Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Jumat, 26 Oktober 2012

Tilakkhana (Tiga Corak Universal)

Tilakkhana (Tiga Corak Universal)




"Para Bhikkhu, walau dengan hadirnya Sang Tatthagata atau tanpa hadirnya seorang Tatthagatha, tetaplah berlaku suatu hukum, suatu kesunyataan yang mutlak bahwa segala sesuatu yang terbentuk adalah tidak kekal,... tidak memuaskan,...dan tanpa inti ...."
(Angutara Nikaya, Yodhajiva-Vagga, 124)

Ti-Lakkhana atau tiga corak umum adalah tiga sifat yang menjadi ciri keberadaan dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, yaitu bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta selalu bersifat tidak kekal (Anicca), tidak memuaskan atau menimbulkan penderitaan (Dukkha) dan tanpa inti yang kekal (Anatta).

Anicca

"Adalah tidak kekal segala sesuatu yang terbentuk, segalanya muncul dan lenyap kembali. Mereka muncul dan kembali terurai. Kebahagiaan tercapai bila segalanya telah harmonis."
(Digha-Nikaya, Mahaparinibbana Sutta)

Segala sesuatu adalah bersifat tidak kekal karena bersifat muncul, berubah, dan hancur. Artinya adalah bahwa segala sesuatu tak pernah berada dalam keadaan yang sama di saat yang berbeda, melainkan senantiasa muncul dan lenyap dari saat ke saat. Hukum Anicca merupakan sifat dasar dari segala fenomena, baik yang bersifat material ataupun mental, berlaku terhadap partikel-partikel sub atom yang kecil hingga sistem tata surya dan galaksi yang maha besar.

Bahwa segala sesuatu berubah adalah kesunyataan bagi setiap eksistensi, maka kita harus melihat keberadaan alam semesta ini sebagai suatu fenomena atau gejala yang kompleks. Pengertian ini hendaknya juga menjadi dasar pengertian kita mengenai Lakkhana yang lain yaitu Dukkha dan Anatta. Oleh karena setiap eksistensi berada dalam perubahan yang konstan dari saat ke saat. maka tidak akan ada 'diri' yang akan merekat padanya. Sebenarnya sifat individual pada setiap eksistensi bukanlah suatu bentuk yang khusus melainkan merupakan perubahan itu sendiri. Tidak adanya sifat individual yang khusus pada setiap perwujudan inilah yang merupakan kesunyataan tentang Nibbana. Bila kita menyadari kesunyataan yang abadi tentang ketidak kekalan dan kita mendapatkan kedamaian di dalamnya maka pada saat itu juga sebenarnya kita telah berada dalam keadaan Nibbana.

Tanpa menerima kenyataan bahwa segala sesuatu itu berubah, kita tidak dapat memahami kedamaian yang sempurna. Oleh karena kita sulit memahami kesunyataan dari ketidak kekalan inilah maka kita menderita. Jadi salah satu penyebab dari penderitaan adalah penolakan kita terhadap kesunyataan ini. Kebahagiaan hidup tercapai apabila di dalam hidup ini kita bisa menerima hukum kesunyataan sebagaimana adanya dan hidup harmonis sesuai dengan hukum itu. Menyesali usia tua, takut akan kematian, dan menyesali perubahan-perubahan benda-benda fisik maupun mental di sekeliling kita adalah suatu kebodohan. Keterikatan terhadap keadaan-keadaan tertentu juga merupakan kebodohan yang menjadi dasar dari Dukkha.

Sebenarnya pembahasan terhadap hukum Anicca bukan untuk menimbulkan sifat pesimis bahwa segala sesuatu itu berubah dan oleh karenanya adalah Dukkha. Kesunyataan akan ketidak kekalan ini sebenarnya dibahas agar kita memahami segala sesuatu sebagaimana adanya dan oleh karena itu tidak terikat kepada bentuk-bentuk atau keadaan-keadaan tertentu; agar kita dapat menghadapi segala sesuatu dengan hati yang tenang dan lapang. Dengan pemahaman kita akan kesunyataan ini diharapkan kita dapat memusatkan perhatian dan energi kita pada setiap aktifitas kita di sini dan di saat ini juga; di tengah-tengah badai dapat ditemukan kedamaian; di tengah-tengah arus ketidak kekalan dan perubahan yang terus-menerus, kita dapat juga menemukan kedamaian.

Dukkha

"Para Bhikkhu, apakah yang disebut Dukkha itu? Itu bukan lain adalah kelima kelompok kegernaran (Panca-Khandha), .... "
(Samyutta Nikaya, Khandha Samyutta, 104)

Di dalam artikel ini kita akan membahas tentang Dukkha sebagai salah satu dari tiga corak umum yang menjadi ciri keberadaan dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, terutama yang berhubungan dengan Panca Khandha.

Seperti yang telah kita bicarakan di artikel Empat Kesunyataan Mulia, pengertian kita tentang Dukkha tidak terbatas pada penderitaan saja. Dalam arti yang lebih luas, Dukkha bisa juga berarti ketidak puasan, ketidak sempurnaan atau ketidak abadian. Agama Buddha tidak pernah menyangkal adanya kegembiraan atau kebahagiaan dalam hidup sehari-hari walaupun diakui bahwa salah satu ciri keberadaan dari alam semesta adalah Dukkha. Tetapi setiap kegembiraan itu adalah, bahkan dalam keadaan Jhana yang dicapai dengan meditasi tingkat tinggi, yang telah bebas dari pencerapan suka dan duka pun masih tetap berada dalam ciri keberadaan Dukkha.

Tidak seperti ciri keberadaan atau Lakkhana yang lain seperti Anicca dan Anatta yang mudah diterima secara obyektif, Dukkha Lakkhana sulit diterima begitu saja oleh manusia karena secara obyektif sulit bagi kita memahami bahwa segala sesuatu di alam semesta ini adalah menimbulkan penderitaan dan ketidak puasan. Sebab banyak sudut pandangan dan situasi dari manusia yang memandangnya yang menimbulkan perbedaan pandangan secara subyektif bahwa keadaan itu menimbulkan suka dan duka. Pandangan tentang Dukkha dapat dilihat dari tiga sudut pandang yaitu:
  1. Dukkha-Dukkha, yaitu Dukkha sebagai penderitaan yang biasa atau Dukkha yang dialami manusia secara langsung pada fisiknya melalui panca indera dan pada perasaannya. Penderitaan pada kehidupan manusia seperti lahir, sakit, usia tua, berkumpul dengan orang yang tidak disenangi, tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan dan lain-lain termasuk dalam kelompok Dukkha ini.
  2. Viparinama-Dukkha, yaitu Dukkha sebagai akibat dari perubahan. Segala keadaan yang menyenangkan manusia adalah tidak kekal dan selalu berubah dari saat ke saat. Perubahan ini biasanya menimbulkan penderitaan atau kemurungan.
  3. Sankhara-Dukkha, yaitu Dukkha yang timbul akibat kondisi- kondisi yang selalu bergerak atau berubah-rubah. Dukkha inilah yang berhubungan dengan lima kelompok kegemaran (Panca-khandha).
Dukkha sebagai penderitaan biasa banyak kita bahas di artikel Empat Kesunyataan Mulia. Dukkha sebagai akibat dari perubahan juga pernah kita bahas di Anicca-lakkhana di mana ditekankan bahwa perubahan itu sendiri sebenarnya tidak identik dengan Dukkha; bahwa manusia menderita adalah akibat mereka tidak memahami bahwa segala sesuatu pada hakekatnya berubah; bahwa manusia menderita karena merindukan keabadian. Pada sub-bab Dukkha-lakkhana ini kita akan membahas Dukkha sebagai perwujudan dari lima kelompok kegemaran.

Sang Buddha sebenarnya tak pernah menyatakan bahwa tidak ada suatu jiwa atau atta di alam semesta ini. Beliau biasanya malah menolak mempersoalkan hal ini karena dianggap berada di luar jangkauan pikiran dan tidak dapat menimbulkan pencerahan atau penerangan. Yang sering ditekankan oleh Sang Buddha adalah bahwa tak ada satu benda atau bentuk yang khusus yang dapat dikatakan memiliki diri atau jiwa yang kekal. Segala bentuk individu hanyalah suatu bentuk kombinasi unsur-unsur fisik dan mental, yang senantiasa berubah dan berada dalam keadaan Dukkha, di mana unsur-unsur yang membentuk suatu diri atau karakater individu itu adalah terdiri dari lima kelompok atau agregat yang disebut Panca Khandha.

Panca Khanda atau lima agregat atau lima kelompok kegemaran itu oleh Sang Buddha diuraikan sebagai berikut:
  1. Rupa-khanda, yaitu kelompok objek fisik atau jasmani yang oleh Sang Buddha diurai lagi menjadi empat bentuk elemen (Catur Maha Bhuta) yaitu: elemen padat (Pathavi Dhatu) yang sebenarnya memberikan sifat atau kemampuan menempati ruang dan mempertahankan posisi serta memberikan sifat kaku pada setiap materi; elemen cair (Apo-Dhatu) yang sebenarnya berupa gaya rekat atau tarik menarik antara materi; elemen panas atau energi (Tejo-Dhatu) yang sebenarnya memiliki sifat maha bhuta yang lain tetapi dalam dimensi yang lebih kecil; dan elemen gerak atau getaran (Vayo-Dhatu) yang bila berada dalam kesetimbangan dengan apo-dhatu akan menampakkan eksistensi pattiavi materi yang bersangkutan. Termasuk kelompok Rupa-khanda ini juga terdapat turunan-turunan atau bentuk variasi dari empat Maha Bhuta tadi yaitu mencakup organ-organ indera (pasada-rupa) beserta objek-objeknya (arammana) misalnya bentuk dan warna sebagai objek penglihatan oleh mata; bunyi dan suara sebagai objek pendengaran telinga; bau-bauan sebagai objek penciuman oleh indera penghidu; cita rasa sebagai objek pengecapan oleh lidah; benda-benda dengan berbagai variasi bentuk, temperatur, permukaan kasar atau licin, keras atau lembut, sebagai objek perabaan oleh indera peraba; dan objek- objek mental seperti pikiran, ingatan, konsep dan ide-ide sebagai objek pemikiran oleh indera mental kita. Jadi Rupa-khanda sebenarnya mencakup obyek-obyek di dalam maupun di luar diri kita beserta indera-indera yang dapat berkontak dengannya.
  2. Vedana-khanda, yaitu perasaan-perasaan yang timbul akibat adanya kontak antara obyek-obyek indera dengan indera-indera kita tadi. Perasaan-perasaan yang timbul itu bisa berupa perasaan senang, tidak senang, atau netral. Perasaan-perasaan ini timbul sebagai reaksi kontak tadi yang dihubungkan dengan ingatan-ingatan, baik yang berbentuk insting bawaan ataupun yang didapat dari pengalaman-pengalaman.
  3. Sanna-khanda, yaitu pencerapan atau pengenalan objek yang terjadi setelah terjadinya kontak dan setelah terjadinya kesadaran akan adanya obyek tersebut. Pencerapan atau pengenalan objek tersebut juga terjadi akibat adanya memori atau ingatan-ingatan, terutama yang berhubungan dengan pengalaman-pengalaman.
  4. Sankhara-khanda, yaitu bentuk-bentuk pikiran yang berupa segala kehendak (cetana) yang terjadi setelah timbul perasaan-perasaan akibat kontak yang terjadi. Kehendak-kehendak (cetana) yang terjadi inilah yang kelak akan membuahkan karma berupa perbuatan-perbuatan yang dilakukan, baik yang dilakukan dengan badan jasmani, ucapan, maupun dengan pikiran, yang mengarah kepada perbuatan baik, jahat atau netral.
  5. Vinnana-khanda, yaitu kesadaran yang timbul akibat indera mengadakan kontak dengan. obyek yang sesuai. Kesadaran ini timbul sebelum terjadinya proses pencerapan atau pengenalan obyek yang kemudian menimbulkan perasaan-perasaan yang kemudian bisa berakhir dengan reaksi mental berupa kehendak untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan obyek tersebut.
Dari kelima khanda tersebut. tidak satupun yang dapat dikatakan sebagai diri atau ciri dari suatu individu, tetapi apabila kelima khanda itu saling berhubungan dan bekerja sama, maka akan terasa seakan-akan ada suatu diri yang menjadi ciri dari suatu individu atau keadaan tertentu. Jelmaan yang terbentuk oleh kombinasi kelima khanda itulah yang tak lain merupakan Dukkha itu sendiri, Dukkha yang mempunyai arti yang lebih luas dari sekedar duka atau penderitaan: Dukkha yang mencakup segala kefanaan, perubahan dan ketidak kekalan. Tidak ada suatu jelmaan atau diri yang berada di balik kelima khanda ini, tak ada suatu jelmaan atau diri yang mengalami Dukkha ini sebab panca khanda itu sendiri merupakan Dukkha dalam arti yang luas itu, dan di dalam Dukkha yang rnempunyai arti yang luas inilah terdapat kehidupan, kehidupan yang tak lain merupakan perubahan itu sendiri. Dukkha, kehidupan. dan perubahan sebenarnya bukanlah hal berbeda.

Di dalam pengertian Sankhara-Dukkha ini ditekankan bahwa tidak ada suatu diri atau atta yang berada di balik Panca Khanda ini yang akan merasakan Dukkha; bahwa Dukkha itu timbul akibat kondisi-kondisi yang tercakup di dalam kelima Khanda itu yang selalu bergerak dan berubah-ubah bahwa tidak ada sesuatupun yang berada di luar kondisi-kondisi yang berubah-ubah itu yang menggerakkan atau yang menyebabkan perubahan-perubahan itu; bahwa yang ada hanyalah perubahan-perubahan itu sendiri. Sebagai contoh dari proses-proses pergerakan kondisi-kondisi yang selalu berubah-ubah itu adalah rentetan peristiwa sebagai berikut:

Oleh rentetan kondisi-kondisi yang sebelumnya, pada javana-javana menjelang kesadaran sebelum kematian (cuti-citta) terbentuk janaka-kamma yang menentukan nama-rupa dan keadaan seorang manusia yang kemudian dilahirkan dengan indera-indera yang lengkap yang dapat mengadakan kontak dengan objek berupa empat Maha Bhuta beserta derivat-derivatnya yang juga terbentuk oleh kondisi-kcndisi sebelumnya (Lihat bab Kamma dan Punarbhava). Oleh kondisi-kondisi itu, seorang manusia mampu menangkap objek-objek berupa bentuk, cahaya dan warna, getaran-getaran dan bunyi-bunyian, uap-uap atau partikel gas atau cair atau padat yang berbau dan bercita rasa, dan objek-objek berupa gelombang-gelombang atau gerak-gerak ide dan pikiran. Bila oleh suatu kondisi, Patisandhi Vinnana telah menyambung (lihat bab Punarbhava) dan sifat dualitas (pembedaan antara subyek dengan obyek) telah terbentuk maka manusia itu mempunyai kesadaran (Vinnana) bila terjadi kontak antara suatu objek dengan indera-inderanya yang sesuai.

Oleh kondisi Rupa Khanda yang telah berkontak dengan manusia yang telah bersifat dualitas itu, timbul kesadaran akan adanya suatu bentuk dan warna, bunyi-bunyian atau suara, bau dan cita rasa, ide-ide dan bentuk-bentuk mental. Bila telah ada suatu kondisi di mana terdapat ingatan-ingatan bawaan lahir (Patisandhi Vinnana) maupun ingatan-ingatan yang berupa pengalaman-pengalaman sesudah lahir, maka manusia itu dapat mencerap objek-objek itu dan dikenali sebagai suatu bentuk benda tertentu misalnya sebuah bola, suara genta, bau buah-buahan, dan lain-lain. Atau mencerap objek-objek itu sebagai sesuatu yang belum dikenal ke dalam ingatan-ingatan.

Oleh kondisi-kondisi setelah terjadi pengenalan objek atau pencerapan (Sanna) dan oleh kondisi-kondisi di dalam ingatan maka timbul perasaan-perasaan (Vedana) terhadap objek-objek tadi berupa perasaan suka, tak suka, atau netral.

Oleh kondisi-kondisi setelah timbulnya perasaan-perasaan dan oleh kondisi-kondisi di dalam ingatan berupa kebiasaan dan pengalaman, maka timbul bentuk-bentuk mental (Sankhara) berupa kehendak (cetana), pikiran, rencana, atau keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan terhadap objek tadi. Dengan munculnya kehendak (Cetana) tadi maka akan berlanjut rentetan perbuatan karma yang bisa meneruskan lingkaran-lingkaran perubahan kondisi kelima Khanda itu kembali. Seluruh rentetan perubahan kondisi itulah yang dimaksud dengan Dukkha (Sankhara Dukkha).

Rupa Khanda (4 Maha Bhuta) adalah perwujudan dari hukum Anicca yang berlaku di seluruh alam semesta. Setiap bentuk elemen atau unsur itu beserta derivat-derivatnya hanyalah merupakan satu wujud tertentu dari hukum Anicca tadi.

Vinnana Khandha adalah salah satu perwujudan dari Patisandhi Vinnana yang selain membentuk kemampuan untuk menyadari obyek paramattha yang berkontak dengan indra, juga membentuk bakat, kecerdasan, kebiasaan-kebiasaan, penyakit-penyakit bawaan, kegemaran atau hobbi dan lain-lain.

Sanna Khandha lebih dipengaruhi oleh ingatan-ingatan atau pengalaman setelah lahir dan berfungsi menganalisa obyek-obyek paramattha untuk dikenali sebagai obyek pannati. Vedana Khandha merupakan perwujudan dari kondisi-kondisi berupa ingatan-ingatan bawaan (Patisandhi Vinnana) dan pengalaman-pengalaman setelah lahir.

Sankhara Khandha juga merupakan perwujudan dari kondisi-kondisi berupa ingatan-ingatan bawaan dan kebiasaan-kebiasaan setelah lahir, tetapi kebijaksanaan dan pandangan yang benar dari hasil pendidikan, pengalaman-pengalaman dan latihan dapat mendominasinya.

Tidak semua kontak antara indera dengan obyek bisa sampai kepada timbulnya Cetana dan Karma. Ada kontak yang hanya sampai pada kesadaran, tetapi tidak sampai pada pencerapan. Ada kontak yang telah tercerap tetapi tidak menimbulkan perasaan. Ada kontak yang telah menimbulkan perasaan tetapi kebijaksanaan pikiran dan pandangan yang benar dapat mencegah timbulnya rentetan keinginan atau kehendak beserta perbuatan yang menyertainya.

Seorang Arahat yang masih hidup adalah seorang yang mungkin masih terlibat oieh 4 Khandha sebagai sisa-sisa karmanya yang lampau, tetapi ia tidak lagi mempunyai bentuk-bentuk pikiran berupa kehendak (Cetana) di dalam Sankhara Khandha, oleh karena itu ia tidak lagi membentuk karma-karma baru yang akan membelenggunya lebih lama.

Anatta

"Hanya Dukkha yang terjelma, tiada seorang penderita pun yang berada; segala perubahan terjadi, tetapi pembuat perubahan itu tidak tertemukan; ada Nirvana, tetapi tak seorangpun yang memasukinya; Ada jalan, tetapi tak seorang pengunjungpun yang melewatinya. "
(Visuddhi Magga. XVI).

Pada doktrin Anatta ditekankan bahwa tidak ada suatu diri atau ego yang kekal yang merekat di dalam ataupun di luar segala fenomena fisik dan mental dari setiap eksistensi atau keberadaan; bahwa setiap eksistensi hanyalah merupakan perwujudan dari muncul dan lenyapnya fenomena-fenomena atau gejala-gejala fisik dan mental tanpa adanya diri atau atta yang lain yang terpisah di dalam ataupun di luar proses-proses itu sendiri.

Memang sepintas lalu kita bisa melihat adanya suatu diri atau sifat yang menjadi ciri keberadaan dari suatu bentuk atau fenomena (gejala-gejala alam). Memang suatu wujud, jelmaan atau fenomena itu mempunyai diri atau ciri khasnya yang menjadi sifat alamiahnya. Tetapi apabila wujud atau fenomena itu terurai menjadi unsur-unsur pembentuknya, maka tiada satupun dari unsur-unsur itu yang menjadi ciri atau diri wujud yang semula dan tiada satupun dari unsur-unsur itu yang mewarisi 'diri' dari wujud yang semula itu. Masing-masing unsur itu memiliki ciri atau diri masing-masing yang menjadi sifat alamiahnya yang juga tanpa inti yang kekal dan akan sirna apabila terurai lagi menjadi unsur-unsur yang lebih kecil atau apabila bersenyawa kembali dengan unsur-unsur lain membentuk suatu wujud, jelmaan atau fenomena yang lebih besar dengan sifat atau diri yang lain pula dari diri yang semula.

Sifat Anatta tidak hanya berlaku untuk bentuk dan keadaan yang tercakup dalam Panca Khandha melainkan merupakan sifat dari seluruh keadaan, bentuk atau jelmaan dari yang sangat halus sampai yang maha besar. Tidak ada Atta atau diri yang kekal baik di dalam suatu individu ataupun dalam bentuk semesta yang lebih besar. Yang ada hanyalah diri atau sifat vang sementara, yang senantiasa berubah dari saat ke saat. Suatu saat akan terbentuk diri dari suatu individu; di saat lain diri itu mungkin terurai menjadi diri-diri unsur-unsur pembentuknya yang juga terbentuk dari unsur-unsur lainnya yang memiliki diri masing-masing yang juga tidak kekal dan senantiasa berubah; bisa pula di saat lain diri suatu individu itu bersatu dengan diri dari individu-individu yang lain membentuk suatu organisasi dengan diri atau ciri yang lain pula yang juga tidak kekal dan senantiasa berubah.

Rangkuman

Segala bentuk, wujud, keadaan. jelmaan adalah tidak kekal dan senantiasa berubah. Segala sesuatu yang tidak kekal itulah yang merupakan Dukkha. Segala bentuk, wujud, keadaan, jelmaan adalah tanpa inti atau diri yang kekal. Segala bentuk atau jelmaan individu memang memiliki sifat dan ciri tersendiri. Mereka mempunyai sifat asal yang terbentuk dari organisasi unsure-unsur pembentuknya yang lebih halus. Bentuk atau jelmaan individu itu tergantung pada kondisi-kondisi dari sifat atau diri lain yang juga tidak kekal, yang akan secara bersama-sama tergerak dalam rantai sebab akibat yang saling bergantungan (Paticca Samuppada). Manusia menderita di dalam hidupnya apabila ada penolakan terhadap kesunyataan bahwa segala sesuatu yang terbentuk itu adalah tidak kekal, senantiasa berubah dan tanpa inti yang kekal. Kebahagiaan tercapai apabila kita telah bisa memahami hukum itu dan memahami segala sesuatu sebagaimana adanya dan dapat hidup harmonis dengan segala kesunyataan itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar