Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Jumat, 25 Februari 2011

Sakyamuni Buddha: Guru Kita Yang Sebenarnya oleh Yang Mulia Bhiksu Ching Kung

 
Sakyamuni Buddha: Guru Kita Yang Sebenarnya
Oleh Yang Mulia Bhiksu Ching Kung
 


      
Buddhisme adalah ajaran tentang lingkungan kehidupan di sekitar kita dan diri kita sendiri. Buddha mengajarkan kita untuk mengenal diri kita sendiri; pikiran, perkataan dan perbuatan kita serta yang lebih penting adalah akibat yang dapat ditimbulkannya. Buddha menginginkan kita untuk mengembalikan keaslian dan kebijaksanaan diri yang sempurna. Beliau mengajarkan bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk mencapai pengertian akan hidup dan alam semesta yang sempurna dan hanya karena ilusi yang membuat kita tidak sanggup menyadarinya. Kita dibutakan oleh diskriminasi, pemikiran yang tidak menentu dan keterikatan serta melupakan pemikiran murni kita yang sesungguhnya tentang diri kita. Dengan cara  ini,   kita  telah menyebabkan penderitaan yang tidak perlu pada diri kita sendiri.

 
      Buddha juga mengajarkan kita untuk memandang lingkungan hidup kita dengan jelas. Lingkungan meliputi semua obyek yang kita jumpai setiap hari. 

       Ketika hati kita bebas dari pikiran diskriminasi dan keterikatan, kita akan dapat melihat segala sesuatu dengan jelas dan berhubungan dengan mereka secara benar. Dengan demikian, kita dapat hidup harmonis dengan yang lain dan berhasil dalam semua usaha kita.

       Apa maksud Buddha ketika mengajarkan kita untuk menanam? Keinginan utama agar kita terhindar dari kekeliruan  dan keterikatan. Jika kita menyimpulkan Enam Praktek Dasar yang diajarkan Buddha, kita akan menyadari bahwa perbuatan memberi merupakan praktek yang terpenting. Memberi secara sederhana dapat diartikan sebagai melepaskan. Jika kita dapat melepaskan ketamakan, kemarahan dan kebodohan dan keangkuhan, maka kita akan selalu berpikir dengan jernih. Jika kita dapat melepaskan semua perbedaan, kesusahan dan keterikatan, kita akan mencapai kedamaian, kebebasan spiritual, kesehatan dan umur yang panjang. Jika kita dapat melepaskan pandangan kita sendiri dan bekerja sama demi kepentingan orang lain, kita akan mencapai keselarasan dengan hidup orang lain, masyarakat dan akhirnya dunia yang damai. Dari sini, kita dapat melihat bahwa dasar utama dari ajaran Buddha tidak lain adalah memberi.

       Pada waktu Buddha Sakyamuni masih ada di dunia, Beliau tidak hanya menggunakan kata-kata untuk mengajar, tetapi membuat dirinya sendiri sebagai contoh bagi semua makhluk hidup untuk diteladani. Beliau melepaskan   semua    keinginan, kesenangan duniawi, popularitas dan kekayaan dengan meninggalkan rumah. Beliau hidup sederhana., murni dalam pikiran dan jasmani dan bahagia. Orang biasa mungkin akan melihat hal ini sebagai kepahitan dan menyedihkan, tetapi ini hanya disebabkan oleh kekurangpahaman mereka. (Seseorang yang bijaksana akan memandang hal dengan berbeda).  Orang yang bijaksana akan melihat kehidupan Sang Buddha sebagai sebuah kebebasan yang sebenarnya, kebahagiaan dan pemenuhan hidup. Buddha tidak mempunyai pikiran yang tidak berguna, membeda-bedakan, terikat atau kesusahan. Betapa senangnya Beliau! Beliau sesuai dengan semua kondisi dan memancarkan kebijaksanaan dalam setiap pikiran dan tindakan untuk mengajar semua makhluk berperasaan di dunia ini. 

       Para Buddha menjalani hidup dengan kebijaksanaan, sementara orang biasa menjalani hidup dengan penderitaan. Ajaran Buddha Sakyamuni menunjukkan kepada kita bagaimana mengubah hidup penuh derita menjadi hidup penuh kebijaksanaan. Dari ajaran ini, kita akan belajar bagaimana mengubah hidup derita menjadi hidup penuh kebijaksanaan. Dari ajaran ini, kita akan belajar bagaimana memperoleh kebijaksanaan yang sempurna dan kemampuan dari sifat dasar kita sendiri, yang akan membuat kita mampu mencapai jalan kebahagiaan dan kemakmuran yang sebenarnya. Inilah yang disebut dengan Ajaran Sang Buddha
 
Sumber Asli: Art of Living BAB I Saykamuni Buddha, Our Real Teacher. Diterbitkan oleh Amitabha Buddhist Society                       Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Bodhi Buddhist Centre Indonesia.

Kamis, 24 Februari 2011

Berlatih Meditasi Oleh Yang Mulia Olanda Ananda Thera



Berlatih Meditasi
Oleh Yang Mulia Olande Ananda Thera
 

Pembicaraan tentang meditasi adalah tidak sama dengan mempraktekkan meditasi. Kadang-kadang kita membutuhkan beberapa petunjuk dalam melakukan meditasi, karena kita tidak selalu mengetahui bagaimana cara untuk bermeditasi. Oleh karena itu, pada malam hari ini saya akan mengajarkan kalian cara untuk bermeditasi. Duduklah dengan tenang dan dengarkan instruksi-instruksi berikut dengan baik. Sebelum memulai latihan meditasi yang akan saya ajarkan ini, kita akan melaksanakan Metta Bhavana (Pengembangan Cinta-Kasih Universal), dan setelah itu kita aka berlatih Anapanasati Bhavana atau Pengembangan Kesadaran pada nafas. Pada latihan Anapanasati tersebut, kita bukannaya mencona utnuk masuk pada keadaan yang tanpa sadara ataupun mencapai jhana-jhana, tetapi kita akan berlatih Satipatthana Bhavana (Pengembangan Kesadaran); dan sebagai langkah pertamanya adalah melatih Anapanasati (perhaan pada Pernafasan). SATI artinya Perhatian Murni atau Penyadaran Jeli atau Kesadaran (mindfulness), PATTHANA artinya dasar. Jadi Satipatthana artinya Dasar dari Kesadaran.

Apakah Dasar dari Kesadaran itu? Dasar dari Kesadaran adalah Badan jasmani kita, Perasaan, pencerapan/pengalaman, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran kita sendiri. Singkatnya, kita menyadari Pancakkhanda kita atau nama-rupa. Tujuan dari latihan ini adalah untuk belajar dapat melihat benda-benda sebagaimana mereka adanya.

Meditasi bukanlah semacam cara untuk melarikan diri dari kenyataan menuju fantasi atau khayalan. Sang Buddha mengajurkan kita untuk berlatih dan melihat benda-benda sebagaimana mereka sebenarnnya, atau dalam Bahasa Pali disebut Yathabutanana Dassana. Untuk dapat melihat benda-benda sebagaimana mereka adannya. Dibutuhkan adannya pikiranyang jernih, pikiran yagn tenang,dan pikiran yang bebas dari konsep-konsep, ide-ide, atau prasangka-prasangka. Bila dalam pikiran kita muncul ide-ide atau konsep-konsep atau angan-angan, maka kita harus menyadari bahwa kita sedang berpikir, bahwa kita sedang berfantasi, atau kita sedang melihat gambar dalam batin kita. Gambaran-gambaran batin tersebut memang betul adalah gambaran batin, tetapi mereka bukanlah sesuatu yang riil/nyata.

Juga misalnya bila kita mengalami perasaan nyaman, tidak nyaman, atau netral, mereka itu memang benar perasaan, tetapi hanya perasaan bukan aku, diriku atau milikku. Kalau muncul rasa nyaman, catat itu dalam batin: perasaan…… perasaan….. perasaan, kemudian kita jangan melekat kepada perasaan nyaman tersebut. Demikian juga bila anda mengalami rasa tidak nyaman misalnya sakit, maka cobalah untuk melihatnya sebagai: perasaan…. Perasaan……. Perasaan, dan jangan membenci kepada perasaan sakit tersebut. Jadi kita jangan mencoba untuk menekan perasaan itu, juga jangan melekat kepada perasaan itu, tetapi amatilah perasaaan tersebut saat ia muncul, saat ia bertahan sejenak, dan saat ia lenyap. Dengan demikian kita akan melihat ketidak-kekalan dari perasaan.

Kejadian seperti pada perasaan tersebut, juga berlaku untuk segala sesuatu yang kita lihat, kita dengar, kita cium, kita kecap, kita sentuh, dan kita pikirkan. Semua itu hanya muncul, bertahan sejenak, lalu lenyap.

Jadi tujuan utama dari latihan ini adalah untuk belajar hidup dengan penuh kesadaran, sadar dari waktu ke waktu. Tidak hanyut oleh kejadian-kejadian yang telah lampau dengan melekati atau menyesalinya, ataupun hanyut oleh angan-angan ke masa yang akan datang dengan pengharapan dan rasa cemas; tetapi kita sadar dari waktu ke waktu, apa yang sebenarnya terjadi disini sekarang.

Dengan demikian kita dapat mengetahui banyak hal - keseluruhan Dhamma-, yang sesungguhnya terkandung di dalam jasmani dan batun atau Pancakkhanda kita masing-masing. Kita tidak harus membaca banyak buku untuk menemukan apa sesungguhnya hidup dan kehidupan itu, tetapi kita dapat membaca 'buku' kita sendiri dengan mengamati pikiran, perasaan dan jasmani kita. Pengetahuan yang kita peroleh lewat meditasi ini disebut kebijaksaan (wisdom) atau Pengetahuan pandangan terang (Vipassana Nana), atau Pengetahuan yang dalam (Insight knowledge) atau Kebijaksaan yang tinggi (Insight wisdom). Kebijaksanaan atau pengetahuan yang tinggi tersebut atau penglihatan terhadap benda-benda sebagaimana mereka adannya itu dapat membantu kita untuk terbebas dari bebas keserakahan, kebncian, dan kebodohan/pandangan keliru, dan kemudian dapat membuat kita menjadi bahagia, damai, bebas dari beban-beban karma lampau kita. Dan hal tersebut bahkan dapat menolong kita untuk merealisasi Kebenaran Tertinggi (Unconditon Truth) dan Kedamaian Tertinggi (Highest Peace), yang mengatasi semua pengertian biasa yang ada didunia ini.

Jadi sekarang silakan kalian mengambil posisis duduk yang enak, dimana kalian dapat merasa seimbang/mantap, lalu dudujklah dengan tegak, tetapi tidak kaku. Letakkan tangan kiri dibawah tangan kanan, dan telapak tangan mengahadap keatas. Pejamkan mata, tetapi biarkan ia tetap rileks.

Pertama-tama, marilah kita kembangkan Metta atau perasaan Cinta-kasih Universal kepada semua makhluk, dimula dari diri kira sendiri. Masing-masing kembangkan Metta dengan memikirkan dan mengharapkan:

Semoga saya terbebas dari kemarahan dan ketakutan.…….…(diam sejenak)

Semoga saya terbebas dari keserakahan, kebencian, dan kegelapan.………(diam sejenak)

Semoga saya terbebas dari pertentangan dan penderitaan……(diam sejenak)

Semoga saya sejahtera, damai dan bahagia………(diam sejenak)

Semoga saya selamat dan bahagia………(diam sejenak)

Semoga semua makhluk, yang dekat maupun yang jauh, terbebas dari pertentangan dan penderitaan………(diam sejenak)

Semoga semua makhluk, manusia, binatang, yang tampak maupun yang tidak tampak, hidup sejahtera, damai dan bahagia. ………(diam sejenak)

Semoga semua mkhluk, di semua jurusan, di atas, di bawah, di sekeliling kita, yang dekat maupun jauh, selalu selamat dan bahagia. ………(diam sejenak)


Sekarang marilah kita alihkan perhatian kita, pertama-tama ke jasmani kita, yang duduk disini, dengan merasakan bagaimana jasmani yang menyentuh lantai dan merasakan keseluruhan jasmani dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah (ujung jari kaki).

Juga kita sadar akan suara-suara yang ada disekitar kita, demikian juga keheningan yang ada di sekitar kita maupun di dalam diri kita. ………(diam sejenak)

Kemudian pergunakan Sati (Perhatian Murni) anda, pusatkan Perhatian anda, mula-mula naik dari bawah menuju ke atas badan, ke arah hidung (lubang hidung). Coba rasakan nafas anda; tariklah dua sampai tiga kali nafas panjag untuk merasakan udara yang menyentuh lubang hidung.………(diam sejenak)

Setelah menarik nafas panjang tadi dan anda dapat merasakan sentuhan udara di lubang hidung tersebut, sekarang bernafaslah seperti biasa (normal). Pusatkan perhatian anda pada lubang hidung, rasakan nafas masuk dan nafas keluar yagn selalu menyentuh titik tersebut. Kita jangan memaksakan nafas kita, Juga kita jangan mengikuti jalannya nafas yang masuk dan keluar, tetapi pusatkan perhatian anda hanya pada satu titik di lubang hidung anda. Kemudian cobalah lihat perasaan kita ketika permulaan, pertengahan dan akhir dari masing-masing nafas yang masuk dan keluar. ………(diam sejenak)

Dengan tenang, teruskanlah latihan ini untuk beberapa menit………(diam selama sekitar 10 menit)

Kadang-kadang pikiran anda tidak bisa tetap tnggal pada objek (nafas), tetapi mulai mengembara ke masa lampau atau ke masa yang akan datang. Jangan cemaskan hal itu, itu adalah wajar, alamiah, dan merupakan kondisi dari pikiran. Cobalah untuk menyadari secepat mungkin pikiran anda yang mengembara itu. Jangan melekat kepada bentuk-bentuk pikiran yang muncul, juga jangan mengutuk atau marah kepada bentuk-bentuk pikiran tersebut. Yang perlu anda lalukan hanyalah mencatatnya dalam batin: berpikir……. berpikir……. berpikir……., kemudian biarkan pikiran tersebut lewat/lalu. Lalu coba kembalikan perhatian anda kepada obyek semula, yaitu anapati (nafas): nafas masuk dan nafas keluar………(diam sejenak)

Kadang-kadang anda mungkin akan mendengar suara-suara tertentu di sekitar anda. Cukup anda sadari: mendengar….. mendengar…. mendengar. Apabila anda mendengar suarau-suara, jangalah sampai pikiran anda terbawa atau hanyut ileh suara tersebut. ………(diam sejenak)

Kadang-kadang anda akan merasakan sakit pada jasmani anda dan tidak dapat berkonsentrasi pada nafas - karena sakit di badan lebih kuat daripada obyek nafas nada -, cobalah untuk tidak mengubah posisi anda dengan seketika, tetapi pakailah perasaan sakit tersebut sebagai obyek yang jelas dari Perhatian anda. Jika anda tidak dapat merasakan nafas, tetapi merasakan sakit tersebut, bergembiralah karena anda sedang mendapatkan obyek yang jelas, dan menyadari bahwa perasaan itu yang dominasi sekarang. Biarikan ia terasa dalam kesadaran anda. Janganlah mencoba untuk melawannya atau menekannya, atau marah padannya - karena ia tidak menyenangkan-, tetapi cukup anda catat dalam batin: merasa sakit…. merasa sakit…… merasa sakit.

Kemudian ingatkan diri anda bawah nafas anda masih tetap berlangsung di sana (di lubang hidung), kemudian kembali arahkan pikiran anda ke lubang hidung. ………(diam sejenak)

Nafas yang tadi telah berlalu, nafas yang berikut belum hadir, tetapi anda dapat merasakan nafas yang sekarang. Setiap saat nafas yang berbeda akan masuk dan keluar.

Sekarang, sebelum kita mengakhiri latihan meditasi ini, marilah sekali lagi kita kembangkan Cinta-kasih Universal (Metta) kepada semua makhluk dengan mempraktekkan Metta Bhavana menurut cara anda masing-masing untuk beberapa menit.

Semoga semua makhluk sejahtera, damai dan bahagia………(diam sejenak)

Semoga semua makhluk selamat dan bahagia………(diam sejenak)


Sekarang, sebelum anda membuka mata anda, sadarilahj suara-suara ataupun keheningan yang ada disekitar anda dan di dalam diri anda. Kemudian rasakan jasmani anda yang sedang duduk di sini sekarang. Sambil menikmati kedamaian dan kebahagiaan, perlahan-lahan bukalah mata anda dan rileks-lah. (Latihan selesai)

[ Dikutip dari Mutiara Dhamma IV>(Sumber: khotbah Ven. Olande Ananda Thera di Denpasar tanggal 24 Nov 1991 ]

Senin, 21 Februari 2011

Belajar dan Mengalami

 
Belajar dan Mengalami
Oleh: Yang Mulia Ajahn Chah
 

Mari kita membahas tentang perbedaan antara belajar teori Dhamma dengan melaksanakan Dhamma. Belajar Dhamma yang benar hanya mempunyai satu tujuan yaitu untuk menemukan suatu jalan keluar dari ketidak-puasan kehidupan kita dan untuk mencapai kebahagiaan dan kedamaian untuk diri kita sendiri dan semua makhluk. Penderitaan kita mempunyai sebab untuk muncul dan berlanjut. Marilah kita menyadari proses ini. Apabila hati kita sedang tenang atau diam, ia disebut berada dalam keadaan normal; apabila pikiran bergerak, bentuk-bentuk pikiran lalu muncul. Kebahagiaan dan kesedihan merupakan bagian dari pergerakan sang pikiran, dari bentuk-bentuk pikiran yang tercipta. Begitu pula dengan ketidak-tenangan, nafsu keinginan pergi kesana-kemari. Jika engkau tidak mengerti pergerakan tersebut, engkau akan terperangkap di dalam bentuk-bentuk pikiran dan berada di dalam kekuasaannya.

Oleh karena itu, Sang Buddha mengajarkan kita untuk mengawasi pergerakan sang Pikiran. Dengan memperhatikan pergerakan pikiran, kita akan melihat sifat-sifat asalnya, yakni: selalu berubah-ubah, tidak memuaskan, dan kosong. Anda harus selalu waspada dan merenungkan fenomena-fenomena mental ini. Dengan cara ini, Anda dapat memahami proses Hukum Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan. Sang Buddha mengajarkan bahwa kebodohan adalah penyebab timbulnya seluruh fenomena duniawi dan seluruh keinginan kita. Keinginan menyebabkan timbulnya kesadaran, dan kesadaran seterusnya melahirkan pikiran dan jasmani. Inilah proses daripada hukum sebab musabab yang saling bergantungan.

Ketika pertama kali kita mempelajari agama Buddha, ajaran tradisi ini mungkin sangat masuk di akal kita. Tapi ketika proses tersebut terjadi di dalam diri kita, kepada mereka yang hanya membaca teori ajaran Sang Buddha maka mereka tak akan cukup cepat dapat mengikuti proses tersebut. Bagaikan sebiji buah yang jatuh dari pohon, kecepatan jatuh buah tersebut begitu cepat, sehingga bagi orang-orang tertentu tidak dapat mengatakan cabang-cabang mana saja yang dilewati oleh buah tersebut. Ketika perasaan senang muncul karena adanya kontak dengan sesuatu yang menyenangkan misalnya, maka mereka langsung diseret oleh sensasi dan tak dapat mengetahui bagaimana hal tersebut terjadi.

Sudah tentu, penjelasan secara sistematis mengenai proses yang terjadi ditulis dengan sangat tepat, tetapi pengalaman yang terjadi adalah di luar pelajaran yang tertulis. Pelajaran tertulis (teori) tidak dapat mengatakan kepada Anda bahwa "inilah" perasaan/pengalaman dari pengalaman timbulnya kebodohan; beginilah rasanya keinginan; inilah perasaan dari unsur-unsur jasmani dan batin yang berbeda-beda. Ketika Anda jatuh ke tanah dari dahan sebuah pohon, Anda tidak mengetahui dengan persis/detail berapa meter Anda jatuh; Anda hanya sadar sudah menyentuh tanah dan merasakan sakitnya saja. Tidak ada sebuah buku pun yang dapat menjelaskan hal tersebut.

Belajar Dhamma secara formal adalah dengan cara bertahap dan makin tinggi; tapi dalam kehidupan yang nyata ia tidaklah mengikuti alur jalan cuma satu. Itulah sebabnya, kita harus membuktikan/mengalami sendiri pada apa yang timbul dari dalam batin kita, dari kebijaksanaan kita yang paling dalam. Ketika kebijakan kita yang paling dalam —ia yang mengetahui—, mengalami kebenaran dari jalan hati/pikiran, akan menjadi jelaslah bahwa sang pikiran ternyata bukanlah diri kita. Bukan bagian kita, bukan saya, bukan milik saya, sehingga semua itu harus dibuang.

Seperti halnya yang telah kita pelajari tentang nama-nama dari semua unsur pikiran dan kesadaran, Sang Buddha tidak ingin kita menjadi melekat kepada kata-kata. Beliau hanya ingin agar kita melihat bahwa semua hal tersebut adalah tidak kekal, tidak memuaskan, dan kosong dari aku. Beliau mengajarkan hanya untuk melepas. Ketika hal-hal ini muncul, sadarilah mereka semua, dan ketahui mereka apa adanya. Hanya pikiran yang telah terlatih dengan sempurna yang dapat melakukan hal ini.

Bila pikiran sedang kacau, berbagai bentuk pikiran, rencana-rencana pikiran, dan reaksi-reaksi mulai timbul dari padanya, tumbuh dan berkembang terus-menerus. Biarkan saja mereka apa adanya, yang baik maupun yang buruk. Sang Buddha berkata dengan sederhana, "Biarkanlah mereka berlalu". Tapi bagi kita, adalah sangat perlu untuk mempelajari pikiran kita sendiri untuk mengetahui bagaimana caranya agar kita dapat melepaskan mereka.

Jika kita perhatikan model dari unsur-unsur batin, kita akan melihat bahwa ia mengikuti suatu pola yang alamiah: faktor-faktor mental adalah demikian, kesadaran muncul dan lenyap seperti ini, dan seterusnya. Kita dapat melihat di dalam latihan kita sendiri bahwa apabila kita mempunyai pengertian dan kesadaran yang benar, maka pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, dan kehidupan benar otomatis mengikutinya. Unsur-unsur mental yang berbeda-beda muncul dari sesuatu —sumber yang mengetahui tersebut. Sesuatu yang mengetahui tersebut adalah bagaikan sebuah lampu. Jika pengertiannya benar, pikiran dan faktor-faktor lainnya akan benar pula, bagaikan cahaya yang bersinar dari sebuah lampu. Apabila kita mengawasi dengan penuh kesadaran, pengertian benar akan tumbuh. Bila kita memeriksa segala sesuatu tentang hal yang kita sebut Batin, kita akan melihat bahwa ia hanya merupakan penggabungan dari elemen-elemen mental, bukan diri. Lalu di mana kita dapat berpegang? Perasaan, ingatan, semua dari 5 skandha batin dan jasmani, adalah berubah-ubah seperti daun yang melayang-layang ditiup angin. Kita dapat merealisasi hal ini melalui meditasi.

Meditasi adalah seperti sebatang pokok kayu. Insight dan pemeriksaan diri adalah ujung yang satu dari kayu tersebut; ketenangan dan konsentrasi adalah ujung yang lainnya. Jika anda mengangkat seluruh batang kayu tersebut, kedua ujungnya terangkat bersamaan. Yang mana konsentrasi dan yang mana Insight? Semuanya hanya sang batin itu sendiri.

Anda tak dapat benar-benar memisahkan antara konsentrasi, ketenangan di dalam, dan Insight. Mereka adalah seperti sebuah mangga yang pada awalnya hijau dan kecut, kemudian berubah menjadi kuning dan manis, tetapi bukan merupakan 2 buah yang berbeda. Satu mangga yang berubah menjadi lainnya. Dari yang satu berubah menjadi yang lainnya; tanpa awal, kita tak akan pernah mendapatkan yang kedua. Pelajaran atau teori seperti ini hanyalah kaidah-kaidah untuk mengajar. Kita tidak seharusnya melekat kepada kata-kata atau istilah-istilah. Satu-satunya sumber dari kebenaran yang sesungguhnya adalah dengan melihat langsung ke dalam diri sendiri. Hanya dengan cara belajar seperti ini yang memiliki akhir, dan merupakan cara belajar tentang nilai yang sesungguhnya.

Ketenangan dari pikiran pada tahap awal konsentrasi, muncul dari latihan yang sederhana dari pemusatan pada satu titik. Tetapi ketika ketenangan ini berlalu, kita menderita karena kita menjadi melekat terhadap ketenangan tersebut. Menurut Sang Buddha, pencapaian ketenangan bukanlah merupakan akhir dari latihan. Kelahiran dan penderitaan masih terus ada.

Oleh karena itu, Sang Buddha menggunakan konsentrasi ini, ketenangan ini, untuk perenungan yang lebih lanjut. Beliau menyelidiki kebenaran dari benda-benda/segala sesuatu sampai Beliau tidak lagi melekat kepada ketenangan. Ketenangan hanyalah salah satu kebenaran yang relatif, salah satu dari bentuk-bentuk mental yang sangat banyak, hanyalah merupakan suatu tahapan dari sang Jalan. Jika Anda melekat kepadanya, Anda akan menemukan bahwa diri Anda masih terikat pada kelahiran dan perwujudan, berlandaskan pada kesenangan di dalam ketenangan. Ketika ketenangan lenyap, ketidak-tentraman akan muncul, dan Anda akan semakin melekat kepada ketenangan tersebut.

Sang Buddha terus menyelidiki kelahiran dan perwujudan, untuk melihat dari mana asalnya. Ketika Beliau belum mengetahui kebenaran dari benda-benda, Beliau menggunakan pikirannya untuk menyelidiki lebih lanjut, untuk memeriksa semua unsur batin yang muncul. Apakah tenang atau tidak, Beliau terus menyelidiki, menembusi, sampai akhirnya Beliau menyadari bahwa semua yang Beliau lihat, kelima skandha dari jasmani dan batin, adalah bagaikan bola api yang panas. Apabila semua permukaan bola merah tersebut panas, di manakah akan Anda temukan tempat yang dingin untuk berpegang? Adalah sama dengan kelima skandha, memegang pada salah satu daripadanya hanya akan menyebabkan penderitaan. Itulah sebabnya, Anda tidak seharusnya melekat kepada apapun, bahkan terhadap ketenangan atau konsentrasi sekalipun. Anda tidak semestinya mengatakan bahwa kedamaian atau ketenangan itu adalah Anda atau milik Anda. Dengan melakukan hal tersebut, hanya menyebabkan munculnya kesakitan pada ilusi diri, dunia dari kemelekatan dan kekhayalan, merupakan bola api panas yang lainnya.

Di dalam melakukan latihan, kecenderungan kita adalah untuk meraih dan mengambil pengalaman sebagai Aku dan milikku. Jika Anda berpikir: "Saya tenang, saya gelisah, saya baik atau buruk, saya bahagia atau tidak bahagia", kemelekatan ini akan menyebabkan lebih banyak lagi perwujudan dan kelahiran. Bila kebahagiaan berakhir, penderitaan muncul; bila penderitaan berakhir, kebahagiaan muncul. Anda akan melihat diri Anda tak henti-hentinya terombang-ambing di antara surga dan neraka.

Sang Buddha melihat bahwa kondisi dari pikiran-Nya adalah seperti itu, dan Beliau tahu, karena adanya kelahiran dan perwujudan maka kebebasan-Nya belumlah komplit. Sehingga Beliau mengambil semua unsur pengalaman ini dan merenungkan intisari kebenaran. Disebabkan oleh keinginan, maka kelahiran dan kematian timbul. Menjadi senang adalah kelahiran; menjadi kesal/benci adalah kematian. Setelah mati, kita lalu lahir; karena lahir, kita lalu mati. Kelahiran dan kematian dari satu saat ke saat yang lain adalah bagaikan berputarnya sebuah roda yang tak ada akhirnya.

Sang Buddha melihat bahwa apapun yang timbul dari pikiran adalah bersifat sementara, keadaan yang berkondisi, yang sesungguhnya adalah kosong. Ketika ini jelas bagi Beliau, Beliau lalu melepaskan, membiarkan, dan menemukan akhir dari penderitaan. Anda juga harus mengerti kebenaran ini. Bila Anda memahami segala sesuatu sebagaimana adanya, Anda akan melihat bahwa unsur-unsur pikiran ini adalah penuh dengan tipuan; sesuai dengan ajaran Sang Buddha bahwa batin/pikiran ini adalah tidak memiliki apa-apa/kosong pada awalnya, tidak timbul, tidak lahir, dan tidak mati bersama siapapun. Ia bebas, bersinar, gemerlapan, dan tidak bergantung pada apapun. Sang Pikiran menjadi bergantung hanya karena ia salah dimengerti dan dibungkus oleh kondisi-kondisi fenomena ini, khayalan salah tentang sang Aku.

Oleh karena itu, Sang Buddha menasihati kita untuk melihat ke dalam batin kita. Apakah yang muncul pada awalnya? Sebenarnyalah, tak ada apapun. Kekosongan ini tidak muncul dan mati dengan fenomena-fenomena yang ada. Bila ia kontak dengan sesuatu yang baik, ia tidak menjadi baik; bila ia kontak dengan sesuatu yang buruk, ia tidak menjadi buruk. Batin yang murni mengetahui obyek-obyek ini dengan jelas, mengetahui bahwa mereka bukanlah sesuatu yang penting.

Apabila batin para meditator ada pada kondisi ini, tak ada keragu-raguan yang akan muncul. Apakah ada pewujudan? Apakah ada kelahiran? Kita tak perlu bertanya kepada siapapun. Setelah memeriksa unsur-unsur dari batin, Sang Buddha lalu melepaskannya dan menjadi orang yang semata-mata sadar tentangnya. Beliau hanya melihat dengan keseimbangan. Keadaan yang menyebabkan kelahiran tidak lagi timbul pada diri-Nya. Dengan pengetahuan-Nya yang komplit/sempurna, Beliau menyebut mereka semuanya tidak kekal, tidak memuaskan, kosong dari Aku/Diri. Itulah sebabnya, Beliau menjadi seorang yang tahu dengan sempurna/Maha Tahu. Seseorang yang mengetahui, akan melihat sesuai dengan kesunyataan dan tidak menjadi gembira atau sedih terhadap keadaan yang berubah-ubah. Ini adalah kedamaian yang sejati, bebas dari kelahiran, usia tua, kesakitan, dan kematian; tidak terpengaruh oleh Hukum Sebab Akibat, atau kondisi-kondisi, di luar kebahagiaan dan penderitaan, di atas baik dan jahat. Tak ada yang dapat diucapkan tentang hal tersebut. Tak ada kondisi yang mendorongnya lagi.

Oleh karena itu, kembangkan samadhi, ketenangan dan pandangan terang/Insight; belajarlah untuk membuat mereka muncul di dalam batin Anda dan benar-benar dapat memanfaatkan mereka. Bila tidak, Anda mungkin hanya tahu ajaran-ajaran teori agama Buddha dan tahu maksud-maksudnya dengan lengkap, kemudian pergi berkeliling menjelaskan sifat-sifat dari kehidupan. Anda mungkin menjadi pintar, namun ketika suatu hal timbul di dalam batin/pikiran Anda, apakah Anda akan mengikutinya? Ketika Anda kontak dengan sesuatu yang Anda senangi, apakah Anda seketika menjadi melekat? Dapatkah Anda melepaskannya? Ketika hal yang tidak Anda sukai timbul, apakah Anda (sesuatu yang mengetahui) memegangnya di dalam pikiran, atau apakah akan membiarkannya berlalu? Jika Anda melihat sesuatu yang tidak Anda sukai dan masih memegangnya atau membencinya, Anda harus sadar bahwa ini tidak benar, belum yang tertinggi. Jika Anda menyelidiki pikiran Anda dengan cara seperti ini, Anda pasti benar-benar akan memahaminya.

Saya tidak berlatih dengan menggunakan buku; saya hanya melihat kepada sesuatu yang mengetahui ini (batin). Jika ia membenci seseorang, tanyakan mengapa? Jika ia mencintai seseorang, tanyakan mengapa? Periksalah segala sesuatu yang timbul tersebut lalu kembalikan kepada asalnya, maka Anda akan dapat memecahkan masalah dari kemelekatan dan kebencian dan membiarkan mereka berlalu dari diri Anda. Segala sesuatu akan kembali dan muncul dari sesuatu yang mengetahui (batin). Dan mengulangi latihan adalah paling penting.

[Dikutip dari Mutiara Dhamma VI ]  

Sabtu, 19 Februari 2011

Bendera Buddhis

 
 
 
Bendera Buddhis
Oleh Hudaya Kandahjaya 
 


Bendera Buddhis resmi dipakai di hadapan publik untuk pertama kalinya pada suatu upacara Wiasak di Dipaduttararama, di Kotahena, Sri Lanka, tepatnya pada tanggal 28 April 1885. tanggal kelahirannya sendiri umumnya dikatikan dengan pemampangan wujud bendera ini di harian Sarasavi Sandaresa pada tanggal 17 April 1885. Sri lanka pada abad kesembilanbelas sedang bergolak menghadapi tantangan akibat kehadiran dan kegiatan misionaris kristen di pulau tersebut. Bendera Buddhis diciptakan untuk mempersatukan umat Buddha Sri lanka dalam menghidupkan kembali agama Buddha. bendera ini juga menjadi lambang kejaayn umat Buddha dalam gerakan tersebut. Belakangan, banyak cendekiawan menamakan gerakan ini sebagai gerakan agama Buddha Protestan.

Gerakan menghidupkan kembali agama Buddha itu antara lain dirumuskan oleh panitia Peringatan Waisak tahun 1880 di Colombo. Anggota panitianya adalah yang Arya hikkaduwe Sri Sumangala thera (ketua), yang Arya Mohottivatte (Migettuwatte) Gunananda Thera, Don carolis hewavitharana, Muhandiram, A.P. Dharmagunawardena, william de Abrew, Carolis Pujitha Gunawardena (Sekretaris), Charles A. de Silva, N.S Fernando, Peter de Abrew, dan H. William fernando. Diantara orang-orang ini Carolis Pujitha gunawardena yang seketaris sering dipandang sebagai perancang bendera buddhis, walaupun pada umumnya ada kecenderungan untuk memandang keseluruhan panitia penyelenggara perayaan Waisak 1885 sebagai yang berjasa bagi proses penciptaannya.

Kolonel Henry Steel Olcott pertama kali datang ke Sri Lanka bersama Madame H.P. Blavatsky, pendiri-pendiri Theosophical Society, pada tahun 1880. ketika bendera Buddhis pertama kali dikibarkan di Sri Lanka, Kolonel Olcott sedang berada di India. ia kembali ke Sri lanka dari India pada tanggal 28 januari 1886. ia mencatat kesan-kesannya begitu melihat bendera Buddhis berkibar di Kotahena. Menurutnya bentuk bendera itu kurang mengena atau serasi untuk dibawa dalam prosesi atau dipancang di rumah-rumah. Kolonel Olcott menyarankan agar bentuknya dibuat sebangun dan seukuran dengan bendera nasional. Sarannya diterima dan pada tanggal 8 April 1886 bendera gubahan baru dipampang kembali di harian Saravasi Sandaresa. bentuk inilah kemudian yang diperbanyak dikibarkan baik pada upacara Waisak 1886 maupun pada setiap vihara dan rumah-rumah di Sri Lanka.

Catatan Kolonel Olcott juga menyebutkan bahwa paduan warna yang terdapat dalam bendera Buddhis versi Sri Lanka adalah serupa dengan yang ada pada bendera yang dipakai Dalai Lama di Tibet. Dalam tradisi agama Buddha, kombinasi warna ini mengacu ke pancaran enam warna aura Buddha. Dalam literatur Sanskrit, ciri unik Buddha yang berupa enam warna cahaya Buddha ini disebut sadvarna-buddha-ramsi; kata ramsi merupakan metatesis dari rasmi). Enam warna itu secara berurutan adalah biru (nila), kuning (ita), merah (lohita) putih (odata), jingga (manjestha, paliL manjettha), dan campuran dari lima warna di atas (prabhasvara, Pali: pabbhassara). Dikatakan juga bahwa warna biru berasal dari rambut dan bagian biru dari mata, warna kuning berasal dari kulit dan bagian kuning dari mata, warna merah berasal dari daging, darah dan bagian merah dari mata, warna putih berasal dari tulang, gigi, dan bagian putih dari mata, dan dua warna lainnya berasal dari berbagai bagian tubuh Buddha. Lalu, formasi urutan warna ini bila dipasang bersebelahan dengan arca Buddha, warna biru menempati posisi diatas atau disebelah dalam.

Pada tahun 1889, Anagarika Dharmapala dan Kolonel Olcott memperkenalkan bendera ini ke Jepang dan selanjutnya ke Burma. Kemudian, sewaktu World Fellowship of Buddhists pada tahun 1950 bersidan di Colombo, atas permintaan Almarhum Profesor G. P. Malalasekera, bendera Buddhis diseakati untuk diterima sebagai bendera umat Buddha di seluruh dunia, Sejak saat itu bendera Buddhis yang berasal mula dari Sri Lanka ini meningkat kedudukannya sebagai lambang Buddhis internasional.
 
[ Dikutip dari Majalah Manggala Edisi September - Oktober 1999 ]

Jumat, 18 Februari 2011

Benarkah Aku Beragama Buddha

 
Benarkah Aku Beragama Buddha
Oleh: Sakyananda
 


Benarkah anda beragama Buddha ? Sebuah pertanyaan ringan, tapi sulit untuk dijawab dengan cepat, seperti kita menjawab pertanyaan berapa 2 x 2 ? Untuk menjawab pertanyaan ini kita memerlukan waktu untuk mengadakan perenungan dan intropeksi pada diri kita sendiri.

Banyak orang mengaku sebagai umat Buddha, tapi banyak pula yang belum mengetahui Dhamma yang diajarkan Sang Buddha guru junjungan kita. Banyak di antara mereka yang sering datang ke vihara hanya untuk bermain-main atau hanya sekedar ingin bertemu dengan kawan-kawannya yang berasal dari sekolah lain. Apakah ini yang dinamakan bhakti dan sembah sujud kita kepada Sang Buddha selaku umat Buddha ?

Dari ucapan seseorang kita dapat mengetahui kepribadian dan paham yang mereka anut. Alangkah sayangnya, jika seseorang diajak menyelesaikan suatu masalah mereka menjawab dengan jawaban yang tidak pernah ada didalam ajaran oleh Sang Buddha. Tak jarang pula diantara mereka yang mengaku sebagai umat Buddha , tapi sewaktu ditanya masalah Dhamma mereka memberikan suatu jawaban yang jawabannya tidak pernah diajarkan oleh Sang Buddha. Mereka sering mencampuradukkan istilah istilah yang ada di dalam agama lain kedalam agama Buddha.

Sebagai contoh, manusia setelah mati, sebelum dia masuk atau ditentuan masuk ke nereka atau ke surga, ia akan mengalami pengadilan untuk menimbang beratnya perbuatan baik-jeleknya selama hidup sebagai manusia. Pengertian ini tidak pernah ada didalam ajaran Sang Buddha. Kammanyalah yang menentukan seseorang itu dapat masuk ke surga, jika sering berbuat jahat (Akusala kamma) maka ia akan dilahirkan di alam neraka atau alam yang menyedihkan lainnya.

Hukum kamma tau yang lajim disebut hukum sebab-akibat, yaitu hukum alam yang mengatur segala sesuatu tindakan baik yang dilakukan oleh badan jasmani, ucapan dan pikiran yang akan membawa hasil. Dan hasil yang berupa akibat atau buah dari perbuatan kita itu akan buruk, jika kita melakukan perbuatan jahat. Dan akan berbuah dengan baik, jika kita melakukan perbuatan baik. Semua hasil perbuatan ini, baik yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan, kita sendiri yang harus menerimanya.

Mereka yang belum mengerti tentang Dhamma, tidak mau mengakui adannya hukum kamma ini, dan bahkan ada yang mempunyai anggapan bahwa perbuatan jelek atau kesalahannya itu dapat ditembus dengan mengadakan upacara sembahyang atau yang sering disebut dengan istilah pengampunan dosa. Kesalahan- kesalahan seperti diatas amat merugikan kita. Apalagi yang mengajukan pertanyaan itu adalah umat dari agama lain yang ingin mengetahui atau ingin mempelajari Dhamma Sang Buddha.

Sebab jika kita memberikan penjelasan yang salah, mereka juga akan memberikan jawaban yang salah jika ditanya oleh orang lain. Jika mereka sampai tahu bahwa apa yang kita katakan itu salah, maka mungkin saja mereka akan mencemoohkan kita dan akan mengejek atau menyebut kita dengan "Umat Buddha KTP" atau "Umat Buddha Statistik"

Atau bahkan mereka mengatakan "Pura-pura beragama supaya tidak dianggap komunis:, sebab di negara Indonesia kita ini semua orang wajib beragama. Ucapan tanpa tindakan tiadalah berarti. Ibarat intan permata yang indak namun tidak memancarkan sinar karena tidak pernah diasah.

Begitulah dengan kita, jika kita mengetahui dengan mengaku sebagai umat Buddha, maka kita yach.. mau tidak mau harus belajar Dhamma dengan baik. Tak cukup hanya belajar tanpa mau mempraktekkannya didalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari sebagai seorang umat Buddha yang baik. Dari tingkah laku dan tindakan kita yang mencerminkan sebagai umat Buddha yang baik, maka masyarakat disekitar kita akan mengetahui dan mengakui bahwa agama Buddha adalah agama yang besar.

Alangkah baiknya, jika kita hidup ditengah tengah masyarakat yang bebas dari cemohan ataupun menjelek-jelekan agama kita karena tingkah laku kita sendiri. Dengan demikian kita ikut menciptakan suasana rukun, tentram, dan damai diantara kita, sehingga akan terbina suatu masyarakat yang penuh toleransi dan rasa saling menghormati.

Pelajarilah Dhamma! Jika suara hatimu mengatakan "Aku umat Buddha atau aku siswa Sang Buddha", tunjukkan dengan ucapan dan perbuatan yang benar (yang sesuai dengan Dhamma Sang Buddha). Kita perlu membuktikan melalui ucapan dan perbuatan kita agar kita diakui dimasyarakat sebagai umat Buddha yang baik, bukan sebagai umat Buddha KTP.

Sekali lagi pelajarilah Dhamma, jika engkau memang siswa Sang Buddha dan praktekkanlah dalam kehidupan sehari-hari. Niscaya Anda akan hidup bahagia lahir dan bathin.


[ Dikutip dari Majalah Buddhis Sinar Buddha Edisi II ]  

Kamis, 17 Februari 2011

Bebas Dari Kejahatan

 
Bebas Dari Kejahatan
Oleh: U. HuseinPutta
 


Kejahatan Mengintai Kita", "Sadisme, Bentuk Kekerasan Baru", "Kekerasan Merebak" hanyalah sebagian dari sekian banyak ungkapan yang dapat dijumpai dalam media massa akhir-akhir ini. Memang, pelbagai bentuk kejahatan yang terjadi dimasyarakat luas tak pernah absen diberitakan media massa baik elektronik maupun cetak.

Namun, belakangan ini berita tentang merebaknya bentuk-bentuk kejahatan yang tercermin pada beberapa ungkapan diatas semakin hangat dibicarakan masyarakat luas dan menjadi polemik di media massa.

Tampaknya, jenis kejahatan dengan segala macam bentuknya semakin menggejala dan dahsyat. Kekerasan dan sadisme makin menggejala dan mengintai siapa saja. Terjadinya tindak kriminalitas yang kerapkali dikaitkan dengan tubuh kekar bertato, raut muka yang sangar, dan sorot mata yang keras bukan merupakan jaminan lagi. Pendapat ini bukan tanpa alasan. Dalam kenyataan sekarang, kejahatan yang disertai kekejian, kekejaman, dan tindak kesadisan yang luar biasa bisa dilakukan siapa saja; entah dia seorang guru, terpelajar, ibu rumah tangga, remaja, karyawan, kuli bangunan, pengemudi becak, atau bahkan sanak keluarga sendiri.

Tindakan sadisme para pelaku delik kejahatan akhir-akhir ini sudah barang tentu menjadi sorotan masyarakat luas. Betapa tidak! sudah cukup banyak korban berjatuhan akibat dari kejahatan yang semakin marak ini. Konon ini merupakan kenyataan baru yang harus dihadapi. Senada dengan ini, Prof.Dr. Asma Affan M. Nasution MPA seorang pengamat sosial dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan pernah berujar demikian:"Rakyat Indonesia dulu terkenal kelemahlembutannya, kini berubah kasar dan ganas". Nah, kalau begitu, wajarlah apabila timbul pertanyaan apa sesungguhnya yang sedang terjadi di masyarakat kita?.

Banyak para pakar dan pejabat kepolisian berpandangan bahwa kasus-kasus sadisme itu bermotif ekonomi. Ada pula yang mengatakan itu pengaruh televisi, film, dan video. Pendapat lain mengatakan tidak mesti semata-mata segi ekonomi. Dengan kata lain, tidak mesti kalau orang miskin menjadi penjahat. Situasi yang penuh persaingan, materialistis, ketidakpuasan pada diri sendiri,situasi kehidupan yang padat memang diakui mempunyai andil mendorong agresivitas meningkat yang dapat menimbulkan kejahatan. Ketimpangan ekonomi dan perubahan sosial kerapkali dijadikan faktor yang ikut berperan sebagai pemicu terjadinya kejahatan. Masalah ekonomi jelas tak kalah pentingnya dengan masalah lain dalam kehidupan umat manusia. Perubahan sosial akibat kemajuan zaman senantiasa menciptakan tantangan baru yang semakin kompleks bagi kehidupan umat manusia. Ada sementara orang tidak mempunyai kesulitan sedikitpun dalam segi ekonomi. Sebaliknya, ada yang sudah berupaya semaksimal mungkin namun kegagalan senantiasa menimpanya. Bagi mereka yang gagal ini bukanlah tak mungkin terpaksa harus mengambil "jalan pintas" untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Agama Buddha mengakui bahwa masalah ekonomi dapat menimbulkan tindakan kriminal. Dalam Kutadanta Sutta, Sang Buddha menyatakan bahwa kesejahteraan, kedamaian, dan kebersihan dari tindakan kriminal dapat diwujudkan dengan peningkatan penghidupan umat manusia. Sementara itu, dalam pandangan Agama Buddha paham "Roh" sesungguhnya merupakan biang keladi dari segala kejahatan di dunia ini. Sifat mementingkan diri sendiri dengan tidak segan-segan merugikan makhluk lain (Egoisme), keangkuhan, kesombongan, kecongkakan, dan banyak kekotoran batin lainnya, semuanya bersumber dari paham "Roh". Kebanyakan umat manusia tidak menyadari bahwa paham "Roh" adalah racun ganas bagi mereka. Pikiran negatif tentang adanya "Roh", "Aku", dan "Milikku" yang ditimbulkan dari paham tersebut merupakan sumber dari semua kejahatan dan perselisihan dalam dunia ini, dari perselisihan kecil dalam keluarga, sampai dengan tindakan kejahatan dan peperangan antar bangsa.

Tidaklah dapat ditelusuri sejak kapan gagasan tentang adanya "Aku/Roh" itu mulai muncul. Yang Jelas, gagasan ini diajarkan oleh kebanyakan kepercayaan dan keagamaan di dunia ini. Bagaimana pun, segala macam gagasan/paham "Aku" ditolak dalam agama Buddha.Jika dipercayai ada suatu "Diri/Aku" yang kekal, maka orang yang pada awalnya jahat akan tetap selamanya jahat. Kalau begitu, tentunya sangat sia-sia semua praktek keagamaan, terutama penempuhan kehidupan suci. Berdasarkan pengkajian dan pengalaman empiris,tertampak bahwa tiada suatu bukti apa pun yang dapat menopang adanya keberadaan "Aku" yang kekal. Paham "Aku" hanyalah suatu khayalan semata, yang timbul karena ketakpuasan hasrat rendah umat manusia apabila dalam dirinya tidak terdapat sesuatu yang kekal.Jadi, dalam realita tidak ada suatu "Roh", "Aku", atau "Diri"; yang ada hanyalah gagasan/konsep/paham "Aku" itu sendiri.

Apabila masih terdapat kemelekatan terhadap paham "Aku" dan ketergantungan terhadap pandangan sesat, selama itu pula muncul kesedihan, ratapan, penderitaan jasmaniah, duka-cita, dan keputusasaan. Apabila ada paham "Aku", timbullah kemelekatan bahwa ada aku miliknya. Oleh karena itu, sangatlah beralasan apabila Sang Buddha Gotama, berujar, "Duhai para Bhikkhu, Saya tidak pernah melihat adanya suatu teori "Roh" yang apabila diterima tidak akan menimbulkan kekecewaan, ratap tangis, kesedihan, kesengsaraan, dan penderitaan." (Alagaddupama Sutta, Majjhima Nikaya 22).

Ada tiga sebab-dasar yang membuat suatu makhluk melakukan kejahatan, yaitu: kelobaan atau kebencian, atau/dan kedunguan. Jenis kejahatan seperti pembunuhan, pemakian, itikat jahat mempunyai kebencian atau/dan kedunguan sebagai sebab-dasar; Pencurian, pendustaan, penghasutan, pengobrolan kosong mempunyai kelobaan atau kebencian atau/dan kedunguan sebagai sebab-dasar; Perzinahan, hasrat rendah, pandangan sesat mempunyai kelobaan atau/dan kedunguan sebagai sebab-dasar. Tak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan umat manusia masih memiliki kekotoran batin tersebut diatas. Namun, agama Buddha menolak kesahihan teori yang mengajarkan bahwa secara alami manusia pada dasarnya berdosa, dan untuk menjadi baik seseorang tidak dapat melakukannya dengan kemampuan dan kekuatan sendiri tanpa berdoa dan memohon bantuan dari Makhluk Adikodrati tertentu. Dampak negatif teori itu ialah merongrong keyakinan seseorang atas kemampuan diri sendiri untuk menghindari kejahatan, dan membuatnya bergantung pada makhluk lain bahkan untuk berbuat kebajikan.

Dalam pada itu, agama Buddha bertolak belakang dengan pandangan pesimis dan suram tersebut diatas. Justru untuk mengarahkan diri secara benar dalam arti segala perubahan dari sesuatu yang dipandang oleh agama, tradisi, dan kebudayaan sebagai hal yang negatif beralih ke hal yang positif, hal yang paling penting adalah haruslah dilakukan oleh diri sendiri. Usaha ini tidak mungkin dapat dilimpahkan atau diserahkan kepada orang lain. Agama Buddha mengajarkan umat manusia untuk dapat berdiri diatas kaki sendiri, dan membangkitkan keyakinan umat manusia akan kemampuan sendiri sehingga dapat menolong dirinya sendiri terbebas dari kejahatan. Dengan kalimat bersahaja yang mudah dimengerti, Sang Buddha bersabda: "Oleh diri sendiri kejahatan diperbuat. Karena diri sendiri seseorang menjadi ternoda. Oleh diri sendiri kejahatan tak diperbuat. Karena diri sendiri seseorang menjadi suci. Kesucian atau ketaksucian adalah milik masing-masing. Tak seorang pun dapat menyucikan orang lain." (Dhammapada, Atta Vagga 165). Selanjutnya dalam kesempatan lain, Beliau menyerukan demikian: "Menghindari kejahatan, dapatlah dilakukan. Apabila tidak dapat dilakukan, Saya tidak akan menganjurkan engkau untuk melakukannya. Tapi karena dapat dilakukan, Saya berkata padamu: 'Hindari Kejahatan'. Apabila dengan menghindari kejahatan akan membawa kehilangan dan kekesalan, Saya tidak akan menganjurkan untuk melakukannya. Tapi karena itu membawa keberuntungan dan kebahagiaan, Saya menganjurkan engkau: 'Hindari Kejahatan'."

"Mengembangkan kebajikan, dapatlah dilakukan. Apabila tidak dapat dilakukan, Saya tidak akan menganjurkan engkau untuk melakukannya. Tapi karena dapat dilakukan, Saya berkata padamu: 'Kembangkan Kebajikan'. Apabila dengan mengembangkan kebajikan membawa kehilangan dan kekesalan, Saya tidak akan menganjurkan untuk melakukannya. Tapi karena itu mem bawa keberuntungan dan kebahagiaan, Saya menganjurkan engkau: 'Kembangkan Kebajikan'." (Anguttara Nikaya I:58).

Segala jenis kejahatan adalah noda dalam dunia sekarang maupun mendatang. Kejahatan bukanlah suatu hal yang gampang dikendalikan. Karena itu orang bijak tak membiarkan kejahatan menyeretnya kedalam penderitaan sepanjang waktu. Manusia harus menyadari bahwa kelambanan dalam berbuat kebajikan akan membuat pikiran bergembira dalam kejahatan. Dengan demikian, bergegaslah dalam berbuat kebajikan dan cegahlah pikiran dari kejahatan. Apabila telah telanjur berbuat jahat, seseorang hendaknya tidak mengulangi kejahatan itu. Jangan pula membangkitkan kepuasan atas kejahatan itu. Sebab, penimbunan kejahatan mengakibatkan penderitaan.

Dan sebaliknya, apabila berbuat bajik, seseorang hendaknya sering-ering mengulangi kebajikan itu. Ia hendaknya merasa puas dalam kebajikan itu. Sebab, penimbunan kebajikan membuahkan kebahagiaan.(Dhammapada, Papa Vagga 117-118).

Pelaku delik kejahatan kerapkali tidak menyadari perangai buruknya. Perbuatan jahat yang kecil dianggapnya hal yang biasa. Mereka menjadi buta dan tidak menyadari bahwa sesungguhnya perbuatan tersebut sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kejahatan. Terdapat kemungkinan besar pelaku kejahatan melihat perbuatannya sebagai hal yang baik selama suatu kejahatan belum menimbulkan akibat. Akan tetapi, tatkala kejahatan itu menimbulkan akibat buruk, ia menyadarinya sebagai hal yang buruk. Selanjutnya, biasanya penyesalan akan timbul setelah seseorang menyadari bahwa dirinya telah berbuat kejahatan.

Penyesalan sesungguhnya suatu hal yang sama sekali tidak dianjurkan dalam agama Buddha. Mengapa demikian? Upaya 'menyadari kejahatan' dalam arti insaf/sadar hendaknya benar-benar dibedakan dengan 'menyesali kejahatan'. Penyesalan merupakan suatu pembentukan kamma buruk yang baru. Penyesalan adalah suatu keadaan batin yang berpadu dengan kemarahan, yang muncul bersama dengan kekecewaan. Penyesalan termasuk pikiran yang berakar pada kebencian, yang muncul karena memikirkan sesuatu yang tidak diharapkan atau dikehendaki. Sedangkan keinsafan kemunculannya terjadi pada saat seseorang dapat membedakan antara kebaikan dan kejahatan, dan berpihak pada kebenaran. Oleh karena itu, keinsafan adalah suatu pembentukan kamma baik yang baru. Perlu dicamkan bahwa suatu kejahatan yang telah telanjur diperbuat tidaklah dapat diubah menjadi suatu kamma baik kendatipun disesali sepanjang waktu. Penyesalan hanyalah akan memperberat suatu kejahatan. Seyogianya ia secepatnya menginsafi atau menyadarinya dan selanjutnya mengarahkan diri secara benar yang merupakan langkah awal yang mutlak harus dikerjakannya dalam upaya menuntun diri menuju kemajuan, peningkatan dan perkembangan batiniah yang pesat.

Dalam satu hal semua makhluk mempunyai persamaan, yakni mendambakan kebahagiaan dan senantiasa berusaha menghindari penderitaan. Bertolak dari pemahaman ini, kita dapat menyimpulkan bahwa segala hal yang dapat menyakitkan bagi diri sendiri juga akan menyakitkan bagi orang lain. Suatu perbuatan yang tidak dikehendaki dilakukan orang lain pada diri sendiri, hendaknya juga tidak dilakukan pada orang lain yang juga mereka tak kehendaki. Salah satu contohnya, kita dapat merenungkan demikian: "Saya menyenangi kehidupan, tidak mengharapkan kematian, menyenangi kenikmatan dan tidak menyukai penderitaan. Apabila seseorang bermaksud membunuhku, saya tidak menyukainya. Begitu juga, apabila saya bermaksud membunuh orang lain, dia juga tidak akan menyukainya. Sebab, sesuatu yang saya tidak sukai, pasti pula tidak disukai orang lain; bagaimana mungkin saya dapat membebani orang lain seperti itu?". Berdasarkan perenungan tersebut, seseorang hendaknya bertekad tidak membunuh, menganjurkan orang lain untuk demikian pula, dan senantiasa menghargai tekad itu. (Samyutta Nikaya V:354). Dengan kalimat yang tidak begitu berbeda, dalam Dhammapada, Danda Vagga 129-130, juga terdapat sabda Sang Buddha sebagai berikut: "Semua orang gentar terhadap hukuman, semua makhluk takut menghadapi kematian. Setelah membandingkan diri sendiri dengan yang lain, seseorang hendaknya tidak membunuh sendiri atau menyuruh orang lain untuk membunuh."

"Semua orang gentar terhadap hukuman, semua makhluk mencintai kehidupannya. Setelah membandingkan diri sendiri dengan yang lain, seseorang hendaknya tidak membunuh sendiri atau menyuruh orang lain untuk membunuh."

Dengan cara yang sama, dalam segala tindakan yang akan dilakukan hendaknya seseorang menyadari azas universalitas ini. Disamping itu, apabila manusia menganggap dirinya sebagai makhluk yang mempunyai peradaban luhur, maka menjadi tugasnya untuk melindungi, memelihara, serta membina kesejahteraan, kebahagiaan, kesentosaan dan perdamaian di dunia ini.

Umat manusia yang perkembangan batinnya belum sempurna memang mempunyai kecenderungan untuk berbuat kesalahan, kekeliruan, kekhilafan, kesilapan, kegalatan atau kejahatan. Namun, hal-hal semacam itu tidak seharusnya dibiarkan terjadi berulang-ulang dan terus menerus hingga menjadi kaprah. Upaya perbaikan dan notabene meningkatkan kebajikan, keluhuran, kemuliaan, dan keagungan yang telah dimiliki hingga menjadi sempurna ini sesungguhnya telah dikumandangkan Sang Buddha dalam Mangala Sutta. Usaha perbaikan tersebut dalam Mangala Sutta dikatakan "Mengarahkan Diri secara Benar". Bagi setiap orang yang mendambakan kemajuan, peningkatan dan perkembangan batiniah yang pesat, langkah awal yang mutlak harus dikerjakan adalah mengarahkan diri secara benar. Dengan mengarahkan diri secara benar tentunya tidak hanya membuahkan manfaat terbatas bagi diri sendiri saja, melainkan juga bagi orang-orang lainnya. Ditinjau dari segi sosial, seseorang yang mengarahkan diri secara benar tentunya tidak akan menjadi ancaman atau bahaya apa pun bagi masyarakat luas disekelilingnya. Bahkan lebih jauh dari itu, ia dapatlah dianggap telah ikut serta secara nyata dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera, bahagia, makmur, damai, dan sentosa.

Pengertian "Mengarahkan diri secara benar" mempunyai empat cakupan, yaitu: 1) Menyadari kejahatan yang telah muncul dalam dirinya, dan selanjutnya bertekad serta berusaha agar kejahatan yang sama tidak terulang lagi pada masa mendatang;2) Mencegah timbulnya kejahatan yang belum muncul;3) Menimbulkan kebajikan yang belum muncul dan 4) Mempertahankan atau mengembangkan kebajikan yang sudah muncul.

Beberapa contoh sikap yang nyata dalam mengarahkan diri secara benar misalnya, seseorang yang dahulunya tidak mempunyai kesilaan/kemoralan tetapi kemudian menjaga kesilaan; atau seseorang yang dahulunya tidak mempunyai keyakinan tetapi kemudian membangkitkan keyakinan; atau seseorang yang dahulunya kikir / pelit tetapi kemudian mengembangkan kemurahan hati atau kedermawanan; atau seseorang yang dahulunya jahat berubah menjadi baik,dari biadab berubah menjadi beradab, dari kejam berubah menjadi welas asih, dari culas berubah menjadi jujur, dari ceroboh berubah menjadi waspada, dari malas berubah menjadi rajin, dari berkhianat berubah menjadi berbakti, dari pemarah berubah menjadi penyabar, dari pendendam berubah menjadi pemaaf, dan lain sebagainya.

Dalam berbagai kesempatan, Sang Buddha senantiasa mengingatkan betapa penting upaya mengarahkan diri secara benar. Ini tertampak pada beberapa kutipan berikut ini:

"Pikiran yang terarahkan secara benar membuat seseorang menjadi mulia dan memperoleh pahala baik; melebihi apa yang dapat diberikan oleh ibu, ayah atau sanak keluarga." (Dhammapada, Citta Vagga 43)

"Menyadari bahwa diri sendirilah yang [paling] dicintai, seseorang hendaknya menjaga diri dengan baik. Orang bijak patut mawas diri kalau bukan dalam ketiga masa kehidupan, paling tidak dalam satu masa." (Dhammapada, Atta Vagga 157)

"Barangsiapa yang sebelumnya lengah tetapi kemudian mawas diri, ia niscaya menerangi dunia ini bagaikan bulan yang terbebas dari awan." (Dhammapada, Loka Vagga 172)

"Barangsiapa menanggalkan kejahatan yang pernah dilakukannya dengan berbuat kebajikan niscaya menerangi dunia ini bagaikan bulan yang terbebas dari awan." (Dhammapada, Loka Vagga 173)

Mengarahkan diri secara benar merupakan cara yang paling sangkil untuk meningkatkan kemajuan, peningkatan, dan perkembangan batiniah yang pesat yang dapat menciptakan kehidupan yang sejahtera, bahagia, makmur, damai, dan sentosa. Dengan menyadari manfaat yang besar tersebut, sudah selayaknya jika setiap orang berusaha mengarahkan diri secara benar. Memang, cukup sukar untuk dapat mengintrospeksi atau melihat kesalahan, kekeliruan, kekhilafan, kesilapan, kegalatan atau kejahatan yang terdapat dalam diri sendiri. Jauh lebih sulit lagi ialah memperbaiki kesalahan, kekeliruan.... atau kejahatan yang telah terlihat. Namun, ini semua bukanlah suatu hal yang mustahil. Senantiasa terpampang kesempatan yang luas bagi setiap orang untuk memperbaiki serta meningkatkan tataran batinnya hingga mencapai kesempurnaan. Kesempurnaan tidaklah dimonopoli oleh satu makhluk tertentu saja.

Dalam keadaan merebaknya kejahatan yang menjadi bagian kenyataan kehidupan masyarakat kita, peranan agama benar-benar sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan kesadaran dan keinsafan akan pentingnya nilai-nilai moral, nilai-nilai kemanusiaan, dengan begitu masyarakat kita akan dapat menemukan, menegakkan dan membangun kembali identitas dan kepribadiannya. Kebenaran agamis tidak sangkil jika hanya disakralkan di tempat-tempat kebaktian; tetapi juga harus mampu diresapkan dan ditanamkan dalam sanubari mereka yang paling dalam sehingga apa pun pikiran, ucapan, dan tindakan yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari dimasyarakat luas dapat benar-benar terarahkan pada kebajikan. Untuk memenuhi tugas mulia ini, agama harus berusaha memulihkan keyakinan masyarakat akan pentingnya tanggung jawab moral, kepedulian sosial, dan pentingnya peningkatan penghidupan umat manusia dalam menciptakan kehidupan sejahtera, bahagia, makmur, damai, dan sentosa baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang; Suatu kehidupan yang bebas dari kejahatan atau setidaknya kejahatan tidak bersimaharajalela di dunia ini.

Tidak melakukan segala kejahatan, menyempurnakan kebaikan, dan menyucikan pikiran; inilah ajaran para Buddha."(Dhammapada, Buddha Vagga 183 )

Catatan:

Ungkapan 'kebajikan yang belum muncul' pada butir ketiga itu mencakup kebajikan duniawi yang belum pernah muncul dalam kehidupan sekarang, dan kebajikan-jalan (magga-kusala) yang belum pernah muncul baik dalam kehidupan lampau maupun sekarang. Kebajikan Jalan (magga-kusala) mempunyai empat tataran, yaitu: Sotapatti-magga, Sakadagami-magga, Anagami-magga, dan Arahatta-magga.

Ungkapan 'mengembangkan kebajikan yang sudah muncul' pada butir terakhir itu hanya semata-mata mencakup kebajikan duniawi seperti memberi dana, memelihara kesilaan, dan melatih meditasi yang pernah dilakukan baik dalam kehidupan lampau maupun sekarang. Ini sama sekali tidak merujuk pada kebajikan-jalan. Alasannya ialah bahwa suatu magga-kusala hanyalah mungkin muncul sekali saja sepanjang kehidupan suatu makhluk. Setelah muncul sekali dan segera lenyap kembali, kebajikan-jalan ini tidak akan muncul lagi. Hanya kebajikan-jalan yang lebih luhur tatarannya daripada kebajikan-jalan yang sudah muncul dalam dirinya saja yang mungkin bisa muncul.

Dalam Kitab Suci Dhammapada terbitan LPD Publisher, Jan Sanjivaputta mengulaskan bahwa kehidupan manusia terbagi menjadi tiga masa, yaitu masa kanak-kanak, masa dewasa, dan masa tua. Sungguh baik apabila seseorang dapat mawas diri dalam ketiga masa kehidupannya. Contohnya ialah Samanera Sopaka yang telah berhasilmeraih kesucian sejak berusia tujuh tahun. Dalam pada itu, kalauseseorang pada masa kanak-kanaknya tidak mawas diri karena suka bermain-main, ia hendaknya mawas diri dalam masa-masa lainnya. Demikian pula, apabila seseorang tidak mawas diri dalam masa kanak-kanaknya dan juga dalam masa mudanya karena sibuk merawat anak istrinya, ia hendaknya paling tidak dapat mawas diri dalam masa tuanya.

Sumber Acuan:
Harian Kompas; 12 & 13 Maret 1996.
Dasar Pandangan Agama Buddha, Ven. S. Dhammika.
Kitab Suci Dhammapada, Terbitan LPD Publisher.
MANGALA Berkah Utama, Jan Sanjivaputta.


[ Dikuti[ dari Gema Dhammavaddhana ] 

Rabu, 16 Februari 2011

Batin Kita Menjadi Sejuk Karena Dhamma

 
Batin Kita Menjadi Sejuk Karena Dhamma
Oleh: Yang Mulia Bhikkhu Cittaguna
 


Sabbam Rasam Dhammaraso Jināti, Sabbam Ratim Dhammaratī Jinatiti.


Rasa Kebenaran mengalahkan segenap rasa lainnya. Kegembiraan dalam Kebenaran mengalahkan segenap kegembiraan lainnya.
(Dhammapada. 354)
 
Sesuai dengan ajaran penyejuk rohani yang kita tekuni selama ini, sebagai pengikut yang setia, kita selalu menemukan bisikan-bisikan rohani yang membujuk kita untuk selalu sadar setiap saat. Mengapa demikian? Sebab, apabila kita tidak memperhatikan dan menyadari akan diri kita sendiri, kita cenderung mengambil sikap yang kita anggap baik dan benar namun sesungguhnya keliru. Mari kita telusuri dengan baik apa yang akan kita temukan di dalam uraian ini.

Batin tidak mengenal Dhamma jadi panas.
Jika seseorang tidak mengenal bahkan tidak mau mengenal dan justru cara hidupnya bertentangan dengan Dhamma, maka itulah yang menyebabkan dia tidak pernah hidup bahagia. Bagaimana bisa merasakan kesejukan Dhamma, cara untuk meraih dan menikmati kabahagiaan hidup itu sendiri tidak diketahuinya. Karena tidak dikenalnya cara yang sesungguhnya (cara yang baik dan benar) untuk mendapatkan hasil yang baik dan memuaskan, maka orang menempuh cara yang salah supaya bisa memiliki dan merasakan apa yang diinginkannya. Kalau ini yang terjadi, berarti orang semacam itu tidak mengetahui tentang kebenaran dan kenyataan bahwa hidup ini terjadi karena dikondisikan oleh pikiran. Pikiran yang tidak pernah dilatih dan tidak dikendalikan, akan menyebabkan pikiran itu sendiri menjadi liar sehingga semakin sulit untuk mengenal dan merasakan kepuasan.

Karena tidak pernah tersentuh oleh siraman air Dhamma sedikitpun, maka dapat kita bayangkan betapa panasnya pikiran manusia dalam kondisi seperti itu. Apabila kondisi yang panas tersebut tidak pernah diperhatikan dan tidak dibantu dengan memberikan kondisi yang baru dan dingin, maka kebakaran dan kehangusan terjadi di dalam sampai ke seluruh tubuh.

Seseorang yang memiliki kondisi seperti di atas tidak suka memberi, anadikata mau juga hanya memberi sesuatu yang dia sendiri terlebih dahulu sudah nikmati (sisa). Jadi dia mengembangkan sesuatu yang tidak baik. Di dalam bukunya, "Human Life and Problems", halaman 208, Bhante Dr. K. Sri Dhammananda Mahānāyaka Thero mengatakan, "Banyak orang yang harus mengalami frustrasi dan gangguan urat syaraf sebab mereka tidak pernah melatih pikirannya untuk merasakan kepuasan. Mereka hanya mengembangkan nafsu keinginan (tanha) demi kepuasan indria saja. Bagi mereka, pengembangan adalah hanya pengambangan tañha".

Untuk merasakan kegembiraan, orang seperti ini mengalami kesulitan dengan munculnya berbagai hambatan, tantangan dan gangguan yang bertubi-tubi. Meraih kesegaran batin jauh dari harapan yang mungkin ada pada dirinya.

Batin Sejuk karena Siraman Air Dhamma
Kita mengetahui bahwa di waktu kita merasa haus dan kepanasan, mengharapkan ada air minum dan air untuk mandi. Demikian pula bahwa kita bisa mengerti sesungguhnya batin kita setiap saat memerlukan siraman air Dhamma untuk mengkondisikan timbulnya kesegaran rohani. Kalau batin kita sering dikondisikan dengan diisi kebutuhan-kebutuhan yang dapat menyegarkan batin itu sendiri, maka kesejukan siraman air Dhamma akan dapat dirasakan sehingga kondisi baru yang sejuk dan segar itu akan membantu memper-tahankan ketenangan pikiran. Jika pikiran bisa bertahan dalam keadaan tenang cukup lama, maka ini pertanda bahwa pikiran itu sejuk.

Dengan kondisi yang sudah dalam keadaan sejuk dan tenang, dan tetap dilatih serta dikendalikan dengan penuh pengertian, maka pikiran akan bisa diajak untuk berpikir dan bersikap menyesuaikan diri dengan segala keadaan. Seseorang akan bisa melakukan berbagai bentuk perbuatan baik bilamana pikirannya tidak kering lagi dengan siraman air Dhamma. Ia akan dapat dengan mudah mencerna berbagai hal yang perlu diproses dalam pikiran yang jernih dan akan dengan mudah pula mengambil keputusan yang sesuai. Oleh karena itu, ia dapat merasakan kesejukan Dhamma yang menjadi sumber keselamatan, kedamaian, kesejahteraan, keharmonisan dan kebahagiaan hidup yang sangat sulit untuk diperoleh. Semua itu memang timbulnya dari dalam diri sendiri yang bersumber dari pikiran tenang, bersih dan jernih, tanpa noda.

Dapat menikmati keindahan Dhamma
Dhamma yang kita pelajari, yang diwariskan oleh guru agung kita Buddha Gotama adalah indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, indah pada akhirnya. Artinya, Dhamma itu tidak pernah timbul kemudian bertahan dan lenyap. Dhamma bersifat universal. Buddha hanya menemukan Dhamma itu kemudian mengajarkannya kepada umat manusia dan makhluk lain di alam semesta ini. Jadi, walaupun tidak ditemukan oleh Buddha, Dhamma itu tetap ada. Dhamma itu bisa kita kenal karena ditemukan dan diajarkan oleh Buddha. Dhamma, yang dikatakan hanya dapat dimengerti oleh orang bijaksana itu, telah dibuktikan oleh orang bijaksana pula, yaitu para Ariya Sangha. Itulah sebabnya mengapa kita, sebagai umat atau pengikut Buddha, harus menyatakan berlindung kepada Tiratana, Buddha, Dhamma dan Sangha.

Supaya kita dapat menikmati keindahan Dhamma, memang kita harus mengenal Tiratana itu dengan baik dan sungguh-sungguh. Kita menjadi penganut Buddha Dhamma yang benar-benar, kalau kita bisa mengerti konsep yang sesungguhnya tentang Tiratana dan bisa melaksanakannya pula dengan sungguh-sungguh. Kita sebenarnya bisa berbuat baik seperti Buddha, walaupun sedikit demi sedikit, dengan mempelajari dan mengerti serta dapat mempraktekkan Dhamma Ajaran Beliau.Semua hal yang berkaitan dengan Dhamma yang ditemukan Buddha dapat dipelajari melalui guru Dhamma (para bhikkhu sangha) sekaligus tuntunan cara prakteknya yang baik dan benar.

Jadi, kalau kita ingin meraih kebahagiaan kita harus mencoba terlebih dahulu untuk memiliki batin yang sejuk. Untuk memiliki batin yang sejuk kita harus bisa menciptakan kondisi yang dapat menimbulkan ketenangan pikiran. Setelah itu baru kita akan dapat merasakan keindahan Dhamma sampai akhirnya pada tingkat kebahagiaan sejati.

Pikiran tenang, Pikiran sejuk, Pikiran bahagia.

[ Dikutip dari Berita Dhammacakka Edisi 31 Januari 1999 ]

Selasa, 15 Februari 2011

Bagaimana Mengajarkan Agama Buddha Kepada Anak


Bagaimana Mengajarkan Agama Buddha Kepada Anak
 

Eko:"Wah, pusing nih, besok kalau gue meninggal kayaknya kagak disembahyangi nih, habis pegang hio, pasang foto gue dibilangin sama anak tidak boleh"

Sue: "Bukan loe aja, kalau bini gua beli banyak buah-buahan buat sembahyang, anak gue kagak ada satupun yang mau makan, katanya nggak boleh karena bekas sembahyang. Jadi daripada mesti buang, akhirnya beli seadanya saja"

Sugi:"Itu mah belum parah, yang parah tuh kalau gue lagi sembahyang leluhur dibilangin lagi sembah berhala, entar bisa jatuh ke Neraka"

Contoh pembicaraan di atas adalah cuplikan yang tidak jarang kita dengar, saat kita melayat di rumah duka. Apakah hanya sebatas itu yang Anda harapkan dari anak Anda? Apakah Anda takut tidak ada yang menyembah-yangkan sesudah Anda meninggal, atau sekadar ingin dia hanya ikut pasang-pasang hio, dan sebagainya.

Tidak demikian, sesung-guhnya yang kita inginkan adalah agar anak kita dapat tumbuh menjadi anak yang baik, berbakti, pintar, bermoral, mempunyai ketahanan yang baik dalam menghadapi segala jenis masalah hidup, dan sebagainya. Aspek spiritual adalah aspek yang sangat mendasar dan paling penting dalam kehidupan baik bagi Anda maupun anak anda.

Masalah yang diungkapkan di atas, jika diartikan secara lebih khusus adalah, "Bagaimana orangtua Buddhis dapat mengajarkan ajaran Buddha dengan baik kepada anak-anaknya?"  

Pada kenyataaannya, aspek ini hampir terabaikan begitu saja. Bandingkan dengan para orangtua dari non-Buddhis, yang sejak kecil anaknya sudah dibaptis ataupun dipermandikan menjadi pengikut agama yang telah diyakini oleh orangtuanya. Orangtua Buddhis cenderung bersifat acuh tak acuh, dan dengan argumen bahwa biarlah kelak dia bisa memilih agamanya sendiri, yang penting semua agama sama, mengajarkan kebaikan. Apakah benar demikian?

Artikel ini dimaksudkan untuk dapat menjadi bahan perenungan bagi para orangtua Buddhis, yang sebagian disadurkan dari buku "How To Teach Buddhism to Children", Bodhi Leaves No.B.9. 1961, BPS, Sri Lanka (edisi ke-2, tahun 1975), karangan Dr. Helmuth Klar. Dari tahun penerbit dapat diambil kesimpulan bahwa sesungguhnya masalah ini telah lama menjadi topik yang begitu diperhatikan oleh para bhikkhu dan para pengikut Buddhisme di Srilangka maupun di dunia Barat.

Dalam makalahnya, Dr. Helmuth Klar berbagi pengalaman praktik dengan anaknya sendiri dan juga dengan anak-anak Barat lainnya, karena beliau tidak ingin berteori saja. Namun banyak sekali manfaat yang kita dapatkan dari pengalamannya tersebut.

Jika kita berada di negara Buddhis, di tengah-tengah tradisi Buddhis yang telah berabad-abad lamanya, posisi seorang anak Buddhis jauh lebih mudah. Namun tidak demikian dengan di Indonesia, di mana Buddhis merupakan minoritas dan dikelilingi oleh berbagai agama lain, sehingga dapatlah dimengerti peran orangtua merupakan faktor yang terpenting dalam menanamkan keyakinan pada anaknya.

Dan perlu disadari penanaman keyakinan pada anak kita secara otomatis akan berkaitan dengan cara hidup yang benar. Tanamkan keyakinan pada anak Anda sejak kecil mengenai kebesaran dan keagungan Sang Buddha.

Suatu ide yang sangat penting, bila sejak kecil anak-anak harus dilatih untuk yakin akan keagungan dan kemuliaan Sang Buddha. Penggunaan patung ataupun gambar Sang Buddha adalah suatu ide yang bagus untuk mengajarkan anak kita memberikan penghormatan kepada Sang Buddha, sebagai guru yang agung untuk manusia. Jelaskan bahwa itu bukanlah penyembahan berhala seperti yang sering diajarkan oleh para pendidik agama non-Buddhis yang mengharuskan anak kita mengikuti pelajaran agamanya di sekolah yang berada dalam naungan suatu agama tertentu. Penggunaan patung Buddha sebagai objek konsentrasi penghormatan kepada Sang Buddha akan menjadi lebih efektif mengingatkan kita kepda Sang Guru Agung dibandingkan simbol-simbol lain. Ibarat seseorang menyimpan foto orangtuanya akan memudahkan dia untuk mengingat sifat-sifat luhur orangtua dibandingkan dengan barang-barang yang langsung pernah diberikan kepadanya.

Demikian juga penghormatan terhadap anggota Sangha dengan bersujud ataupun bernamaskara, perlu dijelaskan bahwa itu merupakan cara penghormatan yang tidak lain seperti penghormatan pada tradisi-tradisi lain, dan bukanlah menyembah orangnya.

Aspek filsafat dari Buddhisme yang cenderung terlalu dalam untuk dimengerti anak-anak dapat dituangkan dalam upacara-upacara sederhana yang lebih praktis untuk anak-anak. Latihlah anak-anak untuk melakukan upacara-upacara sederhana seperti persembahan air, dupa, lilin, ataupun bunga di altar patung/gambar Sang Buddha. Bahkan perlu juga dijelaskan secara seder-hana arti dari per-sembahan-persembahan tersebut. Dengan demikian akan mengembangkan kebiasaan menghormat dan merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha sejak kecil.

Memberikan visudhi kepada anak juga merupakan suatu hal yang sangat baik untuk mempertebal keyakinan kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Memberikan contoh yang baik

Cara penanaman keyakinan sesungguhnya sangat tergantung pada usia anak-anak kita, namun satu hal yang pasti dan paling penting adalah bila orangtuanya hidup sesuai Dhamm. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa anak-anak cenderung akan mengikuti apa yang dilihat dan didengarnya saat itu juga.

Penanaman keyakinan kepada anak sangatlah tergantung pada seberapa besar orangtuanya merealisasikan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari. Contoh sederhana, orangtua (ayah dan ibu) yang tidak berbakti kepada orangtuanya (nenek dan kakek), akan menyebabkan anak-anaknya cenderung akan meniru sifat orangtuanya dan akan mengakibatkan penanaman sifat tidak berbakti dari sang anak kepada orangtua, yang sangat bertentangan dengan Dhamma.

Anda harus merealisasikan Dhamma dan tidak sekadar pembicaraan saja untuk dapat membuat diri Anda hidup dengan cara benar sehingga membawa kebahagiaan bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, khususnya keluarga. Dengan cara itu berarti Anda telah memberikan contoh yang baik kepada anak Anda.

Menyampaikan cerita-cerita Buddhis kepada anak Anda

Anak-anak umum-nya suka dengan berbagai macam cerita, adalah suatu usaha yang baik, di mana orangtua Buddhis dapat menyisakan waktu sedikit, apakah setiap hari, dua hari sekali ataupun seminggu sekali, membacakan cerita-cerita Buddhis yang ringan, sesuai dengan usia anaknya, sehingga secara bertahap menanamkan keyakinan pada Buddha Dhamma lewat intisari cerita-cerita tersebut. Dapatlah diambil contoh, cerita-cerita Buddhis seperti Jataka, kisah asal usul syair Dhammapada (Dhammapada Atthakata), Petavatthu (cerita kisah peta), Vimanavatthu (cerita kisah dewa/dewi), kehidupan Pangeran Siddhattha hingga mencapai Buddha, kehidupan sosial selama kehidupan Sang Buddha, dan masih banyak lagi.

Karena secara psikologi anak-anak, mereka akan lebih mudah mengerti dan melekat di pikiran lewat cerita-cerita dari pada diberikan suatu motto yang ‘wah’ sekalipun. Dalam cerita-cerita sederhana yang umumnya menggambarkan orang jahat akan mengalami penderitaan dan orang yang baik ataupun berhati mulia akan mendapatkan kebahagiaan, secara sadar anak-anak kita akan berusaha menghindari perbuatan yang tidak terpuji di kemudian hari.

Anda juga dapat memperdengarkan cerita-cerita Buddhis lewat kaset, VCD, dan sebagainya, yang sudah tersedia.

Menerangkan Dhamma dengan cara sederhana

Tumbuhkanlah semangat Dhamma pada anak-anak sejak kecil, misalnya dengan mengajarkan ajaran dasar Buddhisme.

Ajarkanlah dan tunjukkan Metta (cinta kasih), Karuna (kasih sayang), dan Mudita (simpati) yang merupakan komponen penting dalam Buddhisme kepada anak sejak dini.

Latihlah anak Anda dengan lima sila dasar (tidak melaku-kan pembunuhan, tidak melakukan pencurian, tidak melakukan per-buatan asusila, tidak melakukan ucapan yang tidak benar, dan tidak meminum-minuman keras yang melemahkan kesadaran) dan apa yang harus dilakukan oleh seorang umat Buddha dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh umat Buddha.

Ajarkanlah dengan sederhana apa yang dimaksud dan mengapa harus melatih sila-sila tersebut dengan cara yang sederhana dan jangan dengan filsafat-filsafat yang kelihatannya hanya akan dimengerti oleh orang orang dewasa. Dapatlah diambil contoh, pelatihan untuk tidak berbohong, berikanlah penjelasan singkat mengapa tidak baik, beritahu anak Anda bahwa jika berbohong, dapat menyebabkan orang lain tidak akan mau percaya lagi apapun yang diucapkan lain kali.

Memperkenalkan syair-syair yang mudah, seperti bait-bait Dhammapada juga akan menambah wawasan anak-anak. Misalkan untuk mengembangkan sifat tidak membenci, bagi anak-anak dapatlah diterangkan syair Dhammapada 5 (Yamaka Vagga – Syair berpasangan):
"Kebencian tak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci, Inilah hukum abadi."

Perlu juga adanya persiapan referensi buku-buku Dhamma yang cocok untuk anak, misalkan buku ‘Ketika Anak Bertanya’ karangan Dhamma K.Widya, ‘Sang Buddha Pelindungku’ seri I sampai VI, terbitan Sangha Thervada Indonesia, dan banyak lagi buku lain yang dapat Anda peroleh di vihara-vihara sekitar Anda.

Selain itu anak-anak mempunyai kecenderungan yang tinggi terhadap musik/lagu, oleh karena itu orangtua dapat memperdengarkan lagu-lagu Buddhis kepada anak-anak sejak dini. Saat ini sudah banyak sekali lagu-lagu Buddhis untuk anak-anak yang dapat dibeli di bursa-bursa vihara maupun toko-toko Buddhis.

Karakter anak

Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada para raja, pengemis, tuan tanah, petani, prajurit, pedagang, budak, filsuf, dan sebagainya. Beliau mengerti sepenuhnya karakter dari setiap orang yang berbeda, dan menyampaikan Dhamma yang mudah dimengerti dan dipahami dengan cara-cara yang disesuaikan dengan karakter masing-masing. Dengan cara yang sama kita harus berusaha mempelajari dan memahami karakter anak-anak kita agar kita dapat mengajarkan Dhamma pada mereka dengan cara paling efektif. Misalkan anak suka menggambar, berikan buku menggambar dan mewarnai tentang kisah-kisah Buddhis. Dan orangtua dapat menjelaskan arti-arti dari gambar tersebut secara sederhana.

Kegiatan-kegiatan spiritual

Anak-anak perlu diajak untuk selalu mengikuti peringatan-peringatan keagamaan, seperti menghadiri hari raya Waisak, Asadha, Kathina, Magha Puja, maupun hari-hari Uposatha, supaya merasa senang dan puas. Mengunjungi vihara-vihara di dalam maupun di luar kota bisa merupakan alternatif lainnya. Anak-anak perlu juga diajak untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah bernuansa Buddhis, seperti Candi Borobudur, Candi Mendut, dan kalau mampu dapat mengunjungi tanah suci kelahiran Pangeran Siddharta (Lumbini), tempat direalisasikannya Penerangan Sempurna (Bodhgaya), tempat Maha parinibbana (Kusinara), ataupun negara-negara Buddhis lainnya.

Jika usia anak sudah cukup, perlu memotivasi mereka untuk ikut serta dalam kegiatan bakti sosial ke rumah jompo, panti asuhan, kerja bakti di vihara, dan lain-lain. Mengunjungi sanak famili dan juga para bhikkhu adalah hal yang sangat dianjurkan untuk menumbuhkan rasa kepedulian terhadap suatu hubungan. Mengunjungi para bhikkhu dapat dimanfaatkan sebagai usaha untuk menambah keyakinan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha.

Jika ada liburan sekolah, dapat juga melakukan dharmawisata ke desa-desa yang cenderung masih lebih alamiah, dan menunjukkan kepada anak-anak bagaimana mengembangkan cinta kasih terhadap sesama manusia maupun binatang. Bagaikan seorang pramuka yang baik, ajarkanlah untuk menolong wanita tua untuk membawa keranjang atau mendorong kereta dorong, dan sebagainya. Ajarkan untuk membawa seekor ikan yang hampir mati karena kurang air ke dalam kolam yang airnya cukup.

Kekebalan terhadap ajaran non-Buddhis dan materilisme

Orangtua harus memberikan perhatian dengan penuh kewaspadaan agar anak-anak tidak ditarik ke dalam jaring ‘ajaran lain’ dan juga materialisme, sehingga membuat pikirannya terbuka pada pancaran sinar Dhamma.

Perlu disadari, khususnya di Indonesia, agama Buddha merupakan agama minoritas dan di kelilingi oleh agama-agama ‘non-Buddhis’ dengan fasilitas dan sarana yang jauh di atas agama Buddha. Contoh paling sederhana penjaringan terjadi melalui beberapa sekolah bermutu yang dikelola oleh lembaga dari suatu ‘agama’ tertentu, sehingga banyak sekali anak-anak yang orangtuanya Buddhis menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah tersebut. Memang tidak wajib untuk menyekolahkan anak kita di sekolah-sekolah Buddhis karena mutunya yang kurang bagus, namun kita harus benar-benar mem-perhatikan perkem-bangan anak kita, sehingga tetap berpegang pada Buddha, Dhamma, dan Sangha.

Mengingat kondisi-kondisi lingkungan yang dijelaskan di atas, sangat perlu dijelaskan perban-dingan-perbandingan antara agama Buddha dengan agama-agama lain kepada anak kita. Kita harus menunjukkan keistimewaan ajaran Buddha dibandingkan dengan yang lain, sehingga membuat anak-anak kita kebal terhadap pengaruh-pengaruh luar, termasuk materialisme.

Di samping itu, saat anak-anak kita menanjak dewasa dan terutama selama masa remaja yang romantis, ada beberapa ritual yang menarik perhatian mereka, khususnya melalui musik, lagu, panduan suara, dan lain sebagainya. Untuk mencegah anak kita tertarik ke suatu ajaran non-Buddhis hanya karena musik semata-mata, dianjurkan supaya anak-anak sejak dini dikenalkan dengan musik, terutama yang bernuansa Buddhis, untuk mencegah mereka tergiur dengan mendengar lagu-lagu non-Buddhis.

Satu hal penting yang harus ditanamkan terus pada anak-anak kita adalah tanggung jawab diri sendiri. Misalnya setiap malam, ketika anak-anak lain berdoa, anak-anak Buddhis harus melewatkan waktu sedikit dengan meditasi dan merenungkan hal-hal yang telah dilakukannya. Bila mereka menyadari bahwa diri mereka belum berpikir, bicara dan bertindak sesuai ajaran Buddha, maka mereka harus berusaha untuk mengerti bagaimana menghindari kesalahan itu di lain waktu. Bila mereka menyadari bahwa diri mereka tidak dapat menghindari pikiran ataupun perbuatan buruk, maka orangtua harus membantu mereka, sehingga dapat pergi tidur dengan tekad untuk berbuat yang lebih baik pada esok harinya. Di pagi hari mereka dapat memulai hari yang baru dengan merenungkan kembali tekad mereka. Dengan cara ini, anak-anak akan mampu mengembangkan kekuatan dari pikiran mereka sendiri, sambil memurnikan pikiran dengan menanamkan kebaikan atau ketrampilan berpikir, berkata dan bertindak. Demikian juga jika anak-anak non-Buddhis melakukan doa sebelum makan, anak-anak Buddhis dapat diajarkan untuk merenungkan fakta bahwa makanan yang mereka makan adalah berfungsi untuk kesehatan fisik dan mental, bukan untuk berfoya-foya atau bersenang-senang.

Hukum karma akan menunjukkan kepada anak-anak kita lebih jelas dibandingkan dengan janji-janji indah yang didogmakan oleh ajaran tertentu. Anak-anak kita akan dituntun untuk melihat hukum sebab-akibat, ibarat biji pepaya akan tumbuh jadi buah pepaya dan tidak akan menjadi buah semangka, penebar kebajikan akan mendapatkan kebahagiaan sedangkan penebar kejahatan akan mendapatkan penderitaan.

Tanggung jawab diri sendiri yang ditanamkan dengan baik akan membentuk dan mengembangkan kualitas batin anak kita, sehingga akan membentuk dan memperkuat benteng alamiah terhadap agama kepercayaan lain di satu sisi dan menghindari penyalahgunaan filsafat mengenai materialisme di sisi lain.

Dengan uraian singkat di atas, semoga setiap orangtua Buddhis bisa terbuka dan mau melihat betapa pentingnya dan berharganya ‘pendidikan melalui keluarga’ terhadap anak-anak kita. Orangtua mempunyai peranan yang sangat penting bagaimana diri sang anak dibentuk.

Semoga kita tidak lagi mendengar pendapat: ‘Anak kami dapat memilih agamanya nanti, tepat seperti yang kita lakukan, dan kita tidak mempunyai hak untuk menentukannya.’

Anda sebagai orangtua, pasti sudah pernah mencari kesana kemari, dan menemukan bahwa agama Buddha adalah yang paling bagus ataupun cocok buat anda, mengapa anda masih ingin membiarkan anak anda mencari sendiri, setelah ajaran-ajaran dogma ataupun materialisme telah bekerja, dan anak-anak kita tidak lagi mempunyai kebebasan intelektual. Kita telah kalah ‘start’, di mana anak-anak sudah di-dogma sejak masuk sekolah dan hampir setiap hari dilakukan penanaman kepercayaan lain secara bertahap, sedangkan kita tidak melakukan apa-apa, apakah itu masih ‘adil’ bagi anak Anda?

Di dalam misi penyebaran Dhamma, Sang Buddha bersabda kepada enam puluh Arahat: "Kotbahkanlah Dhamma yang mulia pada awal, mulia pada pertengahan, mulia pada akhir. Umum-kanlah tentang kehidupan suci yang benar-benar suci dan sempurna dalam ungkapan dan dalam hakekatnya, demi keselamatan dan kesejahteraan semua makhluk".

Mengapa anda yang sudah mengenal Dhamma tidak anda sebarkan dan ajarkan kepada anak, yang pasti merupakan orang yang paling anda sayang?Membiarkan anak anda memilih agamanya tanpa dibimbing mengenai Buddha Dhamma adalah bagaikan melepaskan anak buta di hutan yang berbahaya tanpa diberi perlengkapan apapun, salah-salah bisa tertusuk duri, dimakan binatang buas, masuk jurang ,dsb.

Ingatlah, bahwa dari segala jenis pemberian baik materi maupun non-materi, pemberian Dhamma adalah pemberian yang paling berharga, bagaimana anda sebagai orangtua Buddhis bertanggung jawab karena kelalaian memberikan hadiah ini kepada anak anda?

[ Dikutip dari Majalah Dhammacakka  ]