Tanggung Jawab Universal dan Lingkungan Global Kita
Oleh H. H. Dalai Lama
Penerjemah : Rudi Agus Widono
Editor : Tim AB
©2010 Artikel Buddhis (AB)
Anda dipersilahkan menyalin, merubah bentuk, mencetak, mempublikasi, dan mendistribusikan karya ini dalam media apapun, dengan syarat:
(1) Tidak diperjualbelikan;
(2) Dinyatakan dengan jelas bahwa segala turunan dari karya ini (termasuk terjemahan) diturunkan dari dokumen sumber ini; dan
(3) menyertakan teks lisensi ini lengkap dalam semua salinan atau turunan dari karya ini. Jika tidak, maka hak penggunaan tidak diberikan.
Ketika berakhirnya abad ke-20, kita menemukan bahwa dunia telah semakin mengecil. Manusia di dunia telah hampir menjadi satu komunitas. Politik dan Aliansi (Persekutuan) militer telah menciptakan kelompok multinasional yang besar; industri dan perdagangan internasional telah menghasilkan ekonomi global. Komunikasi di seluruh dunia melenyapkan penghalang jarak, bahasa dan ras. Kita juga terseret bersama oleh masalah besar yang kita hadapi yaitu: kelebihan penduduk, menipisnya sumber daya alam, dan krisis lingkungan yang mengancam udara, air, dan pepohonan, serta begitu banyak bentuk kehidupan yang indah yang menjadi pondasi penting keberadaan planet kecil yang kita tinggali bersama ini.
Saya percaya bahwa untuk menghadapi tantangan di zaman kita ini, umat manusia harus membentuk rasa tanggung jawab universal yang lebih kuat. Masing-masing kita harus belajar untuk bekerja tidak hanya untuk dirinya, keluarga atau bangsanya sendiri, tetapi juga demi kepentingan seluruh umat manusia. Tanggung jawab universal adalah kunci nyata menuju kelangsungan hidup manusia. Ini merupakan pondasi/dasar terbaik untuk kedamaian dunia, penggunaan sumber daya alam yang wajar, dan dengan memperhatikan generasi mendatang, kepedulian terhadap lingkungan.
Itulah mengapa begitu melegakan melihat organisasi-organisasi non-pemerintah seperti kalian. Peran kalian dalam mengasah masa depan yang lebih baik sangat diperlukan. Saya telah melewati banyak organisasi seperti itu yang dibentuk oleh sukarelawan berdedikasi yang memiliki kepedulian yang tulus bagi sesama umat manusia. Komitmen seperti ini menggambarkan “garis depan” proses sosial dan lingkungan.
Terserah kita suka atau tidak, kita telah dilahirkan di dunia ini sebagai bagian dari satu keluarga besar. Kaya atau miskin, berpendidikan atau terbelakang, menjadi milik suatu bangsa, agama, ideologi atau yang lainnya, pada akhirnya masing-masing dari kita hanyalah seorang manusia biasa seperti yang lainnya. Kita semua menginginkan kebahagiaan dan tidak menginginkan penderitaan. Lagi pula, masing-masing dari kita memiliki hak yang sama untuk mengejar kebahagiaan dan menghindari penderitaan. Saat anda menyadari semua makhluk adalah sama dalam hal ini, anda akan otomatis merasakan empati dan kedekatan pada mereka. Di luar ini semua, pada gilirannya, muncul rasa tanggung jawab universal sejati, yaitu keinginan untuk secara aktif membantu sesama melewati semua masalah mereka.
Kebutuhan akan rasa tanggung jawab universal muncul di setiap aspek kehidupan modern. Pada masa kini, suatu kejadian yang signifikan (penting) di satu sisi bagian dunia akhirnya memengaruhi seluruh planet. Oleh karena itu, kita harus memperlakukan setiap masalah besar yang bersifat lokal sebagai urusan global, dari saat masalah tersebut dimulai. Kita tidak bisa lagi meminta dinding pembatas nasional, rasial (berdasarkan cirri-ciri fisik, ras, bangsa, suku bangsa, dsb) dan ideologi yang memisahkan kita tanpa reaksi yang merusak. Dalam konteks rasa saling ketergantungan kita yang baru ini, mengingat ketertarikan kita kepada yang lain adalah jelas –jelas merupakan bentuk terbaik dari kepentingan pribadi (self – interest).
Kita perlu menghargai rasa saling ketergantungan akan alam jauh lebih dari yang pernah kita lakukan pada masa lalu. Kekelirutahuan (Ketidaktahuan) kita akan hal ini adalah tanggung jawab secara langsung pada banyak masalah yang kita hadapi sekarang. Contohnya, “menyadap” sumber daya alam yang terbatas di bumi kita -- terutama di negara-negara berkembang -- hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, adalah bencana. Jika ini berlanjut tanpa perbaikan, pada akhirnya kita semua akan menderita. Kita harus menghormati keseimbangan hidup dan memberinya kesempatan memperbaiki dirinya sendiri.
Ketidaktahuan (Kekelirutahuan) akan sifat yang saling bergantung ini tidak hanya akan merugikan lingkungan alam, tapi juga kehidupan sosial manusia. Bukannya saling menjaga satu sama lain, kita malah banyak menempatkan hasrat kita akan kebahagiaan dengan mengejar materi untuk kepentingan pribadi. Kita menjadi begitu terpikat dalam pengejaran ini hingga tanpa menyadarinya, kita telah lalai mengembangkan kebutuhan paling dasar manusia akan cinta, kebaikan dan kebersamaan. Ini betul-betul menyedihkan. Kita harus mengingat apa sebenarnya kita sebagai manusia. Kita bukanlah benda-benda yang dibuat oleh mesin. Bagaimanapun, karena kita bukanlah makhluk materi semata, merupakan kesalahan untuk mencari pemuasan eksternal saja.
Untuk mencapai pertumbuhan yang tepat, kita perlu memperbarui komitmen kita pada nilai-nilai manusia dalam banyak bidang. Kehidupan politik, tentu saja, membutuhkan etika sebagai pondasi, tapi ilmu pengetahuan dan agama, juga sebaiknya, harus dikejar dengan moral sebagai dasarnya. Tanpanya para ilmuwan tidak bisa membedakan antara teknologi yang menguntungkan dan yang memang bermanfaat. Kerusakan lingkungan di sekitar kita adalah hasil yang paling jelas dari kebingungan ini. Dalam hal agama, tentu saja moral diperlukan.
Tujuan suatu agama adalah tidak untuk membuat bangunan yang indah, tapi untuk menumbuhkan kualitas positif manusia seperti toleransi, kemurahan hati dan kasih sayang. Setiap agama di dunia, tidak peduli apa filosofi yang dimilikinya, didirikan pertama kali dan yang terutama atas aturan bahwa kita harus mengurangi keegoisan kita dan melayani sesama. Sayangnya, terkadang dalam nama agama, orang mengakibatkan lebih banyak perselisihan daripada pemecahan masalah. Para praktisi dengan keyakinan yang berbeda harus menyadari bahwa setiap tradisi agama memiliki nilai hakiki yang besar yang dimaksudkan untuk mendukung kesehatan mental dan spiritual.
Saya telah sangat berbesar hati mengikuti perkembangan terakhir dalam pencarian perdamaian antara warga Israel dan Palestina. Gencatan senjata kedua pihak, dan berbicara secara langsung adalah, pendapat saya, satu-satunya cara untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi. Kita harus belajar hidup bersama dalam jalan tanpa kekerasan yang dapat memelihara kebebasan semua orang.
Ada sebuah syair luar biasa dalam Alkitab tentang mengubah pedang menjadi mata bajak. Itu sebuah gambaran yang indah, sebuah senjata berubah menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, simbolis suatu sikap perlucutan senjata dalam dan luar. Dalam semangat pesan kuno ini, Saya pikir penting bagi kita untuk menekankan sebuah kebijakan mendesak yang telah lama tertunda – penghapusan militer di seluruh dunia. Penghapusan militer akan membebaskan sumber daya manusia dalam jumlah besar yang dapat dipakai untuk melindungi lingkungan, pengentasan kemiskinan, dan keberlangsungan pembangunan manusia.
Saya selalu memimpikan masa depan negara Saya, Tibet, jika didirikan dengan dasar ini. Tibet akan menjadi tempat berlindung bebas militer yang netral, tempat dilarangnya keberadaan senjata dan manusia hidup dalam harmoni dengan alam. Saya menyebutnya Daerah Ahimsa atau tanpa kekerasan. Ini bukan mimpi semata – ini betul-betul cara hidup yang diambil penduduk Tibet selama ribuan tahun lebih sebelum negara kami diserbu. Di Tibet, kehidupan liar dilindungi mengikuti prinsip Buddhis. Kami membuat peraturan perlindungan lingkungan, tapi lingkungan terlindungi lebih karena paham yang ditanamkan sejak masih kanak - kanak.
Saya akan menutupnya dengan mengucapkan bahwa Saya merasa optimis tentang masa depan. Ada sejumlah tren baru-baru ini yang menunjukkan potensi kita untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Perubahan yang terjadi secara bertahap dalam sikap kita terhadap bumi ini adalah sumber harapan. Seperti baru saja sekitar satu dekade lalu, tanpa pikir panjang kita menelan sumber daya alam di dunia seakan-akan sumber daya tersebut tidak terbatas. Kita gagal menyadari bahwa konsumsi tanpa pengendalian adalah bencana bagi kedua lingkungan dan kesejahteraan sosial. Sekarang, kedua individu dan pemerintah sedang mencari sistem baru yang ramah lingkungan dan ekonomis.
Memang benar bahwa hingga akhir tahun 1980-an, banyak orang percaya bahwa perang merupakan suatu keadaan yang tak terelakan oleh umat manusia. Pandangan yang muncul saat itu adalah bahwa orang-orang dengan minat/kepentingan yang bertentangan hanya bisa berhadapan satu sama lain (ctt: bisa jadi berperang). Namun, pandangan ini telah berkurang. Saat ini seluruh dunia lebih berkomitmen untuk hidup berdampingan secara damai, sebagai buktinya ada disini, di kawasan Timur Tengah. Ini merupakan perkembangan yang positif disamping mengherankan.
Setelah selama berabad-abad percaya bahwa suatu masyarakat hanya bisa diatur dengan sikap disiplin yang keras dan kaku, Manusia di seluruh penjuru dunia telah menyadari nilai positif dari suatu demokrasi. Berbicara dari hati mereka, mereka telah menunjukkan bahwa keinginan kuat akan kebebasan dan kebenaran serta demokrasi tumbuh dari sebuah bibit yaitu sifat dasar manusia. Kejadian yang belum lama ini terjadi di dunia telah membuktikan ekspresi kebenaran sederhana, yaitu sebuah kekuatan dahsyat dalam pikiran manusia, dan sebagai hasilnya, ia membentuk sejarah.
Salah satu pelajaran terbesar untuk kita semua adalah perubahan penuh kedamaian di bagian timur Eropa. Pada zaman dahulu, orang yang tertindas selalu mengambil jalan kekerasan dalam perjuangannya mendapatkan kebebasan. Sekarang, revolusi penuh damai tersebut, mengikuti jejak kaki Gandhi dan Martin Luther King, telah memberikan kepada generasi penerus mereka contoh luar biasa, perubahan tanpa kekerasan. Ketika, di masa depan, terjadi peningkatan kebutuhan untuk mengubah masyarakat, anak cucu kita bisa melihat kembali ke tahun 1989 sebagai paradigma perjuangan demi kedamaian: kisah nyata kesuksesan pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya, melibatkan lebih dari setengah lusin negara dan ratusan juta orang.
Sementara itu, telah tumbuh kewaspadaan tentang hak asasi manusia. Cara kasar tidak akan pernah menundukkan hasrat mendasar manusia akan kebebasan, kebenaran dan demokrasi, yang merupakan hak fundamental kita. Orang sudah tentu tidak suka seseorang atau sebuah sistem yang mengganggu, curang dan memiliki kebohongan. Segala perbuatan ini bertolak belakang dengan jiwa manusia.
Semua tanda-tanda menggembirakan ini mencerminkan sebuah penghargaan baru bagi nilai-nilai dasar manusia. Karena pelajaran yang telah mulai kita ambil, abad berikutnya akan lebih bersahabat, lebih rukun, dan tanpa ancaman. Belas kasihan, bibit kedamaian, akan mampu tumbuh dengan subur. Di waktu yang sama, Saya percaya semua individu memiliki tanggung jawab yang sama untuk membantu memandu keluarga besar kita ke arah yang benar. Keinginan baik saja tidak cukup, masing-masing kita harus memikul tanggung jawab tersebut.
Saya berharap dan berdoa di hari-hari berikutnya, masing-masing dari kita akan melakukan semua yang kita bisa untuk melihat bahwa cita-cita menciptakan dunia yang lebih menyenangkan, lebih rukun dan sehat akan tercapai.
[dari: Tibetan Bulletin (Maret- April 1994]
[ini adalah pesan yang alamatnya ditujukan kepada Society for the Protection of Nature, Israel, pada Maret 22, 1994]
Universal Responsibility and Our Global Environment
by H. H. the Dalai Lama
As the twentieth century draws to a close, we find that the world has grown smaller. The world's people have become almost one community. Political and military alliances have created large multinational groups; industry and international trade have produced a global economy. Worldwide communications are eliminating ancient barriers of distance, language and race. We are also being drawn together by the grave problems we face: overpopulation, dwindling natural resources, and an environmental crisis that threatens our air, water, and trees, along with the vast number of beautiful life forms that are the very foundation of existence on this small planet we share.
I believe that to meet the challenge of our times, human beings will have to develop a greater sense of universal responsibility. Each of us must learn to work not just for his or her own self, family or nation, but for the benefit of all mankind. Universal responsibility is the real key to human survival. It is the best foundation for world peace, the equitable use of natural resources and, through concern for future generations, the proper care of the environment.
That is why it is so heartening to see such non-governmental organisations as yours. Your role in forging a better future is absolutely essential. I have come across many such orgaisations built by dedicated volunteers out of genuine concern for their fellow human beings. Such commitment represents the forefront of both social and environmental progress.
Whether we like it or not, we have all been born on this earth as part of one great family. Rich or poor, educated or uneducated, belonging to one nation, religion, ideology or another, ultimately each of us is just a human being like everyone else. We all desire happiness and do not want suffering. Furthermore, each of us has the same right to pursue happiness and avoid suffering. When you recognise that all beings are equal in this respect, you automatically feel empathy and closeness for them. Out of this, in turn, comes a genuine sense of universal responsibility -- the wish to actively help others overcome their problems.
The need for a sense of universal responsibility is present in every aspect of modern life. Nowadays, significant events in one part of the world eventually affect the entire planet. Therefore, we have to treat each major local problem as a global concern from the moment it begins. We can no longer invoke the national, racial or ideological barriers that separate us without destructive repercussions. In the context of our new interdependence, considering the interest of others is clearly the best form of self-interest.
We need to appreciate interdependence in nature far more than we have in the past. Our ignorance of it is directly reponsible for many of the problems we face. For instance, tapping the limited resources of our world -- particularly those of the developing nations -- simply to fuel consumerism, is disastrous. If it continues unchecked, eventually we will all suffer. We must respect the delicate balance of life and allow it to replenish itself.
Ignorance of interdependence has not only harmed the natural environment, but human society as well. Instead of caring for one another, we place most of our efforts for happiness in pursuing individual material consumption. We have become so engrossed in this pursuit that, without knowing it, we have neglected to foster the most basic human needs of love, kindness and cooperation. This is very sad. We have to consider what we human beings really are. We are not machine-made objects. However, since we are not solely material creatures, it is a mistake to seek fulfillment in external development alone.
To pursue growth properly, we need to renew our commitment to human values in many fields. Political life, of course, requires an ethical foundation, but science and religion, as well, should be pursued from a moral basis. Without it scientists cannot distinguish between beneficial technologies and those which are merely expedient. The environmental damage surrounding us is the most obvious result of this confusion. In the case of religion, it is particularly necessary.
The purpose of religion is not to construct beautiful buildings, but to cultivate positive human qualities such as tolerance, generosity and love. Every world religion, no matter what its philosophical view, is founded first and foremost on the precept that we must reduce our selfishness and serve others. Unfortunately, sometimes in the name of religion, people cause more quarrels than they solve. Practitioners of different faiths should realise that each religious tradition has immense intrinsic value as a means for providing mental and spiritual health.
I have been extremely heartened to follow the recent developments in the search for peace between Israelis and Palestinians. Laying down guns on both sides, and talking face-to-face is, in my opinion, the only way to resolve such disputes. We must learn to live together in a nonviolent way that nurtures the freedom of all people.
There is a wonderful verse in the Bible about turning swords into ploughshares. It is a lovely image, a weapon transformed into a tool to serve basic human needs, symbolic of an attitude of inner and outer disarmament. In the spirit of this ancient message, I think it is important that we stress today the urgency of a policy that is long overdue -- the demilitarisation of the entire planet. Demilitarisation would free great human resources for protection of the environment, relief of poverty, and sustainable human development.
I have always envisioned the future of my own country, Tibet, as founded on this basis. Tibet will be a neutral, demilitarised sanctuary where weapons are forbidden and the people live in harmony with nature. I have called this a Zone of Ahimsa or non-violence. This is not merely a dream -- it is precisely the way Tibetans tried to live for over a thousand years before our country was tragically invaded. In Tibet, wildlife was protected in accordance with Buddhist principles. We enacted decrees to protect the environment, but it was mainly protected by the beliefs which were installed in use as children.
I would like to conclude by stating that I feel optimistic about the future. There are a number of recent trends which show our potential for achieving a better world. The rapid changes in our attitude towards the earth are a source of hope. As recently as a decade ago, we thoughtlessly devoured the resources of the world as if there was no end to them. We failed to realise that unchecked consumerism was disastrous for both the environment and social welfare. Now, both individuals and governments are seeking a new ecological and economic order.
It is true to say that as late as the 1980s people believed that war was an inevitable condition of mankind. The notion prevailed that people with conflicting interests could only confront each other. This view has deminished. Today people all over the globe are more committed to peaceful co-existence, as is evident here in the Middle East. This is an astonishingly positive development.
After believing for centuries that human society could only be governed with rigid authoritarian discipline, people in all corners of the world have woken up to the virtues of democracy. Speaking from their hearts, they have shown that the desire for freedom and truth and democracy stems from the core of human nature. Recent events have proved that the simple expression of truth is an immense force in the human mind, and as a result, in the shaping of history.
One of the greatest lessons for all of us has been the peaceful change in Eastern Europe. In the past, oppressed people have always resorted to violence in their struggle to be free. Now, these peaceful revolutions, following in the footsteps of Gandhi and Martin Luther King, have given future generations a tremendous example of successful, nonviolent change. When, in the future, the need arises to change society, our descendents can look back to 1989 as a paradigm for peaceful struggle: a real success story on an unprecedented scale, involving more than half a dozen nations and hundreds of millions of people.
Meanwhile, there has been a growth of awareness of human rights. Crude power can never subdue mankind's basic desire for freedom, truth and democracy, which are our fundamental right. People simply don't like a person or a system that bullies, cheats and lies. These activities are essentially opposed to the human spirit.
All these encouraging signs reflect a renewed appreciation of the benefits of basic human values. Because of the lessons we have begun to learn, the next century will be friendlier, more harmonious, and less harmful. Compassion, the seeds of peace, will be able to flourish. At the same time, I believe that every individual has a responsibility to help guide our global family in the right direction. Good wishes alone are not enough, we each have to assume responsibility.
I hope and pray that in the days ahead, each of us will do all we can to see that the goal of creating a happier, more harmonious and healthier world is achieved.
[from: Tibetan Bulletin (March-April 1994)
[This is the text of the address delivered to the Society for the Protection of Nature, Israel, on March 22, 1994]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar