| Warga negara yang baik dalam Buddhisme |     |             |         
| Oleh Ari Mariyono, S.Ag | 
|   Komponen  suatu negara merupakan bentuk bagian yang sangat majemuk yang mana  terdiri dari berbagai jenis budaya, adat istiadat yang membentuknya.  Dalam hal ini tidaklah terlepas dari Peran Sumber Daya Manusia yang  menempati bagian negara tersebut, yaitu kesejahteraan, keadilan dan  kemakmuran bangsa itu dapat dikondisikan oleh Sumber Daya Manusia yang  menempatinya. Peran warga negara untuk memajukan bangsa dan negara  merupakan kewajiban sepenuhnya yang harus dipatuhi oleh semua penduduk  sebuah negara tersebut.  Kewajiban Menjadi Warga Negara  Pada hakikatnya setiap warga negara  memiliki kewajiban dalam pembelaan tanah air serta wajib menyampaikan  pendapatnya untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan negara serta  wajib mematuhi peraturan yang ada dalam negaranya.  Hal ini diatur dalam  undang-undang yang berlaku dalam kenegaraannya masing-masing. Di  Indonesia hal tersebut diatur dalam UUD 1945 (Kansil, 2004: 50-54) yaitu  terdapat dalam pasal-pasal dalam Undang Undang dasar yaitu:  Pasal 27 ayat tiga, Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 28 ayat 3 poin kesatu, Setiap  orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,  berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu  pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya, demi meningkatkan kualitas  hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Pasal 28 ayat 3 poin kedua, Setiap  warga negara berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya  secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Pasal 30 ayat 1, Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Pasal 30 ayat 2, Usaha pertahanan dan  keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan  rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara  Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan  pendukung.  Pasal-pasal tersebut merupakan sarana  untuk warga negara dalam menyumbangkan kemampuan, bakat, serta  kepandaian dalam memajukan serta mengabdikan diri pada bangsa dan  negara.  Pandangan agama Buddha terhadap peran  sebagai warga negara dimulai dari membangun individu manusia yang  bermoral baik, menjalankan norma yang ada dalam masyarakat dan agama  serta mentaati peraturan yang ada dalam suatu negara. Dhammananda (2003:  416) menekankan bahwa kedamaian suatu negara atau dunia akan tercapai  jika setiap indivudu dapat mengamankan dirinya sehingga kedamaian dapat  dimulai dari diri sendiri dan berkembang dalam lingkungan yang lebih  luas. Dengan dimulai dari individu yang baik maka dapat diterima dalam  masyarakat, sehingga mampu memberikan ide atau gagasan untuk diterima di  dalam masyarakat. Gagasan atau ide yang diterima tentunya memiliki  manfaat untuk kemajuan bersama. Tindakan sederhana demikian merupakan  contoh peran sebagai warga negara.  Selain itu Buddha menekankan bahwa  seseorang harus memiliki suatu keahlian sehingga dapat menghidupi  dirinya sendiri dan memberikan manfaat terhadap makhluk lain, maupun  dapat berperan dalam kepentingan banyak orang. Buddha bersabda dalam  Ma?ggala sutta, Khuddakapatha (?anamoli, 2005: 146) bahwa seseorang yang  memiliki banyak pengetahuan dan keterampilan merupakan berkah utama.  Untuk mewujudkan manusia yang mempunyai keahlian serta keterampilan,  Buddha dalam Angutara Nikãya (Hare, 2001: 188) menekankan manusia  untuk:  (1) menjadi rajin dan terampil,  (2) menjaga harta kekayaan,  (3) memiliki dan menjadi teman yang baik, serta  (4) memiliki mata pencaharian yang  benar. Nasihat ini jika diterapkan pada setiap individu, maka akan  tercipta warga negara yang memiliki kepedulian terhadap sesama, tanggung  jawab yang tinggi sehingga kedamaian dan ketenteraman dapat terwujud  dengan adanya peran yang aktif dari warga negaranya. Dalam agama Buddha warga negara dilihat dari cara menjalani kehidupan terdiri dari dua kelompok besar (Rashid,1997: 23) yaitu: 1.  Gharavasa (umat awam) adalah orang  yang menjalani  hidup berkeluarga atau tidak berkeluarga yaitu  mempunyai pekerjaan, seperti: petani, pedagang, militer dan lain-lain  yang memberikan penghasilan untuk biaya kehidupan mereka. 2. Pabbajita adalah orang yang  meninggalkan kehidupan berumah tangga, keduniawian, dan menjalani hidup  suci (brahmacari). Pabbajita terdiri dari bhikkhu, bhikkhuni, samanera,  samaneri (Panjika 2004: 341 dan 372) bhikkhu adalah rohaniawan agama  Buddha laki-laki, bhikkhuni adalah rohaniawan agama Buddha perempuan,  samanera adalah calon bhikkhu, samaneri adalah calon bhikkhuni. Dilihat dari dua cara kehidupan  tersebut masing-masing mempunyai peran dalam upaya pembelaan negara.  Dalam hal ini umat awam lebih bebas dalam mengekpresikan dirinya dalam  kehidupan bernegara jika dibandingkan dengan para pabbajita. Dalam  Buddhisme, umat Buddha perumah tangga dapat berpartisipasi dalam semua  aspek kehidupan politik, termasuk menguasai dan mempergunakan kekuasaan  politik. Selain itu menurut Dammananda (2003: 419) umat Buddha (khusus  umat awam) diperbolehkan ikut dalam peperangan, hal ini seperti yang  diceritakan bahwa suatu ketika Sinha, seorang jenderal angkatan  bersenjata, menghadap Buddha dan menanyakan tentang peperangan untuk  alasan yang benar diperbolehkan.  Dalam Dhamma menegaskan jika terdapat  seseorang yang patut menerima hukuman harus dihukum. Dan ia yang patut  diberi hadiah harus diberi hadiah. Jangan melukai makhluk hidup apapun,  tetapi berlakulah adil, penuh cinta, dan kebaikan. Orang yang dihukum  atas kejahatannya akan terluka bukan dari niat buruk hakimnya tetapi  melalui tindakan jahat itu sendiri. Dalam hal ini Buddha mengajarkan  bahwa semua peperangan di mana manusia mencoba membantai saudaranya  sangat disayangkan. Terkecuali jika tidak ada cara lain mereka yang  terlibat perang untuk memelihara kedamaian dan keteraturan, setelah  menghabiskan segala cara untuk menghindari konflik.  Dalam Dhamma menekankan bahwa jika  seseorang yang berjuang demi kedamaian dan kebenaran akan mendapatkan  ganjaran besar: bahkan kekalahannya akan dianggap sebagai kemenangan.  Namun dalam hal ini Buddha tetap lebih mengutamakan bentuk penyelesaian  masalah dengan perdamaian karena perdamaian merupakan kemenangan  sepenuhnya. Sebagai warga negara para pabbajita  mempunyai peran dalam mengabdikan dirinya dalam kenegaraan. Menurut  Dhammananda (http://www.samaggiphala.or.id/naskahdammadtl.phpidhalcontbuddhism_politik.htmlpathhmid)  peran tersebut adalah sebagai berikut: 1.  Para pabbajita dapat mendidik para  raja dan menteri (para politisi) dengan mengajarkan Dharma kepada  mereka, menjadi penengah dalam berbagai permasalahan politik dan  melindungi hak-hak para warga negara pada saat diperlukan.  2. Para pabbajita tidak terlibat  sebagai pribadi dalam pengendalian dan pelaksanaan kekuasaan politik.  Mereka tidak terlibat dalam pergulatan kekuasaan politik. Dengan kata  lain, para pabbajita boleh terlibat dalam politik tetapi harus dibatasi  misalnya para pabbajita hanya boleh diminta untuk memberikan  pertimbangan atau nasihat dalam pengambilan keputusan, tetapi para   pabbajita tidak boleh menjadi politisi.  Dalam pembahasan ini Dhammananda  berbicara tentang tidak ada kerugian bagi para  pabbajita berpartisipasi  dalam politik artinya para  pabbajita berbicara tentang pendidikan  Dhamma dan menjadi penengah dalam permasalahan politik namun bukan ikut  dalam perebutan kekuasaan politik. Hal ini berdasarkan alasan-alasan  yang tepat, seperti (http://www.samaggiphala.or.id/naskahdammadtl.  phpidhalcontbuddhism_politik.htmlpathhmid): (a) Hal itu disebabkan oleh sejarah politik sosial seperti dalam kasus para Dalai Lama di Tibet. (b) Mereka yang tidak mempunyai  pilihan lain karena lingkungan politik tempat mereka berada. Misalnya,  apabila mereka dipilih oleh pihak-pihak yang berwenang untuk menjabat  sebagai menteri, wakil rakyat, anggota badan legislatif, dan lainnya. Sebagai warga negara keteladanan  Buddha sangatlah luas yaitu terbukti bahwa telah memberikan ajaran moral  kepada umatnya. Setelah mencapai Kebuddhaan, Buddha menempuh perjalanan  ke banyak tempat di India untuk membabarkan Dhamma. Selama proses  pembabaran Dhamma, Buddha terlibat dalam berbagai peristiwa yang  berkenaan dengan politik. Buddha menyelesaikan perselisihan serta  memberikan pendidikan nilai-nilai spiritual kepada para raja dan  menteri. Buddha tidak terlibat dalam pengendalian dan pelaksanaan  kekuasaan politik. Buddha juga tidak terlibat dalam pergulatan kekuasaan  politik, tetapi Buddha peduli terhadap situasi kesejahteraan negara.  Sebagai contoh dalam Dhammapada Atthakatha Buddha berperan dalam  mendamaikan perang saat suku Koliya dan Sakya memperebutkan air sungai,  Buddha memberi nasihat kepada mereka agar tidak melakukan peperangan.  Buddha bersabda “Demi keperluan  sejumlah air, yang sedikit nilainya, kalian seharusnya tidak  mengorbankan hidupmu yang jauh sangat berharga dan tak ternilai”  (Setyabudi dan Tim Penerjemah Vidyãsenã, 1997: 318). Jika Beliau tidak  menghentikan peperangan maka pertumpahan darah akan terjadi.  Penutup Jika semua manusia mengamalkan ajaran  moral dari Buddha maka kedamaian seluruh dunia akan terwujud. Di mana  setiap warga negara dapat menyelesaikan segala permasalahan dengan sikap  damai, tanpa peperangan dan bentuk konfik apapun, dengan demikian akan  tercipta keadaan harmonis dan keseimbangan di semua bidang dan  masing-masing individu berperan dalam mewujudkan kesejahteraan bersama.  Referensi Dhammananda, Sri. 2003. Keyakinan Umat Buddha. Terjemahan oleh Ida Kurniati. 2005. Jakarta: Yayasan Penerbit Karania. -------------------. 2008. Agama  Buddha dan politik (Online)  (http://www.samaggiphala.or.id/naskahdamma_dtl.phpid306hal3contbuddhism_politik.htmlpathhmid  diakses 12 April 2008).  Hare, E. M. (Ed.). 2001. Thebook of  Gradual Sayings, vol III (Anguttara Nikaya). Oxford: The Pali Texts  Society.  Kansil. 2004. Sekitar UUD 1945 Dewasa Ini. Jakarta: Perum  Percetakan Negara Republik Indonesia.  Nyanamoli. (Ed.). 2005. The Minor Reading (Khuddakapatha). Oxford: The Pali Texts Society.  Panjika. 2004. Kamus Umum Buddha Dhamma. Jakarta: Tri Sattva Buddhis Center. Rashid, Teja SM. 1997. Sila dan Vinaya. Jakarta: Buddhis Bodhi. Setyabudi, Dharmakusuma, dan Tim Penerjemah Vidyãsenã. 1997. Dhammapada Atthakatha. Jogyakarta: Vidyãnenã  | 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar