Hidup adalah Perjuangan
Oleh Bhikkhu Utammo Mahathera
Tidak melakukan segala bentuk kejahatan,
Senantiasa mengembangkan kebajikan, dan
membersihkan batin; inilah Ajaran Para Buddha
(Dhammapada XIV, 5)
Pada saat ini adalah kesempatan kita untuk memperingati Maghapuja. Maghapuja adalah merupakan salah satu dari empat hari raya dalam Agama Buddha. Empat hari raya Agama Buddha itu adalah bila di awal tahun, kira-kira bulan Februari diadakan upacara peringatan Maghapuja. Pada pertengahan tahun, kira-kira bulan Mei adalah peringatan Vaisakhapuja (Waisak). Dua bulan setelah peringatan Waisak, kira-kira bulan Juli diadakan Asalhapuja (Asadha). Kemudian tiga bulan setelah hari Asadha, kira-kira pada bulan Oktober adalah perayaan Kathina.
Kata 'Magha' sesungguhnya menunjuk nama bulan dalam penanggalan di India. Bagi anak-anak sekolah Minggu, pengertian Maghapuja sudah tidak asing lagi. Tetapi bagi kita yang mungkin baru sekali atau dua kali hadir atau mereka yang kurang membaca buku-buku Buddhis, kurang banyak mendengar ceramah Dhamma, maka perlu sekali lagi pada saat ini diuraikan sekilas tentang peristiwa besar yang terjadi pada bulan Magha.
Pada jaman Sang Buddha, ketika saat purnama pada bulan Magha, beberapa waktu setelah Sang Buddha mencapai kesucian, ada 1250 orang bhikkhu datang berkumpul tanpa diundang di tempat Sang Buddha bersemayam. Semua bhikkhu tersebut memiliki kelebihan. Mereka semua telah mencapai kesucian tertinggi, Arahat. Mereka semua memiliki kemampuan supranatural yang tertinggi. Mereka semua ditahbiskan menjadi bhikkhu oleh Sang Buddha sendiri. Tidak seperti pada jaman sekarang, para bhikkhu ditahbiskan oleh seorang Upajjhãya dan para bhikkhu senior. Jadi, 1250 orang bhikkhu ini termasuk murid-murid pertama Sang Buddha. Pada masa itu, bila ada orang yang berniat menjadi bhikkhu maka ia kemudian ditahbiskan dan menjalani kehidupan kebhikkhuannya dengan baik berdasarkan aturan dasar kebhikkhuan yang diberikan oleh Sang Buddha. Sebagai aturan dasar pelaksanaan kebhikkhuan adalah tiga bait syair dalam Dhammapada XIV, 5, 6, dan 7. peraturan kebhikkhuan ini sudah dilaksanakan sejak jaman para Buddha yang terdahulu.
Hari ini akan dibahas tentang jantung Ajaran Sang Buddha yaitu kurangi kejahatan, tambah kebajikan, sucikan pikiran, itulah ajaran para Buddha. Pengertian 'para Buddha' di sini menunjukkan bahwa Ajaran ini bukan hanya Ajaran Sang Buddha Gautama sendiri tetapi juga semua Buddha. Para Buddha yang terdahulu, para Buddha yang sekarang, dan para Buddha yang akan datang membabarkan Ajaran yang sama. Kurangi kejahatan, tambah kebajikan dan sucikan pikiran. Bahkan, kalau kita memperhatikan kepercayaan ataupun agama lain, semuanya tidak akan pernah mengajarkan untuk menambah kejahatan, mengurangi kebaikan serta mengacaukan pikiran. Tidak pernah! Semua agama pasti mengajarkan kurangi kejahatan, tambah kebajikan dan sucikan pikiran, walaupun ada banyak cara untuk menambah kebajikan, mengurangi kejahatan dan menyucikan pikiran.
KURANGI KEJAHATAN
Para bhikkhu di jaman Buddha-Buddha yang lampau cukup hanya berpegangan tiga bait syair itu saja. Bahkan dengan selalu merenungkan kurangi kejahatan, tambah kebajikan dan sucikan pikiran, perbuatan para bhikkhu sudah baik, sudah hati-hati, perbuatannya sudah dijaga, ucapannya sudah dijaga, pikirannya juga sudah dijaga. Tetapi sebagian murid Sang Buddha Gautama suka melanggar aturan dasar ini. Pelanggaran aturan ini akan mengakibatkan meningkatnya timbunan ketamakan, kebencian dan kegelapan batin. Oleh karena itu, Sang Buddha menambahkan beberapa peraturan lain. Misalnya : ketika ada bhikkhu yang menunjukkan kesaktian atau kemampuan batinnya di depan umum. Sang Buddha menganggap hal ini tidak pantas. Beliau kemudian melarangnya. Beliau tidak ingin umat hanya tertarik karena kesaktian para bhikkhunya. Beliau ingin umat tertarik karena kagum dengan keluhuran dan kesempurnaan Ajaran Sang Buddha. Ada contoh lain yang menyebabkan Sang Buddha memberikan peratuan baru. Seorang bhikkhu dahulunya telah berkeluarga. Bhikkhu tersebut kemudian tinggal di hutan, istrinya ditinggal di rumah. Istrinya sedih, selalu menangis. Si istri kemudian mengajak si bhikkhu mantan suaminya tadi untuk pulang ke rumah. Sang Bhikkhu tidak ingin pulang. Setelah bertahun-tahun, maka si istri kemudian memberikan pilihan : si suami boleh tinggal terus di hutan namun sang istri minta kesempatan memperoleh keturunan. Sang bhikkhu kemudian menurut. Hamillah wanita itu. Melihat hal ini, Sang Buddha memberikan peraturan bahwa seorang bhikkhu tidak diperkenankan melakukan hubungan seksual dengan wanita walaupun istrinya sendiri, juga tidak boleh dengan sesama jenis dan bahkan dengan binatang pun tidak boleh.
Jadi peraturan kebhikkhuan yang ditentukan oleh Sang Buddha diberikan satu demi satu sesuai dengan kesalahan yang telah dilakukan para bhikkhu dalam kehidupan sehari-hari. Peraturan itu bukan disusun seperti menyusun undang-undang dasar yang dibuat sebelum ada kasus pelanggaran. Peraturan yang diberikan Sang Buddha seperti peraturan pemerintah yang dibuat setelah ada kasus, misalnya ada kasus penggelapan tanah. Dengan adanya kasus penggelapan tanah, disusunlah peraturan pemerintah yang sesuai dengan keadaan dan tentu saja senafas dengan undang-undang dasarnya. Undang-undang dasar Sang Buddha adalah kurangi kejahatan, tambah kebajikan dan sucikan pikiran. Tetapi peraturannya bisa berkembang menjadi 227 butir sesuai dengan kesalahan yang dilakukan oleh para bhikkhu. Pokok dasar kebhikkhuan adalah untuk memerangi ketamakan, kebencian dan kegelapan batin. Selain itu, peraturan ini juga berguna untuk memberikan para bhikkhu tempat yang layak di mata masyarakat. Contoh jenis peraturan yang kedua ini adalah bhikkhu jalan berjinjit, tidak pantas, dilarang. Bhikkhu bertolak pinggang. Tidak layak. Dilarang. Dan masih banyak yang lain.
Walaupun peraturan kebhikkhuan atau Patimokkha ini dibuat sesuai dengan kesalahan bhikkhu, tetapi induknya tetap, yaitu kurangi kejahatan, tambah kebajikan dan sucikan pikiran. Sedangkan sebagai seorang umat Buddha, sebagai perumah tangga, kita juga diberi peraturan. Hanya saja peraturan kebhikkhuan dengan peraturan para perumah tangga tidak sama. Para umat boleh mandi sambil bersiul-siul bahkan bernyanyi-nyanyi pun boleh, jerit-jerit juga boleh. Asal gayungnya jangan digigit. Nanti giginya rontok semua. Umat juga boleh jalan berjinjit. Jalan sambil bergulung-gulung juga boleh karena memang hanya peraturan kebhikkhuan yang melarangnya. Bukan peraturan umat. Tetapi mengurangi kejahatan, menambah kebajikan dan menyucikan pikiran, kita semua harus melaksanakannya, baik sebagai bhikkhu maupun umat perumah tangga.
Bagaimanakah mengurangi kejahatan? Sejak jaman dahulu, dalam tradisi Jawa dikenal istilah Mo-limo. Istilah ini menunjukkan pada lima kata dalam bahasa Jawa yang dimulai dengan huruf 'M', yaitu Madon - suka mengganggu wanita, Main - suka berjudi, Madat - suka menghisap narkotik, Maling - suka mencuri, Mendhem - suka mabuk-mabukkan. Apabila orang mampu menghindari Mo-limo, ia dapat dikatakan orang yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan kebanyakan orang. Itulah lima hal yang perlu dihindari menurut tradisi Jawa. Dalam tradisi Buddhis yang muncul 2500 tahun yang lalu atau sejak 500 tahun Sebelum Masehi, Sang Buddha sudah meletakkan dasar peraturan yang mirip Mo-limo. Peraturan ini disebut Pancasila Buddhis yang isinya adalah berusaha untuk tidak melakukan pembunuhan - mateni. Tidak melakukan pencurian - maling. Tidak melanggar kesusilaan - madon, tidak berbohong, dan tidak mabuk-mabukkan - mendhem. Lima hal ini adalah unsur larangan. Singkatnya, dalam pengertian dasar Agama Buddha yang disebut mengurangi kejahatan, minimal, adalah menghindari lima perbuatan salah, membunuh, mencuri, melanggar kesusilaan, berbohong dan mabuk-mabukkan. Pancasila Buddhis ini adalah lima perbuatan yang harus dihindari, paling tidak, dikurangi sebab untuk menghilangkannya cukup sulit, membutuhkan banyak tahap perkembangan batin. Dalam kehidupan sehari-hari, saat kita menjatuhkan gelas hingga pecah berantakan pun sulit untuk mengakui kesalahan itu. Kita kemudian berbohong. Melanggar peraturan lalu lintas, kita juga akan berusaha keras - ditambah dengan kebohongan - untuk menyalahkan fihak lain bila kebetulan tertangkap polantas. Apalagi dalam dunia perdagangan. Kebohongan telah menjadi bahasa perdagangan. Apabila sewaktu membeli suatu barang harganya Rp. 800,00 dengan basa basi akan dikatakan bahwa barang itu dahulu dibeli dengan harga Rp. 1000,00 ketika ada orang yang sedang menawar barang itu seharga Rp. 900,00. Kebohongan sebagai bahasa perdagangan ini dimasukkan sebagai teknik dagang. Bukan penipuan. Meskipun mempunyai nilai karma buruk tertentu, bobotnya tidaklah seberat penipuan. Penipuan terjadi apabila ada orang yang sudah sepakat membeli barang tertentu tetapi ketika dibungkus ditukar dengan barang lain yang kualitasnya lebih rendah. Itulah yang dinamakan menipu. Itu tidak boleh. oleh karena itu, kalau kita tidak menukar barang seperti yang tadi telah disebutkan, sebetulnya kita sebagai seorang pedagang masih boleh tetap berdagang. Dalam Dhamma dikatakan kurangilah kejahatan, kalau mampu hindarilah, lebih baik hentikanlah! Apabila memang tidak dapat dihentikan seketika, bolehlah pelan-pelan secara bertahap diperbaiki. Misalnya sebagai nelayan, dari lima sila yang diajarkan Sang Buddha, dia sudah jelas melanggar sila pertama, melakukan pembunuhan. Akan tetapi, kalau memang belum dapat dihindari, kerjakanlah dahulu usaha itu sambil berusaha mengumpulkan modal. Apabila suatu saat telah terkumpul modal secukupnya maka sangat bijaksana bila ia dapat beralih usaha. Namun, selama mengerjakan pekerjaan yang kurang sesuai itu, hendaknya ia tetap menjaga kemurnian keempat sila yang lain. Jangan karena telah melanggar salah satu sila kemudian dengan sengaja melanggar keempat sila lainnya. Jadi, biarlah sementara terpaksa melakukan karma buruk, namun jangan menambah karma buruk yang lain.
Sila adalah usaha menghindari kejahatan. Pelaksanaannya harus dilatih dengan sungguh-sungguh. Sebagian umat Buddha sering tidak berani memutuskan untuk di-visudha ( = tahbis, baptis ) sebagai upasaka ( umat pria ) dan upasika ( umat wanita ). Alasan yang digunakan adalah karena masih seringnya melanggar lima sila. Sesungguhnya, menjadi upasaka dan upasika adalah awal mulai bertekad melaksanakan Pancasila Buddhis, bukan akhir pelaksanaan Dhamma dan kemurnian sila. Walaupun kita masih sering melanggar sila tapi kalau kita telah bertekad menjadi upasaka dan upasika minimal akan selalu mengingatkan kita untuk mengurangi pelanggaran lima sila itu. Berarti pula, kita telah berusaha mengurangi kejahatan.
TAMBAHLAH KEBAJIKAN
Agama Buddha selain memberikan tuntunan perbuatan yang hendaknya dihindari, juga menerangkan perbuatan yang sebaiknya dikerjakan. Perbuatan yang harus dihindari ini seimbang dengan perbuatan yang harus dikerjakan. Apabila kita dianjurkan untuk menghindari pembunuhan, maka kita hendaknya mengembangkan cinta kasih, metta. Kita diajarkan oleh Sang Buddha bukan hanya menghindari membunuh nyamuk, semut, anjing, maupun kucing. Tetapi kita hendaknya juga mau mengembangkan cinta kasih. Melepaskan burung terbang bebas, melepaskan ikan di sungai atau danau. Mungkin pula kita melihat semut dekat lubang pembuangan air di kamar mandi, kita kemudian memindahkannya terlebih dahulu sebelum menyiram air. Tindakan ini dilakukan agar semut tidak mati. Itu namanya adalah mengembangkan cinta kasih. Mengembangkan cinta kasih yang bermakna positif adalah merupakan lawan menghindari pembunuhan yang bermakna negatif.
Selain menjaga agar tidak melakukan pencurian hendaknya kita juga mengembangkan watak suka berdana. Berdana dapat dengan bermacam-macam cara, tidak harus menggunakan uang, tidak harus materi. Berdana tenaga juga bisa. Misalnya, membantu membersihkan vihara itu pun sudah termasuk berdana. Membantu orangtua di rumah juga sudah termasuk berdana. Atau mungkin kita tidak dapat membantu orangtua mencari nafkah tetapi dengan kita tidak nakal ataupun rewel, itu juga berdana. Dana yang berarti menjaga agar orangtua tidak pusing memikirkan kenakalan kita. Memaafkan kesalahan orang lain juga termasuk dana, dana bukan materi. Apabila ingin berdana materi juga bisa. Membantu pembangunan vihara, mencetak dan membagikan buku-buku Dhamma. Itu adalah beberapa cara kita berdana. Macam-macam. Jadi bisa dana materi dan juga bisa dana yang bukan materi.
Menjaga tingkah laku agar tidak melakukan perjinahan hendaknya diimbangi dengan mengembangkan rasa mudah puas dengan pasangan hidup kita. Karena perjinahan biasanya muncul dari rasa ketidakpuasan pada pasangan hidup sendiri. Tidak puas dengan penampilannya yang semula cantik menjadi jelek dimakan usia. Tidak puas karena tingkah lakunya yang sudah tidak sesuai lagi. Dan, masih banyak penyebab ketidakpuasan. Padahal, sumber ketidakpuasan adalah pikiran, atau tepatnya, keinginan kita sendiri. Harapan kita pada pasangan hidup sering jauh lebih besar daripada kenyataan. Hal inilah yang sering menimbulkan kekecewaan. Bila memperolah kesempatan, kekecewaan kemudian menimbulkan penyelewengan. Untuk mengatasi hal itu, hendaknya direnungkan bahwa semua orang pasti memiliki kekurangan dan kelebihan, termasuk kita sendiri. Oleh karena itu, hendaknya kita selalu mengingat kelebihan pasangan hidup kita dan mau menerimanya sebagaimana adanya. Dengan mengisi pikiran kita secara demikian, akan terhindarlah penyimpangan hati maupun badan dalam rumah tangga. Kesetiaan dapat terjaga.
Menghindari kebohongan hendaknya dibarengi dengan usaha mengembangkan kejujuran, belajar jujur, belajar terbuka, belajar bisa menyampaikan pendapat dengan terus terang. Sikap jujur dan terus terang ini adalah modal pokok untuk berkomunikasi. Komunikasi yang jujur akan sangat membantu dalam menyelesaikan suatu masalah. Masalah rumah tangga pun sering muncul karena kurangnya komunikasi. Komunikasi akan lancar apabila masing-masing fihak selalu berusaha mengerti bahwa semua orang punya kelebihan dan kekurangan, karena itu jangan menutupi kebenaran! Ingatlah, bahwa binatang yang tidak mengerti bahasa manusia pun dapat diajak komunikasi, apalagi manusia. Terhambatnya komunikasi sering hanya karena kurang sabarnya satu fihak untuk memahami fihak lainnya.
Usaha menghindari mabuk-mabukan dibarengi dengan mengembangkan konsentrasi dengan melatih meditasi. Meditasi adalah sarana tepat guna untuk mengendalikan pikiran kita. Pengendalian pikiran juga akan menghasilkan pengendalian emosi. Apabila kita belum mampu bermeditasi dengan baik, kita dapat memulai konsentrasi dengan membaca Paritta. Pembacaan Paritta adalah termasuk usaha menyucikan pikiran. Hal ini dapat terjadi karena selama membaca Paritta, pikiran kita hanya terarah pada satu hal, kotbah Sang Buddha tentang perbuatan baik. Tidak akan terpikir untuk berbuat yang jelek. Karena itu tidak mabuk-mabukan hendaknya juga melakukan meditasi atau membaca Paritta atau mantra. Mengurangi lima macam perbuatan jahat tadi disebut dengan Pancasila Buddhis, menambah lima macam kebajikan disebut sebagai Pancadhamma.
SUCIKAN PIKIRAN
Kemudian baris terakhir dari bait yang dibaca di awal pertemuan ini ialah menyucikan pikiran. Penyucian pikiran ini sesungguhnya menunjuk pada latihan meditasi. Ada dua macam meditasi yang diajarkan oleh Sang Buddha. Meditasi konsentrasi disebut Samatha Bhavana, sebagai dasar, kemudian dilanjutkan dengan meditasi perenungan untuk melihat hakekat hidup yang sesungguhnya disebut Vipassana Bhavana. Hasil meditasi perenungan ini akan dapat membersihkan pikiran kita secara total dari debu ketamakan, kebencian dan kegelapan batin. Orang yang telah bersih batinnya dari ketiga jenis debu tadi disebut orang yang mencapai kesucian, Arahat. Orang yang telah memiliki pikiran suci. Meditasi bukanlah berdoa. Meditasi adalah berusaha selalu menyadari segala sesuatu yang sedang kita perbuat, ucapkan maupun pikirkan. meditasi berusaha melihat dengan jelas bahwa segala suka dan duka dalam kehidupan ini timbul karena permainan pikiran. Bila telah mengetahui segala sumber kesulitan, maka akan lebih mudah mengendalikannya. Pengendalian pikiran secara menyeluruh itulah yang disebut mencapai kesucian.
Tiga hal inilah kalau dijalankan dalam kehidupan sehari-hari akan meningkatkan kualitas batin sebagai seorang umat Buddha. Peningkatan kondisi batin ini akan menjadi merek yang tidak akan pernah memalukan kita sebagai umat Buddha. Ketiga hal ini pula yang menjadi jantung seluruh ajaran Sang Buddha. Ini pula yang dibabarkan oleh Sang Buddha ketika purnama sidhi dalam bulan Magha. Inilah yang sekarang diperingati sebagai Maghapuja.
[Dikutip dari Website Samaggi-Phala, WWW.Samaggi-phala.or.id ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar