agama lain menikmati kebebasan penuh tanpa tekanan dan halangan.

Menyadari pentingnya manfaat yang akan diperoleh dari ajaran tentang welas asih dan kebijaksanaan seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha ini. Raja Asoka mengerahkan segenap usahanya untuk menyebarluaskan ajaran Sang Buddha di luar India.

Sejarah agama Buddha tidak dapat dipisahkan dari sejarah budaya Timur dan masyarakat Timur. Di antara semua pengaruh yang membentuk budaya Asia, agama Buddha merupakan salah satu yang paling dalam. Selama lebih dari 2.500 tahun, prinsip dan ide Buddhis telah mewarnai pemikiran dan perasaan masyarakat Timur.

Pengaruh agama Buddha pada dunia Barat dapat dilihat kembali pada masa sebelum era Kristiani. Karena keterbatasan ruang, hal ini tidak mungkin dijelaskan secara lengkap. Tetapi, masyarakat Eropa hanya mempunyai sedikit gambaran mengenai agama Buddha ketika para pengembara, terutama para misionaris Kristen, berlayar ke Asia pada abad enam belas. Dan para misionaris ini tidak dapat kita harapkan satu versi yang otentik dan tidak bias mengenai apa yang dibabarkan oleh Sang Buddha. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari tulisan-tulisan tentang agama Buddha yang dibuat oleh para misionaris di masa lampau. Akan tetapi harus disebutkan bahwa beberapa missionaris Kristen memberikan sumbangan yang berharga pada abad delapan belas dan awal abad dua puluh.

Satu penelitian yang dilakukan dengan cermat mengenai sejarah agama Buddha menyatakan bahwa agama Buddha dulunya telah berada di tangan beberapa ilmuwan yang berurusan dengan 'agama yang hidup' ini, semata-mata hanya dari sudut pandang akademis saja. Sekarang kondisi telah berubah, dan agama Buddha tampaknya telah mengambil peran baru. Dengan semakin banyaknya literatur Bhuddis di dunia Barat, dan dengan semakin banyaknya misionaris Buddhis yang dengan rendah hati telah membuat orang-orang Barat mengenal agama Buddha, maka masyarakat Eropa dan Amerika mulai mengerti bahwa agama Buddha bukan hanya suatu sistem doktrin semata, melainkan suatu cara hidup —suatu cara berlatih dalam bidang moral, intelektual, dan spiritual, yang menuju pada kebebasan pikiran sepenuhnya— serta sumber pengetahuan yang tidak ada habisnya, fondasi keagamaan untuk peradaban yang sangat penting di dunia. Tetapi kita tidak boleh melupakan bahwa perubahan baru ini terjadi terutama karena para ilmuwan selama ratusan tahun telah bekerja tak kenal lelah tanpa pamrih.

Akhir-akhir ini banyak perubahan yang telah terjadi di Barat. Minat terhadap agama Buddha, terutama meditasi Buddhis baik Theravada maupun Mahayana, semakin meningkat. Banyak perkumpulan, kelompok, lembaga, kuil Buddhis (yang di Amerika disebut 'Vihara Buddhis') telah berdiri. Segala macam buku tentang berbagai aspek agama Buddha ditulis, baik yang diterbitkan maupun yang hanya untuk kalangan sendiri. Demikian juga, ribuan jurnal dan majalah telah dicetak. Literatur agama Buddha saat ini, seperti halnya di masa lalu, telah menjadi aset yang berharga bagi penyebaran agama Buddha di dunia Barat. Dalam jangka waktu tiga puluh tahun, Kandy Publication Society di Srilanka telah menjadi satu penerbit Buddhis yang besar, dengan hasil cetakan lebih dari 2,5 juta. Pemasarannya menjangkau sampai 86 negara, termasuk negara-negara terpencil seperti Iceland, Pulau Figi, dan negara-negara komunis.

Majalah berita Buddhis Internasional yang dicetak di Srilanka bernama 'New World Buddhism', yang memuat segala berita di dunia Buddhis serta artikel-artikel tentang Theravada dan Mahayana, menjadi sangat populer di Barat.

The WorldFellowship of Buddhists yang berkantor pusat di Thailand dengan cabang-cabangnya di banyak negara, serta W.F.B. Review yang diterbitkan setiap empat bulan, telah memegang peran yang sangat berarti dalam menanamkan keyakinan Buddhis yang lebih mendalam dan menguatkan ikatan persaudaraan di antara negara-negara Buddhis.

Dewasa ini, ilmu pengetahuan mulai menyerang keras agama-agama yang dogmatis dan keyakinan buta, sehingga dengan cepat menghilang. Kemajuan pesat yang terjadi di dunia sains saat ini menyebabkan kaum muda mempunyai kejenuhan terhadap agama dogmatis yang tidak menjawab kehausan mereka akan pengetahuan spiritual. Akan tetapi, sains sendiri bukan merupakan pengganti atau alternatif bagi agama. Sains tidak menyatakan demikian dan tidak bertujuan demikian. Sains tidak berhubungan dengan nilai-nilai etika serta spritual, dan tanpa nilai-nilai itu sains terbukti lebih merupakan kutukan daripada berkah bagi umat manusia.

Kita telah melihat bahaya sains yang kosong dari elemen-elemen etika. Alangkah mengerikannya akibat bom atom dan senjata , nuklir, tetapi percobaan-percobaan nuklir masih juga terus berjalan. Seperti yang dikatakan Dwight D. Eisenhower almarhum, salah satu presiden U.S.A.: "Sains tampaknya telah siap menyelimuti kita dengan kekuatan, sebagai hadiah bagi kita, untuk menghapus kehidupan manusia dari planet ini".

Agama-agama tradisional dengan teori-teori kunonya tidak lagi dapat memenuhi tantangan dunia baru yang sedang tumbuh. Generasi muda, terutama di dunia Barat, sedang mencari sesuatu yang baru karena dogma dan teori yang secara tradisional diterima, telah gagal memuaskan mereka. Pertanyaan mengenai 'diri di dalam' (inner self), 'dunia di dalam' (inner world) tetap tak terjawab. Nilai-nilai yang ditaruh pada aspek materi kehidupan dianggap sudah seharusnya demikian, sehingga nilai-nilai itu tampak begitu palsu bagi pikiran yang sedang mencari-cari.

Masalah di dunia barat pada dasarnya bersifat psikologis. Tampaknya pengetahuan materi, sains serta teknologi belum memberi manusia jawaban mengenai permasalahan dunia. Pengetahuan seperti itu hanya mengakibatkan lebih banyak masalah yang terus bertambah.

Kita memerlukan pesan yang berisi harapan, cinta kasih sejati dan kebijaksanaan. Mereka yang sedang mencari pesan semacam itu akan mendapatkannya dalam ajaran Sang Buddha.

Dua puluh lima abad yang lalu, di Taman Rusa di Sarnath, India, dekat kota kuno Benares, kita mendengar Pesan Sang Buddha yang mengubah pikiran dan kehidupan umat manusia. Meskipun Pesan ini mula-mula didengar hanya oleh lima pertapa, kini ajaran tersebut telah meresap secara damai ke berbagai sudut dunia, dan besar sekali keinginan untuk mengetahui hal ini secara lebih baik dan lebih mendalam.

Jawaharal Nehru, PM India terdahulu, menulis dalam The Discovery of India (The Signet Press, Calcutta, hal. 44):

'Di Samath, dekat Benares, rasa-rasanya aku melihat Sang Buddha membabarkan ajaran Beliau yang pertama, dan beberapa kata Sang Buddha yang tercatat bergema padaku melalui kurun waktu dua ribu lima ratus tahun'.

'Pesan Sang Buddha, yang sudah amat lama tetapi tetap terasa baru serta asli bagi mereka yang terserap dalam pemikiran-pemikiran metafisika, menawan khayalan para intelektual; Pesan itu meresap jauh ke dalam lubuk hati orang-orang itu'. (Ibid. hal. 138)

Zaman demi zaman berlalu, namun Sang Buddha tampaknya tidak pernah jauh; suara Beliau berbisik di telinga kita dan mengatakan agar kita tidak melarikan diri dari perjuangan ini, melainkan menghadapinya dengan mata yang tenang. Kita harus melihat dalam kehidupan ini kesempatan-kesempatan yang lebih besar untuk terus tumbuh berkembang dan maju'. (Ibid. hal. 143)

[ Dikutip dari Buku PENGABDIAN TIADA HENTI, 20 th Abdi Dhamma Sangha Theravada Indonesia, Penerbit Buddhis Bodhi. Judul Asli: Theravada Budhism, Present Situation; dari buku W.B.F. Unity Of Diversity; The World Fellowship Of Buddhists Headquarters Bangkok, Thailand ]

Minggu, 14 Februari 2010

Umat Buddha dan Solusi Kemarahan


Umat Buddha dan Solusi Kemarahan
Oleh : Bhikkhu Uttamo


TIPE UMAT BUDDHA

Dapat diterangkan di sini bahwa tipe atau jenis umat Buddha itu ada bermacam-macam.

Jenis kelompok umat yang pertama adalah: Umat Buddha KTP. Jadi ke mana-mana disombongkan: Ini lho, KTP saya: Buddhis!" Kalau mereka ditanya, bagaimana riwayat Sang Buddha? Jawabnya: "Ah, itu bukan urusan saya. Itu urusannya para bhikkhu dan para Dharmaduta.

Pokoknya saya Buddhis. Ditanya wiharanya di mana. Jawabnya: "Bukan urusan saya. Itu urusannya orang-orang yang mau jadi bhikkhu. Ditanya buku parittanya apa, dijawab: Buku paritta bukan urusan saya. Saya susah membaca paritta". Paritta apa saja yang dihafal? Jawabnya: Untuk apa menghafal paritta? Lidah saya keseleo-keseleo! Jadi kamu Buddhis-nya apa?

K-T-P! Toh kalau KTP-nya Buddhis, juga bisa masuk surga, cukup. Kalaupun mau ditambah sedikit, pokoknya Buddhisnya sampai dupa. Kalau saya sudah bisa pegang dupa, acung-acung dupa, jungkir balik di depan patung, saya sudah Buddhis: Patung apakah itu? Tidak tahu. Pokoknya saya ikut yang lain. Nah, ini golongan yang pertama. Amat menderita, Saudara.

Golongan yang kedua adalah golongan yang lebih baik daripada yang pertama, yaitu yang disebut umat Buddha bergaya "Kapal Selam". Saudara tentu pernah nonton film "The Man From The Atlantis", bukan? Di sana mereka selalu menggunakan kapal selam. Saudara perhatikan kebiasaan kapal selam; kalau ada bahaya, dia turun, biar aman. Kalau mau ketemu pejabat, dia naik. Nanti kalau santai-santai, nganggur-nganggur: turun. Kalau mau jalan-jalan: naik. Nah, itu cerita film The Man From The Atlantis. Ternyata cerita itu bukan hanya ada di televisi, tetapi di wihara cerita itu bisa terjadi. Ada acara Waisak: muncul. Tidak ada bhikkhu: tenggelam. Ada bhikkhu: naik. Ini tipe yang kedua.

Tipe yang ketiga adalah tipe yang paling ideal, yaitu umat Buddha yang memang betul-betul mempelajari Dhamma dan melaksanakan Dhamma. KTP-nya Buddhis, rajin datang ke wihara untuk berpuja-bakti, mendengar Dhamma, serta melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari.


JENIS UKIRAN KEMARAHAN DAN SOLUSINYA

Di Bali saya lihat umat Buddhanya telah menunjukkan satu kekompakan/persatuan di dalam mengembangkan Buddha Dhamma. Ternyata orang Bali, umat Buddha di Bali, bukan hanya terkenal bisa mengukir kayu, mengukir barang-barang, meja-kursi, tapi juga bisa mengukir prestasi di dalam memajukan umat Buddha. Oleh karena itu saudara tidak sia-sia menjadi orang Bali. Bisa mengukir, tidak hanya mengukir patung, tapi juga mengukir prestasi untuk memajukan agama Buddha. Dan saya harap, ukirannya jangan berhenti sampai di sini. Ini hendaknya semakin dikembangkan, sehingga ukiran prestasi atau kebajikan saudara itu semakin banyak, ke mana akhirnya manfaat kebajikan ini juga menjadi milik saudara.

Berbicara tentang ukiran yang positif perlu saudara kembangkan, tetapi yang negatif jangan dikembangkan. Apakah yang negatif itu? Sang Buddha di dalam Anguttara Nikaya I ayat 283, bercerita tentang seni mengukir. Beliau bercerita demikian. Saudara-saudara, ada jenis tukang ukir yang bermacam-macam.

Yang pertama adalah tukang ukir yang mengukir di batu karang. Jadi ada batu karang yang besar, diukir. Saya tadi baru saja datang dari Tanah Lot, di sana saya melihat batu karang yang besar sekali, dan seperti diukir dindingnya. Begitu juga ketika ke Gunung Kawi, saya melihat gunung batu yang diukir. Ini kepandaian orang Bali dalam hal mengukir.. Sang Buddha mengatakan, ada orang-orang yang seperti orang yang bisa mengukir batu cadas, batu karang. Bayangkan, saudara. Batu karang yang teguh, yang kuat, seperti candi Gunung Kawi, diukir. Itu bisa bertahan bertahun-tahun lamanya, bahkan ratusan tahun. Kalau itu ukiran yang positif, tentu kita akan merasa senang dan bahagia. Tetapi seperti saya katakan tadi, yang diceritakan Sang Buddha ini adalah jenis ukiran yang negatif.. Orang yang mengukir seperti mengukir di batu karang itu adalah diumpamakan orang yang kalau sudah jengkel, marah, atau benci, ia menyimpan kejengkelan atau kebenciannya itu bukan untuk waktu 1-2 hari, bukan untuk waktu 1-2 bulan, tetapi bertahun-tahun jengkelnya masih ada.
Itu seperti orang mengukir di batu karang, seperti mengukir Gunung Kawi.Dari jenis yang pertama ini, saya ingin bertanya, apakah saudara punya Gunung Kawi" di dalam diri saudara? Apakah masih tersimpan kejengkelan saudara yang 10 hari yang lalu? Yang 10 tahun yang lalu?

Suami rewel, langsung dikatakan: "Memang kamu sudah rewel sejak bertahun-tahun lalu". Demikian juga dengan sang suami, bila melihat istrinya akan ke wihara make-up-nya saja lama sekali, lalu suami mengatakan: Ayo cepat, ini sudah mau mulai kebaktiannya. Kamu pasang gincu saja, masa begitu? Jambonnya itu terlalu muda.. Hapus. Ganti yang merah tua. Wah, itu terlalu merah, kayak bikang ambon! Hapus. Ganti yang muda lagi. Berkali-kali ganti sampai tissu satu dus habis untuk menghapus pemerah bibir. Suaminya jengkel, kemudian mengatakan: Kamu ini dari sejak menikah sampai sekarang punya anak-cucu, begini terus.

Kalau saudara masih mengucapkan kata-kata seperti itu, hati saudara itu seperti Gunung Kawi, seperti batu karang di Tanah Lot yang diukir, sehingga tidak bisa hilang kejengkelan, dendam saudara itu, baik kepada pasangan hidup maupun kepada yang lain. Kalau sekarang kepada pasangan saja tidak bisa memafkan sampai bertahun-tahun, apalagi sama teman. Kalau di wihara kita melihat teman berbisik-bisik, tertawa cekikikan-cekikikan , saudara berkata: Awas kamu ya, kamu menggosipkan saya. Pokoknya selama kamu belum meninggal, saya tidak akan pernah mau datang ke wihara. Jangan harap saya akan menginjakkan kaki di rumahmu". Itu namanya kita mengukir Gunung Kawi di dalam diri kita. Apakah saudara demikian? Saudara sendiri yang bisa menjawabnya.

Jenis ukiran yang kedua, bukan mengukir di batu karang, atau di dinding batu, tetapi mengukir di pantai. Tadi saya juga mengunjungi Pantai Sanur. Saya cemplungkan kaki saya di pasir pantai, kemudian saya minggir. Tidak lama, jejak telapak kaki saya hilang kena ombak. Tapi hilangnya setelah ombaknya beberapa kali. Nah, saudara, Sang Buddha pun mengumpamakan demikian; seperti orang mengukir di atas pasir. Ada ukirannya, ada gambarnya, bisa bertahan untuk waktu yang sementara. Kalau yang pertama tadi, waktunya tidak terhingga, sampai mendarah daging menulang sumsum kebenciannya tidak bisa hilang. Tapi, kalau yang mengukir di atas pasir, ini lain ceritanya. Jengkel sama temen, jengkel sama pasangan hidup, itu wajar. Pasangan hidup masih punya kesalahan, itu wajar. Namanya saja manusia yang masih punya rasa kebencian. Tetapi kalau kita seperti mengukir di pasir, hendaknya janganlah untuk waktu yang lama.

Jenis berikutnya yaitu jenis yang ketiga. Kalau yang pertama adalah mengukir di batu karang, jenis yang kedua mengukir di pasir, maka yang ketiga adalah yang ideal, yaitu mengukir di atas air. Saudara nanti boleh mencoba di bak mandi saudara. Tulis huruf A. Bekas garisnya ada, tetapi langsung hilang. Demikian pula hendaknya apabila timbul kejengkelan, kemarahan, ketidaksenangan di dalam hati kita, hendaknya jangan ditahan seperti batu karang, bahkan juga jangan ditahan seperti lukisan di pasir, tetapi hendaknya seperti kita melukis di atas air. Cepat hilang kejengkelan itu. Nah, saudara, tiga jenis kejengkelan, tiga jenis ukiran inilah yang mulai kita renungkan sekarang.

Idealnya kita tentu mau menjadi umat Buddha yang terbaik, bukan? Saya yakin tidak ada yang ingin menjadi umat Buddha yang jelek-jelek, tetapi pasti yang baik. Bahkan kalau bisa, yang terbaik. Menjadi umat Buddha yang sungguh-sungguh mau mendengar Dharma, melaksanakan Dharma dengan baik, bukan hanya umat Buddha KTP atau Kapal Selam.

Demikian pula dengan kesabaran, hendaknya seperti melukis di atas air.
Tapi sekarang,bagaimanakah caranya? Seseorang bisa jengkel, marah, atau tidak senang itu karena ada sebabnya. Apakah yang menjadi sebab kejengkelan/ kemarahan?

Kalau kita marah kepada pembantu di rumah, apakah sebabnya? Apakah karena pembantu kurang pintar? Ataukah saudara yang kurang pintar? Tentu saudara menjawab, Pembantu yang kurang pintar. Kenapa demikian? Karena kalau dia pintar, dia sudah jadi boss seperti saudara semua. Jadi, yang kurang pintar itu siapa? Kita sendiri!

Kalau misalnya ada pembantu yang menutup pintu saja lupa terus, setiap hari mesti disuruh; kemudian kita omeli;Kamu ini betul-betul bodoh ya, bodoh kayak kerbau. Masa diberitahu untuk menutup pintu saja setiap hari tidak pernah ingat?

Kalau saudara renungkan baik-baik pembantu yang lupa-lupa terus itu mungkin memang otaknya kurang lancar. Kalau saudara omeli sampai setengah jam itu, sebetulnya saudara menjadi seperti dia. Karena dengan ngomel-ngomel, saudara sendiri jadi tidak menutup pintu, pintunya terbuka terus. Padahal kalau sudah tutup pintu itu, sudah selesai masalahnya.

Jadi kalau saudara ngomel, saudara marah, berarti saudara tidak menyadari bahwa kemampuan orang itu jauh di bawah saudara. Berarti yang kurang pintar bukan dia, tetapi saudara sendiri yang kurang pintar memahami kenapa kok dia membuat kesalahan itu.

Makanya secara Dharma, alam sudah menunjukkan bahwa kalau satu jari menunjuk orang lain, maka tiga jari menunjuk kepada diri sendiri. Kalau kita menunjuk: Kamu kurang pintar!" Berarti 1 jari menunjuk dia, 3 jari menunjuk ke kita; berarti kita ini 3 kali lebih "kurang pintar daripada dia. Maka dari itu belajarlah dari alam, supaya tidak gampang-gampang kita menunjuk orang lain: kamu bodoh, kurang pintar, buruk, dan sebagainya.

Jadi yang pertama harus kita renungkan bahwa sebetulnya mengapa saya marah? Mengapa saya jengkel dengan dia? Itu semua sesungguhnya adalah karena keinginan saya sendiri. Jadi penyebab dari kejengkelan, ketidaksenangan, atau kemarahan,
sesungguhnya adalah karena KEINGINAN sendiri.

Coba saudara yang sudah punya pasangan hidup, tanyakan,Kenapa saudara sayang sama pasangan hidup saudara. Kenapa saudara kadang-kadang ingin selalu dekat dengan pasangan hidup saudara? Kadang-kadang inginnya hanya ngomong-ngomong bersama dengan pasangan hidup saudara. Kenapa? Karena pasangan hidup saudara bisa memberikan apa yang saudara inginkan.

Wah,kalau saya ngomong-ngomong dengan dia, cocok sekali. Sehingga, karena ngomong-ngomong terus, lalu lupa ke wihara! Atau Wah, saya ini kalau jalan berduaan dengan dia, senang sekali, karena saya itu bisa mengikuti jalan cepat. Kalau ingin jalan lambat sambil nonton-nonton toko, dia bisa ikut pelan, bisa mengikuti keinginan saya. Saya ketemu dengan teman-teman, dia bisa saya ajak dan tidak memalukan saya. Wah, saya bahagia.

Tetapi sebaliknya, dengan pasangan hidup juga bisa jengkel. Kenapa? Karena pasangan hidup saudara tidak memuaskan keinginan saudara sendiri. Diajak ngomong-ngomong: Bagaimana ya, situasi politik zaman sekarang? Langsung pasangan hidupnya menjawab: Iya, situasinya tidak enak. Coba, harga bawang sekarang naik.

Ditanya: Bagaimana keadaan wihara sekarang,apakah banyak kemajuan? Jawabnya: Ya, cukuplah. Tapi umat wihara yang dulu itu pernah pinjam sendok, tidak dikembalikan. Padahal sendoknya antik,itu. Bagaimana ya caranya kita minta kembali sendoknya sama dia? Wah, ini sudah tidak cocok.

Yang ditanya tentang wihara, jawabannya tentang sendok.Yang ditanya soal politik, jawabannya bawang merah, bawang putih. Sudah tidak karuan ini. Ah, malas saya ngomong-ngomong sama dia, enakan ke wihara, pelarian. Daripada di rumah jengkel terus, stress, lebih baik ke wihara saja, dengar-dengar Dhamma atau kadang-kadang di wihara ngaco-ngaco saja, bisa juga begitu.

Nah, saudara,mengapa kita jengkel dengan pasangan hidup kita? Karena kita tidak ingin pasangan hidup kita itu melakukan demikian. Sebaliknya kalau jalan; saya ingin cepat, pasangan hidupnya pelan. Saya ingin pelan sambil nonton-nonton toko, dia malah ngebut, maucari toilet! Bagaimana ini? Wah tidak cocok. Lebih baik jalan sendiri saja.

Kenapa? Karena keinginan tidak tercapai.

Begitu juga kalau ketemu teman-teman, diajak ngomong-ngomong. Teman-teman bertanya, Bagaimana ini pasangan hidupmu, bahagia ya, hidup rukun-rukun? Langsung sang istri pasang muka merengut: Rukun apa. Itu kan hanya di depan umum. Kalau di
belakang, dia ngomel-ngomel terus sama saya, malah pernah mukulin saya juga, koq. Sang suami lalu berpikir, Wah, ini menjatuhkan martabat dan gengsi. Bisa repot. Ini memalukan saya. Sehingga istri tidak diajak jalan-jalan lagi.

Nah, dari contoh-contoh tersebut, jelaslah kenapa kita senang sama orang, kenapa kita tidak senang sama orang. Itu semua karena keinginan kita. Kalau keinginan tercapai, saya senang. Kalau keinginan tidaktercapai, saya tidak senang.

Bukan hanya dengan pasangan hidup atau orang,dengan benda, rumah/tempat, dengan musik, bacaan, apa saja, semuanya tergantung kepada kesenangan saudara. Kalau kesenangan tercapai, saudarasenang, cinta, bahagia. Kalau kesenangan atau keinginan tidak tercapai;saudara jengkel, emosi, marah.

Kalau demikian, dapat kita simpulkan bahwa marah adalah karena keinginan kita, setuju?

Kalau sekarang marah itu adalah karena keinginan, maka begitu kita marah, hendaknya kita segera menyadari: "Ini keinginan saya. Saya ingin apa sih? Saya ingin dia pintar seperti ini. O..., lalu saya lihat kemampuannya, dia tidak bisa, ya sudah. Keinginan saya, saya turunkan. Tidak usah terlalu menuntut. Kalau kita hanya memegang keinginan saja, Pokoknya dia harus bisa menuruti omongan saya, maka kita akan menderita.
Menderita karena keinginan kita sendiri.

Dengan bisa memaklumi kekurangan orang lain, dan mengubah cara berpikir atau keinginan kita, kita dapat mengurangi kemarahan. Jangan terlalu menuntut terhadap orang lain, karena semua orang, semua barang, semua benda itu ada kelemahannya, ada kekurangannya.

Jadi kalau saudara marah, ingat baik-baik: "Ini toh karena keinginan saya".
Lalu bagaimana renungannya supaya tidak sering marah? Bagaimana mengendalikan kemarahan?

Kita merenungkan demikian: Dia punya kekurangan,tetapi juga punya kelebihan; demikian pula dengan saya. Tiada lagi kemarahan di dalam diri saya.

Nah, inilah mantranya. Mantra agar tidak marah. Kalau kita mulai jengkel atau marah kepada seseorang, kita merenungkan atau langsung mengatakan: Dia memang punya kekurangan, tapi juga punya kelebihan. Begitu pula dengan saya. Tiada lagi kemarahan di dalam diri saya. Melakukan perenungan ini, kalau pagi bangun tidur diulang 5 kali, malam mau tidur diulang 5 kali. Dan mulai membaca mantra ini sejak hari ini.
Kenapa demikian? Saya 'kan belum marah sama dia? Itu memang benar. Tapi ini untuk siap-siap menghadapi munculnya marah itu. Sama seperti saudara belum ketemu maling, tapi saudara sudah belajar kungfu.Jangan belajar kungfu kalau malingnya sudah datang. Keburu benjol semua kepala saudara. Belajar kungfu itu kalau malingnya belum datang, otomatis jurusnya keluar.

Demikian juga dengan kemarahan. Jangan menunggu akan marah, baru merenungkan mantra itu. Mulailah sejak sekarang, mumpung belum marah. Walaupun saudara adalah pasangan hidup yang serasi, saudara hendaknya mulai berpikir demikian. Walaupun di pergaulan saudara tidak ada masalah, mulailah saudara berpikir begitu. Sehingga nanti kalau ketemu teman di organisasi yang menjengkelkan, saudara akan berpikir: Walaupun
dia punya kekurangan, toh dia juga punya kelebihan. Saya akan mengingat-ingat kelebihannya.

Dengan demikian maka kejengkelan kita bisa kita kurangi, karena sumber kejengkelan
adalah pikiran kita, keinginan kita sendiri.

Karena kita ingin dia sempurna, dan tidak ingin dia tidak sempurna. Siapakah yang sempurna dalam dunia ini? Tidak ada yang sempurna.

Inilah yang perlu kita renungkan di dalam hati. Jangan ngomong dia punya kelebihan dulu, karena kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak nampak. Kesalahan orang sedikit saja nampak, tetapi kebaikannya meskipun banyak, tidak nampak. Karena itu kesalahan pada orang lain lebih mudah dilihat daripada kelebihan dia. Karena itu kita ngomong dulu kekurangannya pada mantra perenungan kita: Memang dia punya kekurangan, tapi dia pasti punya kelebihan. Begitu pula saya. Tiada lagi kemarahan di dalam diriku.

Ini direnungkan terus. Kalau direnungkan terus, maka dalam waktu 1 tahun saya akan melihat ukiran-ukiran di Gunung Kawi, yang berupa kejengkelan- kejengkelan, emosi, kebencian, kemarahan, semuanya menjadi hancur, lumat, rata dengan tanah. Tidak ada lagi
emosi di dalam diri saudara.

Tetapi ukiran-ukiran Gunung Kawi yang baik-baik, dengan mengenalkan Dharma kepada lingkungan, keluarga, rekan-rekan dan kerabat saudara, akan terus berjaya untuk waktu yang tak terbatas. Dan kalau saudara bisa mengembangkan hal ini —ukiran yang positif bisa dipertahankan, ukiran yang negatif tidak dilakukan—, maka kebahagiaan akan menjadi milik saudara.

Kebahagiaan tidak hanya saudara alami di dalam kehidupan ini, tetapi kebahagiaan juga akan saudara alami setelah kehidupan saudara hidup didunia ini. Artinya saudara pun akan bisa terlahir di surga karena kebaikan saudara. KTP saudara Buddhis, juga bisa lahir di surga. Umat Buddha kapalselam juga bisa lahir di surga. Umat Buddha yang sungguh-sungguh, akan terlahir di surga untuk waktu yang lama dan berkali-kali.

Oleh karena itu lakukanlah kebaikan, karena kebaikan yang dilakukan akan membuahkan kebahagiaan, baik di dalam kehidupan ini, maupun di dalam kehidupan-kehidupan yang selanjutnya.

Semoga semua makhluk, baik yang tampak maupun yang tidak tampak akan memperoleh kebahagiaan lahir dan batin, sesuai dengan kondisi karma masing-masing.

Dikutip dari Mutiara Dhamma VI