Bodhidharma, Sesepuh Zen
Agama Buddha Chan (Chan Zhong) sebuah tradisi utama lainnya dari agama Buddha Mahayana, muncul sebagai akibat kunjungan bersejarah ke Tiongkok yang dilakukan oleh seorang suciwan agung dari India, Bodhidharma. Bodhidharma tiba di Kanton (Guang Dong) pada tahun 520 Masehi. Chan adalah terjemahan dari istilah Sanskerta DHYANA, yang berarti meditasi. Dengan demikian, agama Buddha Chan mensyaratkan para umatnya untuk mempraktikkan praktik-praktik meditasi yang ketat dan dalam, yang memotong habis intelektualisme. Ini terkadang membuat orang menjadi percaya bahwa praktik ini sangat mirip dengan praktik Tanah Suci. Praktik Tanah Suci juga menyingkirkan pengetahuan intelektual, serta mengajarkan para umatnya untuk berkeyakinan penuh terhadap Buddha Amitabha untuk memperoleh keselamatan, sekalipun bagi agama Buddha Chan keselamatan bukanlah "JALAN MUDAH". Bagi agama Buddha Chan, keselamatan membutuhkan kekuatan dan upaya diri untuk mencapai keselamatan, serta tidak bergantung pada Buddha mana pun untuk membantu pencapaian Pencerahan. Namun, kedua tradisi ini sama-sama populer bagi orang Tionghoa, dan kemudian juga bagi orang Jepang di abad ke-12. Di Jepang, agama Buddha Chan ini dikenal sebagai agama Buddha Zen. Dua aliran utama yang muncul dari tradisi ini adalah RINZAI (LIN CI) dan SOTO (CAO DONG), yang hanya berbeda dalam cara pendekatannya menuju Pencerahan.
Bodhidharma (470-543 Masehi) adalah sesepuh ke-28 agama Buddha, sekaligus sebagai sesepuh pertama dari agama Buddha Chan, tradisi yang didirikannya di Tiongkok. Ajarannya diwariskan turun-temurun dengan apa yang dikenal sebagai "TRANSMISI BATIN/PEWARISAN BATIN" terhadap sejumlah sesepuh. Salah satu sesepuh yang paling terkenal adalah HUI NENG (637-713 Masehi), yang merupakan sesepuh ke enam.
Sesampainya di Tiongkok, Bodhidharma dipanggil menghadap ke istana oleh Kaisar WU DI dari Dinasti Liang, yang juga merupakan sesosok umat Buddha yang penuh semangat serta yang membanggakan dirinya karena banyak mendukung agama Buddha. Karena bangga atas pengetahuannya akan agama Buddha serta sumbangsih yang telah diberikannya kepada Sangha, ia bertanya kepada sang suciwan, "seberapa banyak jasa kebajikan yang telah diperolehnya?".
"Tidak ada jasa kebajikan apa pun" adalah jawaban yang mengejutkan dari Bodhidharma.
Sang Kaisar sering kali mendengarkan ajaran dari para guru terkenal yang berkata, "jika berbuat baik, Engkau akan menerima kebaikan. Jika berbuat buruk, Engkau akan menerima keburukan. Hukum Karma tak berubah, akibat timbul dari penyebab laksana bayang-bayang mengikuti bendanya'. Namun sekarang sang suciwan menyatakan bahwa Kaisar belum memperoleh jasa kebajikan apa pun. Kaisar merasa sangat kebingungan.
Mengapa Bodhidharma menjawab seperti itu? Mungkin karena beliau tengah mencoba berkata, dengan sedikit kata-kata, bahwa jika seseorang melakukan perbuatan baik dengan niat untuk memperoleh jasa kebajikan bagi dirinya sendiri, itu bukan lagi praktik Buddhis. Itu berarti bahwa orang itu tidak benar-benar tengah mempraktikkan Dharma, namun lebih untuk memuaskan egonya sendiri ataupun meningkatkan kesejahteraannya sendiri, dan malah mungkin supaya dikenal dan dihargai. Dalam hal ini, bagaimana mungkin ada jasa kebajikan apa pun dalam perbuatan seperti ini? Dan sebagai guru Zen, ia tidak berkata banyak. Karena itu, ia hanya menjawab, "Tidak ada jasa kebajikan apa pun".
Merasa terkejut, Kaisar lalu menanyakan pertanyaan berikutnya, "Lalu, apa inti agama Buddha itu?"
Bodhidharma segera menjawab. "Kekosongan di mana-mana, tiada inti apa pun". Jawaban ini membuat Kaisar tertegun karena ia tak mampu memahami makna yang mendalam dari istilah "Tiada inti apa pun" dalam ajaran Buddha. Para guru lainnya telah bersusah-payah menjelaskan bahwa inti ajaran agama Buddha terkandung dalam doktrin-doktrin seperti Hukum Sebab Akibat (Hukum Karma), Empat Kebenaran Mulia, Cita-cita Bodhisatwa, dan sebagainya. Namun orang yang dianggapnya sebagai sosok sesepuh agung agama Buddha ini hanya menyatakan bahwa "tidak ada inti apa pun"
Lalu Kaisar menanyakan pertanyaannya yang terakhir, "Karena Engkau menyatakan bahwa dalam agama Buddha semua hal tidak memiliki inti, lalu siapakah yang tengah berbicara di hadapankun saat ini?" Bodhidharma menjawab, "Saya tidak tahu". Sang Kaisar sangat terkejut, karena ia tidak mampu memahami maksud Bodhidharma.
Dengan penuh kebingungan, Kaisar lalu menyuruh sang suciwan pergi dari istana. Demikianlah, untuk pertama kalinya Tiongkok mencicipi ajaran Chan.
Setelah itu, Bodhidharma menyendiri lagi, merenung, "Karena sesosok ahli yang terpelajar dan hebat seperti Kaisar pun tidak mampu memahami apa yang aku tengah coba sampaikan, mungkin kondisinya belum matang bagiku untuk mengajar......" Ia lalu menyendiri di sebuah gua di Biara Shao Lin (Shao Lin Si) yang terkenal itu. Disana, ia duduk dalam perenungan yang mendalam seraya menghadap ke dinding gua selama sekitar sembilan tahun, menunggu waktu yang tepat, saat ajaran-ajarannya bisa dipahami dan diterima rakyat disana.
Bodhidharma datang ke Tiongkok untuk memberikan ajarannya yang khusus, yang bisa dikatakan terkandung dalam syair ini :
PEWARISAN AJARAN SECARA KHUSUS DI LUAR KITAB SUCI,
TAK BERGANTUNG PADA KATA ATAUPUN HURUF,
LANGSUNG MENEMBUS KE HATI,
MELIHAT KE DALAM SIFAT DIRI SENDIRI.
Bodhidharma selanjutnya tinggal di Tiongkok selama sekitar 50 tahun, mengajar di saat yang tepat, dan menggunakan LANKAVATARA SUTRA (LENG JIA JING) dalam ajarannya. Ia digantikan oleh para sesepuh berikut ini :
- Sesepuh ke-2 : Hui Ke (486-593 Masehi)
- Sesepuh ke-3 : Seng Can (wafat tahun 606 Masehi)
- Sesepuh ke-4 : Dao Xin (580-651 Masehi)
- Sesepuh ke-5 : Hong Reng (602-675 Masehi)
- Sesepuh ke-6 : Hui Neng (638-713 Masehi)
Adalah Hui Neng, seorang pandai kayu yang buta huruf, yang akhirnya membuat agama Buddha Chan berkembang subur di Tiongkok, lebih dari sebelumnya.
Mungkin menarik untuk dicatat disini bahwa setelah kepergian Bodhidharma, Kaisar Wu Di membicarakan kejadian tersebut dengan guru spiritualnya, BAO ZHI. Sang guru bertanya kepada sang Kaisar, "Apakah Yang Mulia mengetahui siapakah orang ini sesungguhnya? Beliau ini adalah Avalokitesvara Mahasatva yang tengah mewariskan Jejak Hati Buddha....."
Betapa menyesalnya Kaisar karena telah menyuruhnya pergi dari istana. Bertahun-tahun kemudian, tatkala mengetahui sang suciwan telah wafat, Kaisar sangat berduka. Ia lalu membuatkan sebuah pahatan untuk mengenang sang sesepuh agung tersebut. Pahatan itu berbunyi :
"ADUHAI! AKU MELIHATNYA TAPI TAK MELIHATNYA,
AKU BERJUMPA DENGANNYA TAPI TAK BERJUMPA DENGANNYA,
AKU BERTEMU DENGANNYA TAPI TAK BERTEMU DENGANNYA,
SEKARANG, DAN SEBELUM INI, SUNGGUH AKU MENYESALINYA!."
Bodhidharma memiliki banyak umat yang penuh bakti, dan hari wafatnya diperingati pada tanggal 5 bulan 10 penanggalan bulan. Beliau sering kali dilukiskan sebagai sesosok biksu kelana, atau dilukiskan berdiri menjejak sebatang ilalang yang membawanya menyeberang sungai, suatu mukjizat yang membuat orang -orang yang menyakini kekuatannya ini menganggap beliau sebagai seorang ARHANT atau LUO HAN, suatu istilah dalam bahasa Mandarin yang artinya "DEWA ABADI". Menurut tradisi Tionghoa, Bodhidharma adalah salah satu dari 18 Luo Han yang sangat dekat dengan umat manusia. Lukisan kelompok Luo Han ini umumnya terdapat di banyak wihara, dan para Luo Han ini digambarkan memiliki aneka jenis kekuatan adialami, yang dilambangkan oleh hewan-hewan liar yang merunduk jinak di samping mereka, dan atau oleh benda-benda khusus yang dihubungkan dengan mereka ini. Sekalipun para Luo Han ini berada satu tataran di bawah tataran Bodhisatwa, mereka ini adalah makhluk-makhluk yang telah Tercerahkan, yang patut kita hormati. Oleh umat Buddha, Bodhidharma atau DA MO dipuja sebagai pendiri TRADISI PERENUNGAN AGUNG atau CHAN/ZEN. Dan oleh orang-orang lainnya, ia dipuja atas kekuatan perlindungannya, atau sebagai suciwan agung dari Biara Shao Lin.
Sumber : Buddha dan Bodhisatwa dalam agama Buddha Tionghoa
Penerbit : Yayasan Serlingpa Dharmakirti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar