Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Jumat, 14 Mei 2010

Ada Apa Di Balik Mukjizat? Oleh Slamat Rodjali


Ada Apa Di Balik Mukjizat?
Oleh Slamat Rodjali
 


Pernahkah terlintas dalam pikiran pembaca mengapa sebagai seorang beragama Buddha `doa' saudara tidak `manjur' namun seseorang yang beragama lain dan pelaku kejahatan justru mengalami kemajuan? Atau pernahkah saudara melihat sesuatu mukjizat tidak terjadi di vihara tetapi terjadi di tempat ibadah agama lain?
 
Pernahkah saudara mendengar atau membaca kitab salah satu paham yang menceritakan ADA yang dapat membangkitkan orang yang telah `mati'; mengubah air menjadi anggur, membuat orang buta dapat melihat kembali?

Seorang perempuan, Tuti (bukan nama sebenarnya) terkena kanker rahim stadium 3, berupaya kuat untuk pergi kepada berbagai dokter bahkan datang ke dalam satu Kebaktian paham tertentu, kankernya tersebut malah meningkat menjadi stadium 4 dan semua dokter yang ditemui `angkat tangan' tak dapat menolongnya dari kematian, namun setelah bertemu dengan seorang bhikkhu dan setelah melaksanakan sesuatu yang dikatakan oleh bhikkhu tersebut, kondisi kankernya malah menurun berangsur hilang hingga sembuh total.

Seorang ibu mengeluhkan anaknya Dono (bukan nama sebenarnya) yang sakit panas dibawa ke vihara dan didoakan seorang pandita beragama Buddha, tetapi tidak sembuh. Keesokan harinya ketika di bawa ke sebuah tempat ibadah dari paham lain dan didoakan sesuatu, serta diberi minum sesuatu, eh… panasnya tiba-tiba hilang.

Pernahkah saudara mendengar pernyataan salah seorang pemuka paham tertentu bahwa di dunia ini ada dua kuasa, yaitu "kuasa Hyang Agung" dan "kuasa iblis?" Ia tidak menolak bahwa iblis pun memiliki kuasa dan bisa menimbulkan mukjizat. Ia menyatakan bahwa bisa saja seseorang ketika datang ke dalam rumah ibadah-nya tidak akan melihat mukjizat sedangkan ketika ke vihara bisa melihat mukjizat atau sebaliknya. Ia meng-klaim bahwa apabila mukjizat yang timbul di rumah ibadahnya merupakan kuasa "Hyang Agung" sedangkan bila timbul di vihara atau rumah ibadah lainnya disebut bukan kuasa "Hyang Agung", dan bila bukan kuasa Hyang Agung, pasti saudara tahu yang dimaksudnya, siapa di balik mukjizat tersebut yang berkuasa.

Contoh-contoh di atas membuktikan bahwa mukjizat memang bukan monopoli agama tertentu. Semua orang dapat mengalami mukjizat. Tuti bisa bersaksi (memberikan kesaksian) atas mukjijat yang terjadi pada dirinya….. Dono juga bisa bersaksi atas mukjizat yang dialaminya. Keduanya bisa meng-klaim bahwa mukjizat tersebut terjadi atas firman/kuasa yang diagungkan pemeluk paham rumah ibadah tempat mereka masing-masing mengalami mukjizat tersebut Cuma…. Siapa yang berkuasa menimbulkan mukjizat bagi kesembuhan Tuti dan Dono pada kasus di atas? Apakah memang benar pada kasus-kasus di atas, mukjizat kesembuhan Tuti ditimbulkan oleh "kuasa Iblis" dan mukjizat kesembuhan Dono ditimbulkan oleh "Firman/Kuasa Hyang Agung?" Membangkitkan yang mati, mengubah air menjadi anggur, membuat orang buta kembali melihat … juga… merupakan hanya mukjizat Firman/Kuasa Hyang Agung paham tersebut?

Budaya iming-iming dengan mukjizat melalui kesaksian salah satu paham di masyarakat kita, dan budaya ancaman halus bahwa mukjizat yang timbul di dalam rumah ibadah/diperantarai pemuka agama paham lain merupakan kuasa iblis yang `bermata kail', telah lama merebak di Indonesia dan telah mengguncangkan `keyakinan' banyak umat paham lain tersebut sehingga sangat banyak umat paham lain tersebut (termasuk yang fanatik berat awalnya) `mengorbankan diri' untuk berganti label paham keagamaannya ke dalam `iman' paham di atas bahkan hingga bersikap fanatik berat dalam `iman' baru-nya dan mencampakkan paham keyakinan sebelumnya yang ditunjukkannya melalui kesaksian yang ditayangkan di televisi atau di dalam kesempatan Kebaktian di stadion/hotel tertentu, hanya semata dikarenakan tidak mengetahui proses sesungguhnya yang terjadi di balik mukjizat.

Saudara pembaca, pertanyaannya adalah bagaimanakah proses di balik terjadinya mukjizat? Apa saja faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan tubuh seseorang? Apa saja faktor-faktor yang menentukan "kemanjuran" suatu "doa" atau "rapalan kata-kata" atau "mantra" yang dianggap suci oleh penganutnya? Apa definisi kematian dalam hakekat yang sesungguhnya? Ini merupakan beberapa topik yang harus kita tuntaskan di dalam tulisan ini sehingga para pembaca dapat mengerti dengan jelas dan tidak terjebak untuk berganti label karena iming-iming mukjizat atau karena takut akan ancaman setelah mengalami mukjizat di vihara umat Buddha. Selanjutnya saudara akan dapat menilai sendiri, apakah mukjizat terkait dengan label salah satu paham atau agama ataukan tidak? Mari kita telusuri dengan seksama…!

Memahami Terjadinya Mukjizat
Saudara pembaca, kalau kita amat-amati dari kitab suci paham lain, perbuatan atau kejadian ajaib (mukjizat) yang diasumsikan dilakukan oleh Hyang Agung mereka, ada 4 jenis, yaitu: (1) penyembuhan orang sakit, (2) pengusiran setan atau roh-roh jahat, (3) penaklukkan kekuatan alam, dan (4) pembangkitan orang mati. Penganutnya mengklaim sebagai monopoli Firman Hyang Agung mereka, dan bila timbul di paham lain, artinya ditimbulkan oleh Iblis, sehingga hal ini menjadi sumber propaganda untuk konversi "label agama/paham" yang dilakukan oleh para pemeluknya dengan memanfaatkan kebodohan dan ketakutan penderita.

Cukup kontras perbedaannya dengan yang dijumpai di dalam Tipitaka (kitab suci umat Buddha), sungguh tak terhitung banyaknya mukjizat yang ditimbulkan baik oleh para Buddha, oleh murid-murid Beliau (Sangha), bahkan oleh umat awam yang mempraktikkan ajaran Buddha tersebut sebagai "conditioning service medication" (layanan mengkondisikan pengobatan untuk penyembuhan) maupun "self-service medication" (layanan mandiri pengobatan untuk penyembuhan), yang tipikal-nya tidak diklaim sebagai monopoli baik oleh para Buddha, tidak juga oleh para murid Beliau (Sangha) dan oleh umat yang melaksanakannya walaupun mengalami kesembuhan yang dinilai sebagai keajaiban (mukjizat). Proses mukjizat yang terjadi sangat reasonable (mengandung alasan yang ilmiah berdasarkan sebab akibat) dijelaskan secara objektif, tanpa mengandung iming-iming untuk konversi label agama, dan tidak mengandung ancaman halus dengan mengkambinghitamkan Iblis yang memberikan duri di dalam umpan.
 
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan jasmani
Lebih dari 2500 tahun yang lalu, seorang Agung di dalam sejarah peradaban manusia di bumi ini pernah menyatakan bahwa kesehatan jasmani seseorang ditentukan oleh minimal 4 faktor, yaitu:
  1. Faktor perbuatan orang tersebut (istilah di dalam agama Buddha, disebut faktor Kamma)
  2. Faktor pikiran orang tersebut (istilahnya disebut faktor Citta)
  3. Faktor makanan orang tersebut (Âhâra)
  4. Faktor keseimbangan lingkungan hidup orang tersebut (Utu)
Perbuatan seseorang akan menghasilkan materi khusus (kammajarûpâ) yang bereaksi terhadap jasmaninya, demikian pula pikiran seseorang akan menimbulkan materi khusus (cittajarûpâ) yang bereaksi dan berinteraksi dengan materi tubuh orang tersebut, ditambah dengan makanan/âhârajarûpâ (termasuk obat-obatan, vitamin, mineral dan sebagainya) akan menambah kontribusi kombinasi reaksi interaksi materi tubuh orang tersebut. Lingkungan hidup, kelembaban, temperatur, pakaian orang tersebut juga akan menimbulkan efek panas dingin kering lembab (utujarûpâ) tubuhnya yang juga berinteraksi dengan materi-materi sebelumnya. Keempat faktor materi ini saling berinteraksi dan berkorelasi membentuk materi-materi baru yang kompleks yang menjelaskan perbedaan fisik tiap makhluk.

Semakin tinggi kualitas perbuatan (diindikasikan dengan nilai moralitas) dulu dan sekarang, kualitas pikiran, kualitas makanan dan kualitas lingkungan hidup seseorang maka materi-materi yang ditimbulkan oleh keempat faktor itu akan memiliki kualitas yang makin tinggi; dan interaksi keempat materi dengan kualitas tinggi ini serta kontinuitas (kesinambungan) kemunculannya akan memberikan efek prima kesehatan jasmani seseorang dalam kesinambungan pula. Kontinuitas makin baik, maka kesehatan makin berdaya tahan lama. Jika terjadi diskontinyu, maka efek kesehatan pun dis-kontinyu. (lihat uraian kekuatan paritta pada sub judul di bawah).
Saudara pembaca, uraian di atas pada prinsipnya merupakan kombinasi interaksi antara:
  1. Proses sebab akibat berkondisi (tidak muncul tiba- tiba)
  2. Empat faktor (perbuatan, pikiran, makanan, lingkungan fisik)
  3. Waktu (kala) lampau dan sekarang, dalam hal kontinyu atau diskontinyu dengan tenggang waktu tertentu atau putus-putus.
Lalu, apa hubungannya dengan kemanjuran dari pembacaan "doa" bagi agama tertentu dan "paritta" di dalam agama Buddha?

Faktor-faktor kekuatan "doa" atau "paritta" atau "mantra"
Penelitian terkini di dalam pengobatan, di dalam eksperimental psikologi dan apa yang disebut parapsikologi telah melemparkan secercah cahaya sifat alamiah pikiran dan posisinya di dunia ini. Selama empat puluh tahun terakhir pengaruh ini telah secara konstan tumbuh di antara para ahli kedokteran bahwa banyak kasus penyakit organik maupun fungsional secara langsung dikondisikan oleh faktor-faktor batin. Tubuh menjadi sakit karena pikiran mengontrolnya secara tersembunyi (tak disadari langsung oleh penderita) menginginkan tubuhnya sakit, atau karena kegelisahan sehingga tak dapat mencegah tubuh menjadi sakit.

Pikiran tidak hanya menyebabkan sakit, juga dapat menyembuhkan. Pasien yang realistis memiliki kesempatan kesembuhan yang jauh lebih baik dibandingkan seorang pasien yang khawatir dan tidak gembira. Contoh-contoh yang didokumentasikan melalui penyembuhan `keyakinan' termasuk di dalamnya kasus-kasus penyakit organik dapat disembuhkan hampir secara instan. Di dalam hubungan ini, sungguh menarik kita meninjaunya dari sisi Buddha Dhamma, dari mendengarkan pembacaan Dhamma atau doktrin Buddha untuk mengkondisikan terbebasnya dari penyakit atau mara bahaya, untuk mengurangi atau menghilangkan pengaruh makhluk-makhluk pengganggu yang terlihat ataupun tidak terlihat, untuk memperoleh `perlindungan' dan kebebasan dari kejahatan, dan untuk meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan kebaikan makhluk hidup. Beberapa khotbah yang disebut "paritta sutta" dijadikan sebagai `khotbah perlindungan.' Namun paritta sutta ini tidaklah sama dengan pembacaan mantra atau doa paham lain, tak ada satu pun yang mistis di dalam paritta sutta.

Kata paritta pertama kali digunakan oleh Buddha Gotama di dalam khotbah yang dikenal dengan "Khandha paritta" di dalam Culla Vagga, Vinaya Pitaka (vol. ii, halaman 109), dan juga di dalam Añguttara Nikâya di bawah judul `Ahi (metta) Sutta' (vol. ii halaman 82). Khotbah ini direkomendasikan oleh Buddha Gotama sebagai `pelindung' untuk digunakan oleh para bhikkhu. Di dalam khotbah itu Buddha menganjurkan para bhikkhu untuk mempraktikkan dan mengembangkan metta (cinta kasih universal) kepada semua makhluk.

Saudara pembaca, setiap "doa" ataupun "paritta" atau "mantra" tertentu memiliki nilai kekuatan tertentu. Kekuatan-kekuatan yang saling berkombinasi secara sinergis akan menimbulkan kekuatan baru yang jauh lebih tinggi. Kekuatan-kekuatan itu, sebagai berikut:

1. Kekuatan Kebenaran
Beberapa faktor berkombinasi memberikan kontribusi kepada `kemanjuran' pembacaan paritta. Pembacaan paritta merupakan sebentuk saccakiriya, yaitu sebuah afirmasi atas kebenaran. Perlindungan dihasilkan dari kekuatan afirmasi kebenaran tersebut. Ini berarti menetapkan diri pembaca di dalam kekuatan kebenaran terlebih dulu sebagai modal utama. Dengan modal utama bahwa dirinya diliputi kebenaran, para pendengar pun diajak untuk berlibat di dalam kebenaran tersebut. Itulah sebabnya di akhir paritta ini, biasanya pembaca memberikan afirmasi `blessing' kepada pendengarnya dengan mengucapkan kata-kata `etena sacca vajjena sotti te hotu sabbadâ' yang berarti `dengan kekuatan kebenaran kata-kata ini semoga kamu sembuh/baik. Kekuatan Dhamma atau Kebenaran melindungi pelaksana Dhamma (dhammo have rakkhati dhammacarin) mengindikasikan prinsip di balik pembacaan sutta ini. Apabila semua faktor lainnya sama tingkatnya, maka pembacaan Kebenaran (paritta sutta) akan memiliki kekuatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan `doa' semata yang mengandung hasrat melekat atau kata-kata tak bermakna (mantra).

2. Kekuatan Kemoralan
Tahap pertama pelaksanaan Buddha Dhamma adalah kemoralan (Sila). Dilandasi kemoralan yang baik, seseorang seyogyanya berjuang untuk mencapai batin yang tenang dan seimbang. Apabila ini terjadi, maka orang yang memiliki kemoralan akan terlindung dengan sendirinya oleh kekuatan moralnya tersebut. Orang yang mendengarkan pembacaan paritta dari orang yang bermoral akan muncul inspirasi pikiran yang baik secara reflektif induktif muncul pikiran yang bermoral baik yang dapat mengatasi pengaruh buruk dan akhirnya terlindung dari berbagai bahaya. Moralitas pembaca dan yang mendengarkan saling berpengaruh membentuk kombinasi kontribusi kekuatan paritta tersebut. Makin tinggi moralitas pembaca dan pendengarnya, maka kekuatan paritta tersebut akan menjadi makin tinggi.

3. Kekuatan Cinta Kasih
Khotbah yang dilakukan oleh Buddha tidak akan pernah lepas dari cinta kasih. Beliau berjalan ke manapun dengan penuh cinta kasih untuk semua makhluk, memberikan petunjuk, mengkondisikan pencerahan dan membahagiakan banyak makhluk melalui ajaran-Nya. Oleh karena itu, para pembaca paritta pun diharapkan melakukannya dengan penuh cinta kasih dan belas kasihan kepada para pendengarnya dengan mengharapkan mereka berbahagia, terbebas dari penyakit, kesukaran, penderitaan dan mara bahaya. Semakin tinggi cinta kasih yang dikembangkan dan dipancarkan oleh pembaca paritta, maka kekuatannya akan semakin tinggi.

4. Kekuatan Keyakinan
Keyakinan merupakan hal yang sangat penting di dalam semua tindakan. Pembacaan paritta atau `doa' atau `mantra' dengan keyakinan tinggi, akan menimbulkan efek ketenangan yang tinggi bagi batin pembacanya. Tingkat keyakinan yang tinggi dari pendengarnya akan berpengaruh bagi tingkat kemauan pendengar itu mendengarkan dan merenenungkannya. Konflik batin menjadi teratasi, dan ujungnya cittajarupa yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang baik yang berinteraksi dengan materi tubuhnya tersebut sehingga tingkat kesehatan atau radiasi tubuhnya menjadi lebih baik.

5. Kekuatan Konsentrasi
Pembacaan paritta dengan penuh konsentrasi akan memberikan efek sinkronisasi yang baik terhadap pembaca maupun pendengarnya. Kekuatan kebenaran akan tetap terjaga, harmonisasi tetap terjaga, kestabilan faktor batin yang penuh cinta kasih akan tetap terjaga, keyakinan tetap terjaga penuh. Makin tinggi tingkat konsentrasi maka akan makin tinggi pula kekuatan batin orang tersebut (baik pembaca maupun pendengarnya), dan kekuatan batin ini tentu menjadi kontribusi penting di dalam mengalahkan pengaruh-pengaruh yang negatif.

6. Kekuatan perbuatan (kamma)
Setiap makhluk melakukan perbuatan sejak dulu hingga kini, dalam kehidupan lampau maupun sekarang. Perbuatan tersebut merupakan aksi, dan memiliki potensi untuk menghasilkan akibat. Perbuatan yang dilakukan suatu makhluk terdiri dari perbuatan tidak baik maupun perbuatan baik, dan masing-masing memberikan efek yang setimpal. Tidak baik akibatnya tidak menyenangkan/negatif; baik akibatnya menyenangkan/positif. Di dalam perjalanan bekerjanya, perbuatan ini, saling berinteraksi dan berkombinasi di dalam menimbulkan akibat. Ada perbuatan yang mengkondisikan berbuahnya perbuatan lain yang belum masak menjadi masak atau yang sudah saatnya masak menjadi masak dengan sepenuhnya. Ada pula perbuatan baik yang memotong buah perbuatan tidak baik yang sedang berlangsung hingga selesai. Sebagai contoh, seorang yang sedang sakit…diakibatkan salah satunya oleh akibat perbuatan buruknya yang lampau. Dengan kondisi perbuatan baiknya mendengarkan pembacaan paritta/`doa'/`mantra' dengan penuh konsentrasi dan keyakinan saat itu, serta merta sembuh diakibatkan perbuatan baiknya ini memotong hasil perbuatan buruknya yang menyebabkan dia sakit. Sebaliknya apabila tidak ada perbuatan baik yang ditimbulkan untuk meng-counter akibat perbuatan tidak baik yang lampau atau akibat perbuatan tidak baik yang lampau terlalu kuat mendominasi, maka pembacaan paritta/`doa'/`mantra' dan mendengarkan paritta/`doa'/` mantra' tidak akan serta merta membuahkan hasil, namun bukan berarti sia-sia. Mohon maaf, proses aksi reaksi inilah yang tidak dijelaskan di dalam kitab-kitab para pemeluk firman "Hyang Agung" dalam kasus-kasus di pendahuluan tulisan ini. Proses aksi reaksi dan kombinasi serta interaksinya ini akan menjadi lebih jelas apabila para pembaca menyimak pelajaran `keselarasan perbuatan' (kamma niyama) yang dijelaskan dengan lugas di dalam Tipitaka kitab suci umat Buddha maupun Visuddhimagga, salah satu kitab komentar. (Untuk pembahasan rinci kasus-kasus melalui sudut pandang kamma ini, silakan membaca buku Dhammasakacca karya Pandit Jinaratana Kaharuddin).

7. Kekuatan Suara
Telah lama diyakini bahwa getaran suara yang dihasilkan oleh pembacaan paritta yang harmonis di dalam bahasa Pali atau bahasa yang mudah dimengerti oleh pendengarnya akan berpengaruh kepada gerakan materi di dalam tubuh seseorang. Apabila semua hal kekuatannya sama, maka semakin harmonis pembacaan paritta, gerakan materi di dalam tubuh seseorang akan menjadi harmonis, dan akan mengakibatkan denyut nadi atau saraf yang harmoni. Secara realistis, hal ini menginduksikan ketenangan dan kedamaian fisik maupun batin.

Saudara pembaca, `keyakinan' sering kali menjadi kambing hitam yang diluncurkan para penganut Firman "Hyang Agung" di dalam kasus di atas. Mereka sering kali menyatakan bahwa apabila ada beberapa orang yang ber-`iman' sama tetapi hanya satu yang melihat mukjizat, maka artinya yang tidak melihat mukjizat dipra-anggap "kurang memiliki keyakinan" betapapun `saleh'-nya di dalam kehidupan keagamaannya. Sungguh merupakan kalimat pelarian (escape clause) yang cerdik yang secara halus memaksa seseorang untuk tetap memiliki ketergantungan `keyakinan' kepada Firman Hyang Agung mereka, selama orang yang tidak melihat mukjizat tersebut belum mengerti proses mukjizat sesungguhnya.

Saudara pembaca, singkatnya, penguncaran paritta, `doa' atau `mantra' akan memiliki kekuatan yang tinggi dalam hal kemanjuran, baik untuk mengurangi/menghilangkan efek buruk maupun untuk menimbulkan atau mengembangkan efek baik, dan sepenuhnya sangat tergantung dari kebenaran yang terkandung di dalam kata-katanya, moralitas pembaca dan pendengarnya, keyakinan pembaca dan pendengarnya, konsentrasi pembaca dan pendengarnya, cinta kasih yang ditimbulkan dan dikembangkannya, harmonisasi getaran suara yang dibacakannya, terakhir namun yang terpenting adalah potensi pendengarnya (kamma masing-masing yang pernah dan sedang dipupuknya); jadi tidak tergantung pada label agama/paham tertentu.

Lantas, bagaimana dengan menghidupkan orang mati?
Kematian merupakan satu hal yang pelik, dan terkadang merupakan hal tabu untuk dibicarakan bagi kalangan tertentu. Karena pembatasan-pembatasan tertentu tersebut, penelaahan definisi dan kriteria kematian menjadi beragam sesuai dengan tingkat keterbukaan dan daya tinjau pembahasnya.

Secara kedokteran konvensional, kematian ditetapkan apabila denyut jantung, dan saraf sudah tidak berfungsi total yang dapat ditunjukkan pada alat deteksi monitor denyut jantung/nadi yang secara notabene merupakan deteksi secara fisik.

Di dalam Tipitaka dijelaskan bahwa makhluk masih dikategorikan hidup apabila fisiknya masih terdapat Jivita rûpâ yang merupakan unsur fisik kehidupan. Walaupun jantung dan nadi telah ditetapkan berhenti berdetak dan dianggap oleh orang awam atau kedokteran sebagai "mati", namun selama jivita rupa masih ada, makhluk itu tidak dikatakan mati dalam konteks Buddhis.

Seseorang yang telah terbujur dingin dan dikatakan mati, namun orang tertentu yang terlatih batinnya dapat mengetahui dengan jelas bahwa jivita rupa orang itu masih ada, maka orang piawai itu pun dapat mengkondisikan `kehidupan' (sadar kembali) orang yang dikatakan mati tersebut. Jadi orang piawai itu tidak menghidupkan kembali orang yang telah mati, namun ia mengetahui bahwa orang itu belum mati, dan dia mengetahui cara mengkondisikan orang itu agar sadar dan semua materi tubuh lainnya berfungsi.

Tidak heran, para pemeluk "firman Hyang Agung" menganggap "Hyang Agung" mereka, diyakini menghidupkan kembali orang mati, karena di dalam kitabnya tidak ada penjelasan rinci proses dan kriteria kematian dalam hakekat yang sesungguhnya. Semua kasus, seolah terjadi secara "generatio spontanea" (tiba-tiba terjadi), padahal saudara pembaca pasti telah mengetahui dari pelajaran di sekolah bahwa teori generatio spontanea ini telah dipatahkan para ilmuwan jauh sebelum buku pemeluk firman Hyang Agung ini diterbitkan.

Saudara pembaca… kematian merupakan sifat alamiah bagi semua yang berpadu/lahir. Tidak ada satu pun yang lahir tidak mengalami kematian. Bahkan yang dipraanggap Hyang Agung yang menghidupkan orang mati pada kasus di atas itu pun tak luput dari kematian.

Bagi saudara-saudara yang berminat untuk mendalami lebih jauh akan proses Jivita Rupa, proses kematian dan proses kelahiran dalam hakekat yang sesungguhnya, dapat menyimak ringkasan pelajaran hakekat yang sesungguhnya (Abhidhammatthasangaha), yang merupakan pengantar di dalam mempelajari salah satu bagian Kitab suci umat Buddha, Tipitaka, yaitu Abhidhamma Pitaka. Dengan menyimak uraian ini diharapkan para pembaca tidak terjebak oleh keindahan "mukjizat" dan tidak terpincut oleh "kesaksian" para pihak yang "pernah" melihat/mengalami mukjizat.

Epilog
Saudara-saudara… secara menyeluruh dan hampir merata, masyarakat Indonesia sedang dirundung `malang', kelaparan, kemiskinan, penyakit, gangguan, ancaman, dan sebagainya. Banyak di antara mereka mencari "Mukjizat" instan, dan kemudian memberikan "Kesaksian" bila tercapai atau kadang "direkayasa" untuk bersaksi demi se-onggok kekayaan anicca atau nama harum relatif; tidak terkecuali umat Buddha, banyak juga yang terbawa arus ini. Dengan mengikuti uraian di atas, diharapkan umat Buddha tidak mencari "Mukjizat dan memberikan kesaksian" di luar. Carilah mukjizat di dalam diri sendiri dan bersaksilah kepada diri sendiri …. Mukjizat yang realistis dapat terjadi tergantung kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk munculnya. Kondisi kemunculan mukjizat tersebut, justru berada sangat dekat, di dalam diri sendiri, yaitu perbuatan kita masing-masing, baik perbuatan melalui pikiran, tindakan jasmani maupun perkataan. Faktor-faktor lain hanyalah kondisi pendukung yang harus sinkron dengan perbuatan tersebut. Semoga Dhamma menjadi berkah mulia bagi kita semua di dalam mengarungi lautan kehidupan. Semoga semua makhluk berbahagia. (SR)

Bahan Bacaan:
  • Baptist, E.C. 2001. Abhidhamma Bagi Pemula (Terj. Selamat Rodjali). Tanpa Penerbit.253 hal. Buddhagosa. 1956. The Path of Purification (Visuddhimagga) Terj. Nanamoli. Buddhist Pubblication Society, Sri Lanka. 885p.
  • Clare Prophet, Elizabeth. 1987. The Lost Years of Jesus. Summit University Press, New York. 447p.
  • Kaharuddin, J. 1989. Abhidhammatthasangaha I. Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, Jakarta. 187 hal.
  • Piyadassi. 1999. The Book of Protection. Buddhist Publication Society, Sri Lanka, 138p
  • Tony, Daud. 2002. Rahasia Kesembuhan Ilahi. Bethlehem Publisher, 86 hal.
  • Tanpa nama. 2002. Mukjizat Bukan Monopoli Orang Kristen. Website terangdunia.com. 1 hal.
 
[ Dikutip dari Majalah Dhamamcakka ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar