Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Kamis, 17 Juni 2010

Ucapan Benar, Bermanfaat, dan Menyenangkan

Ucapan Benar, Bermanfaat, dan Menyenangkan 

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Vacṅpakopaṁ rakkheyya – Vācāya saṁvuto siyā
Vacṅduccaritaṁ hitvā – Vācāya sucaritaṁ care’ti.
Hendaklah orang selalu menjaga rangsangan ucapannya, hendaklah ia mengendalikan ucapannya. Setelah menghentikan perbuatan-perbuatan jahat melalui ucapan, hendaklah ia giat melakukan perbuatan-perbuatan baik melalui ucapan.
(Dhammapada 232)
Sebagai bagian dari kehidupan ber-masyarakat, kita dituntut untuk menjaga tiga pintu perbuatan kita sendiri, yaitu pikiran, ucapan, dan badan jasmani. Ketiga pintu perbuatan ini memang harus kita jaga setiap saat. Bisakah kita melakukan hal ini? Sebisa mungkin kita harus melakukan sehubungan dengan adanya relasi-relasi yang banyak antarsesama di sekitar kita.
Kita memang mengetahui bahwa pengucapan sebuah kata membawa pengaruh yang sangat kuat terhadap si pendengar di sekitar kita. Untuk itu marilah kita simak penjabaran secara rinci di bawah ini.
Ucapan benar itu dalam pe-nyampaiannya tidak berarti secara terbuka penuh.
Dalam Abhayarajakumara Sutta, Majjhima Nikāya 58, Sang Buddha menunjukkan faktor-faktor yang turut menentukan suatu ucapan patut dan tidak patut dikemukakan. Faktor-faktor yang utama adalah: 1. Apakah per-nyataan itu benar atau salah, 2. Apakah pernyataan itu bermanfaat atau tidak, 3. Apakah pernyataan itu dikehendaki/ disetujui oleh orang-orang lain atau tidak. Sang Buddha sendiri akan me-ngemukakan hal-hal yang benar dan bermanfaat, dan mengetahui saatnya yang tepat, sesuatu yang menyenang-kan dan sesuatu yang tidak me-nyenangkan pun patut dikemukakan.
Diceritakan bahwa pada suatu saat, seorang bayi yang masih kecil sedang berbaring telungkup di pangku-an Pangeran Abhaya. Sang Buddha berkata kepada Pangeran Abhaya, ”Bagaimana pendapatmu Pangeran? Karena kelalaianmu atau pun kelalaian perawat, kalau saja anak yang masih kecil itu memasukkan sebatang kayu atau sebutir batu ke dalam mulutnya sendiri, apa yang akan engkau lakukan terhadapnya?”
”Saya akan mengeluarkan kayu atau batu itu, Bhante. Jika saya tidak bisa mengeluarkannya, saya akan memegang kepalanya dengan tangan kiri saya dan membengkokkan jari tangan kanan saya, saya akan me-ngeluarkannya meskipun harus berdarah. Mengapa demikian? Karena saya memiliki welas kasih kepada anak itu.” Sang Buddha berkata: ‘Demikian juga Pangeran:
[1] Ucapan yang diketahui oleh Tathagata sebagai bukan fakta, tidak benar, tidak berhubungan dengan tujuan, tidak dikehendaki dan tidak menyenangkan orang-orang lain, Tathagata tidak mengemukakan ucapan-ucapan itu.
[2] Ucapan yang diketahui oleh Tathagata sebagai fakta, benar, tidak berhubungan dengan tujuan, tidak dikehendaki dan tidak menyenangkan orang-orang lain, Tathagata tidak mengemukakan ucapan-ucapan itu.
[3] Ucapan yang diketahui oleh Tathagata sebagai fakta, benar, ber-hubungan dengan tujuan, tetapi tidak dikehendaki dan tidak menyenangkan orang-orang lain, Tathagata me-ngetahui saat yang tepat untuk mengemukakan ucapan-ucapan itu.
[4] Ucapan yang diketahui oleh Tathagata sebagai bukan fakta, tidak benar, tidak berhubungan dengan tujuan, tetapi dikehendaki dan me-nyenangkan orang-orang lain, Tatha-gata tidak mengemukakan ucapan-ucapan itu.
[5] Ucapan yang diketahui oleh Tathagata sebagai fakta, benar, tidak berhubungan dengan tujuan, tetapi dikehendaki dan menyenangkan orang-orang lain, Tathagata tidak me-ngemukakan ucapan-ucapan itu.
[6] Ucapan yang diketahui oleh Tathagata sebagai fakta, benar, ber-hubungan dengan tujuan, dan di-kehendaki dan menyenangkan orang-orang lain, Tathagata mengetahui saat yang tepat untuk mengemukakan ucapan-ucapan itu.
Mengapa demikian? Karena Tathagata memiliki welas kasih ke-pada semua makhluk hidup.” (MN 58)
Dalam Suta Sutta, Gradual Sayings (Aïguttara Nikāya II. 179) diceritakan bahwa Brahmana Vassa-kara berkata kepada Sang Buddha, demikian: ”Saya berpandangan, saya berpendapat bahwa, ketika seseorang berbicara hal-hal yang telah dilihat, dengan mengatakan, ’Demikian telah saya lihat’, tidak ada salahnya hal semacam itu. Ketika seseorang ber-bicara hal-hal yang telah didengar, dengan mengatakan, ’Demikian telah saya dengar’, tidak ada salahnya hal se-macam itu. Ketika seseorang berbicara hal-hal yang telah diketahui, dengan mengatakan, ’Demikian telah saya ketahui’, tidak ada salahnya hal se-macam itu.”
Sang Buddha menanggapi per-nyataan Brahmana Vassakara tersebut: ”Saya tidak mengatakan, Brahmana, bahwa hal-hal yang telah dilihat…, hal-hal yang telah didengar…, hal-hal yang telah diketahui patut dikemukakan. Tetapi bukan berarti hal-hal yang telah dilihat, telah didengar, telah diketahui tidak patut dikemukakan.”
”Apabila seseorang mengemuka-kan hal-hal yang telah didengar, hal-hal yang telah dilihat, hal-hal yang telah diketahui, mengakibatkan kualitas batin yang buruk berkembang dan kualitas batin yang baik merosot, maka hal semacam itu tidak patut dikemukakan. Akan tetapi, apabila seseorang me-ngemukakan hal-hal yang telah di-ketahui, mengakibatkan kualitas batin yang buruk berkurang dan kualitas batin yang baik berkembang, maka hal semacam itu patut dikemukakan.”
“Apabila, seseorang mengemuka-kan hal-hal yang telah dilihat, meng-akibatkan kualitas batin yang tidak baik berkembang dan kualitas batin yang baik merosot, maka hal semacam itu tidak patut dikemukakan.”
Dalam menyampaikan segala sesuatu melalui ucapan, apalagi me-ngenai Dhamma, memang ada cara-cara yang harus diketahui dengan baik, dan menggunakannya secara baik dan benar pula. Dalam menanggapi atau menjawab suatu pertanyaan pun kita harus berusaha memberikan jawaban yang sesuai.
Dalam Pañha Sutta, Gradual Sayings (Aïguttara Nikāya II. 53-54) Sang Buddha mengajarkan bagaimana cara menjawab suatu pertanyaan.
Pertanyaan-pertanyaan yang di-ajukan tentu harus dimengerti terlebih dahulu, baru memikirkan dan me-rancang jawaban yang tepat untuk pertanyaan-pertanyaan yang berbeda. Dalam Pañha Sutta tersebut, dikatakan ada empat cara menjawab pertanyaan-pertanyaan, yaitu: 1]. Ada pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab secara langsung dan singkat (misalnya: iya / tidak); 2]. Ada jenis pertanyaan yang harus dijawab secara analisis (men-definisikan sebanyak mungkin dalam penjelasan dengan berbagai contoh); 3]. Ada jenis pertanyaan yang harus dijawab dengan sebuah pertanyaan balik sebagai jawabannya; 4]. Ada pula jenis pertanyaan yang harus dijawab dengan diam/ tidak perlu dijawab.”
Siapa pun yang mengetahui hal tersebut dengan benar menghubungkan dengan Dhamma, maka ia dikatakan mahir dalam empat tipe pertanyaan tersebut. Sulit untuk mengalahkannya. Ia mengetahui hal-hal yang sesuai dan yang tidak sesuai, sehingga menolak hal-hal yang tidak memiliki makna dan menguasai hal-hal yang memiliki makna.
Menurut ayat Dhammapada ter-sebut di atas, tentu usaha dan per-juangan kita sendiri kuncinya. Ber-usaha dan berjuanglah. Sukses!
Sumber: http://www.accesstoinsight.org/canon/sutta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar