Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Rabu, 31 Maret 2010

Y.A. Anna Kondana

Y.A. Anna Kondana
Oleh: His Royal Highness The Late Supreme Patriarch,
Prince VAJIRANANAVARORASA. THAILAND

Siswa agung pertama, yang kemudian dipanggil Anna Kondana, lahir di dalam keluarga Brahmana yang kaya di desa Brahmana dari Donavatthu, yang jaraknya agak jauh sedikit dari kota Kapilavatthu. Pada mulanya ia dikenal dengan nama Kondanna, saat sebagai seorang anak muda, ia telah mempelajari tiga Veda (kitab-kitab suci dari ajaran Brahmana), bersamaan dengan penguasaan mantera atau membaca tanda-tanda fisik seorang Mahapurisa atau Manusia Agung. Pada waktu kelahiran pangeran Siddhattha, ayahnya raja Suddhodana mengundang 108 Brahmana untuk menghadiri pesta perayaan yang sudah menjadi tradisi di dalam istananya. Dari seluruh Brahmana yang hadir, delapan di antaranya diseleksi untuk meramal masa depan pangeran dengan membaca tanda-tanda tubuh fisiknya.

Walaupun lebih muda dari yang lain, Brahmana Kondana diundang juga ke pesta perayaan itu, dan terpilih menjadi salah satu dari delapan Brahmana tersebut. Tujuh Brahmana yang lain, setelah membaca tanda-tanda tubuh pangeran, menerangkan bahwa ia akan mempunyai dua kemungkinan, yaitu menjadi raja dunia jika ia memilih untuk hidup sebagai orang biasa atau menjadi seorang Buddha jika lebih memilih penghidupan sebagai seorang petapa. Tetapi Brahmana Kondana yang yakin dengan pengetahuannya, menyatakan bahwa bayi itu akan pasti melepaskan keduniawian dan seterusnya akan menjadi seorang Buddha. Pada saat itu juga Kondana memutuskan bahwa jika ia bisa hidup sampai hari di mana pangeran melepaskan keduniawian, ia akan mengikuti jejak pangeran itu.

Saat pangeran Siddhatta melepaskan keduniawian, setelah mendengar pangeran melakukan latihan yang keras, Kondana membujuk empat Brahmana muda lain pergi dengannya untuk bergabung dengan pangeran. Keempat Brahmana itu adalah anak-anak dari sebagian para Brahmana yang telah meninggal, di mana merupakan Brahmana yang telah mengambil bagian di dalam upacara pembacaan tanda pada saat pangeran masih bayi. Ke-empat Brahmana ini adalah Vappa, Bhaddiya, Mahanama, dan Assaji. Kelima orang inilah yang telah menemukan petapa Siddhatta, menerima kehidupan tanpa rumah sebagai petapa-petapa dan dengan tulus bergabung untuk melakukan latihan keras dari cara tradisi dengan penyiksaan diri. Mereka berharap dapat mendengar apa yang akan ia ajarkan kepada mereka setelah petapa Siddhatta mencapai penerangan sempurna. Mereka merupakan kelompok pertama pembantu-pembantu yang kemudian disebut dalam bahasa pali sebagai Pancavaggiya atau Kelompok Lima, yang dengan tulus menemani pangeran selama enam tahun, sebelum ia mencapai penerangan sempurna dan menjadi seorang Buddha.

Setelah menjalani semua latihan penyiksaan diri dengan hasil-hasil yang tidak memuaskan, petapa Siddhathta berkesimpulan bahwa itu sudah pasti bukan jalan untuk mencapai pencerahan. Beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan latihan-latihan fisik yang keras dan lebih memilih usaha-usaha spiritual. Tetapi ini membutuhkan badan yang lebih sehat dan karenanya ia makan makanan lagi. Melihat bahwa petapa Siddhatta telah meninggalkan latihan fisiknya yang keras, kelima petapa itu menjadi patah semangat, dan berpikir bahwa petapa Siddhattha telah gagal dan berasumsi bahwa ia telah menyerah dan akan kembali ke kehidupan mewah, sehingga mereka memutuskan untuk meninggalkannya. Jadi mereka pergi ke Taman Rusa di Isipatana, di dekat kota Benares sambil meninggalkan petapa Siddhatta sendirian untuk menemukan sang jalan yang akan menuntun ia ke akhir dari pencariannya.

Beberapa penyusun di kemudian hari memberikan pernyataan yang sangat menarik tentang kejadian ini. Menurut mereka, Kelompok Lima Petapa ini merupakan suatu kondisi yang kondusif bagi pangeran Siddhatta bahwa mereka telah bergabung dengan pangeran selama latihan penyiksaan diri. Merekalah yang menjadi saksi-saksi bahwa pangeran tidak meninggalkan sesuatu yang tidak terselesaikan menyangkut latihan-latihan tradisi yang keras itu dan juga tidak mendapatkan hasil-hasil yang memuaskan. Sehingga Sang Buddha mempunyai suatu dasar untuk menyatakan bahwa pendisiplinan diri yang kejam adalah latihan yang sia-sia. Saat di mana usaha-usaha spiritual memerlukan penyendirian, mereka kehilangan kepercayaan terhadap petapa Siddhattha dan meninggalkannya sendirian.

Perasaan segar setelah memakan makanan secukupnya, petapa Siddhatta sekarang sendirian dan melanjutkan usahanya. Dengan jerih payah spiritual yang luar biasa, ia tidak lama kemudian mencapai Jhana keempat, keadaan penyerapan mental di mana ia sanggup mencapai ketiga Pengetahuan dan selanjutnya menyadari Empat Kesunyataan Mulia, yang telah membebaskan dirinya untuk selamanya dari ikatan-ikatan kekotoran. Setelah mengalami penyerapan dalam kegembiraan yang luar biasa, Sang Buddha, berkat kasih sayangnya melihat bahwa terdapat orang yang dapat mengerti ajaran yang begitu tinggi dan mulia. Harapan Sang Buddha supaya mereka juga bisa menyadari kebahagiaan yang begitu sempurna dan suci.

Pertama-tama, Sang Buddha ingin mengajarkan kepada guru-gurunya yang lalu, seperti Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta di tempat-tempat pertapaan di mana ia pernah menerima ajaran-ajaran mereka tetapi kemudian Sang Buddha mengetahui bahwa mereka telah meninggal. Setelah itu, Sang Buddha teringat kepada Kelompok Lima Petapa yang telah bersama-sama melakukan penyiksaan diri, dan Beliau memutuskan memutarkan Roda Dhamma untuk pertama kali kepada mereka. Sehingga Sang Buddha pergi ke Taman Rusa Isipatana, yang pada waktu itu para petapa sedang tinggal.

Kelompok Lima Petapa itu setelah melihat Sang Buddha dari kejauhan berkesimpulan bahwa setelah menjalani penghidupan yang santai dan senang, Ia datang untuk mendapatkan pengikut-pengikut. Mereka sepakat untuk tidak berdiri untuk menyambut, ataupun untuk menerima jubah dan mangkuknya, ataupun menunjukkan rasa hormat untukNya. Hanya sebuah tempat duduk akan diletakkan dan Ia bisa mengambilnya sendiri jika Ia menginginkannya. Dengan kedatanganNya, bagaimanapun juga, mereka begitu tergerak hatinya karena rasa hormat pribadi mereka yang dulu, sampai lupa dengan kesepakatan mereka dan berdiri untuk menyambutNya, mengikutiNya seperti yang telah mereka lakukan dahulu. Tetapi, sewaktu berbicara denganNya, mereka memakai bentuk sapaan yang tidak tepat dengan menyebut kata Avuso, yang mana adalah sebuah kata umum yang dipakai di antara yang sederajat. Sang Buddha kemudian menjelaskan kepada mereka atas suksesnya dalam memenangkan Tanpa-Mati dan menesehati mereka untuk mendengarkan agar mereka bisa melakukan hal yang sama. Mereka protes bahwa karena Ia telah gagal setelah perjuangan yang keras itu, dan tidak mungkin untuk sukses karena telah menyerah pada usahaNya dan kembali kepada sebuah kehidupan duniawi. Tiga kali Sang Buddha menasehati mereka dan tiga kali juga mereka mengucapkan protes ketidakpercayaan mereka. Setelah itu Sang Buddha bertanya kepada mereka untuk mengingat apakah pernah atau tidak Ia bicara begitu di waktu dulu: yang mana mereka harus menjawab tidak dan dengan begitu mendapatkan kembali kepercayaan mereka kepadaNya.

Kemudian Sang Buddha mulai memberikan khotbah pertamaNya dengan mengajarkan Dhamma, Kebenaran temuan baru kepada Kelompok Lima Petapa. Pertama-tama Sang Buddha menjelaskan bahwa terdapat dua cara penghidupan yang sia-sia, yaitu rasa memuaskan diri atau kenikmatan dalam kesenangan-kesenangan sensual, yang mana adalah begitu lemah di satu pihak, dan penyiksaan diri sendiri atau praktik menyerahkan badannya untuk disiksa, yang mana adalah terlalu keras di pihak lain. Setelah menjelaskan kepada mereka bahwa kedua cara penghidupan ini haruslah dijauhi, Ia melanjutkan untuk menjelaskan Jalan Tengah dari praktik, yang mana adalah temuanNya sendiri, yaitu, Delapan unsur Jalan Mulia, yang terdiri dari Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Setelah itu Sang Buddha memperkenalkan Empat Kebenaran Mulia, yang merupakan Kebenaran tentang Dukkha (Ketidakpuasan: semua ketidakpuasan dari pengalaman, mental atau jasmani, yang kasar maupun halus), Kebenaran dari sebab munculnya Dukkha, Kebenaran tentang lenyapnya Dukkha, dan Kebenaran dari jalan untuk dipraktikan yang menuju pada berhentinya Dukkha. Mengenai kebenaran dari Dukkha, Sang Buddha menggambarkan kedua penderitaan fisik yang natural dan gangguan-gangguan mental yang emosional terlahir dari keinginan dan oleh karenanya bisa dilenyapkan. Menjelaskan kebenaran dari penyebabnya, Ia menyatakan ada corak dari tiga keinginan: keinginan untuk kenikmatan sensual, keinginan untuk hidup, dan keinginan untuk melenyapkan hidup. Ia menjelaskan penghentian dukkha sebagai pemadaman total nafsu keinginan. Untuk Kebenaran yang keempat, Ia meminta agar mereka dapat menjalankan Delapan Unsur Jalan Utama, faktor-faktor yang mana telah ditulis di atas.

Setelah itu, Ia menyatakan bahwa terdapat tiga tahap Pemahaman ke dalam Empat Kebenaran Mulia yaitu, Saccanana atau pengetahuan mengenali mereka sendiri seperti apa adanya, Kiccanana atau pengetahuan mengenali apa yang harus dilakukan, dan Katanana atau pengetahuan mengenali apa yang telah diselesaikan dari apa yang telah dilakukan. Tidaklah sebelum pengetahuan tiga tahapNya ke dalam tiap Empat Kesunyataan Mulia telah disempurnakan, Ia dengan tegas menyatakan dirinya sebagai seorang Buddha, yang telah Mencapai Penerangan Sempurna. Akhirnya, Ia memberitahu mereka tentang manfaat-manfaat yang bisa didapat dari pemahaman yang mendalam tersebut. Dengan kata lain, Kebijaksanaan menyadari kondisi dari Pembebasan Mutlak, disertai dengan pengetahuan bahwa ini adalah kehidupan yang terakhir, penghidupan suci yang telah Beliau sempurnakan, tidak ada lagi yang harus dilakukan demi kesempurnaan.

Menurut para penyusun dari naskah-naskah di zaman dulu, khotbah atau sutta ini dinamakan ”sutta di mana berputarnya Roda Dhamma”, istilah yang sama dengan Roda Permata, suatu simbol kebenaran universal dari seorang raja universal. Dalam bahasa pali itu disebut Dhammacakkapavattanasutta.

Pada saat Sang Buddha sedang memberi kotbah ini, timbul di dalam diri Y.A. Kondana Mata Dhamma, pemahaman yang teramat dalam terhadap sifat dasar dirinya dan semua fenomena yang lain di mana ia sanggup menyadari bahwa ”apasaja sifat dasar itu bermula, di sanalah semua sifat dasar itu berhenti”. Menurut berbagai uraian tentang hal ini, seseorang yang telah mengembangkan Mata Dhamma adalah seorang Pemenang-Arus (dinamakan Sotapanna dalam bahasa Pali) atau seseorang yang telah memasuki arus pencerahan, di mana membuatnya tidak akan kembali atau mengalami kemorosotan. Oleh karena itu, Mata Dhamma ini disamakan dengan ’Jalan’ (atau pencapaian) dari Pemenang-Arus. Y.A. Kondana setelah mencapai kebijaksanaan seorang yang masuk arus pencerahan, menjadi siswa agung pertama dan karenanya menjadi saksi pertama dari pencerahan Sang Buddha sebab ia sendiri mencapai tujuan dari Yang Terberkahi, yang mempunyai satu-satunya tujuan untuk berbagi dengan yang lain-lain, tentang keadaan Tanpa-Mati yang telah Ia temukan. Sang Buddha mengetahui bahwa Y.A. Kondana telah mencapai Mata Dhamma mengucapkan ungkapan yang penuh inspirasi ini: ”Kondana telah mengerti, demikianlah dari saat itu ia dikenal sebagai Anna kondanna, kata pali ”Anna” yang berarti telah mengerti.

Setelah pencapaian Mata Dhamma, Y.A. Kondana, sekarang dengan keyakinan yang tidak tergoyahkan kepada Sang Buddha, meminta untuk ’maju terus’ (penahbisan) di dalam ajaranNya. Sang Buddha memenuhi permintaannya, dengan berkata, ”Datanglah, O Bhikkhu. Sangat jelas adalah Dhamma. Hidup dengan penghidupan yang suci demi berakhirnya Dukkha.” Ini dianggap sebagai penerimaan resmi ke dalam Sangha (perkumpulan) karena pada waktu itu belum ada prosedur penahbisan. Seorang yang diterima dengan cara begini menjadi Bhikkhu yang sah saat metode penerimaan ini dinamakan penahbisan dengan kata-kata yang diucapkan oleh Sang Buddha dengan kata ’EHI’ dan berarti ’datang’. Sehingga Para Bhikkhu yang penahbisannya dilaksanakan dengan cara demikian disebut EHI Bhikkhu, Y.A. Kondana menjadi yang pertama dari mereka. Sejak saat itu Sang Buddha memberi berbagai ajaran kepada yang tersisa sampai tinggal dua lagi, Vappa dan Bhoddiya, juga mendapatkan Mata Dhamma dan meminta untuk ’maju terus’, di mana Sang Buddha mengabulkan dengan cara yang sama. Selama periode ini ketiga Siswa-siswa Agung ini pergi keluar mengumpulkan dana makanan untuk kelompok berenam sampai yang tersisa, Mahanama dan Assaji, menjadi Pemenang-arus dikabulkan ’maju terus’ dengan cara yang sama.

Sekarang setelah semua di dalam kelompok sama-sama memperoleh Sang Jalan, Sang Buddha dengan tujuan untuk mengembangkan pemahaman mereka ke tahap akhir Pembebasan, membabarkan khotbah yang berpusat pada karakteristik atau ciri-ciri dari Anatta (bukan diri sendiri atau tanpa roh). Ia menggambarkan lima perpaduan unsur yang terdapat dalam diri seseorang, yaitu bentuk, perasaan, pencerapan, kemauan dan kesadaran, semuanya adalah Anatta. Lebih lanjut, Ia menunjukkan kepada mereka bahwa jika semua perpaduan unsur ini adalah Atta yang mempunyai roh atau prinsip kekal apa saja, mereka tidak bisa menjadi subjek kemunduran dan pencapaian keinginan-keinginan seperti ’Semoga kelima perpaduan unsur bisa seperti ini; semoga perpaduan ini tidak bisa seperti itu; karena lima perpaduan ini adalah Anatta (tanpa roh, tanpa-sang-aku), perpaduan ini haruslah menderita kehancuran dan tidak ada mengubah keadaan ini.

Setelah ini Ia bertanya kepada mereka dan membiarkan mereka menjawab untuk menyakini mereka sendiri bagaimana dengan kebijaksanaan sebab dan akibat yang saling bergantungan dari kelima unsur ini adalah tidak kekal, tidak sempurna dan Tanpa-Sang-Aku. Kemudian Ia menasehati mereka untuk melawan keterikatan kepada satupun dari lima unsur yang terpadu itu, apakah masa lalu, sekarang atau akan datang, apakah sebelah dalam atau di luar, kasar atau halus, jelek atau bagus, jauh atau dekat, yang termasuk melihat dengan pengembangan pemahaman bahwa mereka bukanlah punya saya, mereka bukanlah saya (bentuk/jasmani saya); mereka bukanlah diri saya (pikiran saya). Setelah itu Ia menerangkan pada mereka manfaat-manfaat dari pelepasan, dengan berkata, “Seorang Siswa Yang Mulia setelah menyadari kebenaran ini menjadi bosan dengan perpaduan kelima unsur ini; karena bosan ia menjadi tidak bernafsu; karena tidak ada nafsu ia menjadi bebas; karena telah bebas ia tahu bahwa ia telah bebas. Ia sekarang tahu bahwa ini adalah penghidupannya yang terakhir; telah sempurna hidupnya yang suci dan sudah selesai untuk apa yang harus dilakukan, tidak ada lagi yang harus dilakukan untuk kepentingan kesempurnaan.

Karena khotbah yang kedua ini berdasarkan Anatta, yang menjadi ciri penentuan sifat dari perpaduan unsur itu, maka disebut uraian Anattalakkhana Sutta.

Selagi Sang Buddha memberikan khotbah ini, Kelompok Lima Petapa, yang sudah menjadi bhikkhu-bhikkhu, sambil merenungkan kata-kata Sang Buddha, terlepas dari kekotoran-kekotoran dan polusi-polusi dan terbebas dari keterikatan terhadap perpaduan unsur itu. Demikianlah mereka semuanya mencapai Arahat, tingkat tertinggi dari Siswa Mulia, melakukan penghidupan suci yang telah disempurnakan dan menjadi kelompok pertama dari Sangha. Mereka telah melengkapi Tiga Permata (Triple Gem) dan memperkenalkan kepada dunia kekuatan tertinggi dari Pengetahuan Sang Buddha. Pada saat itu ada enam Arahat di Dunia.

Menurut uraian (bagian ke tiga dari Samantapasadika halaman 19), adalah pada saat bulan purnama dari bulan Asadha Sang Buddha mencerahkan Y.A. Anna Kondana ke dalam Sang Jalan bagi Pemenang-Arus. Empat hari berikutnya diberikan untuk mengajar sisa empat petapa dan mencerahkan mereka satu per satu ke dalam Sang Jalan, yang sama dan telah dicapai oleh Y.A. Kondana. Dan pada hari ke lima dari penyusutan bulan (bulan lunar Savana), Ia memberikan khotbah yang kedua atau Anattalakkhana Sutta, yang berakhir dengan kemenangan mereka menerobos jalan tertinggi dari pencapaian terakhir dari pencerahan luhur.

Setelah beberapa waktu selagi si pemuda Yasa, dan kemudian empat sahabatnya yang dikenal dan lima-puluh yang lain yang tidak dikenal namanya, telah diberi penahbisan dan mencapai tingkat Arahat, Sang Guru memanggil ke enan puluh murid-murid Arahatnya berkumpul untuk sebuah pertemuan. Beliau menganjurkan mereka untuk membagi tugas pengembaraan demi menyebarkan Dhamma kepada manusia, karena dengan kebajikan ajaran mereka, orang-orang yang bisa mengerti bisa membentuk diri mereka ke dalam jalan perbuatan benar, yang berakibat kepada kebahagiaan dan ketenangan pikiran mereka sendiri. Beliau mengirim mereka keluar ke berbagai jurusan, demikian Beliau berkata pada mereka, sementara Ia sendiri akan pergi ke kota Maghadha untuk tujuan yang sama.

Sesuai dengan arahan Sang Guru, ke enam puluh Arahat berpisah, setiap orang pergi ketujuannya, dan kembali bertemu Sang Buddha pada waktunya,. Pada suatu waktu yang Mulia Assaji, seorang dari Kelompok Lima Petapa, sewaktu perjalanan kembali untuk melihat Sang Buddha di kota Rajagaha, diketemukan oleh pemuda Assaji yang kemudian menjadi Y.A. S1riputta. Karena kagum dengan sikap agung dan ketenangan dari Yang Mulia Assaji selagi mengumpulkan dana makanan, si pemuda, yang pada waktu itu seorang petapa dari aliran yang dipanggil Paribbajaka atau petapa yang hidup dari pemberian orang, bertanya tentang gurunya dan memohon Yang Mulia Bhikkhu untuk memberinya ajaran. Dia mengajar pemuda itu mengenai intisari ajaran Sang Buddha, dengan memberitahunya bentuk ringkasan yang Sang Buddha ajarkan, keduanya sebab-sebab dan akibat-akibat mereka dengan kata-kata: ”Apa saja Dhamma (peristiwa-peristiwa, soal-soal, fenomena) yang timbul dari sebab dan berhenti karena pelenyapan dari sebab, itulah Dhamma yang telah dibicarakan oleh Sang Tathagata. Demikianlah yang diajarkan oleh Sang Petapa Agung.” Walaupun dengan ajaran yang singkat itu, si pemuda Upatissa sanggup untuk mencapai Mata Dhamma. Dia kembali kepada sahabatnya Kolita, yang belakangan menjadi Y.A. Moggallana, dan menolongnya mencapai jalan yang sama dari Pemenang Arus, kemudian keduanya meninggalkan kebiasaan lama mereka dan mulai menjadi penghidupan suci di dalam Sangha.

Y.A. Kondana digolongkan sebagai kepala dari seluruh bhikkhu-bhikkhu karena senioritasnya. Dalam bahasa Pali disebut Rattann3, yang mempunyai arti sebagai yang tertua dan secara konsekuen mempunyai pengalaman yang paling luas. Seorang bhikkhu dari kedudukannya, dengan pengalaman yang bearaneka-ragam dan luas di dalam urusan-urusan Sangha, biasanya dilengkapi dengan keahlian kepemimpinan dan sanggup untuk menuntun dan mengajar bhikkhu-bhikkhu lain dalam mengambil jalan yang benar dalam melakukan hal-hal. Dia menjadi gudang pengetahuan dan pengalaman, nasehatnya bisa dipercaya dan instruksinya pantas dihormati. Komunitas Sangha umumnya mengagumi seorang yang lebih tua dengan kualitas begitu dan inilah mengapa Y.A. Kondana dianggap superior dari seluruh bhikkhu-bhikkhu yang lain dalam hal ini.

Pada suatu waktu Y.A. Kondana melihat potensi spiritual keponakannya, kembali ke desa Brahmana dari Do8avatthu di mana ia dilahirkan. Di sana dia mentahbiskannya sebagai seorang Samanera atau pemula, dengan nama Punna dan membawanya pada Sang Buddha. Dengan kemajuan yang dicapainya, dia merasa tidak nyaman untuk tinggal di kota. Jadi dia mengucapkan selamat berpisah kepada Sang Buddha dan pergi tinggal di sebuah pengasingan di hutan yang menurut uraian dipanggil dengan nama kolam Chaddanta. Pengasingan ini karena nyaman untuknya, ia tinggal di sana sampai meninggal dunia, yang terjadi sebelum Parinibbanna Sang Buddha.

by:His Royal Highness The Late Supreme Patriarch,
Prince VAJIRANANAVARORASA. THAILAND.

Sumber : http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,4125.msg68801.html#msg68801

Tidak ada komentar:

Posting Komentar