Sudahkah Anda Mencintai Diri Sendiri?
Oleh Bhikkhu Dhammadhīro
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Attānañce Piyaṁ Jaññā. Rakkheyya Naṁ Surakkhitanti
Jika seseorang sadar bahwa diri sendiri paling dicinta, sepatutnya, ia merawat dirinya dengan baik.
(Dhammapada, 157)
Ada dua kata yang perlu dijelaskan dari kutipan di atas, yaitu: cinta dan diri sendiri. Apakah yang disebut ‘cinta’?
Banyak batasan makna kata tentang cinta ini. Namun apapun batasan makna yang diberikan, pada dasarnya ‘cinta’ bermakna perasaan puas dengan menjadi lengket melekat pada sesuatu atau seseorang. Sehingga, sesuatu atau seseorang yang dicinta biasanya mendapat perlakuan yang istimewa dari orang yang mencintainya, mendapat penjagaan dari segala hal yang dapat membahayakan keberadaannya. Semua hal yang dilakukan pecinta adalah demi menjaga keberadaan rasa puas yang dimiliki terhadap yang dicintai. Kalau yang dicinta itu berupa barang, barang itu tidak dibiarkan rusak, cacat, atau dirampas orang. Kalau yang dicinta itu berupa orang, orang itu diharap tidak berpaling darinya, syukur-syukur dapat membalas cintanya dengan cinta padanya. Sehingga, betapa menyenangkan orang yang mencintai seseorang yang mencintai dirinya, pucuk dicinta ulam tiba. Sebaliknya, apabila orang yang dicintai itu berpaling darinya, menjauhinya; cinta yang muncul dan berkembang itu bisa berubah menjadi kebencian, benci karena perasaan puasnya untuk lengket melekat tidak terpenuhi.
Yang disebut ‘diri sendiri’ artinya bukan orang lain, bukan pihak lain, atau dengan istilah lain yaitu ‘aku’. Kata ‘diri’ itu sendiri meliputi tubuh dan batin.
Jadi, mencintai diri sendiri artinya adalah mencintai tubuh dan batin sendiri. Sebagaimana seseorang yang mencintai tubuhnya sendiri, ia akan merawat tubuh dengan memberinya makan dan minum, menjaganya dari hal-hal yang dapat membahayakan tubuh, mengobatinya bila sakit, membersihkannya dari kotoran yang melekat, dsb. Seseorang mencintai batin sendiri dengan mencari hal-hal yang memuaskan perasaan sendiri, melihat bentuk-bentuk yang menyenangkan, mendengarkan suara-suara yang menyenangkan, mencium bau-bauan yang menyenangkan, merasakan rasa-rasa yang menyenangkan, menyentuh sentuhan-sentuhan yang menyenangkan, memikirkan hal-hal yang menyenangkan, dsb.
Kebanyakan orang apabila ditanya, ”Sudahkah Anda mencintai diri sendiri?” akan menganggap pertanyaan itu sebagai pertanyaan bodoh, pertanyaan orang blo’on. Adakah orang yang tidak mencintai diri sendiri? Tiap orang mengatakan bahwa sudah tentu ia mencintai diri sendiri. Memang benar, setiap orang mencintai diri sendiri. Dalam Sattakanipāta, Aṅguttaranikāya, Sang Buddha pun bersabda ‘Attā hi paramo piyo’ yang artinya diri sendiri adalah yang paling dicinta. Apa pun yang seseorang kerjakan adalah berdasar pada kecintaannya pada diri sendiri.
Namun, apabila ditanya lagi dengan sebuah penekanan, ”Sudahkah Anda benar-benar mencintai diri sendiri?” kebanyakan orang juga akan terperanjat, mundur selangkah, urung untuk menganggapnya sebagai pertanyaan bodoh, pertanyaan orang blo’on. Di sinilah letak perbedaannya. Orang mencintai diri sendiri, tetapi sudah benar-benar mencintai diri sendirikah ia? Hampir setiap orang, dengan alasan demi diri sendiri, mengatasnamakan demi kepentingan sendiri, demi kepuasan dan kebahagiaan diri sendiri, berpikir, berbicara dan bertindak-tanduk, apapun bentuk pikiran, kata-kata yang diucapkan dan perbuatan yang dilakukan.
Pangeran Viḍūḍabha, karena dendamnya terhadap bangsa Sakya, membunuh hampir semua bangsa Sakya. Pangeran Viḍūḍabha dalam melakukan perbuatannya di atas beralasan demi cinta terhadap dirinya, tidak berkenan harga dirinya diinjak orang. Masih banyak contoh perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan orang dengan mengatasnamakan cintanya pada diri sendiri. Bahkan, tidak sedikit didengar orang berpandangan bahwa perbuatan buruk, perbuatan curang adalah satu kebodohan apabila seseorang tidak melakukannya saat berkesempatan.
Benarkah perbuatan-perbuatan di atas dikatakan sebagai bentuk cinta pada diri sendiri? Benarkah perbuatan-perbuatan di atas dikatakan sebagai bentuk pengharapan baik bagi diri sendiri? Banyak orang salah langkah dalam upaya mencintai diri sendiri, berpengharapan baik bagi diri sendiri, menganggap hal yang buruk sebagai upaya hal yang baik untuk diri sendiri. Benar seperti yang disabdakan Sang Buddha dalam pustaka Dhammapada 119,
”Pāpopi passati bhadraṁ
yāva pāpaṁ na paccati
yadā ca paccati pāpaṁ
atha pāpāni passatîti.
Pelaku keburukan menganggap keburukan adalah baik sepanjang keburukan itu belum masak. Tetapi, setelah keburukan itu masak, ia baru menyadari bahwa keburukan adalah hal yang buruk.
Di pustaka lain, yakni di Dukanipāta, Aṅguttaranikāya, Sang Buddha bersabda kepada para bhikkhu,
“Akusalañca hidaṁ bhikkhave pahînaṁ, ahitāya dukkhāya saṁvatteyya, nāhaṁ evaṁ vadeyyaṁ, ‘Akusalaṁ bhikkhave pajahathāti. Yasmā ca kho bhikkhave akusalaṁ pahînaṁ, hitāya sukhāya saṁvattati, tasmāhaṁ evaṁ vadeyyaṁ ‘Akusalaṁ bhikkhave pajahathāti.
“Wahai para Bhikkhu, apabila keburukan yang telah disingkirkan itu demi celaka, demi derita, Aku tak akan mengatakan, ‘Wahai para Bhikkhu, singkirkanlah keburukan.’ Akan tetapi, karena keburukan yang telah disingkirkan itu demi manfaat dan kebahagiaan, Aku mengatakan, ‘Wahai para Bhikkhu, singkirkanlah keburukan.”
Bentuk cinta pada diri sendiri yang dimaksud oleh para bijaksanawan adalah menanamkan kebaikan dalam diri sendiri, berlatih untuk berkeyakinan pada ajaran benar, bersemangat, ulet, bijaksana, murah hati, rendah hati, dsb. Cinta diri sendiri bukan sikap egois, karena tindakan egois adalah tindakan pemuasan nafsu kesenangan bagi diri sendiri dengan merampas hak-hak orang lain. Cinta diri sendiri justru sebagai sikap logis. Siapa utamanya yang bisa membuat diri sendiri kalau bukan diri sendiri. Orang-orang yang telah banyak memupuk kebajikan, menyempurnakan paramita adalah cara ideal dalam upaya mencintai diri sendiri. Para suciwan adalah bukti orang-orang yang mencintai diri sendiri secara sempurna.
21 Januari 2007
Berita Dhammacakkha Januari 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar