Pemimpin Perspektif Buddhis
Oleh Willy Liu
Kita semua tahu bahwa dalam setiap
aspek kehidupan bermasyarakat, seorang pemimpin memegang peranan yang sangat
penting. Pada zaman dahulu, ketika perang dalam perebutan kekuasaan suatu
kerajaan, peranan pemimpin sangat menentukan. Ketika di medan perang, kematian
seorang pemimpin prajurit akan mencerai-berai pasukan dan secara otomatis
dinyatakan kalah. Begitu pula raja di suatu kerajaan ketika terbunuh maka
dikatakan kerajaannya telah runtuh.
Di zaman modern seperti ini, peran
seorang pemimpin menjadi lebih penting dan menjadi kunci suatu keberhasilan.
Apabila seorang pemimpin keluarga tidak mampu memimpin dengan baik, keluarga
akan tidak harmonis. Apabila seorang pemimpin negara tidak arif dalam memimpin,
suatu pemerintahan akan menjadi kacau dan terjadi ketidaktenangan dalam
kehidupan bernegara. Pun, apabila pemimpin spiritual atau suatu agama tidak
bersikap bijak dalam menyebarkan ajarannya, maka yang terjadi adalah umat yang
penuh dengan kefanatikan dan anarkis.
Mengetahui betapa pentingnya
seorang pemimpin, tentu pertanyaan besar yang muncul adalah bagaimana ciri atau
karakter pemimpin yang baik menurut Ajaran Buddha? Hal-hal apa saja yang harys
dilakukan oleh seorang pemimpin dalam perspektif Buddhis? Sebelum membahas
lebih lanjut, kita akan melihat salah satu karakter pemimpin terbaik sepanjang
sejarah umat manusia. Beliau adalah Sang Buddha, Sidhartha Gautama.
Memimpin dengan
Kearifan
Kita mengetahui bahwa dalam Sang
Buddha merupakan seorang figur pemimpin yang ideal. Beliau memimpin berdasarkan
ajarannya yaitu berlandaskan kebijaksanaan dan cinta kasih. Sumber-sumber
menunjukkan bahwa beliau memimpin penuh dengan demokrasi. Setiap aturan yang
ditetapkan oleh Buddha ada alasannya. Setiap kali seorang perilaku muridnya
yang kurang baik, Sang Suddha akan menetapkan aturan winaya.
Kepemimpinan Sang Buddha juga
terlihat takkala Beliau menyelesaikan konflik yang terjadi pada Suku Sakya dan
Suku Koliya. Kedua suku tersebut hampir berperang karena berebut air. Kedua
suku tersebut dipisahkan oleh sungai Rohini. Biasanya kedua suku tersebut
menggunakan air dari sungai tersebut secara bersama-sama mengairi sawah
masing-masing.
Pada suatu musim kemarau, air
sungai tersebut berkurang dan membuat hasil panen berkurang. Kemudian,
orang-orang dari Suku Koliya mulai mengatakan bahwa air sungai tidak cukup
untuk dibagi berdua sehingga mereka yang akan memakai air sungai tersebut
sedangkan suku Sakya tidak boleh menggunakannya. Timbullah pertengkaran,
caci-maki dan saling menghujat. Lantas yang terjadi adalah sama-sama saling
berebut air. Beberapa orang mulai melakukan kekerasan dan memukul suku lainnya
sehingga pada akhirnya kedua suku menyiapkan pasukan hendak berperang.
Ketika Sang Buddha datang, Beliau
bertanya kepada kedua pemimpin masing-masing suku tersebut. Kedua pemimpin
malah tidak mengetahui kenapa sebabnya. Selidik-menyidik, Sang Buddha bertanya
langsung kepada warga pekerja dan kemudian dikatakan penyebabnya adalah karena
berebut air. Kemudian, dengan kebijaksanaan dan cinta Beliau kepada setiap
orang, Beliau bertanya kepada raja masing-masing suku berapakah harga air. Dijawablah
bahwa harga air hampir tiada artinya. Lalu, Sang Buddha bertanya, “Berapakah
nilai kehidupan rakyat anda?”. Sang Raja menjawab, “tentu saja harga nyawa
tiada ternilai harganya.” Kemudian, Sang Buddha Bersabda, “Baiklah kalau
begitu. Apakah tepat bahwa untuk air yang hampir tiada artinya, anda akan
menghancurkan banyak kehidupan yang harganya tidak ternilai?”
Akhir cerita jelas, kedua
pemimpin (raja) tersebut berdamai karena pendekatan Buddha yang arif dan lembut
dalam menyelesaikan suatu konflik. Inilah salah satu contoh pemimpin ideal yang
melakukan sesuatu dengan cara-cara yang terbaik bagi semua pihak.
Karakteristik
Pemimpin
Menurut ajaran Buddha, seorang pemimpin yang baik
selayaknya mempunyai sepuluh karakter pemimpin (Dasa Raja Dhamma). Di dalam kitab Jataka, disebutkan 10 ciri
seorang pemimpin dikatakan baik, yaitu:
1.
Dana
(Kedermawanan)
Seorang pemimpin seharusnya murah hati. Pemimpin dapat
menjadi contoh bagi pengikutnya. Kualitas kedermawanan ini sangat penting dan
bertolak belakang dengan keserakahan, karena dengan kedermawanan seorang
pemimpin akan disenangi oleh pengikutnya.
2.
Sila
(Moralitas)
Seorang pemimpin harus memiliki moral yang baik dan Hukum
harus dipatuhi. Setiap pikiran, ucapan dan perbuatan seorang pemimpin haruslah
berlandaskan kebaikan dan cinta serta kebijaksanaan.
3.
Paricagga (Pengorbanan diri)
Ketika menjadi seorang pemimpin, ia telah berkorban untuk melayani
pengikutnya. Seorang pemimpin negara (raja) harus berpandangan bahwa ia akan
mengorbankan diri demi kesejahteraan rakyatnya. Kualitas ini penting karena
apabila seorang pemimpin tidak mempunyai karakteristik ini, berarti ia ada
pemimpin yang egois dan akan selalu mementingkan diri sendiri.
4.
Ajjava (Integritas, tulus, jujur)
Sebagai pemimpin tugas-tugasnya seharusnya dilakukan dengan tulus.
Dedikasikan sepenuhnya pada apa yang seharusnya seorang pemimpin lakukan. Jujur
pada diri sendiri dan orang lain akan membuat pemimpin dihargai oleh
pengikutnya dan dihormati dengan tulus.
5.
Maddava (Baik hati, Bertanggung
jawab)
Siapapun orangnya dan apapun tugasnya, seseorang seharusnya memiliki tanggung
jawab pada tugasnya. Pemimpin dituntut mempunyai tanggung jawab ekstra sehingga
disiplin sebagai seorang pemimpin. Dengan begitu siapapun akan menghargai
pemimpin tersebut sepenuh hati. Seroang pemimpin hendaknya berlaku baik,
menjaga sopan santun dan tata krama sesuai norma setempat.
6.
Tapa (Sederhana)
Sebagai seorang pemimpin janganlah berlaku sombong dan berlebihan. Menurut
ajaran Buddha, kesederhanaan merupakan salah satu kunci untuk melatih diri
mengendalikan keserakahan. Gaya hidup mewah sebaiknya dihindari oleh seorang
pemimpin. Tunjukkan bahwa kesederhanaan hidup lebih baik dan berarti daripada
gaya hidup mewah dan sombong.
7.
Akkodha (Tanda kemarahan, tiada
membenci)
Jelas, andaikata seorang pemimpin sering marah-marah akan membuat ketakutan
pengikutnya dan pengikutnya akan menjalankan perintah bukan berdasarkan
kesadaran dan tidak akan optimal. Terkadang pemimpin memang perlu tegas namun
bukannya dengan marah-marah berlebihan. Ekspresi seorang pemimpin bisa
menegaskan kewibawaannya. Janganlah pemimpin juga menyimpan benci atau rasa
tidak senang kepada lawannya. Cobalah bersikap bersahabat daripada membenci.
8.
Avihimsa (Tanpa kekerasan)
Seringkali sebagian orang berpikir bahwa dengan kekerasan masalah bisa
diselesaikan. Mungkin untuk beberapa kasus bisa, namun umumnya yang terjadi
adalah kebencian dan dendam akan semakin kuat dan meluas. Dalam ajaran Buddha
belas kasih (karuna) dan cinta
universal (metta) memegang peranan
aktif dari karakteristik ini.
9.
Khanti (Kesabaran)
Banyak masalah timbul dari ketidaksabaran dan emosi negatif sesaat kita.
Kemarahan adalah salah satu wujud dari ketidakmampuan kita untuk mengendalikan
emosi kita, karena kita tidak berlatih sabar. Untuk itulah kesabaran menjadi
salah satu karakteristik pemimpin yang penting.
10. Avirodha
(Tidak mencari permusuhan)
Karakteristik
yang ini sudah sangat jelas. Tentu saja ini bisa dilakukan apabila seorang
pemimpin mempunyai moralitas yang baik, mematuhi hukum, menjaga pikiran,
mengendalikan ucapan. Tanpa disiplin moral yang baik, setiap tindakan akan
mengundang permusahan orang sehingga akhirnya merugikan diri sendiri juga.
Kepemimpinan
Perempuan
Seringkali pemimpin identik
dengan seorang laki-laki, padahal tidaklah harus demikian. Kita bisa melihat
dalam banyak kasus perempuan-perempuan dapat memimpin dengan baik. Salah satu
contoh terbaik saat ini adalah Master Cheng Yen. Beliau adalah salah satu
pemimpin Buddhis yang namanya tidak asing lagi. Walaupun Beliau seorang biksuni
dan memimpin salah satu Organisasi Nirlaba terbesar di dunia, Yayasan Buddha
Tzu Chi, Beliau tetap dapat mempunyai sepuluh karakteristik pemimpin seperti
yang disebutkan.
Sang Buddha sendiri mengatakan dengan jelas bahwa baik
pria maupun wanita mampu menjadi seorang pemimpin bahkan pencerahan menjadi
Buddha pun bisa terjadi. Pada suatu ketika, saat Sang Buddha sedang bersama
Raja Pasenadi, datanglah seorang pelayan menghampiri raja dan mengatakan, “Baginda, Ratu Malika telah melahirkan
seorang anak perempuan.” Raja kemudian menjadi tidak senang mendengar
berita tersebut. Sang Buddha dengan penuh perhatian menyadari dan bertanya
kepada Raja Pasenadi. Setelah mengetahui sebabnya, Sang Buddha berkata:
“Seorang
perempuan, O Raja,
Bisa
menjadi lebih baik daripada dari seorang laki-laki:
Dia
mungkin bijaksana dan luhur,
Seorang
istri yang berbakti, menghormati ibu-mertuanya. (408)
“Seorang
putera yang dia lahirkan
Mungkin
menjadi pahlawan, O penguasa wilayah,
Putera dari
perempuan terberkahi seperti itu
Bahkan bisa
memerintah dunia.” (409)
Samyutta Nikaya I,3 (Bagian Sagathavagga,
sutta Kosalasamyutta)
Dari sutta (ucapan
Sang Buddha) tersebut, kita dapat melihat bahwa Sang Buddha memandang laki-laki
dan perempuan setara dan mempunyai kemampuan yang sama. Di sutta no. 408 bahkan dikatakan seorang perempuan bisa jadi menjadi
lebih baik daripada anak laki-laki. Artinya adalah bahwa dengan melatih diri, seseorang
dapat menjadi lebih bijaksana, luhur, cerdas baik itu ia seorang perempuan
maupun laki-laki. Jadi, dari sini terlihat bahwa perempuan pun dapat
memimpin dengan baik dan bijak.
Lebih lanjut sutta
no. 409, Sang Buddha mengatakan bahwa mungkin anak dari perempuan yang
dilahirkan dan didik dengan baik tersebut akan mempunyai anak yang dapat
memerintah dunia. Hal tersebu mengindikasikan bahwa watak seorang anak banyak
dipengaruhi ibunya. Inilah salah satu peran perempuan sebagai pemimpin
anak-anaknya.
Dengan didikan yang baik dari seorang ibu
(pemimpin), seorang anak
(pengikut) akan menjadi
bijaksana dan luhur. Jadi, peran perempuan menjadi penting untuk menghasilkan generasi
yang lebih baik di masa mendatang. Sehingga sangat salah jika dikatakan bahwa perempuan tidak
memerlukan pendidikan seperti laki-laki, karena untuk mendidik anak laki-laki
atau perempuannya, seorang perempuan selayaknya diberi pengetahuan dan
pendidikan yang sesuai.
Lebih lanjut seorang perempuan dapat menjadi seorang pemimpin
yang lebih baik daripada laki-laki, begitu pula sebaliknya. Hal ini tidak
berarti perempuan harus berlomba-lomba menjadi pemimpin bersaing dengan
laki-laki. Perempuan dan laki-laki dapat saling melengkapi.
Referensi:
Widya, Dharma K. 2007. Dharma Ajaran Mulia Sang Buddha.
Jakarta: PP MAGABUDHI.
Hansen, Sasanasena Seng. 2008. Ikhtisar Ajaran Buddha.
Yogyakarta: Vidyasena Production.
Wijaya, Willy Yandi. Ulasan Sutta: Anak Perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar