Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Sabtu, 22 Mei 2010

Dua Puluh Sembilan Manussa Buddha Yang Bertugas Di Dunia

 
Dua Puluh Sembilan Manussa Buddha Yang Bertugas Di Dunia

No
Nama Buddha
Sifat Utama
1
  Tanhankara
  Maha Perwira
2
  Medankara
  Maha Mulia
3
  Saranankara
  Maha Welas-asih
4
  Dipankara
  Cahaya Cemerlang
5
  Kondanna
  Junjungan Manusia
6
  Mangala
  Yang Maha Agung
7
  Sumana
  Pemberani Yang Berbudi Lemah Lembut
8
  Revata
  Penambah Kegembiraan, Kebahagiaan
9
  Sobhita
  Yang Penuh Kebajikan
10
  Anomadassi
  Manusia Utama
11
  Paduma
  Obor Semesta Alam
12   Narada   Pembimbing Yang Tiada Taranya
13   Padumuttara   Makhluk Yang Tiada Taranya
14   Sumedha   Yang Paling Mulia
15   Sujata   Pimpinan Jagad Raya
16   Piyadassi   Maha Junjungan Umat Manusia
17   Atthadassi   Yang Penuh Kasih-sayang
18   Dhammadassi   Penghalau Kegelapan
19   Siddhatta   Yang Tiada bandingnya Didunia
20   Tissa   Pemberi Karunia Yang Utama
21   Phussa   Yang Sempurna Ke Tujuan Akhir
22   Vipassi   Yang Tiada Saingannya
23   Sikhi   Pahlawan Cinta-kasih Tanpa Batas
24   Vessabhu   Penyebar Kebahagiaan Sejati
25   Kakusandha (Krakucchanda)   Penunjuk Jalan Para Musafir
26   Konagamana (Kanakamuni)   Yang Berusaha Tanpa Akhir
27   Kassapa (Kasyapa)   Cahaya Sempurna
28   Gotama (Gautama)   Kejayaan dalam Keluarga Gotama (Gautama)
29
  Matteya (Maitreya)
  Yang Penuh Dengan Cinta-kasih

Selasa, 18 Mei 2010

Hukum Karma






Hukum Karma

Kamma(bahasa Pali) atau Karma (bahasa Sansekerta) artinya perbuatan. Kamma atau Karma adalah suatu perbuatan yang dapat membuahkan hasil, dimana perbuatan baik akan menghasilkan kebahagiaan dan sebaliknya perbuatan jahat juga akan menghasilkan penderitaan atau kesedihan bagi pembuatnya.

Semua perbuatan yang dilakukan atau disertai dengan kehendak berbuat (cetena) merupakan Kamma. Kehendak dapat berarti keinginan, kemauan, kesengajaan atau adannya rencana berbuat.

Sang Buddha bersabda: “O, Bhikkhu! Kehendak berbuat (cetena) itulah yang kami namakan Kamma.” (Anguttara Nikaya III : 415)

Perbuatan yang tidak mengandung unsur kehendak dengan sendirinya tidak tergolong Kamma yang dapat menimbulkan akibat atau hasil perbuatan:


1.      Perbuatan yang netral murni, misalnya duduk, berdiri, berjalan, tidur, melihat dan lain-lain menurut keadaan yang wajar.
2.      Perbuatan-perbuatan yang kelihatan baik atau jahat, namun tidak disertai kehendak. Misalnya:
1.      Waktu berjalan, ada semut yang terinjak mati
2.      Tanpa disadari, uangnya jatuh dan dipungut oleh seorang cacat yang amat memerlukan uang
Semua perbuatan akan menimbulkan akibat dan semua akibat akan menimblkan hasil perbuatan. Akibat perbuatan disebut kamma-vipaka, dan hasil perbuatan disebut kamma-phala.

Dari segi perbuatan atau salurannya, kamma dibedakan atas:
Mano-kamma = perbuatan pikiran
Vaci-kamma = perbuatan kata-kata
Kaya-kamma = perbuatan badan jasmani

Sedangkan menurut sifatnya, kamma dapat dibagi menjadi dua bagian:


1.      Kusala-kamma = perbuatan baik
2.      Akusala-kamma = perbuatan jahat
Kusala-kamma berakar dari kusala-mula, 3 akar kebaikan:
     Alobha : tidak tamak
     Adosa : tidak membenci
     Amoha : tidak bodoh

Akusala-kamma berasal dari akusala-mula, 3 akar kejahatan:
     Lobha : ketamakan
     Dosa : kebencian
     Moha : kebodohan

Jadi Hukum Karma adalah hukum perbuatan yang akan menimbulkan akibat dan hasil perbuatan (kamma-vipaka dan kamma-phala), Hukum kamma bersifat mengikuti setiap Kamma, mutlak-pasti dan harmonis-adil.
Klasifikasi Kamma:

·         Kamma menurut fungsinya
·         Kamma menurut kekuatannya
·         Kamma menurut waktunya.
 PEMBAGIAN KARMA MENURUT FUNGISNYA:

1.      Janaka-kamma: Kamma yang berfungsi menyebabkan timbulnya suatu syarat untuk kelahiran makhluk-makhluk.
Tugas dari Janaka-kamma adalah melahirkan Nama-Rupa:
Janaka-kamma melaksanakan Punarbahava, yaitu kelahiran kembali dari makhluk-makhluk di 31 alam kehidupan (lapisan kesadaran) sebelum mereka mencapai pembebasan Arahat.
2.      Upatthambaka-kamma: Kamma yang mendorong terpeliharannya suatu akibat dari suatu sebab yang telah timbul. Mendorong kusala atau akusala-kamma yang telah terjadi agar tetap berlaku.
3.      Upapilaka-kamma: Kamma yang menekan kamma yang berlawanan agar mencapai kesetimbangan dan tidak membuahkan hasil. Kamma ini menyelaraskan hubungan antara kusala-kamma dengan akusala-kamma.
4.      Upaghataka-kamma: Kamma yang meniadakan atau menghancurkan suatu akibat yang telah timbul, dan menyuburkan kamma yang baru. Maksudnya kamma yang baru itu adalah garuka-kamma, sehingga akibatnya mengatasi semua kamma yang lain.

PEMBAGIAN KAMMA MENURUT KEKUATANNYA:

Garuka Kamma
Adalah kamma yang berat dan bermutu. Akibat dari kamma ini dapt timbul dalm atu kehidupan, maupun kehidupan berikutnya. Garuka kamma terdiri dari:
a.
Akusala-garuka-kamma
b.
Kusala-garuka-kamma



Akusala-garuka-kamma
Kamma yang berat terdiri dari 2 kelompok, yaitu:
1.      Niyatamicchaditthi, yaitu pandangan yang salah. Maksudnya memandang yang salah adalah benar dan yang benar diartikan salah. Terdapat 10 pandangan hidup yang salah:
1.      Tidak murah hati. Tidak pemaaf atau tidak suka menolong kesukaran orang/makhluk lain.
2.      Tidak mengerti faedah berdana. Mengangap bahwa berdana adalah suatu kebodohan yagn tidak ada hasilnya.
3.      Tidak memberikan hadiah pada tamu. Tamu adalah seorang atau sekelompok orang yang kedatangannya membahagiakan kita atau yang kedatangannya kita harapkan. Memberikan hadiah pada tamu yang dewasa ini di kota terutama berarti memberikan minuman.
4.      Perbuatan baik atau perbuatan jahat dianggap tidak ada hasil atau akibatnya. Seorang yang yakin perbuatan baik akan membawa hasil tentu berusaha menambah kebaikan pada setiap kesempatan di manapun ia berada, dan sebaliknya berusaha menghndari perbuatan yang salah setiap kali akan dilakukan.
5.      Tidak percaya pada dunia ini, tidak percaya akan kebenaran Dhamma, hukum-hukum kesunyataan; yaitu kelompok manusia yang penuih dengan kekecewaan, kebencian, ketamakan, dan kebodohan.
6.      Tidak percaya pada dunia yang akan datang; tidak percaya akan tumimbal lahir, kehidupan yang akan datang.
7.      Tidak mengerti fungsi seorang ibu, dan
8.      Tidak mengerti fungsi ayah, menganggap tidak membawa akibat apapun yang dilakukan pada mereka.
9.      Tidak mempercayai adanya makhluk yang mati atau yang dilahirkan kembali.
10.  Tidak melakukan disiplin menyendiri (khusus untuk para Buddha/Arahat)
2.      Pancanantariya-kamma, yaitu 5 perbuatan durhaka.
1.      Membunuh ayah
2.      Membunuh ibu
3.      Membunuh seorang Arahat
4.      Melukai seorang Buddha
5.      Memecah belah Sangha
Mereka yang melakukan salah satu dari 5 perbuatan durhaka di atas, setelah meninggal akan lahir di alam Apaya (duka/rendah), yaitu alam neraka, binatang, setan dan raksasa.



Kusala-garuka-kamma
Adalah perbuatan “bermutu”, yaitu dengan bermeditasi , hingga mencapai tingkat kesadaran jhana. Ia akan dilahirkan di alam sorga atau lapisan kesadaran yang tinggi, yang berbentuk atau tanpa bentuk (16 rupa-bhumi dan 4 arupa-bhumi)  
2.      Asanna-kamma
Kamma yang dilakukan sebelum saat mati seseorang, baik lahir maupun batin, terutama dengan pikiran. Misalnya memikirkan perbuatan baik atau jahat yang telah dilakukan di masa lalu. Jadi mempunyai pikiran yang baik di kala akan meninggal adalah merupakan hal yang penting, yang akan menentukan bentuk kehidupan berikutnya menjadi lebh baik. Asanna-kamma berlaku apabila tidak melakukan garuka-kamma.
3.      Acinna-kamma atau Bahula-kamma
Apabila seorang dalam hidupnya tidak melakukan garuka-kamma dan di saat akan meninggal tidak pula melakukan Asanna-kamma, maka yang menentukan corak kelahiran berikutnya adalah acinna-kamma. Acinna-kamma atau Bahula-kamma adalah kamma kebiasaan, baik dengan kata-kata, perbuatan maupun pikiran. Walaupun seorang hanya sekali berbuat baik, namun karena selalu diingat, menimbulkan kebahagiaan hingga menjelang kematiannya, hal ini akan menyebabkan kelahiran berikutnya mnjadi baik. Demikian juga seorang yang hanya seklain bernuat jahat, karena selalu diingat menimbulkan kegelisahan hingga akhir hidupnya, sehingga akan lahir di alam yang tidak baik. Oleh karena itu apabila kita pernah berbuat jahat, maka perbuatan jahat itu harus dilupakan; demikian pula sebaliknya kalau kita pernah berbuat baik, perbuatan itu perlu selalu diingat.
4.      Katatta-kamma
Bila seorang tidak berbuat Garuka-kamma, Asanna-kamma atau Acinna-kamma, maka yang menentukan bentuk kehidupan berikutnya adalah katatta-kamma, yaitu kamma yang ringan-ringan, yang pernah diperbuat dalam hidupnya.

Jumat, 14 Mei 2010

Ada Apa Di Balik Mukjizat? Oleh Slamat Rodjali


Ada Apa Di Balik Mukjizat?
Oleh Slamat Rodjali
 


Pernahkah terlintas dalam pikiran pembaca mengapa sebagai seorang beragama Buddha `doa' saudara tidak `manjur' namun seseorang yang beragama lain dan pelaku kejahatan justru mengalami kemajuan? Atau pernahkah saudara melihat sesuatu mukjizat tidak terjadi di vihara tetapi terjadi di tempat ibadah agama lain?
 
Pernahkah saudara mendengar atau membaca kitab salah satu paham yang menceritakan ADA yang dapat membangkitkan orang yang telah `mati'; mengubah air menjadi anggur, membuat orang buta dapat melihat kembali?

Seorang perempuan, Tuti (bukan nama sebenarnya) terkena kanker rahim stadium 3, berupaya kuat untuk pergi kepada berbagai dokter bahkan datang ke dalam satu Kebaktian paham tertentu, kankernya tersebut malah meningkat menjadi stadium 4 dan semua dokter yang ditemui `angkat tangan' tak dapat menolongnya dari kematian, namun setelah bertemu dengan seorang bhikkhu dan setelah melaksanakan sesuatu yang dikatakan oleh bhikkhu tersebut, kondisi kankernya malah menurun berangsur hilang hingga sembuh total.

Seorang ibu mengeluhkan anaknya Dono (bukan nama sebenarnya) yang sakit panas dibawa ke vihara dan didoakan seorang pandita beragama Buddha, tetapi tidak sembuh. Keesokan harinya ketika di bawa ke sebuah tempat ibadah dari paham lain dan didoakan sesuatu, serta diberi minum sesuatu, eh… panasnya tiba-tiba hilang.

Pernahkah saudara mendengar pernyataan salah seorang pemuka paham tertentu bahwa di dunia ini ada dua kuasa, yaitu "kuasa Hyang Agung" dan "kuasa iblis?" Ia tidak menolak bahwa iblis pun memiliki kuasa dan bisa menimbulkan mukjizat. Ia menyatakan bahwa bisa saja seseorang ketika datang ke dalam rumah ibadah-nya tidak akan melihat mukjizat sedangkan ketika ke vihara bisa melihat mukjizat atau sebaliknya. Ia meng-klaim bahwa apabila mukjizat yang timbul di rumah ibadahnya merupakan kuasa "Hyang Agung" sedangkan bila timbul di vihara atau rumah ibadah lainnya disebut bukan kuasa "Hyang Agung", dan bila bukan kuasa Hyang Agung, pasti saudara tahu yang dimaksudnya, siapa di balik mukjizat tersebut yang berkuasa.

Contoh-contoh di atas membuktikan bahwa mukjizat memang bukan monopoli agama tertentu. Semua orang dapat mengalami mukjizat. Tuti bisa bersaksi (memberikan kesaksian) atas mukjijat yang terjadi pada dirinya….. Dono juga bisa bersaksi atas mukjizat yang dialaminya. Keduanya bisa meng-klaim bahwa mukjizat tersebut terjadi atas firman/kuasa yang diagungkan pemeluk paham rumah ibadah tempat mereka masing-masing mengalami mukjizat tersebut Cuma…. Siapa yang berkuasa menimbulkan mukjizat bagi kesembuhan Tuti dan Dono pada kasus di atas? Apakah memang benar pada kasus-kasus di atas, mukjizat kesembuhan Tuti ditimbulkan oleh "kuasa Iblis" dan mukjizat kesembuhan Dono ditimbulkan oleh "Firman/Kuasa Hyang Agung?" Membangkitkan yang mati, mengubah air menjadi anggur, membuat orang buta kembali melihat … juga… merupakan hanya mukjizat Firman/Kuasa Hyang Agung paham tersebut?

Budaya iming-iming dengan mukjizat melalui kesaksian salah satu paham di masyarakat kita, dan budaya ancaman halus bahwa mukjizat yang timbul di dalam rumah ibadah/diperantarai pemuka agama paham lain merupakan kuasa iblis yang `bermata kail', telah lama merebak di Indonesia dan telah mengguncangkan `keyakinan' banyak umat paham lain tersebut sehingga sangat banyak umat paham lain tersebut (termasuk yang fanatik berat awalnya) `mengorbankan diri' untuk berganti label paham keagamaannya ke dalam `iman' paham di atas bahkan hingga bersikap fanatik berat dalam `iman' baru-nya dan mencampakkan paham keyakinan sebelumnya yang ditunjukkannya melalui kesaksian yang ditayangkan di televisi atau di dalam kesempatan Kebaktian di stadion/hotel tertentu, hanya semata dikarenakan tidak mengetahui proses sesungguhnya yang terjadi di balik mukjizat.

Saudara pembaca, pertanyaannya adalah bagaimanakah proses di balik terjadinya mukjizat? Apa saja faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan tubuh seseorang? Apa saja faktor-faktor yang menentukan "kemanjuran" suatu "doa" atau "rapalan kata-kata" atau "mantra" yang dianggap suci oleh penganutnya? Apa definisi kematian dalam hakekat yang sesungguhnya? Ini merupakan beberapa topik yang harus kita tuntaskan di dalam tulisan ini sehingga para pembaca dapat mengerti dengan jelas dan tidak terjebak untuk berganti label karena iming-iming mukjizat atau karena takut akan ancaman setelah mengalami mukjizat di vihara umat Buddha. Selanjutnya saudara akan dapat menilai sendiri, apakah mukjizat terkait dengan label salah satu paham atau agama ataukan tidak? Mari kita telusuri dengan seksama…!

Memahami Terjadinya Mukjizat
Saudara pembaca, kalau kita amat-amati dari kitab suci paham lain, perbuatan atau kejadian ajaib (mukjizat) yang diasumsikan dilakukan oleh Hyang Agung mereka, ada 4 jenis, yaitu: (1) penyembuhan orang sakit, (2) pengusiran setan atau roh-roh jahat, (3) penaklukkan kekuatan alam, dan (4) pembangkitan orang mati. Penganutnya mengklaim sebagai monopoli Firman Hyang Agung mereka, dan bila timbul di paham lain, artinya ditimbulkan oleh Iblis, sehingga hal ini menjadi sumber propaganda untuk konversi "label agama/paham" yang dilakukan oleh para pemeluknya dengan memanfaatkan kebodohan dan ketakutan penderita.

Cukup kontras perbedaannya dengan yang dijumpai di dalam Tipitaka (kitab suci umat Buddha), sungguh tak terhitung banyaknya mukjizat yang ditimbulkan baik oleh para Buddha, oleh murid-murid Beliau (Sangha), bahkan oleh umat awam yang mempraktikkan ajaran Buddha tersebut sebagai "conditioning service medication" (layanan mengkondisikan pengobatan untuk penyembuhan) maupun "self-service medication" (layanan mandiri pengobatan untuk penyembuhan), yang tipikal-nya tidak diklaim sebagai monopoli baik oleh para Buddha, tidak juga oleh para murid Beliau (Sangha) dan oleh umat yang melaksanakannya walaupun mengalami kesembuhan yang dinilai sebagai keajaiban (mukjizat). Proses mukjizat yang terjadi sangat reasonable (mengandung alasan yang ilmiah berdasarkan sebab akibat) dijelaskan secara objektif, tanpa mengandung iming-iming untuk konversi label agama, dan tidak mengandung ancaman halus dengan mengkambinghitamkan Iblis yang memberikan duri di dalam umpan.
 
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan jasmani
Lebih dari 2500 tahun yang lalu, seorang Agung di dalam sejarah peradaban manusia di bumi ini pernah menyatakan bahwa kesehatan jasmani seseorang ditentukan oleh minimal 4 faktor, yaitu:
  1. Faktor perbuatan orang tersebut (istilah di dalam agama Buddha, disebut faktor Kamma)
  2. Faktor pikiran orang tersebut (istilahnya disebut faktor Citta)
  3. Faktor makanan orang tersebut (Âhâra)
  4. Faktor keseimbangan lingkungan hidup orang tersebut (Utu)
Perbuatan seseorang akan menghasilkan materi khusus (kammajarûpâ) yang bereaksi terhadap jasmaninya, demikian pula pikiran seseorang akan menimbulkan materi khusus (cittajarûpâ) yang bereaksi dan berinteraksi dengan materi tubuh orang tersebut, ditambah dengan makanan/âhârajarûpâ (termasuk obat-obatan, vitamin, mineral dan sebagainya) akan menambah kontribusi kombinasi reaksi interaksi materi tubuh orang tersebut. Lingkungan hidup, kelembaban, temperatur, pakaian orang tersebut juga akan menimbulkan efek panas dingin kering lembab (utujarûpâ) tubuhnya yang juga berinteraksi dengan materi-materi sebelumnya. Keempat faktor materi ini saling berinteraksi dan berkorelasi membentuk materi-materi baru yang kompleks yang menjelaskan perbedaan fisik tiap makhluk.

Semakin tinggi kualitas perbuatan (diindikasikan dengan nilai moralitas) dulu dan sekarang, kualitas pikiran, kualitas makanan dan kualitas lingkungan hidup seseorang maka materi-materi yang ditimbulkan oleh keempat faktor itu akan memiliki kualitas yang makin tinggi; dan interaksi keempat materi dengan kualitas tinggi ini serta kontinuitas (kesinambungan) kemunculannya akan memberikan efek prima kesehatan jasmani seseorang dalam kesinambungan pula. Kontinuitas makin baik, maka kesehatan makin berdaya tahan lama. Jika terjadi diskontinyu, maka efek kesehatan pun dis-kontinyu. (lihat uraian kekuatan paritta pada sub judul di bawah).
Saudara pembaca, uraian di atas pada prinsipnya merupakan kombinasi interaksi antara:
  1. Proses sebab akibat berkondisi (tidak muncul tiba- tiba)
  2. Empat faktor (perbuatan, pikiran, makanan, lingkungan fisik)
  3. Waktu (kala) lampau dan sekarang, dalam hal kontinyu atau diskontinyu dengan tenggang waktu tertentu atau putus-putus.
Lalu, apa hubungannya dengan kemanjuran dari pembacaan "doa" bagi agama tertentu dan "paritta" di dalam agama Buddha?

Faktor-faktor kekuatan "doa" atau "paritta" atau "mantra"
Penelitian terkini di dalam pengobatan, di dalam eksperimental psikologi dan apa yang disebut parapsikologi telah melemparkan secercah cahaya sifat alamiah pikiran dan posisinya di dunia ini. Selama empat puluh tahun terakhir pengaruh ini telah secara konstan tumbuh di antara para ahli kedokteran bahwa banyak kasus penyakit organik maupun fungsional secara langsung dikondisikan oleh faktor-faktor batin. Tubuh menjadi sakit karena pikiran mengontrolnya secara tersembunyi (tak disadari langsung oleh penderita) menginginkan tubuhnya sakit, atau karena kegelisahan sehingga tak dapat mencegah tubuh menjadi sakit.

Pikiran tidak hanya menyebabkan sakit, juga dapat menyembuhkan. Pasien yang realistis memiliki kesempatan kesembuhan yang jauh lebih baik dibandingkan seorang pasien yang khawatir dan tidak gembira. Contoh-contoh yang didokumentasikan melalui penyembuhan `keyakinan' termasuk di dalamnya kasus-kasus penyakit organik dapat disembuhkan hampir secara instan. Di dalam hubungan ini, sungguh menarik kita meninjaunya dari sisi Buddha Dhamma, dari mendengarkan pembacaan Dhamma atau doktrin Buddha untuk mengkondisikan terbebasnya dari penyakit atau mara bahaya, untuk mengurangi atau menghilangkan pengaruh makhluk-makhluk pengganggu yang terlihat ataupun tidak terlihat, untuk memperoleh `perlindungan' dan kebebasan dari kejahatan, dan untuk meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan kebaikan makhluk hidup. Beberapa khotbah yang disebut "paritta sutta" dijadikan sebagai `khotbah perlindungan.' Namun paritta sutta ini tidaklah sama dengan pembacaan mantra atau doa paham lain, tak ada satu pun yang mistis di dalam paritta sutta.

Kata paritta pertama kali digunakan oleh Buddha Gotama di dalam khotbah yang dikenal dengan "Khandha paritta" di dalam Culla Vagga, Vinaya Pitaka (vol. ii, halaman 109), dan juga di dalam Añguttara Nikâya di bawah judul `Ahi (metta) Sutta' (vol. ii halaman 82). Khotbah ini direkomendasikan oleh Buddha Gotama sebagai `pelindung' untuk digunakan oleh para bhikkhu. Di dalam khotbah itu Buddha menganjurkan para bhikkhu untuk mempraktikkan dan mengembangkan metta (cinta kasih universal) kepada semua makhluk.

Saudara pembaca, setiap "doa" ataupun "paritta" atau "mantra" tertentu memiliki nilai kekuatan tertentu. Kekuatan-kekuatan yang saling berkombinasi secara sinergis akan menimbulkan kekuatan baru yang jauh lebih tinggi. Kekuatan-kekuatan itu, sebagai berikut:

1. Kekuatan Kebenaran
Beberapa faktor berkombinasi memberikan kontribusi kepada `kemanjuran' pembacaan paritta. Pembacaan paritta merupakan sebentuk saccakiriya, yaitu sebuah afirmasi atas kebenaran. Perlindungan dihasilkan dari kekuatan afirmasi kebenaran tersebut. Ini berarti menetapkan diri pembaca di dalam kekuatan kebenaran terlebih dulu sebagai modal utama. Dengan modal utama bahwa dirinya diliputi kebenaran, para pendengar pun diajak untuk berlibat di dalam kebenaran tersebut. Itulah sebabnya di akhir paritta ini, biasanya pembaca memberikan afirmasi `blessing' kepada pendengarnya dengan mengucapkan kata-kata `etena sacca vajjena sotti te hotu sabbadâ' yang berarti `dengan kekuatan kebenaran kata-kata ini semoga kamu sembuh/baik. Kekuatan Dhamma atau Kebenaran melindungi pelaksana Dhamma (dhammo have rakkhati dhammacarin) mengindikasikan prinsip di balik pembacaan sutta ini. Apabila semua faktor lainnya sama tingkatnya, maka pembacaan Kebenaran (paritta sutta) akan memiliki kekuatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan `doa' semata yang mengandung hasrat melekat atau kata-kata tak bermakna (mantra).

2. Kekuatan Kemoralan
Tahap pertama pelaksanaan Buddha Dhamma adalah kemoralan (Sila). Dilandasi kemoralan yang baik, seseorang seyogyanya berjuang untuk mencapai batin yang tenang dan seimbang. Apabila ini terjadi, maka orang yang memiliki kemoralan akan terlindung dengan sendirinya oleh kekuatan moralnya tersebut. Orang yang mendengarkan pembacaan paritta dari orang yang bermoral akan muncul inspirasi pikiran yang baik secara reflektif induktif muncul pikiran yang bermoral baik yang dapat mengatasi pengaruh buruk dan akhirnya terlindung dari berbagai bahaya. Moralitas pembaca dan yang mendengarkan saling berpengaruh membentuk kombinasi kontribusi kekuatan paritta tersebut. Makin tinggi moralitas pembaca dan pendengarnya, maka kekuatan paritta tersebut akan menjadi makin tinggi.

3. Kekuatan Cinta Kasih
Khotbah yang dilakukan oleh Buddha tidak akan pernah lepas dari cinta kasih. Beliau berjalan ke manapun dengan penuh cinta kasih untuk semua makhluk, memberikan petunjuk, mengkondisikan pencerahan dan membahagiakan banyak makhluk melalui ajaran-Nya. Oleh karena itu, para pembaca paritta pun diharapkan melakukannya dengan penuh cinta kasih dan belas kasihan kepada para pendengarnya dengan mengharapkan mereka berbahagia, terbebas dari penyakit, kesukaran, penderitaan dan mara bahaya. Semakin tinggi cinta kasih yang dikembangkan dan dipancarkan oleh pembaca paritta, maka kekuatannya akan semakin tinggi.

4. Kekuatan Keyakinan
Keyakinan merupakan hal yang sangat penting di dalam semua tindakan. Pembacaan paritta atau `doa' atau `mantra' dengan keyakinan tinggi, akan menimbulkan efek ketenangan yang tinggi bagi batin pembacanya. Tingkat keyakinan yang tinggi dari pendengarnya akan berpengaruh bagi tingkat kemauan pendengar itu mendengarkan dan merenenungkannya. Konflik batin menjadi teratasi, dan ujungnya cittajarupa yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang baik yang berinteraksi dengan materi tubuhnya tersebut sehingga tingkat kesehatan atau radiasi tubuhnya menjadi lebih baik.

5. Kekuatan Konsentrasi
Pembacaan paritta dengan penuh konsentrasi akan memberikan efek sinkronisasi yang baik terhadap pembaca maupun pendengarnya. Kekuatan kebenaran akan tetap terjaga, harmonisasi tetap terjaga, kestabilan faktor batin yang penuh cinta kasih akan tetap terjaga, keyakinan tetap terjaga penuh. Makin tinggi tingkat konsentrasi maka akan makin tinggi pula kekuatan batin orang tersebut (baik pembaca maupun pendengarnya), dan kekuatan batin ini tentu menjadi kontribusi penting di dalam mengalahkan pengaruh-pengaruh yang negatif.

6. Kekuatan perbuatan (kamma)
Setiap makhluk melakukan perbuatan sejak dulu hingga kini, dalam kehidupan lampau maupun sekarang. Perbuatan tersebut merupakan aksi, dan memiliki potensi untuk menghasilkan akibat. Perbuatan yang dilakukan suatu makhluk terdiri dari perbuatan tidak baik maupun perbuatan baik, dan masing-masing memberikan efek yang setimpal. Tidak baik akibatnya tidak menyenangkan/negatif; baik akibatnya menyenangkan/positif. Di dalam perjalanan bekerjanya, perbuatan ini, saling berinteraksi dan berkombinasi di dalam menimbulkan akibat. Ada perbuatan yang mengkondisikan berbuahnya perbuatan lain yang belum masak menjadi masak atau yang sudah saatnya masak menjadi masak dengan sepenuhnya. Ada pula perbuatan baik yang memotong buah perbuatan tidak baik yang sedang berlangsung hingga selesai. Sebagai contoh, seorang yang sedang sakit…diakibatkan salah satunya oleh akibat perbuatan buruknya yang lampau. Dengan kondisi perbuatan baiknya mendengarkan pembacaan paritta/`doa'/`mantra' dengan penuh konsentrasi dan keyakinan saat itu, serta merta sembuh diakibatkan perbuatan baiknya ini memotong hasil perbuatan buruknya yang menyebabkan dia sakit. Sebaliknya apabila tidak ada perbuatan baik yang ditimbulkan untuk meng-counter akibat perbuatan tidak baik yang lampau atau akibat perbuatan tidak baik yang lampau terlalu kuat mendominasi, maka pembacaan paritta/`doa'/`mantra' dan mendengarkan paritta/`doa'/` mantra' tidak akan serta merta membuahkan hasil, namun bukan berarti sia-sia. Mohon maaf, proses aksi reaksi inilah yang tidak dijelaskan di dalam kitab-kitab para pemeluk firman "Hyang Agung" dalam kasus-kasus di pendahuluan tulisan ini. Proses aksi reaksi dan kombinasi serta interaksinya ini akan menjadi lebih jelas apabila para pembaca menyimak pelajaran `keselarasan perbuatan' (kamma niyama) yang dijelaskan dengan lugas di dalam Tipitaka kitab suci umat Buddha maupun Visuddhimagga, salah satu kitab komentar. (Untuk pembahasan rinci kasus-kasus melalui sudut pandang kamma ini, silakan membaca buku Dhammasakacca karya Pandit Jinaratana Kaharuddin).

7. Kekuatan Suara
Telah lama diyakini bahwa getaran suara yang dihasilkan oleh pembacaan paritta yang harmonis di dalam bahasa Pali atau bahasa yang mudah dimengerti oleh pendengarnya akan berpengaruh kepada gerakan materi di dalam tubuh seseorang. Apabila semua hal kekuatannya sama, maka semakin harmonis pembacaan paritta, gerakan materi di dalam tubuh seseorang akan menjadi harmonis, dan akan mengakibatkan denyut nadi atau saraf yang harmoni. Secara realistis, hal ini menginduksikan ketenangan dan kedamaian fisik maupun batin.

Saudara pembaca, `keyakinan' sering kali menjadi kambing hitam yang diluncurkan para penganut Firman "Hyang Agung" di dalam kasus di atas. Mereka sering kali menyatakan bahwa apabila ada beberapa orang yang ber-`iman' sama tetapi hanya satu yang melihat mukjizat, maka artinya yang tidak melihat mukjizat dipra-anggap "kurang memiliki keyakinan" betapapun `saleh'-nya di dalam kehidupan keagamaannya. Sungguh merupakan kalimat pelarian (escape clause) yang cerdik yang secara halus memaksa seseorang untuk tetap memiliki ketergantungan `keyakinan' kepada Firman Hyang Agung mereka, selama orang yang tidak melihat mukjizat tersebut belum mengerti proses mukjizat sesungguhnya.

Saudara pembaca, singkatnya, penguncaran paritta, `doa' atau `mantra' akan memiliki kekuatan yang tinggi dalam hal kemanjuran, baik untuk mengurangi/menghilangkan efek buruk maupun untuk menimbulkan atau mengembangkan efek baik, dan sepenuhnya sangat tergantung dari kebenaran yang terkandung di dalam kata-katanya, moralitas pembaca dan pendengarnya, keyakinan pembaca dan pendengarnya, konsentrasi pembaca dan pendengarnya, cinta kasih yang ditimbulkan dan dikembangkannya, harmonisasi getaran suara yang dibacakannya, terakhir namun yang terpenting adalah potensi pendengarnya (kamma masing-masing yang pernah dan sedang dipupuknya); jadi tidak tergantung pada label agama/paham tertentu.

Lantas, bagaimana dengan menghidupkan orang mati?
Kematian merupakan satu hal yang pelik, dan terkadang merupakan hal tabu untuk dibicarakan bagi kalangan tertentu. Karena pembatasan-pembatasan tertentu tersebut, penelaahan definisi dan kriteria kematian menjadi beragam sesuai dengan tingkat keterbukaan dan daya tinjau pembahasnya.

Secara kedokteran konvensional, kematian ditetapkan apabila denyut jantung, dan saraf sudah tidak berfungsi total yang dapat ditunjukkan pada alat deteksi monitor denyut jantung/nadi yang secara notabene merupakan deteksi secara fisik.

Di dalam Tipitaka dijelaskan bahwa makhluk masih dikategorikan hidup apabila fisiknya masih terdapat Jivita rûpâ yang merupakan unsur fisik kehidupan. Walaupun jantung dan nadi telah ditetapkan berhenti berdetak dan dianggap oleh orang awam atau kedokteran sebagai "mati", namun selama jivita rupa masih ada, makhluk itu tidak dikatakan mati dalam konteks Buddhis.

Seseorang yang telah terbujur dingin dan dikatakan mati, namun orang tertentu yang terlatih batinnya dapat mengetahui dengan jelas bahwa jivita rupa orang itu masih ada, maka orang piawai itu pun dapat mengkondisikan `kehidupan' (sadar kembali) orang yang dikatakan mati tersebut. Jadi orang piawai itu tidak menghidupkan kembali orang yang telah mati, namun ia mengetahui bahwa orang itu belum mati, dan dia mengetahui cara mengkondisikan orang itu agar sadar dan semua materi tubuh lainnya berfungsi.

Tidak heran, para pemeluk "firman Hyang Agung" menganggap "Hyang Agung" mereka, diyakini menghidupkan kembali orang mati, karena di dalam kitabnya tidak ada penjelasan rinci proses dan kriteria kematian dalam hakekat yang sesungguhnya. Semua kasus, seolah terjadi secara "generatio spontanea" (tiba-tiba terjadi), padahal saudara pembaca pasti telah mengetahui dari pelajaran di sekolah bahwa teori generatio spontanea ini telah dipatahkan para ilmuwan jauh sebelum buku pemeluk firman Hyang Agung ini diterbitkan.

Saudara pembaca… kematian merupakan sifat alamiah bagi semua yang berpadu/lahir. Tidak ada satu pun yang lahir tidak mengalami kematian. Bahkan yang dipraanggap Hyang Agung yang menghidupkan orang mati pada kasus di atas itu pun tak luput dari kematian.

Bagi saudara-saudara yang berminat untuk mendalami lebih jauh akan proses Jivita Rupa, proses kematian dan proses kelahiran dalam hakekat yang sesungguhnya, dapat menyimak ringkasan pelajaran hakekat yang sesungguhnya (Abhidhammatthasangaha), yang merupakan pengantar di dalam mempelajari salah satu bagian Kitab suci umat Buddha, Tipitaka, yaitu Abhidhamma Pitaka. Dengan menyimak uraian ini diharapkan para pembaca tidak terjebak oleh keindahan "mukjizat" dan tidak terpincut oleh "kesaksian" para pihak yang "pernah" melihat/mengalami mukjizat.

Epilog
Saudara-saudara… secara menyeluruh dan hampir merata, masyarakat Indonesia sedang dirundung `malang', kelaparan, kemiskinan, penyakit, gangguan, ancaman, dan sebagainya. Banyak di antara mereka mencari "Mukjizat" instan, dan kemudian memberikan "Kesaksian" bila tercapai atau kadang "direkayasa" untuk bersaksi demi se-onggok kekayaan anicca atau nama harum relatif; tidak terkecuali umat Buddha, banyak juga yang terbawa arus ini. Dengan mengikuti uraian di atas, diharapkan umat Buddha tidak mencari "Mukjizat dan memberikan kesaksian" di luar. Carilah mukjizat di dalam diri sendiri dan bersaksilah kepada diri sendiri …. Mukjizat yang realistis dapat terjadi tergantung kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk munculnya. Kondisi kemunculan mukjizat tersebut, justru berada sangat dekat, di dalam diri sendiri, yaitu perbuatan kita masing-masing, baik perbuatan melalui pikiran, tindakan jasmani maupun perkataan. Faktor-faktor lain hanyalah kondisi pendukung yang harus sinkron dengan perbuatan tersebut. Semoga Dhamma menjadi berkah mulia bagi kita semua di dalam mengarungi lautan kehidupan. Semoga semua makhluk berbahagia. (SR)

Bahan Bacaan:
  • Baptist, E.C. 2001. Abhidhamma Bagi Pemula (Terj. Selamat Rodjali). Tanpa Penerbit.253 hal. Buddhagosa. 1956. The Path of Purification (Visuddhimagga) Terj. Nanamoli. Buddhist Pubblication Society, Sri Lanka. 885p.
  • Clare Prophet, Elizabeth. 1987. The Lost Years of Jesus. Summit University Press, New York. 447p.
  • Kaharuddin, J. 1989. Abhidhammatthasangaha I. Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, Jakarta. 187 hal.
  • Piyadassi. 1999. The Book of Protection. Buddhist Publication Society, Sri Lanka, 138p
  • Tony, Daud. 2002. Rahasia Kesembuhan Ilahi. Bethlehem Publisher, 86 hal.
  • Tanpa nama. 2002. Mukjizat Bukan Monopoli Orang Kristen. Website terangdunia.com. 1 hal.
 
[ Dikutip dari Majalah Dhamamcakka ]

Bodhicitta: Menuju Kesempurnaan Dharma Oleh Yang Mulia Lama Yeshe


Saya pikir, adalah sangat penting bagi kita untuk memiliki cinta kasih kepada semua makhluk. Tak ada yang patut disangsikan mengenai hal ini. Cinta kasih adalah hati dari Bodhicitta, sikap dari Bodhisattva. Cinta kasih adalah jalan yang paling menyenangkan, meditasi yang paling mengasikkan. Dengan adanya Bodhicitta, tak ada lagi pertentangan antara Timur dan Barat. Jalan ini adalah ja;lan yang pliang membahagiakan, seratus persen sederhana, dan tidak akan membawa orang kejalan yang ektrim. Tanpa adanya Bodhicitta, maka tak ada yang bisa berjalan, penyadaran tak akan datang.


Mengapa Bodhicitta diperlukan demi keberhasilan meditasi ? Karena ada kemelekatan yang mementingkan diri sendiri. Jika Anda melakukan meditasi dengan baik, tetapi tanpa ada Bodhicitta, maka Anda akan melekat pada kenikmatan yang sangat kecil sekalipun: "Aku , aku, aku ingin lagi". Maka pengalaman yang mengasikkan itu pun lenyap sama sekali. Melekat adalah halangan terberat dalam usaha melakukan perhatian yang terpusat dalam meditasi. Dan dengan adannya kemelekatan ini, kita akan selalu mengabdi pada kebahagiaan diri kita sendiri: ""ku, aku, aku merana. Aku ingin bahagia. Karena itu Aku bermeditasi". Itu bukanlah jalan yang benar, karena beberapa alasan, meditasi yang baik dan hasilnya ketenangan, kenikmatan, dan kebahagiaan yang akan muncul.


Tanpa Bodhicitta adalah sangat sukar untuk mengumpulkan kebajikan. Anda hanya akan menciptakannya, yang selanjutnya juga akan memusnahkannya. Sebelum hari menjelang sore, kebajikan yang dikumpulkan di pagi hari telah lenyap. Ini sama halnya dengan membersihkan kamar, dan satu jam kemudian membuatnya kotor lagi. Anda membersihkan pikiran, dan segera menodainya kembali. Tentu saja bukan merupakan hal yang menguntungkan. Jika Anda ingin berhasil dalam mengumpulkan kebajikan, Anda harus menpunyai Bodhicitta. Dengan Boddhicitta Anda menjadi begitu berharga seperti emas atau intan. Anda menjadi benda yang palin sempurna di dunia ini, tak dapat dibandingkan dengan materi-materi yang lain.


Dari Sudut pandang materialisme akan terdengan mengagumkan, jika seseorang berkata "Saya akan berdana, saya akan memberikan seratus dolar kepada setiap orang diseluruh dunia." Bahkan jika orang itu sungguh-sungguh memberikan dana sebesar itu dengan tulus, kebajikan atau jasannya itu tidak akan berarti apa-apa dibandingkan dengan pikiran, "Saya bercita-cita untuk mewujudkan Bodhicitta demi kebahagiaan semua makhluk, dan saya akan melakukan enam paramita sebanyak mungkin." Itulah sebabnya, mengapa saya selalu berkata bahwa mewujudkan Bodhicitta merupakan jalan kesempurna yang bisa Anda tempuh.


Ingatkah Anda pada cerita Kadampa Geshe, yang melihat seorang tua yang mengelilingi stupa? Ia bertanya "Apa yang sedang engkau lakukan? Orang tua itu menjawab, "Saya sedang berpuja bakti , Guru." Lalu Geshe menasehatinya, "Tidakkah lebih baik jika engkau mempraktikkan Dharma?


Berikutnya Geshe melihat orang tua itu sedang bersujud. Ketika ia bertanya apa yang sedang dilakukannya, orang tua itu berkata, bahwa ia sedang melakukan sembah sujud seratus ribu kali. Dan Geshe kembali menasehatinya, "Tidakkah lebih baik engkau mempraktekkan Dharma, saudaraku?"


Demikianlah cerita itu berlanjut. Tetapi maksud dari Kadampa Geshe adalah bahwa melakukan puja bakti atau kegiatan kegiatan keagamaan tidak selalu berarti mempraktekkan Dharma. Yang perlu kita lakukan adalah meninggalkan kemelekatan dan pemujaan diri sendiri. Sebelum kita melaksanakan hal ini, perbuatan-perbuatan yang lain hanya akan merupakan lelucon. Meskipun Anda berlatih meditasi Tantra, sebelum memperbaiki yang ada disebelah dalam, Anda tak akan berhasik. Dharma berarti perubahan sikap secara menyeluruh, yakni yang membawa kebahagiaan sebelah dalam. Itulah Dharma sejati, bukan apa yang diucapkan. Bodhicitta bukanlah pengembangan ego, atau pengembangan kemelekatan, maupun pengembangan samsara. Bodhicitta merupakan pilihan yang luar biasa, jalan yang paling dasar, tegas dan tidak plintat-plintut. Kadang-kadang pikiran Anda buyar saat bermeditasi. Bodhi-citta berarti Anda bersungguh-sungguh ingin mengubah pikiran dan tindakan Anda, dan mengalihkan seluruh hidup Anda.


Kita semua berhubungan satu sama lain. Mengapa kita berkata "Aku mencintaimu." Dan kadang-kadang pula, "Aku membencimu" Dari mana pikiran yang naik dan turun ini datang?" Dari pikiran yang memujua sendiri (tanpa Bodhicitta). Apa yang kita ucapakan sebenarnya adalah, "Saya benci padamu karena engkau tidak memuaskanku. Engkau melukaiku, engkau tidak memberiku kesenangan." Itulah keseluruhannya: Aku - egoku, kemelekatanku - tidak mendapatkan kepuasan darimu, karenanya aku benci kamu. Menggelikan! Semua nasalah yang timbul dalam hubungan antar pribadi muncul karena tiadannya Bodhicitta, karena kita belum mengubah pikiran kita.


Jadi, Anda lihatbahwa meditasi saja belum cukup. Jika Kadampa Geshe melihamu bermeditasi, ia akan bertanya "Apa yang sedang engkau lakukan? Tidakkah lebih baik jika negkau mempraktekkan Dharma?" Puja bakti bukan Dharma, bersujud bukan Dharma, meditasi bukan Dharma. Celaka!, lalu Dharma itu apa ? Inilah yang mengusik pikiran orang tua dalam cerita itu. Ia tak bisa memikirkan hal lain lagi untuk dikerjakan. Baiklah…, pratek Dharma yang terbaik, yang paling sempurna, dan yang paling mendasar, adalah tak diragukan lagi, mewujudkan Bodhicitta.


Anda bisa membuktikan secara ilmiah bahwa Bodhicitta adalah latihan terbaik yang bisa dilakukan. Pikiran kita yang mementingkan diri sendiri merupakan akar dari semua masalah kita. Ia membuat hidup kita sulit dan mengesalkan. Penawar pikiran yang mementingkan diri sendiri ini, lawannya, adalah pikiran yang penuh dengan Bodhicitta. Pikiran yang egosentris hanya memikirkan aku atau diri sendiri dengan orang lain.


Bodhicitta membuka ruang dalam pikiran Anda, sehingga teman Anda yang paling dekat sekalipun, jika lupa memberikan hadiah ulang tahun, tidak akan membuat Anda tersinggung," Ah, tahun ini ia tidak memberiku coklat, tidak apa-apalah." Bagaimanapun juga, Anda hidup bukan untuk coklat, bukan untuk kenikmatan indria, Sesuatu yang lebih dalam dapat muncul dari kebersamaan kita. Jika Anda ingin benar-benar bahagia, tidaklah cukup hanya dengan bermeditasi. Banyak orang yang telah bertahun-tahun menyepi bermeditasi seorang diri, berakhir dengan hal yang paling jelek. Kembali ke masyarakat, mereka menjadi tidak bisa bergaul. Mereka menjadi tidak dapat berhubungan kembali dengan orang lain. Keadaan damai yang mereka ciptakan merupakan keadaan yang palsu, tetapi merupakan fenomena relatif tanpa sesuatu keutuhan. Dengan Bodhicitta, tidak peduli dimanapun Anda berada, Anda tidak akan pernah asing dan linglung. Semakin sering Anda berhubungan dengan orang lain, semakin bahagia hari-hari Anda. Orang-orang menjadi sumber kebahagiaaan Anda. Andapun hidup untuk orang -orang.Meskipun tetap saja ada orang yaang memperalat Anda, Anda akan bisa mengerti, "Ah, dimasa lalu saya juga mendapatkan manfaat dari mereka." Dengan demikian, hal itu tidak menggangu Anda.


Jadi Bodhicitta merupakan cara paling sempurna untuk mempraktekkan Dharma. Khususnya diabad modern ini, Bodhicitta sangan bernilai. Dengan berakar pada Bodhictta, Anda pasti akan tumbuh subur.
[ Dikutip dari Majalah Buddhis Sinar Buddha, Edisi II ]

Sabtu, 08 Mei 2010

Melakukan Suatu Kesalahan Bukanlah Hal yang Besar Oleh: Ajahn Brahmavamso (Ajahn Brahm)



Melakukan Suatu Kesalahan Bukanlah Hal yang Besar
Oleh: Ajahn Brahmavamso (Ajahn Brahm)

Pencerahan berarti tidak ada lagi kemarahan yang tersisa di dalam dirimu. Tidak ada lagi keinginan pribadi atau kebodohan yang terpendam di dalam diri.

Dalam kehidupan ini, kita sering lupa bahwa melakukan kesalahan bukanlah hal yang besar. Dalam Ajaran Buddha tidaklah menjadi soal apabila seseorang melakukan kesalahan. Tidaklah mengapa menjadi tidak sempurna. Bukankah hal ini luar biasa? Ini berarti kita mempunyai kebebasan sebagai seorang manusia, daripada beranggapan bahwa diri kita sendiri merupakan seorang yang luar biasa dan hebat, yang tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Alangkah mengerikan bukan, jika kita berpikir bahwa kita tidak diperbolehkan untuk melakukan kesalahan, karena pada dasarnya kita selalu melakukan kesalahan, kemudian kita berusaha menyembunyikannya dan mencoba untuk menutupinya. Sehingga rumah pun bukan lagi tempat yang damai, tenang dan nyaman. Tentu saja kebanyakan orang yang ragu-ragu akan berkata, “Jika kamu memperbolehkan orang untuk melakukan kesalahan, bagaimana mereka akan belajar? Mereka bahkan akan terus melakukan lebih banyak kesalahan lagi.” Tetapi sebenarnya bukan demikian caranya bekerja. Untuk mengilustrasikan hal ini, ketika saya masih remaja, ayah saya berkata kepada saya bahwa ia tidak akan mencampakkan saya maupun menutup pintu rumahnya bagi saya, tidak peduli apapun yang saya lakukan; saya akan selalu diterima di sana, bahkan jika saya melakukan kesalahan terburuk sekalipun. Ketika saya mendengar hal itu, saya memahami itu adalah ungkapan cinta, ungkapan penerimaan. Hal ini menginspirasi saya dan saya begitu menghormatinya sehingga saya tidak ingin menyakitinya, saya tidak ingin menimbulkan masalah baginya dan oleh sebab itulah saya bahkan berusaha lebih keras untuk menjadi lebih bernilai dalam keluarga.

Sekarang jika kita dapat menerapkan hal demikian terhadap orang-orang yang hidup di sekeliling kita, kita akan tahu bahwa hal ini akan memberikan kebebasan dan ruang untuk menenangkan dan mendamaikan diri, serta menghilangkan semua ketegangan. Dengan kenyamanan demikian, timbullah rasa hormat dan peduli kepada orang lain. Jadi saya menantang kamu untuk mencoba memperbolehkan orang-orang untuk melakukan kesalahan – katakanlah pada pasanganmu, orang tuamu atau anak-anakmu, “Pintu rumahku akan selalu terbuka untukmu, pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu, tidak peduli apapun yang kamu lakukan.” Katakan juga kepada dirimu, “Pintu rumahku akan selalu terbuka untukku.” Perbolehkanlah dirimu untuk melakukan kesalahan juga. Dapatkah kamu mengingat semua kesalahan yang telah kamu lakukan dalam seminggu terakhir ini? Bisakah kamu membiarkannya, masih bisakah kamu menjadi seorang sahabat bagi dirimu sendiri? Hanya pada saat kita memperbolehkan diri kita sendiri untuk melakukan kesalahan, kita akan merasa nyaman.

Itulah yang kita sebut dengan kasih sayang, Metta, cinta. Sesuatu yang tanpa pamrih. Jika kamu hanya mencintai seseorang karena mereka melakukan sesuatu yang kamu sukai atau karena mereka selalu memuaskan segala pengharapanmu, maka tentu saja cinta itu tidak akan begitu berarti. Hal itu hanya seperti transaksi bisnis cinta, “Saya akan mencintaimu jika kamu memberikan imbalan kepadaku sebagai gantinya.”

Ketika pertama kali saya menjadi seorang bhikkhu, saya beranggapan para bhikkhu haruslah sempurna. Saya pikir mereka tidak pernah boleh melakukan kesalahan; ketika duduk saat meditasi, mereka harus selalu duduk dengan tegak. Tetapi bila kamu pernah duduk pukul 04.30 dini hari, terutama setelah bekerja keras sehari sebelumnya, kamu akan merasakan kelelahan yang teramat sangat, tubuhmu akan menggelongsor, kamu bahkan akan terangguk-angguk karena rasa kantuk. Tetapi itu tidak menjadi masalah. Tidaklah menjadi soal apabila seseorang melakukan kesalahan. Dapatkah kamu merasakan betapa nyamannya perasaanmu, ketika semua ketegangan dan tekanan sirna di saat kamu memperbolehkan dirimu untuk melakukan kesalahan?

Masalahnya kita cenderung membesar-besarkan kesalahan dan melupakan keberhasilan, sehingga menciptakan begitu banyak beban berat dan rasa bersalah. Sebaliknya kita harus mengalihkannya kepada keberhasilan kita, hal-hal baik yang telah kita lakukan dalam kehidupan kita; kita dapat menyebutnya sifat Buddha dalam diri kita. Jika kamu beralih kepadanya, maka ia akan tumbuh berkembang; sebaliknya jika kamu mengalihkannya kepada kesalahan, mereka juga akan tumbuh berkembang. Jika kamu merenungkan pikiran apapun dalam batin, pikiran apapun itu, ia akan tumbuh berkembang dan berkembang, bukankah demikian? Maka sebaiknya kita mengalihkan pikiran kita dan merenungkan hal-hal positif di dalam diri kita, kemurnian, kebajikan, sumber cinta yang tanpa pamrih – dengan berkeinginan untuk membantu, bahkan mengorbankan kenyamanan kita untuk kepentingan makhluk lain. Ini adalah sebuah cara agar kita bisa menghormati nurani kita, hati kita. Dengan memaafkan kesalahan, kita akan merenungkan kemuliaannya, kemurniannya, dan kebaikannya. Kita bisa menerapkan hal yang sama pada orang lain, kita bisa merenungkan kebajikan mereka dan mengamatinya tumbuh berkembang.

Inilah apa yang kita sebut dengan Kamma – perbuatan; cara kita berpikir mengenai kehidupan, cara kita berbicara mengenai kehidupan, dan apa yang kita lakukan dengan kehidupan. Dan apa yang kita lakukan benar-benar terserah kepada kita, bukan sesuai kehendak suatu makhluk gaib luar biasa di atas sana yang menentukan kamu akan bahagia atau tidak. Kebahagiaanmu sepenuhnya berada di tanganmu, dalam kekuasaanmu. Inilah yang kita maksudkan dengan Kamma. Sama seperti ketika memanggang kue, Kamma menggambarkan bahan-bahan apa yang kamu miliki, apa yang harus kamu lakukan dengannya. Jadi jika seseorang memiliki Kamma yang kurang beruntung, mungkin ini merupakan hasil dari perbuatan lampau mereka, sehingga mereka tidak memiliki banyak bahan. Mungkin mereka hanya memiliki sejumlah terigu yang sudah tersimpan lama, satu atau dua butir kismis, dan sejumlah mentega tengik dan – bahan lain yang diperlukan untuk kue itu? – sejumlah gula… jadi dengan semua bahan itulah kita bekerja. Dan orang lain mungkin memiliki kamma yang sangat bagus, semua bahanbahan yang kamu idamkan: tepung gandum berkualitas, gula merah dan semua jenis buah-buah kering dan kacang. Tetapi pada akhirnya kue itu akan tetap dihasilkan… Bahkan dengan bahan-bahan yang amat kurang sekalipun, ada sebagian orang yang dapat menjadikannya kue yang indah. Mereka mengaduk semua bahan itu, memasukkannya ke dalam pemanggang – hmm.. lezat! Bagaimana mereka melakukannya? Sebaliknya ada orang yang mungkin mempunyai segalanya, malah menghasilkan kue yang rasanya tidak karuan.

Jadi Kamma menggambarkan bahan-bahan, sesuatu yang kita miliki untuk diolah; tetapi tidak menjelaskan apa yang harus kita perbuat dengan bahan bahan tersebut. Jadi jika seseorang bijaksana, tidaklah menjadi soal bahan apapun yang ia miliki untuk diolah.Kamu masih dapat membuat sebuah kue yang indah – asalkan kamu tahu caranya.

Tentu saja hal pertama yang harus diketahui, bahwa selalu mengeluhkan bahan-bahan yang kamu miliki adalah alternatif terakhir dalam membuat kue yang bagus. Kadang-kadang di vihara, jika ada satu bahan yang kurang, orang-orang yang sedang memasak akan mencari ke dapur dan cukup menggunakan apapun yang ada. Bahan itu bisa serba guna dan kamu akan memperoleh kue-kue yang sangat aneh, tetapi semuanya terasa lezat, ini dapat terjadi karena orang-orang telah belajar seni menggunakan apa yang mereka miliki dan menghasilkan sesuatu dengannya.

Jadi ke mana arah Kamma? Apa yang sebenarnya kita lakukan? Apakah menjadi kaya dan berkuasa? Tidak. Meditasi ini, ajaran Buddha ini, arah yang kita tuju, adalah ke arah pencerahan. Kita sedang menggunakan bahanbahan yang kita miliki untuk mencapai pencerahan. Tetapi sebenarnya apa arti pencerahan itu? Pencerahan berarti tidak ada lagi kemarahan yang tersisa di dalam dirimu. Tidak ada lagi keinginan pribadi atau kebodohan yang terpendam di dalam diri.

Suatu ketika ada seorang guru Rusia bernama Gurdjief, yang memiliki sebuah komunitas di Prancis. Didalam komunitasnya, ada seorang pria yang benar-benar menjengkelkan. Ia selalu mengganggu orang-orang dan menyusahkan mereka. Maka komunitas itu mengadakan pertemuan dan mereka meminta Gurdjief mengusirnya, mengeluarkannya, karena dia selalu menciptakan percekcokan dan membuat orang-orang tidak bahagia. Tetapi Gurdjief tidak pernah mau. Akan tetapi kemudian, setelah ia meninggal, mereka baru menyadari bahwa sebenarnya ia lah yang membayar pria itu untuk menetap di sana! Setiap orang yang ada di sana harus membayar untuk makanan dan tempat tinggal. Tetapi Gurdjief sebenarnya membayar pria itu agar menetap di sana – untuk memberikan pelajaran kepada orang-orang itu. Jika kamu hanya bisa bahagia ketika kamu hidup dengan orang-orang yang kamu suka, kebahagiaanmu itu sama sekali tidak bernilai, karena kamu belum bergejolak. Sama seperti segelas air berlumpur, ketika belum diaduk, bukankah kelihatannya jernih? Tetapi seketika setelah diguncang, lumpur muncul dari dasar gelas dan air menjadi keruh. Alangkah baiknya kamu menggoyangkan gelasmu untuk melihat apa yang sebenarnya terdapat didalamnya. Maka pada saat masih hidup, Gurdjief  membayar pria ini untuk mengguncang setiap orang untuk melihat apa yang terdapat di dalamnya.

Indikator yang sangat bagus untuk menilai sejauh mana tahap kehidupan spiritual seseorang adalah dengan melihat sebaik apa ia berhubungan dengan orang lain – terutama dengan orang yang tidak menyenangkan. Bisakah kamu merasa damai ketika seseorang menyusahkanmu? Bisakah kamu melepaskan kemarahan dan kejengkelan terhadap seseorang, terhadap suatu tempat atau terhadap dirimu sendiri? Pada akhirnya kita harus bisa melakukannya, jika tidak kita tidak akan pernah mendapatkan pencerahan, kita tidak akan pernah mendapatkan kedamaian.

Bayangkan bagaimana rasanya dengan berkata, “Saya tidak akan pernah merasa jengkel lagi, saya tidak akan menentang atau menolak seseorang maupun kebiasaan-kebiasaan mereka. Jika saya tidak bisa melakukan sesuatu terhadap hal ini, saya akan belajar hidup damai dengan sesuatu yang tidak saya sukai. Daripada selalu mengalihkan diri dari kepedihan dan mencari kesenangan, saya akan belajar menerima kepedihan itu dengan damai.” Bayangkan hal itu!

Kadang-kadang orang berpikir bahwa jika kamu tidak marah maka kamu cenderung seperti sayuran, kamu terus membiarkan orang lain menginjakmu, kamu hanya akan menjadi seseorang yang duduk berdiam diri dan tidak melakukan apapun. Tetapi tanyakan pada dirimu sendiri, “Bagaimana perasaanmu setelah marah? Apakah kamu merasa berapi-api, penuh semangat?” Kita akan kelelahan ketika marah; kemarahan menghabiskan begitu banyak energi kita. Bahkan ketika kita merasa jengkel atau berpikiran negatif terhadap seseorang atau suatu tempat, itupun sudah menghabiskan energi. Maka jika kita tidak ingin merasa begitu letih dan tertekan, sebagai percobaan, kita bisa mencoba untuk tidak merasa jengkel. Lihat betapa kita akan menjadi lebih sigap dan lebih bergairah. Kemudian kita dapat memancarkan energi itu dalam bentuk kepedulian terhadap sesama dan juga terhadap diri kita sendiri. Kita memiliki kekuatan untuk melakukan hal ini. Jika kamu benar-benar ingin mendapatkan jalur cepat menuju pencerahan, cobalah dengan menghentikan kejengkelan dan kemarahan.

Jadi bagaimana kita menghentikannya? Pertamatama, dengan menginginkannya berhenti. Tetapi kebanyakan dari kita tidak menginginkan berhentinya kemarahan dan kejengkelan tersebut – dengan alasan yang tidak jelas kita menyukainya. Ada sebuah cerita pendek yang menarik mengenai dua orang bhikkhu yang tinggal bersama-sama di sebuah vihara selama bertahun-tahun, mereka bersahabat karib. Kemudian merekapun meninggal dengan perbedaan kurun waktu beberapa bulan. Salah seorang dari bhikkhu tersebut terlahir kembali di alam surga, sedangkan yang satunya lagi terlahir kembali sebagai seekor cacing di setumpuk kotoran. Ia yang berada di alam surga mendapatkan kehidupan yang menyenangkan, menikmati semua kesenangan surgawi. Kemudian ia mulai memikirkan sahabatnya, “Saya ingin tahu di manakah sahabat lama saya?” Maka ia menerawang semua alam surga, akan tetapi ia tidak menemukan jejak sahabatnya. Kemudian ia menerawang alam manusia, tetapi ia juga tidak menemukan jejak sahabatnya di sana. Jadi ia mencarinya di alam binatang dan kemudian serangga. Akhirnya ia menemukannya, sahabatnya terlahir kembali sebagai seekor cacing di setumpuk kotoran… Wah! Ia berpikir, “Saya akan membantu sahabat saya. Saya akan turun menuju tumpukan kotoran tersebut dan membawanya ke alam surga, sehingga ia juga bisa menikmati kesenangan surgawi dan hidup dalam kebahagiaan di alam-alam yang menyenangkan ini.”

Jadi ia pun turun menuju tumpukan kotoran tersebut dan memanggil sahabatnya. Cacing kecil itu menggeliat keluar dan bertanya, “Siapa kamu?”, “Saya adalah sahabatmu. Kita pernah hidup bersama sebagai bhikkhu pada kehidupan yang lampau, dan saya bermaksud membawamu ke alam surga yang kehidupannya menyenangkan dan penuh kebahagiaan.” Tetapi cacing itu membalas, “Pergilah, menjauhlah!”, “Tetapi saya sahabatmu, dan saya tinggal di alam surga,” dan ia pun menjelaskan alam surga kepadanya. Tetapi cacing itu berkata, “Tidak, terima kasih. Saya cukup gembira di sini, dalam tumpukan kotoran saya. Silakan pergi.” Kemudian makhluk surga ini berpikir, “Jika saya bisa memegangnya dengan erat dan membawanya ke alam surga, ia akan bisa melihat sendiri.” Maka ia pun memegang erat cacing itu dan mulai menariknya, dan semakin kuat ia menariknya, semakin kuat pula cacing itu melekat pada tumpukan kotorannya.

Apakah kamu dapat memetik pesan moral dari cerita di atas? Berapa banyak dari kita yang melekat pada tumpukan kotoran kita? Ketika seseorang mencoba menarik kita keluar, kita terus menggeliat kembali kedalam, karena inilah yang menjadi kebiasaan kita, kita suka berada di dalamnya. Kadang-kadang kita sebenarnya melekat kepada kebiasaan-kebiasaan lama kita, kemarahan kita dan keinginan kita. Kadang-kadang kita ingin marah.

Jadi lain kali ketika kamu marah, berhentilah dan amati. Sadarlah sesaat dengan memperhatikanbagaimana perasaan itu. Ambil keputusan, peringatkan dirimu sendiri. “Lain kali ketika saya marah, saya akan merasakannya, bukannya menjadi sok pintar, menempuh caraku sendiri atau melukai orang lain”. Hanya memperhatikan bagaimana perasaan itu. Seketika setelah kamu memperhatikan kemarahan tersebut dengan hatimu – bukan dengan kepalamu – maka kamu akan menginginkannya berhenti, karena hal ini sangatlah menyakitkan, memedihkan, dan penuh penderitaan.

Hanya jika orang-orang bisa lebih mawas diri, lebih sadar – menyadari bagaimana rasanya, bukan dengan berpikir mengenainya, maka tidak akan ada persoalan lagi. Mereka akan melepaskan kemarahan dengan sangat cepat karena kemarahan itu panas, membakar. Tetapi kita cenderung melihat dunia ini dengan kepala daripada dengan hati kita. Kita memikirkannya, tetapi kita sangat jarang merasakannya, mengalaminya. Meditasi mulai membimbingmu berhubungan kembali dengan hatimu; dan keluar dari pemikiran dan keluh kesah, tempat dimana semua kemarahan dan keinginan berasal.

Ketika kamu memulainya dari hatimu, kamu bisa merasakannya sendiri, kamu bisa berdamai dengan dirimu sendiri, kamu bisa peduli terhadap dirimu sendiri. Ketika saya memulainya dari hati, saya juga bisa menghargai perasaan orang lain. Demikianlah bagaimana kita bisa mencintai musuh kita, ketika kita menghargai perasaan orang lain pula. Demikianlah bagaimana kita bisa mencintai musuh kita, dengan menghargai perasaan mereka, melihat sesuatu dari mereka untuk dicintai, dihormati.

Orang-orang marah karena mereka terluka, merasa tidak nyaman, tetapi jika kita bahagia, kita tidak akan pernah bisa marah pada orang lain, hanya jika kita merasa tertekan, lelah, frustrasi, susah, ketika ada rasa sakit dalam hati kita, saat itulah kita bisa marah kepada orang lain. Jadi ketika seseorang marah kepada saya, timbul rasa kasih sayang dan kebaikan saya terhadap orang itu, karena saya menyadari mereka sedang terluka.

Pertama kali saya mengunjungi seseorang yang dianggap telah tercerahkan, saya berpikir, “Wah! Lebih baik saya bermeditasi sebelum saya berada dalam jarak sepuluh mil darinya, karena ia pasti bisa membaca pikiran saya dan hal ini tentu saja sangat memalukan!” Akan tetapi seorang yang tercerahkan tidak akan bertindak kejam dan menyakitimu. Seorang yang tercerahkan akan menerimamu dan memberimu rasa nyaman. Itulah perasaan yang luar biasa, bukankah demikian; hanya dengan menerimamu apa adanya. Kamu hanya perlu menenangkan diri, tidak ada kemarahan dan kejengkelan. Yang ada hanyalah pengertian yang mendalam, pencerahan yang luar biasa, bahwa kamu baik-baik saja. Betapa banyak kepedihan yang bisa disingkirkan dari kehidupan manusia, betapa besar kebebasan yang bisa diberikan kepada orangorang untuk hidup di dunia, untuk melayani dunia, untuk mencintai dunia ini, sampai akhirnya mereka menyadari bahwa mereka baik-baik saja. Mereka tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk meyakinkan diri bahwa mereka telah bertindak benar, mengubah diri mereka, selalu takut berbuat kesalahan. Ketika kamu merasa nyaman dengan dirimu, kamu akan merasa nyaman dengan orang lain, tidak menjadi soal siapapun mereka. 
 




Ajahn Brahmavamso dilahirkan di London pada tahun 1951. Ia menganggap dirinya seorang Buddhis saat berusia 17 tahun melalui buku-buku Buddhis yang dibacanya ketika masih di sekolah. Ketertarikannya dalam ajaran Buddha dan meditasi berkembang ketika mempelajari Teori Fisika di Universitas Cambridge. Setelah menyelesaikan pendidikan kesarjanaannya dan mengajar selama setahun, beliau mengunjungi Thailand untuk menjadi seorang bhikkhu. Beliau ditahbiskan di Bangkok pada usia 23 tahun oleh Kepala Vihara Wat Saket. Kemudian berturut-turut selama 9 tahun, beliau mempelajari dan berlatih tradisi meditasi hutan di bawah bimbingan Ajahn Chah. Pada tahun 1983, beliau diminta untuk membantu pembangunan sebuah vihara hutan dekat Perth, Australia bagian Barat. Ajahn Brahm sekarang adalah Kepala Vihara Bodhinyana dan Pembimbing Spiritual Buddhist Community di Australia bagian Barat.




Sumber: http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,9685.0.html