Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Kamis, 09 Desember 2010

Tujuan Hidup Yang Ideal


Tujuan Hidup Yang Ideal 

OlehYang Mulia Bhikkhu Saddhaviro





Dhamma akan melindungi mereka yang mempraktikkannya.


Bapak, ibu, dan saudara-saudara sedhamma yang berbahagia pada kesempatan yang sangat baik ini kita akan membicarakan mengenai tujuan hidup yang ideal. Saya akan mulai dengan cerita cerita yang ada hubungannya dengan tujuan hidup.

Contoh orang pertama:
Ada seorang manusia yang mengalami kesulitan di dalam hidupnya, baik persoalan keluarga maupun persoalan pribadi lainnya. Dia merasakan hidup ini sungguh sulit, sampai-sampai hampir mau mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, karena merasa tidak kuat menanggung beban hidup ini. Akhirnya dia coba-coba datang ke vihara dan berkonsultasi dengan saya. Setelah dia menceritakan semua unek-uneknya, akhirnya dia bertanya, apa sih yang sebenarnya tuyjuan hidup ini, Bhante? Dalam hati saya mengatakan, andai ./['p\kesulitan-kesulitan hidup yang diderita orang itu h8ilang, pasti dia tidak akan bertanya tentang apa sih tujuan hidup itu. Karena kesulitan yang melilit pada dirinya itu, membuat dia bingung hingga tidak tahu apa tujuan hidupnya ini.

Contoh orang kedua:
Orang yang kedua ini tidak seperti orang yang pertama. Dia tidak mengalami kesulitan dalam hidupnya. Secara materi dia mampu , apa yang diinginkan bisa terkabul. Namun setelah menikmati keberhasilannya, setelah menuruti keinginannya, sesekali di malam sepi dia merenung, Oh hidup ini kok begini, hidup seolah-olah hanya monoton, pagi bangun, setelah bangun bekerja ke kantor, setelah mengerjakan perkerjaan dikantor, sore pulang menemui keluarga, dan malam hari tidur; pagi bangun lagi, bekerja lagi, dan seterusnya. Rutinitsq kehidupan ini membuat ia bertanya kepoada dirinya apa sih tujuan hidup ini. Pertanyaan yang sama dengan orang pertama tadi, walaupun dalam kondisi yang berbeda. Dalam hati, saya berkata, Oh orang ini bergelimangan dengan kekayaan duniawi, tetapi kekayaan batin atau kebutuhan rohaninya tidak terpenuhi, sehingga dia tidak tahu arah atau tujuan hidup ini.

Contoh orang ketiga:
Orang ini mempunyai pertanyaan yang sama, walaupun latar belakangnya berbeda dengan orang yang pertama dan kedua. Setelah dengan tekun dan serius ia berlatih Vipassana selama 10 haru penuh, dimana gurunya selalu menyuruh dia mengamati tentang anicca - tentang muncul, bertahan, lenyap -, begitu terus-menerus ia mengamati hal-hal yang berkaitan dengan jasmani dan batin itu, lalu ia merasa cocok dengan latihan itu.. Tetapi akhirnya ia juga bertanya, apa sih tujuan hidup ini?

Hidup kita ini panjang, sampai Sang Buddha memberikan kiasan bahwa air mata yang kita teteskan kalau mengalami kesedihan, kesusahan dalam hidup ini, melebihi banyaknya empat samudra. Karena kalau kita kumpulkan air mata kita dari kehidupan-kehidupan yang dulu, sekarang dan yang akan datang itu, akan melebihi 4 samudra, karena kehidupan kita ini sangat panjangnya. Kalau kita tidak tahu apa tujuannya, sangatlah berbahaya, seperti 3 cerita tadi. Sebagai pelajar atau mahasiswa, kita mempunyai tujuan yaitu untuk mendapatkan ijazah atau yang lebih mendasar lagi, memberantas ketidak tahuan atau kebodohan, karena kebodohan itu membawa sengsara dalam kehidupan ini. Bagi anda yang sebagai kaumcvfgrt pebisnis, mempunyai tujuan mendapatkan keuntungan. Begitu pula kaum politikus, mempunyai target-target atau tujuan-tujuan dalam kehidupannya. Itu adalah tujuan dalam perjalanan atau jangka pendek kita. Tetapi kalau hidup yang begitu panjang, seperti kiasan Sang Buddha tadi, lalu tidak mempunyai tujuan, amatlah berbahaya, saudara. Maka dari itu, saya mengajak saudara untuk memilih tujuan hidup yang ideal. Karena kalau kita tidak memilih yang ideal, kita akan lelah mengarahkan langkah kita. Setelah tercapai loncat lagi.

Pada umumnya orang hidup, ingin:
Kaya
Berkuasa
Tenar atau populer
Berumah tangga

Sang Buddha tidak melarang tujuan-tujuan umum tadi, namun itu bukan tujuan hidup yang ideal dalam kacamata Buddha Dharma, melainkan bagaimanahidup ini bisa berbahagia, inilah tujuan hidup yang ideal. Anda mau berumah tangga, tidak menjadi bhikkhu, silakan. Anda tidak berumah tangga dan mau menjadi bhikkhu, silakan. Yang penting anda berbahagia. Inilah yang berharga. Namun kita sulit diarahkan, diajak ke dalam dasar kehidupan yang ideal ini. Orang-orang sudah tercengkeram dengan pola umum ini sejak kecil, walaupun pola umum itu akan membawa beban dalam kehidupannya. Contohnya, pola umum hidup mau berumah tangga. Begitu ibu-ibu dan bapak-bapak melihat anak perempuannya sudah berusia 25 tahun dan laki-laki berusi 30 tahun tetapi belum mendapatkan pasangan, sebagai orangtuannya lalu menjadi resah dan beban itu adalah kerana kita salah meletakkan pola hidup kita, oleh peimikiran yang klurang tepat pada kehidupan ini.

Padahal Sang Buddha tidak menegaskan bahwa hidup ini harus berumah tangga, tetapi hidup harus bahagia. Karena kehidupan ini sudah merupakan penderitaan, maka bagaimana kita bisa mengatasi penderitaan itu. Sang Buddha mengajarkan Dhamma supaya kita hidup bahagia, tidak harus berumah tangga dan juga tidak harus menjadi bhikkhu. Tetapi kita sudah tersedot oleh polah umum tadi. Kalau kita sudah berumah tangga, berhentikah tujuan hidup kita sebagai perumah tangga? Ternyata tidak. Setelah berumah tangga kurang lebih 10 tahun, tapi belum dikaruniai anak, orang ini kembali resah. Orang hidup berumah tangga pada umumnya yang diharapkan adalah mempunyai anak. Ini pandangan pada umumnya, tidak pada kebenarannya. Kalau pada kebenarannya kita harus bahagia, tapi pada umumnya harus mempunyai anak. Karena rumah tangga harus mempunyai anak, maka di situ telah lahir beban. Yang rugi adalah kita bseagai perumah tangga. Padahal Sang Buddha menegaskan, kita harus bahagia, dan tidak mengharuskan mempunyai anak. Karena pila umum tadi harus mempunyai anak, agar di hari tua nanti ada yang mengurus kita. Tapi itu bukan jaminan. Kalau karma buruk orangtua itu berbuah, walaupun mereka mempunyai anak 12 orang, tetap saja di hari tuannya tidak ada seorangpun yang dari anaknya yang mau mengurus irangtua itu. Sungguh merupakan penderitaan lain lagi bagi orangtua tersebut. Kalau saudara berpikir, bila mempunyai anak nanti pasti anaknya akan menolong orangtuanya, itu belum tentu. Ada kasus lain, orang ini tidak mempunyai anak karena dia masih bujang dan menjadi seorang bhikkhu. Karena telah begitu banyak berbuat baik dan sering menolong orang, di hari tuannya ia tidak takut tidak ada orang yang mau menolongnnya. Malah yang mau merawatnya pada rebutan, pada hal ia tidak punya anak. Tapi karma baiknya bicara.

Jadi seandainya bapak atau ibu sudah berumah tangga 10 tahun belum juga mempunyai anak, janganlah berkecil hati. Karena menurut agama Buddha atau menurut tujuan hidup yang ideal, anak bukanlah tujuan hidup. Itu hanyalah berdasarkan pola umum tadi yang mengharuskan mempunyai anak.

Kita bisa mempunyai anak karena ada karma baik di masa lampau. Setelah mempunyai anak, kita berharap lagi agar mendapatkan anak yang baik, tidak nakal, tapi ternyata anaknya nakal. Orangtua menasehati dua patah kata, anaknya sudah menjawab lima patah kata. Kadang-kadang saking jengkelnya si orangtua bertanya kepada anaknya, "Kamu ini anak siapa?", karena tidak sesuai dengan sifat orangtuannya. Kalau kita mempunyai tujuan yang sifatnya umum tadi, sudah tercapai, setelah mempunyai anak, tentunya anak yang baik kita arahkan lagi untuk mendapatkan menantu yang baik. nanti setelah mendapatkan menantu yang baik, tujuan anda bergeser lagi. Tentu saja ini melelahkan perjuangan anda di dalam kehidupan ini. Maka dari itu, saya mengajak saudara-saudara untuk mengubah cara pandang yang semacam ini. Kita arahkan kepada yang pasti, yaitu kepada kebahagiaan. Berumah tangga tidak masalah, tidak berumahtangga juga tidak masalah. Menjadi bhikkhu tidak masalah, yang penting bahagia. Punya anak tidak masalah, tidak punya anak juga tidak masalah. Punya anak yang baik atau punya anak yang tidak baik, itu tidak masalah, yang penting bahagia. Jangan yang penting hidup berumah tangga. Pernah saya ditanya oleh seseorang. Apakah bhikkhu boleh menikah? Lalu saja jawab., "Selama menjadi bhikkhu memang tidak boleh menikah, kecuali kalau sudah tidak tahan menjadi seorang bhikkhu dan menjadi umat awam kembali, dia bisa melakukan pernikahan". Bapak ini bertanya lagi, "Pak bhikkhu, apakah bapak bhikkhu dengan tidak menikah itu tidak menyalahi kodrat Tuhan yang dikatakan lahir perpasangan?". Saya menjawab, "kalau memang Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, mengapa kok ada juga yang mencari kesana kemari sampai akhirnya meninggal dunia juga tidak menemukan pasangannya? Dan perlu bapak ketahui yagn dikatakn menciptakan berpasangan itu adalah tidak perpasangan. Karena tuhan itu tidak perpasangan, jadi kalau saya ini tidak perpasangan, itu adalah karena ingin menuju hakekat Ketuhanan itu sendiri".

Menurut pandangan umum, memang hidup itu harus berpasangan, tetapi menurut agama Buddha tidak harus berpasangan, melainkan bagaimana hidup ini harus bahagia. Ityu saja yang harus dicapai dalam kehidupan ini.

Dalam mencapai bahagia, terdapat 2 macam cara, yaitu:
  1. Kebahagiaan yang bermata kail
  2. Kebahagiaan yagn tidak bermata kail
1. Kebahagiaan yang bermata kail, contohnya adalah kebahagiaan yang kita dapatkan melalui indera-indera kita, yaitu melalui mata melihat yang indah, kuping mendengar yang merdu-merdu, kulit merasakan sentuhan yang nikmat, mulut merasakan makanan yang enak, hidup mencium bauk yang menyenangkan. kebahagiaan ini adalah kebahagiaan awal. kebahagiaan yang sangat mudah kita dapatkan, namun sering mebuat malapetaka dalam kehidupan kita. Itu karena kebahagiaan ini diikuti oleh kemelekatan, diikuti oleh ketagihan dan kalau tidak dipenuhi kita akan tersiksa.

2. Kebahagiaan yang tidak bermata kail. bisa didapatkan dari olah kejiwaan, latihan berpuasa dan latihan meditasi. Dengan meditasi kita akan mendapatkan kegiuran, dan dengan meditasi akan mendapatkan jhana, ketenangan. Itulah yang disebut kebahagiaan yang tidak bermata kail, karena kebahagiana yang kita capai berasal dari diri kita sendiri, bukan berasal dari luar diri kita. Kalau diibaratkan air, kebahagiaan yang bermata kali itu diibaratkan seperti air yang berada di dalam kolam. Air hanya akan ada di sana kalau ada yang mengisinya, entah itu dari huajan atau dari orang yang mengisi kolam tersebut. Begitu air tersebut kita gunakan untuk mencuci, mandi dan sebagainya, maka air kolam itu bisa menjadi habis kalau tidak diisi lagi. Kalau diiisi lagi, bermata kali lagil itu kebahagiana yang pertama tadi. Kebahagiaan yang kedua, yaitu kebahagiaan dari dalam diri kita, ibaratnya air di dalam sumur yang menang airnya keluar dari dalam. Pagi kita pakai mencuci, siang mandi, sorenya sudah terisi lagi, tanpa perlu ada yang mengisi sumur itu. Airnya akan mengalir dengan sendirinya.

Teori-teori kebahagiaan bagi umat awam:
  1. Bahagia karena mempunyai kekayaan. Pengertiaan di sini adalah kita boleh mencari kekayaan sebanyak-banyaknnya, asalkan jangan sampai kekayaan itu menyiksa kita, jangan sampai kekayaan itu tidak mampu melahirkan kebahagiaan dalam kehidupan kita ini, mengingat tujuannya yang ideal dalam hidup ini adalah bahagia. Setelah seseorang bekerja membanting tulang, waktu orang ini berpikir, saya mempunyai rumah, mobil, tanah, dan sebagainya, maka kebahagiaan akan muncuk, kepuasan akan muncul. Itulah yang dikatakan kebahagiaan yang karena memiliki kekayaan.
  2. Kebahagiaan karena bisa menggunakan kekayaan. Setelah kita kaya, kita bisa membantu orang lain. Dan setelah tahu karena bantuan kita orang lain yang kita bantu itu bisa terbebas dari kesulitan, pada saat berpikir demikian, kebahagiaan akan muncul di dalam diri kita. Itulah yang dikatakan kebahagiaan karena bisa menggunakan kekayaan.
  3. Kebahagiaan apabila tidak mempunyai hutang. Dengan tidak mempunyai hutang. Kita tidak akan merasa gelisah karena dikejar-kejar oleh si penagih hutang.
  4. Kebahagiaan karena perbuatan kita baik atau perbuatan kita tidak tercela. Apabila kita tidak mempunyai perbuatan-perbuatan yang tercela di masyarakat, kita akan mendapatkan kebahagiaan. Dengan tidak berbohong, kita tidak akan diganggu oleh kebohongan kita. Orang lain memang bisa kita bohongi, tetapi kebohongan yang kita lakukan itu tidak bisa kita ikut sertakan kepada orang lain. Kebohongan yang kita lakukan itu mengikuti kita, bukan mengikuti orang lain.
Tiga tahapan atau cara lain untuk mendapatkan kebahagiaan, yang berkaitan dengan keinginan:
  1. Bahagia karena tercapainya keinginan kita.
  2. Bahagia karena terkendalinya keingian kita, bisa menjaga emosi kita.
  3. Kebahagiaan karrena berhasil memadamkan keinginan kita.
Itulah cara-cara untuk mendapatkan kebahagiaan.

Kesimpulannya: apabila kita hidup sesuai dengan Dhamma, kita akan bahagia, baik pada saat ini maupun saat yang akan datang. Inilah tujuan hidup yang ideal.

(Sumber : Ceramah Dhamma, disadur oleh: Panitia Ceramah Dhamma VIhara Buddha Sakyamnuni, Denpasar, diedit oleh: Ir Lindawati T. Dikutip dari Buku Mutiara Dhamma XIV, atas izin Ir. Lindawati T)

[ Dikutip dari Majalah Buddhis Indonesia edisi 78 ]

1 komentar: