Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Kamis, 03 Maret 2022

PERANG DAN PERDAMAIAN: SEBUAH PERSPEKTIF BUDDHIS

PERANG DAN PERDAMAIAN: SEBUAH PERSPEKTIF BUDDHIS

Oleh Bhikkhu Bodhi

Pada abad sebelum kelahiran Sang Buddha, India timur laut mengalami transformasi besar-besaran yang secara mendalam membentuk kembali geopolitik kawasan itu. Negeri-negeri kesukuan yang lebih tua memberi jalan kepada monarki-monarki yang diperintah oleh raja-raja ambisius yang bersaing untuk berkuasa, meninggalkan jejak darah dan air mata. Tanah kelahiran Sang Buddha, negeri Sakya, menjadi negeri bawahan kerajaan Kosala, dan menjelang akhir kehidupan Sang Buddha, Raja Vidudabha yang kejam, penguasa jahat Kosala, membantai orang-orang Sakya, meninggalkan sedikit yang selamat. Negeri Magadha, dengan ibu kotanya di Rajagaha, menjadi inti dari sebuah imperium baru.

Khotbah-kotbah Sang Buddha memberi kita gambaran sekilas tentang gelombang pasang surut masa itu. Kotbah-kotbah itu mengisahkan bagaimana "orang-orang mengambil pedang dan perisai, mengikat busur dan tempat anak panah, dan menyerbu ke dalam pertempuran… di mana mereka terluka oleh panah dan tombak, dan kepala mereka terpenggal oleh pedang… dan mereka disiram dengan cairan mendidih dan digilas di bawah beban berat" (MN 13:12-13).[1] Kita membaca tentang medan perang yang ditandai dengan "awan debu, puncak panji-panji, hiruk-pikuk, dan serangan" (AN 5:75).[2] Para penguasa yang terobsesi oleh nafsu terhadap kekuasaan mengeksekusi musuh-musuh mereka, memenjarakan mereka, menyita harta benda mereka, dan menghukum mereka ke pengasingan (AN 3:69).[3]

Dengan latar belakang kekacauan sosial dan disorientasi pribadi ini, Sang Buddha menyatakan suatu etika tanpa melukai yang menolak kekerasan dalam segala bentuknya, dari manifestasi kolektifnya dalam konflik bersenjata hingga gejolak halusnya sebagai kemarahan dan permusuhan. Beliau menyandarkan etika ini pada seruan untuk berempati, kemampuan untuk membayangkan diri sendiri pada posisi orang lain: "Semua makhluk takut kekerasan, semua takut kematian. Dengan menggunakan diri sendiri sebagai patokan, seseorang seharusnya tidak membunuh atau menyebabkan kematian" (Dhammapada syair 129). Sila Pertama [dari Pancasila Buddhis] dan jalan perbuatan bermanfaat yang pertama menyerukan agar menghindari diri dari penghancuran kehidupan. Pengikut [Buddhis] yang bersungguh-sungguh "meletakkan tongkat dan senjata dan berdiam berbelas kasih terhadap semua makhluk hidup" (MN 41:12).[4] Kehendak Benar, faktor kedua dari Jalan Mulia Berunsur Delapan, menyerukan untuk tidak melukai. Praktisi [Buddhis] dianjurkan untuk mengembangkan pikiran cinta kasih terhadap semua makhluk, seperti seorang ibu terhadap anak tunggalnya (Snp 149).[5]

Tetapi walaupun etika tanpa melukai mungkin dapat berfungsi dengan baik sebagai panduan untuk perilaku pribadi, pemerintahan negara menghadirkan kebingungan moral, yang kadangkala teks-teks bergulat dengannya. Dalam sutta singkat (SN 4:20)[6] Sang Buddha merenungkan pertanyaan yang menggelitik: Apakah mungkin untuk memerintah suatu negeri dengan benar—tanpa membunuh dan mempengaruhi orang lain untuk membunuh, tanpa merampas milik orang lain, tanpa menyebabkan dukacita? Tidak lama setelah pertanyaan itu muncul dalam diri beliau, Mara si Penggoda muncul dan memohon kepada Sang Buddha agar melepaskan panggilan monastiknya untuk memerintah. Sang Buddha menolak anjuran Mara dengan suatu pernyataan tentang kesengsaraan kenikmatan indria: "Bahkan segunung emas pun tidak akan cukup bagi seseorang." Namun, anehnya, sutta tidak menjawab pertanyaan di mana ia mengawalinya. Mungkin pertanyaan itu sengaja dibiarkan menggantung karena Sang Buddha (atau para penyusunnya) tidak berpikir suatu jawaban yang tidak ambigu yang mungkin. Namun penghilangan itu meninggalkan kita dengan dilema ini: Apakah yang terjadi pada komitmen kita untuk tidak melukai ketika kejahatan perang tampaknya diperlukan untuk mencegah kejahatan yang lebih besar dan lebih merusak?

Harus dinyatakan dengan jelas, sutta-sutta tidak menerima pembenaran moral apapun terhadap perang. Dengan demikian, jika kita mengambil teks-teks memberikan nilai moral absolut, seseorang seharusnya menyimpulkan bahwa perang tidak pernah dapat dibenarkan secara moral. Satu sutta pendek bahkan menyatakan secara langsung bahwa seorang prajurit yang tewas dalam pertempuran akan terlahir kembali di neraka, yang menyiratkan bahwa keikutsertaan dalam perang pada dasarnya tidak bermoral (SN 42:3).[7] Namun pernyataan ini tampaknya tidak konsisten dengan norma-norma kita saat ini, yang mengakui kondisi di mana penggunaan senjata diperbolehkan. Apakah norma-norma seperti itu salah dan hanyalah bukti lebih lanjut dari ketidaktahuan dan kesalahan moral manusia?

Teks-teks Buddhis awal bukan tidak menyadari potensi bentrokan antara kebutuhan untuk mencegah kemenangan kejahatan dan kewajiban untuk menjalankan tanpa kekerasan. Namun solusi yang dianjurkan teks-teks Buddhis awal selalu mendukung tanpa kekerasan bahkan dalam menghadapi kejahatan. Contoh kasusnya adalah SN 11:4,[8] yang menceritakan kisah pertempuran antara para dewa, yang dipimpin oleh Sakka, dan para asura, yang dipimpin oleh Vepacitti. Dalam pertempuran itu, para dewa menang, menangkap Vepacitti dan membawanya ke kota mereka. Pelayan Sakka, Matali, mendesak majikannya untuk menghukum musuh lamanya, tetapi Sakka bersikeras bahwa kesabaran dan pengampunan harus diutamakan: "Seseorang yang membalas orang yang marah dengan kemarahan membuat keadaan menjadi lebih buruk bagi dirinya sendiri; tanpa balas dendam, seseorang memenangkan pertempuran yang sulit dimenangkan." Kisah-kisah Jataka juga mendukung kepatuhan yang ketat terhadap aturan tanpa kekerasan, bahkan bagi seorang penguasa yang terancam oleh musuh. Mahasilava Jataka menceritakan kisah seorang raja yang bertekad untuk tidak menumpahkan darah, meskipun ini menyebabkannya menyerahkan kerajaannya dan menjadi tawanan musuhnya. Melalui kekuatan cinta kasih sang raja berhasil memperoleh pembebasan, mengubah orang yang menahannya menjadi teman dan mendapatkan kembali kerajaannya.


Namun, di dunia nyata para kepala negara hampir tidak mungkin mengadopsi meditasi cinta kasih sebagai cara utama mereka untuk menghalau para penyerang yang berkecenderungan pada ekspansi wilayah atau dominasi global. Pertanyaannya kembali lagi: Walaupun menganut tanpa kekerasan sebagai idealisme, bagaimanakah seharusnya pemerintah mengatasi ancaman nyata terhadap rakyatnya? Dan bagaimanakah komunitas internasional menghadapi suatu negara yang bertekad memaksakan kehendaknya dengan kekuatan bersenjata? Meskipun tanpa kekerasan mutlak mungkin menjadi aturan ketika tiada keadaan berlawanan yang terlihat, situasi tertentu dapat menjadi kompleks secara moral, yang memerlukan klaim moral yang bertentangan. Tugas perenungan moral adalah untuk membantu kita menengahi klaim-klaim ini sambil membatasi kecenderungan untuk bertindak demi kenyamanan kepentingan pribadi.

Pemerintah memperoleh legitimasi mereka sebagian dari kemampuan mereka untuk melindungi warganya dari agresor kejam yang bertekad menaklukkan wilayah mereka dan menundukkan penduduk mereka. Komunitas dunia juga, melalui konvensi-konvensi dan mediasi badan-badan internasional, berusaha untuk mempertahankan keadaan yang relatif damai—betapapun tidak sempurnanya—dari mereka yang menggunakan kekuatan untuk memenuhi nafsu mereka terhadap kekuasaan atau memaksakan agenda ideologis. Ketika suatu negara melanggar aturan hidup berdampingan secara damai, kewajiban untuk menahan agresi dapat mengalahkan kewajiban untuk menghindari kekerasan. Demikianlah Piagam PBB memandang kekuatan fisik sebagai upaya terakhir namun membenarkan penggunaannya ketika membiarkan pelanggar untuk berlanjut tanpa dicegah akan memiliki konsekuensi yang lebih berbahaya.

Ketegangan moral yang kita hadapi dalam kehidupan nyata seharusnya mengingatkan kita agar tidak menafsirkan resep etika Buddhis sebagai hal yang mutlak tanpa syarat. Namun teks-teks Buddhisme awal sendiri tidak mengenal keadaan yang mungkin melunakkan universalitas suatu nilai sila atau moral dasar. Untuk mengatasi ketidaksesuaian antara idealisme moral teks-teks dan tuntutan pragmatis kehidupan sehari-hari, saya akan mengajukan dua kerangka (framework) untuk membentuk keputusan moral. Saya akan menyebut yang satu kerangka liberatif, yang lain kerangka karma pragmatis.

Kerangka liberatif berlaku bagi mereka yang berusaha untuk maju secepat mungkin menuju tujuan akhir Dharma, padamnya penderitaan (dukkha). Dalam kerangka ini—yang berlangsung melalui tiga pelatihan dari perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan—mengendalikan diri dari melukai makhluk hidup (terutama manusia) dengan sengaja merupakan kewajiban ketat yang tidak boleh dilanggar melalui "pintu perbuatan" mana pun, jasmani, ucapan atau pikiran. Cara hidup tidak melukai yang ketat tidak dapat diganggu gugat. Jika seseorang harus menjalani wajib militer, ia harus menjadi penolak wajib militer berdasarkan hati nurani (conscientious objector) atau bahkan masuk penjara jika tidak ada alternatif lain. Jika seseorang dihadapkan pada pilihan antara mengorbankan nyawanya sendiri dan mengambil nyawa orang lain, ia harus rela mengorbankan nyawanya sendiri, yakin tindakan pelepasan ini akan mempercepat kemajuan [spiritual]nya.

Kerangka karma pragmatis berfungsi sebagai matriks perenungan moral bagi mereka yang berkomitmen pada nilai-nilai etika Buddhis yang berusaha untuk maju menuju pembebasan akhir secara bertahap, melalui serangkaian kehidupan, alih-alih secara langsung. Penekanannya adalah pada pengembangan kualitas-kualitas bermanfaat untuk melanjutkan kemajuan seseorang dalam siklus kelahiran kembali sambil memungkinkannya untuk mengejar panggilan duniawinya. Dalam kerangka ini, resep moral ajaran [Buddha] memiliki validitas yang bersifat dugaan daripada validitas yang tidak boleh dibantah. Seseorang yang mengadopsi kerangka ini akan menyadari bahwa tugas kehidupan sehari-hari terkadang membutuhkan kompromi dengan kewajiban ketat dari aturan moral Buddhis. Meskipun masih menghargai standar moral tertinggi sebagai idealisme, seorang praktisi yang demikian akan siap untuk membuat kelonggaran sesekali sebagai kebutuhan praktis. Ujian integritas di sini bukanlah ketaatan yang kukuh pada aturan-aturan moral, tetapi penolakan untuk menundukkannya pada kepentingan pribadi yang sempit.

Pada masa perang, saya berpendapat, kerangka karma dapat membenarkan untuk mendaftar dalam militer dan bertugas sebagai prajurit, asalkan seseorang dengan tulus percaya bahwa alasan untuk bertempur adalah untuk melumpuhkan agresor berbahaya dan melindungi negara dan warganya. Setiap tindakan pembunuhan di mana pilihan demikian mungkin diperlukan tentunya akan disesali sebagai pelanggaran terhadap Sila Pertama [dari Pancasila Buddhis]. Tetapi faktor yang meringankan adalah pemahaman psikologis Sang Buddha terhadap karma sebagai kehendak, di mana kualitas moral dari motif menentukan nilai etis dari perbuatan tersebut. Karena tujuan suatu negara dalam menggunakan senjata dapat sangat bervariasi—seperti motif seseorang untuk berpartisipasi dalam perang—ini membuka suatu spektrum penilaian moral. Ketika motifnya adalah ekspansi wilayah, kekayaan materi atau kebanggaan nasional, upaya perang akan tercela secara moral. Ketika motifnya adalah pertahanan nasional semata atau untuk mencegah negara jahat mengganggu perdamaian dunia, evaluasi moral harus mencerminkan niat ini.

Namun demikian, jika seseorang hanya bergantung pada pernyataan kanon (kitab suci), kehendak untuk melukai orang lain akan selalu dianggap sebagai "kehendak salah" dan semua perbuatan menghancurkan kehidupan digolongkan sebagai tidak bermanfaat. Tetapi pertimbangan moral apakah yang harus kita buat ketika warga negara berpartisipasi dalam perang defensif untuk melindungi negara mereka dan sesama warga negara, atau negara damai lainnya, dari serangan agresor yang kejam? Misalkan kita hidup di tahun 1940-an ketika Hitler mengejar pencariannya akan dominasi global. Jika saya bergabung dengan kesatuan tempur, apakah partisipasi saya dalam perang ini dianggap tercela secara moral meskipun tujuan saya adalah untuk menghalangi operasi militer yang kejam dari seorang tiran yang lalim? Dapatkah kita mengatakan bahwa ketaatan pada Dharma mengharuskan kita untuk tetap pasif dalam menghadapi agresi yang brutal, atau untuk mengejar negosiasi ketika jelas-jelas ini tidak akan berhasil? Tidakkah kita mempertahankan bahwa dalam situasi ini tindakan militer untuk menghentikan agresor adalah patut dipuji, bahkan wajib, dan bahwa tindakan seorang prajurit dapat dinilai terpuji secara moral? Dengan cara yang sama, jika seorang polisi, dalam menjalankan tugasnya, terpaksa menembak seorang pembunuh untuk menyelamatkan nyawa orang-orang yang tidak bersalah, tidakkah kita menganggap tindakannya terpuji alih-alih tercela?

Dengan ragu-ragu, saya harus mengambil posisi terakhir ini. Dengan melakukan demikian, saya harus menambahkan bahwa saya tidak berusaha membenarkan perang mana pun di mana AS saat ini terlibat dengan dalih "mempertahankan kebebasan kita," atau untuk memaafkan perilaku brutal dari kepolisian kita yang hipermiliter.[*] Mengambil kehidupan selalu merupakan pilihan terakhir, dan yang paling tidak diharapkan. Tetapi tampaknya bagi saya dalam dunia yang kompleks secara moral, pilihan dan pertimbangan kita harus mencerminkan tekstur situasi yang rumit secara moral yang kita hadapi.

Saya mengakui bahwa saya tidak dapat membenarkan pendirian saya dengan mengacu pada teks-teks Buddhis, baik kanon (kitab suci) atau komentar (penjelasannya). Dengan demikian tampak bagi saya bahwa etika Buddhisme awal sama sekali tidak mencakup semua kesulitan situasi manusia. Mungkin hal itu tidak pernah menjadi tujuan teks-teks Buddhis. Mungkin tujuan teks-teks Buddhis adalah berfungsi sebagai pedoman alih-alih sebagai nilai moral absolut, untuk menempatkan idealisme bahkan bagi mereka yang tidak dapat memenuhinya dengan sempurna. Namun demikian, kompleksitas kondisi manusia pasti memberikan kita keadaan di mana kewajiban moral berjalan dalam arus-arus yang berlawanan. Dalam kasus-kasus demikian, saya percaya, kita hanya perlu melakukan yang terbaik untuk bernavigasi di antara arus-arus tersebut, dengan cermat menyelidiki motif kita sendiri dan beraspirasi untuk mengurangi luka dan penderitaan bagi sebagian besar mereka yang berisiko.

Catatan:

[*] Artikel ini ditulis pada tahun 2014 ketika AS terlibat perang di Afganistan dan terjadi kasus penembakan orang kulit hitam oleh polisi kulit putih di AS.

Singkatan-Singkatan:

AN = Anguttara Nikaya
MN = Majjhima Nikaya
SN = Samyutta Nikaya
Snp = Suttanipata

Tentang Penulis:

Bhikkhu Bodhi adalah pendiri dan ketua Buddhist Global Relief. Beliau menjadi seorang bhikkhu Theravada sejak tahun 1972 dan bertugas sebagai penyunting untuk Buddhist Publication Society di Kandy, Sri Lanka. Seorang penerjemah Nikāya-Nikāya Pāli, beliau tinggal dan mengajar di Vihara Chuang Yen di Carmel, New York. Kutipan dari terjemahan Kanon Pāli oleh Bhikkhu Bodhi (dalam bahasa Inggris) tersedia di www.wisdompubs.org dengan judul "Teachings of the Buddha" dalam koleksi Wisdom's Academics. Terjemahan Nikāya-Nikāya Pāli oleh Bhikkhu Bodhi juga diterbitkan secara gratis dalam bahasa Indonesia oleh DhammaCitta


Catatan Kaki

[1] MN 13: Mahādukkhakkhandha Sutta
[2] AN 5.75: Paṭhamayodhājīva Sutta
[3] AN 3.69: Akusalamūla Sutta
[4] MN 41: Sāleyyaka Sutta
[5] SuttaCentral
[6] SN 4: Mārasaṁyutta
[7] SuttaCentral
[8] SN 11: Sakkasaṃyutta

Sumber Terjemahan:
https://www.inquiringmind.com/article/3002_5_bhodi-war-and-peace-a-buddhist-perspective/
=====

Dikutip dari :
https://id.quora.com/profile/Seniya/PERANG-DAN-PERDAMAIAN-SEBUAH-PERSPEKTIF-BUDDHIS-Oleh-Bhikkhu-Bodhi-Pada-abad-sebelum-kelahiran-Sang-Buddha-India-tim

--