Orang yang bijaksana akan meletakkan keyakinannya kepada Buddha, Dhamma dan Sangha.
(Pabbatupama Sutta, Kosala Sanyutta)
Jika ajaran dari suatu agama tidak bisa diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat, maka agama tersebut tentu tidak bias berkembang. Agar bisa diterima dalam masyarakat, ajaran-ajaran dasar dari suatu agama harus bisa diterapkan ke dalam nilai-nilai sosial, tujuan-tujuan sosial, dan urusan-urusan kemasyarakatan yang lain (bersifat keduniawian). Lantas, bagaimanakah dengan ajaran agama Buddha ? Apakah ajaran-ajaran dasar dari Sang Buddha yang terdapat dalam kitab suci Tipitaka bisa diaplikasikan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kehidupan bermasyarakat ?
Beberapa penulis yang membahas ajaran-ajaran Sang Buddha telah memberikan pendapat mereka tentang hubungannya antara agama Buddha dengan ilmu-ilmu kemasyarakatan. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa agama Buddha tidak mengajarkan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan sebagian lagi berpendapat sebaliknya.
Salah satu contoh adalah pendapat Max Weber yang mengatakan bahwa agama Buddha tidak mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan politik dan kemasyarakatan. Tetapi jika kita mempelajari agama Buddha secara mendalam, kita akan mendapatkan beberapa bukti kuat berdasarkan pada kitab suci Tipi?aka , untuk membuktikan bahwa pendapat Max Weber adalah salah. Dalam kaitannya dengan aspek-aspek sosial, perlu diingat bahwa Sang Buddha tidak pernah mengklaim diri-Nya sebagai pelopor perubahan kemasyarakatan di India. Menurut kitab suci Tipi?aka Sang Buddha disebut sebagai Pembabar Dhamma yang tiada bandingnya (Anuttara? Dhammacakka? pavatteti). Oleh karena itu Dhamma yang telah diputar oleh Sang Buddha dijadikan sebagai patokan, kriteria, penuntun masyarakat Buddhis dalam menjalankan kehidupan mereka sehari-hari. Dengan demikian sejak diputarnya Dhamma oleh Sang Buddha, telah terbentuklah masyarakat Buddhis yang berdasar pada ajaran-ajaranNya.
Tahap pertama yang terpenting adalah pemutaran roda Dhamma yang pertama Dhammacakkappavatthana Sutta yang telah dibabarkan oleh Beliau di Taman Rusa Isipatana, di kota Benares. Setelah kelima pertapa yang disebutkan dalam Dhammacakkappavatthana Sutta diterima oleh Sang Buddha maka telah terbentuklah untuk pertama kali dengan apa yang disebut masyarakat Sangha (meskipun dalam hal ini lebih tepat disebut sebagai kelompok Sangha). Hal ini merupakan hal yang sangat penting jika kita belajar aspek-aspek dasar agama Buddha. Untuk tahap berikutnya Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu, upasaka/upasika (murid-murid Beliau) tentang bagaimana cara-cara untuk mendapatkan kesejahteraan. Setelah Sang Buddha mendapat pengikut yang banyak maka terbentuklah apa yang dikatakan sebagai "masyarakat Buddhis".
Tentunya tidak dapat dipungkiri bahwa Sang Buddha meskipun Beliau bukan sebagai revolusioner di bidang sosial, tetapi Beliau menginginkan adanya dunia Buddhis, sebagai suatu kelompok/masyarakat yang baru di tengah-tengah beberapa kelompok masyarakat dari agama dan kepercayaan yang lain, yang ada pada waktu itu. Adapun tekad Sang Buddha untuk membentuk apa yang dinamakan masyarakat Buddhis bisa kita lihat dari Maha Parinibbana Sutta sebagai berikut : "Saya tidak akan berParinibbana sebelum ajaran-ajaran agung-Ku telah dimengerti, telah menyebar, serta telah diajarkan dengan baik kepada manusia."
Sang Buddha sangat memperhatikan secara mendalam tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh setiap manusia yang ada pada saat itu misalnya dengan meningkatkan kondisi dari masing-masing individu dan juga masyarakat untuk menunjang kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa pernyataan Dhamma Vinaya mengandung pengertian material dan spiritual.
Yang menjamin keberhasilan
Dalam Sutta Nipata, Maha Mangala Sutta terdapat ajaran dari Sang Buddha yang menjelaskan tentang cara-cara untuk mendapatkan keberhasilan. Khotbah di hutan Jeta pemberian saudagar Anattapindika ini membabarkan tentang 38 jenis perbuatan yang apabila dilakukan akan membawa seseorang bisa mendapatkan suatu keberhasilan. Secara garis besar ke-38 jenis perbuatan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu :
Beberapa penulis yang membahas ajaran-ajaran Sang Buddha telah memberikan pendapat mereka tentang hubungannya antara agama Buddha dengan ilmu-ilmu kemasyarakatan. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa agama Buddha tidak mengajarkan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan sebagian lagi berpendapat sebaliknya.
Salah satu contoh adalah pendapat Max Weber yang mengatakan bahwa agama Buddha tidak mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan politik dan kemasyarakatan. Tetapi jika kita mempelajari agama Buddha secara mendalam, kita akan mendapatkan beberapa bukti kuat berdasarkan pada kitab suci Tipi?aka , untuk membuktikan bahwa pendapat Max Weber adalah salah. Dalam kaitannya dengan aspek-aspek sosial, perlu diingat bahwa Sang Buddha tidak pernah mengklaim diri-Nya sebagai pelopor perubahan kemasyarakatan di India. Menurut kitab suci Tipi?aka Sang Buddha disebut sebagai Pembabar Dhamma yang tiada bandingnya (Anuttara? Dhammacakka? pavatteti). Oleh karena itu Dhamma yang telah diputar oleh Sang Buddha dijadikan sebagai patokan, kriteria, penuntun masyarakat Buddhis dalam menjalankan kehidupan mereka sehari-hari. Dengan demikian sejak diputarnya Dhamma oleh Sang Buddha, telah terbentuklah masyarakat Buddhis yang berdasar pada ajaran-ajaranNya.
Tahap pertama yang terpenting adalah pemutaran roda Dhamma yang pertama Dhammacakkappavatthana Sutta yang telah dibabarkan oleh Beliau di Taman Rusa Isipatana, di kota Benares. Setelah kelima pertapa yang disebutkan dalam Dhammacakkappavatthana Sutta diterima oleh Sang Buddha maka telah terbentuklah untuk pertama kali dengan apa yang disebut masyarakat Sangha (meskipun dalam hal ini lebih tepat disebut sebagai kelompok Sangha). Hal ini merupakan hal yang sangat penting jika kita belajar aspek-aspek dasar agama Buddha. Untuk tahap berikutnya Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu, upasaka/upasika (murid-murid Beliau) tentang bagaimana cara-cara untuk mendapatkan kesejahteraan. Setelah Sang Buddha mendapat pengikut yang banyak maka terbentuklah apa yang dikatakan sebagai "masyarakat Buddhis".
Tentunya tidak dapat dipungkiri bahwa Sang Buddha meskipun Beliau bukan sebagai revolusioner di bidang sosial, tetapi Beliau menginginkan adanya dunia Buddhis, sebagai suatu kelompok/masyarakat yang baru di tengah-tengah beberapa kelompok masyarakat dari agama dan kepercayaan yang lain, yang ada pada waktu itu. Adapun tekad Sang Buddha untuk membentuk apa yang dinamakan masyarakat Buddhis bisa kita lihat dari Maha Parinibbana Sutta sebagai berikut : "Saya tidak akan berParinibbana sebelum ajaran-ajaran agung-Ku telah dimengerti, telah menyebar, serta telah diajarkan dengan baik kepada manusia."
Sang Buddha sangat memperhatikan secara mendalam tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh setiap manusia yang ada pada saat itu misalnya dengan meningkatkan kondisi dari masing-masing individu dan juga masyarakat untuk menunjang kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa pernyataan Dhamma Vinaya mengandung pengertian material dan spiritual.
Yang menjamin keberhasilan
Dalam Sutta Nipata, Maha Mangala Sutta terdapat ajaran dari Sang Buddha yang menjelaskan tentang cara-cara untuk mendapatkan keberhasilan. Khotbah di hutan Jeta pemberian saudagar Anattapindika ini membabarkan tentang 38 jenis perbuatan yang apabila dilakukan akan membawa seseorang bisa mendapatkan suatu keberhasilan. Secara garis besar ke-38 jenis perbuatan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu :
- Sila (kemoralan)
Dasar kehidupan bermoral, terdiri dari tiga persiapan untuk dapat hidup bermoral, yang pertama; tak bergaul dengan orang yang dungu; bergaul dengan orang yang bijaksana; menghormat mereka yang patut untuk dihormat.
Bagian kedua adalah penunjang untuk hidup bermoral; hidup di lingkungan yang sesuai; hal ini didapat berkat jasa dari kehidupan yang lampau; menuntun diri ke arah yang benar. Dan yang ketiga adalah pendidikan dalam hidup bermoral; memiliki pengetahuan; trampil serba bisa (dalam hal kebajikan); terlatih baik dalam tata susila; menyenangkan tutur katanya.
Kehidupan sosial masyarakat; Dalam hal ini juga dibagi menjadi tiga bagian, yang pertama adalah kehidupan berkeluarga; membantu ayah dan ibu; menjaga baik-baik anak dan istri; serta memiliki pekerjaan yang penuh damai. Kedua adalah kehidupan sosial; suka berdana; berperilaku pantas; membantu sanak keluarga dan bertindak tidak tercela. Yang ketiga adalah kehidupan pribadi; berhenti berbuat jahat dan terbebas dari kejahatan; menghindari meminum minuman yang merusak; tekun dalam melaksanakan kehidupan bermoral.
- Samadhi (konsentrasi)
Dalam hal ini terdapat dua bagian utama yaitu yang pertama adalah persiapan diri untuk bersamadhi; memiliki rasa hormat; rendah hati; merasa puas; senantiasa berterima kasih; mendengarkan dhamma pada saat yang sesuai.
Bagian berikutnya adalah latihan untuk samadhi; sabar; bergaul dengan manusia teladan dalam dhamma; ikut serta dalam diskusi keagamaan.
- Pañña (kebijaksanaan)
Juga terbagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah jalan menuju kebijaksanaan; menjalankan kehidupan suci; memahami empat kebenaran mulia; merealisasi Nibbana. Dan sebagai hasil dari kebijaksanaan adalah : pikiran tanpa kesedihan; tanpa noda dan mantap; tetap tidak terganggu walau dipengaruhi kesulitan-kesulitan duniawi (terutama pasang surutnya kehidupan di dunia ini, atau kondisi-kondisi kehidupan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar