Riwayat Hidup Buddha Gotama
Sang Buddha lahir di antara suku Sakya, di sebuah
kerajaan di negeri yang sekarang bernama Nepal. Raja di sana bernama
Suddhodhana, permaisurinya adalah Ratu Maya. Meskipun Raja Suddhodana dan Ratu
Maya sudah lama menikah, namun anak yang sangat mereka dambakan belum juga
mereka peroleh, sampai pada suatu waktu Ratu Maya mencapai umur 45 tahun.
Ketika itu Ratu Maya ikut serta dalam perayaan Asadha yang berlangsung tujuh
hari lamanya. Setelah perayaan selesai Ratu Maya mandi dengan air wangi,
mengucapkan janji uposatha dan kemudian masuk ke kamar tidur.
Sewaktu tidur, Ratu Maya memperoleh impian yang aneh
sekali. Ratu bermimpi bahwa empat orang Dewa Agung telah mengangkatnya dan
membawanya ke Himava (Gunung Himalaya) dan meletakkannya di bawah pohon Sala di
(lereng) Mannosilatala. Kemudian para istri Dewa-Dewa Agung tersebut
memandikannya di danau Anotatta, menggosoknya dengan minyak wangi dan kemudian
memakaikannya pakaian-pakaian yang biasanya dipakai oleh para dewata.
Selanjutnya Ratu dipimpin masuk ke sebuah istana emas dan direbahkan di sebuah
dipan yang bagus sekali. Di tempat itulah seekor gajah putih dengan memegang
sekuntum bunga teratai dibelalainya memasuki kamar, mengelilingi dipan sebanyak
tiga kali untuk kemudian memasuki perut Ratu Maya dari sebelah kanan.
Ratu memberitahu impian ini kepada Raja dan Raja
kemudian memanggil para Brahmana untuk menanyakan arti dari impian tersebut.
Para Brahmana menerangkan bahwa Ratu akan mengandung seorang bayi laki-laki
yang kelak akan menjadi seorang Cakkavati (Raja dari semua Raja) atau seorang
Buddha.
Memang sejak hari itu Ratu mengandung dan Ratu Maya
dapat melihat dengan jelas bayi dalam kandungannya yang duduk dalam sikap
meditasi dengan muka menghadap ke depan.
Sepuluh bulan kemudian di bulan Waisak Ratu memohon
perkenan dari Raja untuk bersalin di rumah ibunya di Devadaha. Dalam perjalanan
ke Devadaha tibalah rombongan Ratu di taman Lumbini (sekarang Rumminde di
Pejwar, Nepal) yang indah sekali. Di kebun itu Ratu memerintahkan rombongan berhenti
untuk beristirahat. Dengan gembira Ratu berjalan-jalan di taman dan berhenti di
bawah pohon Sala. Pada waktu itulah Ratu merasa perutnya agak kurang enak.
Secepatnya para dayang memasang tirai di sekeliling Ratu. Ratu berpegangan pada
sebatang dahan pohon Sala, dan dalam sikap berdiri itu lahirlah bayi laki-laki.
Waktu itu tepat bulan purnama di bulan Waisak, tahun 623 sebelum masehi (SM).
Empat Maha Brahma menerima bayi itu dengan jaring
emas. Dari langit turunlah air hangat bercampur dingin untuk memandikan anak
itu, walaupun sebetulnya sang bayi sudah bersih, tanpa darah yang melekat. Bayi
itu kemudian berdiri tegak, berjalan tujuh langkah. Setiap dia menapak, di
bawah kakinya tumbuhlah bunga teratai, lalu Ia berkata :
"Aggo `ham
asmi lokassa
jettho `ham asmi lokassa
settho `ham asmi lokassa
ayam antima jati
natthi dani punabbhavo"
jettho `ham asmi lokassa
settho `ham asmi lokassa
ayam antima jati
natthi dani punabbhavo"
artinya adalah :
"Akulah
pemimpin di dunia ini
akulah tertua di dunia ini
akulah teragung di dunia ini
inilah kelahiranku yang terakhir
tak akan ada tumimbal lahir lagi".
akulah tertua di dunia ini
akulah teragung di dunia ini
inilah kelahiranku yang terakhir
tak akan ada tumimbal lahir lagi".
Seorang pertapa bernama Asita (juga di sebut
Kaladevala) diberitahu oleh para dewa, bahwa telah lahir seorang bayi lelaki
yang kelak menjadi seorang Buddha (Yang Sadar). Maka Asita pun berangkat ke
tempat bangsa Sakya. Asita melihat sang bayi memiliki 32 tanda dari seorang
Mahapurisa, ialah "orang besar": Asita segera memberi hormat kepada
sang bayi, lalu Raja Suddhodhana menirunya. Asita tertawa bergembira, lalu
kemudian menangis. Raja bertanya, mengapa? Pertapa itu menjelaskan, dia tertawa
karena senang bahwa bayi itu akan menjadi Buddha kelak, tetapi dia menangis,
karena dia sudah tua, tidak akan berkesempatan turut menerima ajaran-ajaran
Sang Buddha itu.
Pertapa Asita meneruskan berkata wanti-wanti agar di
masa pangeran tumbuh jangan diperbolehkan melihat empat hal, jika Raja tak
ingin pangeran menjadi Buddha, ialah: orang tua, orang sakit, orang mati, dan
seorang pertapa. Jika pangeran melihat empat jenis kehidupan itu, dia pasti
akan meninggalkan istana. Pada hari yang sama, lahir pula (timbul) dalam dunia
ini :
- Yasodhara, yang kemudian juga dikenal sebagai Rahula mata (ibu dari Rahula).
- Ananda, yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha.
- Kanthaka, yang kelak menjadi kuda Pangeran Siddhartha.
- Channa, yang kelak menjadi kusir Pangeran Siddhartha
- Kaludayi, yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kanilavatthu.
- Seekor gajah istana.
- Pohon Bodhi, di bawah pohon ini Pangeran Siddhartha kelak akan mendapatkan Agung.
- Nidhikumbhi, kendi tempat harta pusaka.
Lima hari setelah lahirnya sang bayi, Raja Suddhodana
memanggil sanak saudaranya bersama-sama 108 Brahmana untuk merayakan kelahiran
anak pertamanya dan juga untuk memilih nama yang baik. Para waktu itu, Raja
bertanya kepada para Brahmana yang mahir dalam ilmu ramal meramal. Tujuh dari
mereka berkata bahwa, putra raja kelak akan menjadi raja dari segala raja
(Cakkavati) atau akan menjadi Buddha. Seorang Brahmana termuda yang bernama
Kondanna, meramalkan dengan pasti bahwa sang bayi kelak akan menjadi Buddha.
Nama untuk sang bayi yang dipilih ialah Siddhartha, dengan nama keluarganya
Gotama/Gautama. Siddhartha berarti: Tercapailah segala yang dicita-citakannya.
Tujuh hari setelah Pangeran Siddhartha lahir, Ratu Maya meninggal dunia. Raja
Suddhodhana menikah lagi dengan Putri Pajapati, yang merupakan adik dari Ratu
Maya. Ratu baru ini yang kemudian diserahkan tugas untuk merawat sang bayi.
Setelah putra raja itu berumur beberapa tahun, ayahnya
mengajaknya ke perayaan pesta membajak. Raja sendiri turut membajak bersama
para petani. Selama perayaan berlangsung ramai, dayang-dayang juga terlena.
Mereka lupa mengawasi dan menjaga Pangeran Siddhartha karena ingin menyaksikan
kemeriahan pesta. Ketika kembali, mereka sangat heran melihat sang pangeran
kecil sedang duduk bersila, melakukan meditasi.
Secepatnya seseorang dikirim untuk memberitahu Raja
Suddhodhana. Diiringi para pengikut dan petani, datanglah rombongan
berbondong-bondong menyaksikan kejadian yang aneh itu. Memanglah demikian. Sang
pangeran kecil sedang bermeditasi, kaki bersila, tanpa menghiraukan
sekelilingnya. Sama sekali dia tidak terusik dengan kebisingan sekelilingnya.
Ditambah satu keganjilan lagi, ialah bayangan pohon jambu tempat pangeran
bernaung tidak mengikuti perubahan letak matahari, melainkan tetap menaungi
sang pangeran. Melihat peristiwa ini, untuk kedua kalinya sang raja memberi
hormat kepada putranya itu. Waktu itu pangeran berusia tujuh tahun. Raja
memerintahkan untuk membuat tiga buah kolam di istana, satu berisi teratai
biru, yang satu lagi berisi teratai merah, dan yang terakhir berisi teratai
putih. Raja juga mengeluarkan perintah agar kemana pun pangeran pergi, harus
dilindungi sebuah payung indah, baik siang maupun malam. Itu adalah lambang
keagungannya. Ketika umurnya telah mencapai masa pendidikan formal, raja mendatangkan
seorang guru bernama Vissamitta. Dia harus memberi pelajaran tentang ilmu
pengetahuan.
Pangeran ternyata sangat pandai, sehingga dalam waktu
singkat semua ilmu yang diajarkan dia serap dengan baik. Dia juga seorang yang
baik hati, selalu penuh kasih sayang kepada siapapun. Tidak hanya terhadap
manusia. Pendek kata kepada semua makhluk dia selalu memperhatikan. Mengenai
sifat kasih sayang ini, dikenal satu cerita yang menarik, terjadi ketika
pangeran masih belum remaja.
Pada suatu hari, putra Raja Suddhodhana itu
berjalan-jalan di taman istana. Sepupunya yang bernama Devadatta juga
bersamanya, tetapi anak itu menyandang busur beserta anak panah. Ketika
kelihatan sekelompok belibis terbang, Devadatta dengan sigap membidikkan
panahnya. Seekor belibis terkena, lalu jatuh. Pangeran dan pembidik
berlari-lari ke arah tempat jatuhnya korban. Tetapi anak Raja Suddhodhana tiba
lebih dahulu, mengambil belibis serta memeluknya. Ternyata burung itu masih
bernafas. Dengan hati-hati dan penuh kasih, pangeran mencabut anak panah,
memetik beberapa lembar daun serta meremas-remasnya. Ramuan hijau itu dia
tempelkan pada luka bekas panah. Devadatta datang kemudian, meminta belibis itu
dengan mengatakan bahwa dia berhak memilikinya. Pangeran menjawab : "Tidak,
belibis ini tidak akan kuserahkan padamu. Kalau dia mati, memang benar itu
menjadi milikmu. Tapi lihatlah sekarang, dia masih hidup dan akan sembuh dari
lukanya. Karena aku yang menolongnya, maka dia adalah hakku."
Devadatta tetap memprotes karena berpendapat bahwa
belibis itu adalah haknya. Sedangkan Pangeran Siddhartha tetap pula pada
pendiriannya. Atas usul pangeran, mereka pergi ke dewan para bijaksana, mohon
agar diberikan keputusan adil pada kasus itu. Setelah kedua belah pihak
didengarkan baik-baik, dewan berkata dan memutuskan : "Hidup adalah
milik orang yang menyelamatkan. Hidup tidak mungkin menjadi milik orang yang
mencoba menghancurkannya. Oleh sebab itu, mengikuti aturan-aturan keadilan yang
berlaku, belibis ini dengan syah milik orang yang menyelamatkan jiwanya, ialah
Pangeran Siddhartha."
Pada usia enam belas tahun, pangeran dibuatkan tiga
buah istana oleh ayahnya.Satu istana untuk musim panas (Suramma), satu untuk
musim hujan (Subha), dan satu lagi untuk musim dingin (Ramma). Ketiganya besar
dan indah, lengkap dengan taman penuh bunga serta tetumbuhan lain yang lindung.
Semuanya dibuat serba nyaman, penuh wangi-wangian. Kehidupan dibuat supaya
senang, banyak berpesta.
Kemudian raja memberi undangan kepada para orang tua
yang mempunyai anak-anak gadis. Mereka diminta mengirim anak-anak gadis
tersebut ke istana, untuk berpesta, supaya sang pangeran dapat memilih seorang
sebagai calon istri. Namun para orang tua mengabaikan undangan tersebut. Mereka
berkata, sang pangeran tidak tahu ilmu perang, tidak mengerti nilai kesenian,
bagaimana dia akan memelihara serta melindungi istrinya?
Mendengar hal itu, pangeran mohon kepada ayahnya
supaya diselenggarakan sayembara mengenai keterampilan berbagai ilmu perang.
Para lelaki seisi kerajaan, bahkan dari luar negara Sakya pun dibiarkan datang
untuk mengikuti perlombaan. Pangeran sendiri juga akan turun ke arena
pertandingan itu. Hasilnya sangat mengejutkan, karena sang pangeran yang
menjadi juara. Dia amat mahir, lebih-lebih di bidang panah memanah. Sesudah
perlombaan selesai, diadakan pesta besar di mana hadir kurang lebih empat puluh
ribu gadis cantik. Pilihan Pangeran Siddhartha jatuh pada sepupunya sendiri,
saudara sekandung Devadatta ialah Yasodhara, putri Ratu Amita, adik Raja
Suddhodhana.
Setelah pernikahan itu, Raja Suddhodhana agak merasa
tenang, karena ayahanda pangeran itu tetap mengingati ramalan para brahmana.
Sang pangeran harus selalu dikerumuni oleh semua keindahan, kemewahan, keenakan
makanan, dan kenyamanan. Raja lebih senang anaknya menjadi rajanya semua raja
daripada menjadi Buddha. Dengan pernikahan, pangeran akan lebih terikat oleh
keduniawian. Dan jangan sampai dia melihat orang tua; orang sakit, orang mati
maupun seorang pertapa. Pengawal, dayang, dan pekerja istana lain merupakan
para pemuda dan pemudi pilihan: gagah, tampan dan cantik-cantik Raja merasa
puas, berharap putranya akan menggantikan dia memerintah di Kerajaan Sakya.
Pangeran mempunyai pendapat sendiri tentang kehidupannya yang terkunkung di
tiga istana itu. Maka pada suatu hari dia berkata pada ayahnya : "Ayah,
perkenankanlah aku berjalan-jalan, keluar istana dan melihat kota. Suatu hari
kelak, bukankah aku akan menggantikan ayah menjadi raja di negeri ini? Aku
ingin melihat berapa luasnya ibukota dan tempat-tempat lain di lingkungan kerajaan."
Itu adalah permohonan yang lumrah, masuk akal. Baginda
raja tidak mampu menolaknya. Cepat-cepat dia memerintahkan supaya bagian kota
dan negeri yang akan dilewati pangeran di buat bagus. Disiapkan rakyat yang
sehat, yang muda, dan yang bukan pertapa. Hanya mereka yang akan terlihat oleh
sang pangeran.
Setelah semua siap, raja memberi ijin pangeran untuk
keluar istana, berkeliling kota. Namun suratan ramalan tidak dapat disangkal.
Tiba-tiba, ketika sedang duduk nyaman di keretanya,
pangeran melihat sesuatu yang buruk. Seperti manusia, namun baru kali ini dia
melihatnya. Dia bertanya kepada kusirnya, Channa : "Apakah itu, Channa?
Tidak mungkin itu seorang manusia! Mengapa dia bongkok? Mengapa dia gemetar dan
memakai tongkat? Rambutnya mengapa begitu? Dan giginya, kemana giginya? Mengapa
dia demikian jelek?"
Channa menjelaskan apa yang dia ketahui. Sedapat
mungkin halus dan perlahan-lahan dia berkata-kata, agar sang pangeran tidak
terkejut:"Itulah yang dinamakan orang tua, pangeran. Semua orang akan
menjadi demikian. Sebaiknya tuanku lupakan saja dia! Tuan ketahui sajalah,
bahwa kalau orang sudah lama hidup di dunia, tentu akan menjadi seperrti
itu."
Siddhartha menjadi sedih, memerintahkan Channa supaya
cepat pulang ke istana. Di sana dia merenung, bertanya-tanya sendiri mengapa
demikian. Mengapa manusia menjadi tua? Bukankah lebih baik jika terus muda dan
tampan? Dimatanya dia tetap melihat bayangan orang yang berbadan nyaris
terlipat dua, renta semuanya. Malam itu diselenggarakan pesta besar guna
menghibur sang pangeran. Tapi putra raja bangsa Sakya tidak mempedulikan
keramaian dan kemewahan itu. Meskipun hadir ditengah-tengah para pengikut
pesta, hatinya tidak berhenti selalu berkata seorang diri : "Kalian
semua akan menjadi tua. Semuanya, yang paling cantik dan yang paling gagah
sekalipun akan memiliki tubuh yang aus."
Kedua kali dia minta ijin kepada ayahnya untuk
berjalan-jalan di kota Kapilavastthu. Raja dengan berat hati terpaksa
mengabulkan. Namun putranya mohon agar penduduk tidak diberitahu lebih dahulu.
Walaupun hatinya sedih, raja mengizinkan, memenuhi permohonan tersebut.
Pada kesempatan itu, pangeran pergi bersama Channa
saja, berpakaian seperti anak keluarga bangsawan. Pemandangan yang tersuguh
amat berlainan dari kali peftama dia keluar istana. Penduduk tidak
berbondong-bondong mengelu-elu kedatangannya. Umbul-umbul dan bendera tidak
menghiasi pinggiran jalan. Bunga-bunga tidak disebarkan. Tapi pangeran dapat
melihat penduduk sedang bekerja sibuk sekali. Seorang pandai besi berpeluh
menempa sebuah pisau. Tidak jauh dari sana, para pencelup bahan kain sedang
memanaskan beberpa tampayan di atas api, aneka warna-warni mendidihkan
kain-kain panjang. Agak tersisih, terdengar suara rintihan. Jelas sekali orang
itu merasa sakit. Hati pangeran tersentuh, dia mendekat, lalu melihat badan
orang itu penuh noda-noda berwarna unggu kehitaman. Tangannya terulur menyentuh
kepala orang itu, bertanya kepada Channa : "Channa, mengapa dia? Dia
sukar bernafas, apakah dia tidak dapat berbicara?" "Jangan tuanku,
jangan menyentuh orang ini! Dia sedang menderita sakit. Penyakit itu namanya
pes. Dia merasa tubuhnya terbakar, sebab itu dia merintih. Karena sangat sakit,
dia tidak dapat berbicara."
"Apakah ada orang lain yang seperti dia?"
"Ada, dan jika tuanku menyentuhnya, barangkali
tuanku akan ikut sakit seperti dia."
"Channa, masihkah banyak lagi hal-hal buruk
seperti ini yang sama, orang menderita sakit sehingga badannya tidak
berguna?"
"Benar tuanku, masih banyak lagi penyakit lain
yang menyerang manusia di dunia ini."
"Tidak adakah orang yang dapat menolong orang
sakit seperti ini? Apakah semua orang, siapapun bisa sakit? Apakah penyakit itu
bisa datang secara tiba-tiba?"
"Betul, tuanku, penyakit dapat menyerang dengan
mendadak. Dan semua orang bisa sakit, tidak memilih tua atau muda, kaya atau
miskin. Tidak ada yang dapat mencegah, serta bisa datang sewaktu-watktu."
Pangeran menjadi amat sedih, segera kembali ke istana
untuk merenungkan hal itu. Raja turut muram pula setelah mengetahui reaksi
putranya terhadap hal-hal baru yang telah dilihatnya. Berselang beberapa hari,
putra itu memohon lagi ijin untuk....
....klai makan sedikit demi sedikit. Akibatnya, lima
"rekan pertapa" menganggap bahwa dia seorang pecundang, gagal dan tidak
setia dengan teknik-teknik yang telah diajarkan. Mereka meninggalkan Sang
Gotama seorang diri.
Pada suatu hari serombongan penari ronggeng lewat
dekat gubuk pertapa Gotama. Sambil berjalan mereka bergurau dan bergembira dan
seorang diantaranya bernyanyi dengan syair sebagai berikut: "Kalau tali
gitar ditarik terlalu keras, talinya putus, lagunya hilang. Kalau ditarik
terlalu kendor, ia tak dapat mengeluarkan suara. Suaranya tidak boleh terlalu
rendah atau keras. Orang yang memainkannya yang harus pandai menimbang dan
mengira."
Mendengar nyanyian itu, pertapa Gotama mengangkat
kepalanya dan memandang dengan heran kepada rombongan penari ronggeng tersebut.
Dalam hatinya ia berkata : "Sungguh aneh keadaan di dunia ini bahwa
seorang Bodhisatta (calon Buddha) mesti menerima pelajaran dari seorang penari
ronggeng. Karena bodoh, aku telah menarik demikian keras tali penghidupan,
sehingga hampir-hampir saja putus. Memang seharusnya aku tidak boleh menarik
tali itu terlalu keras atau terlalu kendor."
Di dekat tempat itu tinggal pula seorang wanita muda
kaya raya bernama Sujata. Sujata ingin membayar kaul kepada dewa pohon karena
permohonannya supaya diberi seorang bayi laki-laki terkabul. Hari itu Sujata
mengirim pelayannya ke hutan untuk membersihkan tempat di bawah pohon di mana
ia ingin mempersembahkan makanan yang lezat-lezat kepada dewa pohon. la agak
terkejut waktu pelayannya dengan tergesa-gesa kembali dan
memberitahukan:"O, nyonya, dewa pohon itu sendiri telah datang dari
kayangan untuk menerima langsung persembahan nyonya. Beliau sekarang duduk
bermeditasi di bawah pohon. Alangkah beruntungnya bahwa dewa pohon berkenan
untuk menerima sendiri persembahan nyonya."
Sujata gembira sekali mendengar berita itu. Setelah
makanan selesai dimasak, berangkatlah Sujata ke hutan. Sujata merasa kagum
melihat dewa pohon dengan wajah yang agung sedang bermeditasi. la tidak tahu,
bahwa orang yang dikira sebagai dewa pohon sebenarnya adalah pertapa Gotama.
Dengan hati-hati makanan ditempatkan ke dalam mangkuk dan dengan hormat
dipersembahkan kepada pertapa Gotama yang dikira Sujata adalah dewa pohon.
Pertapa Gotama menyambut persembahan itu. Setelah
selesai makan, terjadilah percakapan antara pertapa Gotama dan Sujata seperti
di bawah ini :
"Dengan maksud apakah engkau membawa makanan
ini?"
"Tuanku yang terpuja, makanan yang telah aku
persembahkan kepada Tuanku adalah cetusan rasa terima kasihku karena Tuanku
telah meluluskan permohonanku agar dapat diberi seorang anak laki-laki."
Kemudian pertapa Gotama menyingkap kain yang menutupi
kepala bayi dan meletakkan tangannya didahinya sambil memberi berkah :
"Semoga berkah dan keberuntungan selalu menjadi
milikmu. Semoga beban hidup akan engkau terima dengan ringan. Aku bukanlah dewa
pohon, tetapi seorang putra raja yang telah enam tahun menjadi pertapa untuk
mencari sinar terang yang dapat dipakai untuk memberi penerangan kepada manusia
yang berada dalam kegelapan. Aku yakin dalam waktu dekat ini Aku akan berhasil
memperoleh sinar terang tersebut. Dalam hal ini persembahan makananmu telah
banyak membantu, karena sekarang badanku menjadi kuat dan segar kembali. Karena
itu dengan persembahan ini engkau akan mendapat berkah yang sangat besar.
Tetapi, adikku yang baik, coba katakan, apakah engkau sekarang bahagia, dan
apakah penghidupan yang disertai cinta saja sudah memuaskan?"
"Tuanku yang terpuja, karena aku tidak menuntut
banyak maka hatiku dengan mudah mendapatkan kepuasan. Sedikit tetesan air hujan
sudah cukup untuk memenuhi mangkuk bunga Lily, meskipun belum cukup untuk
membuat tanah menjadi basah. Aku sudah merasa bahagia memandang wajah suamiku
yang sabar atau melihat senyum bayi ini. Setiap hari, dengan senang hati aku
mengurus pekerjaan rumah tangga, memasak, memberi sajen kepada para dewata,
menyambut suamiku pulang dari pekerjaan; apalagi sekarang dengan dilahirkannya
seorang anak laki-laki yang menurut buku-buku suci akan membawa berkah kalau
kelak kami meninggal dunia. Juga aku tahu bahwa kebaikan datang dari perbuatan
baik dan kemalangan datang dari perbuatan jahat yang berlaku bagi semua orang
dan pada setiap waktu, sebab buah yang manis muncul dari pohon yang baik dan
buah yang pahit muncul dari pohon yang penuh racun. Apa yang harus ditakuti
oleh orang yang berkelakuan baik kalau nanti tiba saatnya mesti mati?"
Mendengar penjelasan Sujata maka pertapa Gotama
menjawab :
"Kau sudah mengajar kepada orang yang seharusnya
menjadi gurumu; dalam penjelasanmu yang sederhana itu terdapat sari dari
kebajikan yang lebih nyata dari kebajikan yang tinggi; meskipun engkau tidak
belajar apa-apa, namun engkau tahu jalan kebenaran dan menyebar keharumanmu ke
semua pelosok. Sebagaimana engkau telah mendapat kepuasan, semoga aku pun akan
mendapatkan apa yang aku cari. Aku, yang engkau pandang sebagai seorang dewa,
minta didoakan supaya aku dapat berhasil melaksanakan cita-citaku."
"Semoga Tuanku berhasil mencapai cita-cita Tuanku
sebagaimana aku berhasil mencapai cita-citaku." Pertapa Gotama kemudian
melanjutkan perjalanan dengan membawa mangkuk kosong. la menuju ke tepi sungai
Neranjara dalam perjalanannya ke Gaya. Tiba di tepi sungai pertapa Gotama
melempar mangkuknya ke tengah sungai sambil berkata: "Kalau memang
waktunya sudah tiba mangkuk ini akan mengalir melawan arus dan bukannya
mengikuti arus."
Satu keajaiban terjadi karena mangkuk itu ternyata
mengalir melawan arus. Pertapa Gotama meneruskan perjalanannya dan pada sore
hari tiba di Gaya. la memilih tempat untuk bermeditasi di bawah pohon Bodhi
(latin: Ficus Religiosa), kemudian mempersiapkan tempat duduk di sebelah tiimur
pohon itu dengan rumput kering yang diterima dari seorang pemotong rumput yang
bernama Sotthiya. Di tempat itulah pertapa Gotama duduk bermeditasi dengan
wajah menghadap ke timur dengan tekad yang bulat. Selama bermeditasi itu, sang
pertapa tidak terlepas dari godaan-godaan. Kekuatan kejahatan dan keburukan
silih berganti mengancam serta mempermainkan dia. Namun semua itu tidak
menggetarkan Sang Gotama. Malam semakin larut, segalanya bergegas. Seolah-olah
semua makhluk di hutan itu mengerti bahwa kemenangan atas ketidaktahuan nyaris
akan .digapai oleh seseorang yang bakal mashyur dair abad ke abad dengan nama
Buddha Sakyamuni, Gotama yang telah bangun. Malam itu sang pertapa agung
menemukan bahwa penjara ketidaktahuan (ignorance) harus dirobohkan. Manusia
harus mawas diri, meneliti ke kedalaman diri sendiri (insight). Dengan
penelitian tanpa batas ke dalam diri sendiri tersebut, manusia akan mengerti
bahwa dia hanya terdiri dari kesatuan jasmani, pikiran, perasaan, ingatan dan
kesadaran. Kesemua bagian itu harus dikendalikan agar tidak terkena polusi atau
pencemaran. Pendalaman terhadap diri sendiri (insight) berguna untuk meniadakan
pencemaran itu (asavakkhaya-nana).
Pencemaran pertama ialah kesenangan-kesenangan nafsu,
pandangan, pendengaran, penciuman, rasa (melalui lidah), rasa sentuhan (melalui
kulit) dan kenangan (melalui pikiran). Yang kedua adalah kesinambungan hidup;
selalu mendambakan kehidupan yang terus menerus (abadi) tanpa pengalaman
tumimbal lahir (reinkarnasi), tanpa sakit, tanpa tua, atau kematian, serta selalu
mendapatkan kesenangan-kesenangan sensual. Pencemaran ketiga adalah
sesungguhnya yang paling mendasar; kebodohan, atau tepatnya mengetahui secara
keliru/pandangan salah tentang kehidupan ini.
Pagi-pagi keesokannya, ketika udara lembut sejuk serta
terang, bukanlah fajar lumrah di hari-hari musim panas biasanya. Merekahnya
langit di timur saat itu merupakan era baru. Seseorang yang telah mencapai
pencerahan sempurna pada saat bulan purnama di bulan Vaisak, yang telah
menemukan Dhamma bagi makhluk-makhluk di dunia ini, Beliau telah bangkit dari
bawah pohon Bodhi. Gotama, Sang Buddha telah terbebas dari segala sumbatan,
belenggu, dan dari segala keterbatasan.
Kebijaksanaan yang agung telah berkembang. Tapi Sang
Gotama pencapai pencerahan tidak percaya bahwa semua orang, siapa saja akan
mudah menerima ajaran-ajaran beliau. Maka untuk memberitahu berita tentang
kebenaran itu, Beliau memutuskan untuk menemui bekas guru-gurunya. Namun
kemudian diketahui, bahwa Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta telah meninggal dunia.
Lalu Beliau teringat kepada lima rekan pertapanya yang telah menganggap Sang
Gotama sebagai orang yang telah gagal. Konon mereka berada di Taman Rusa, di
Benares.
Disanalah Sang Buddha mengajarkan Dhamma untuk pertama
kalinya. Mulai hari itu hingga empat puluh lima tahun kemudian, Beliau terus
mengajar pria dan wanita, para raja beserta para petani, orang yang berkasta
Brahmana berdampingan dengan mereka yang berkasta paling rendah, orang-orang
kaya dan miskin, para pertapa dan para perampok. Beliau tidak membedakan satu
dari lainnya, semua berkedudukan sama rendah maupun sama tinggi. Sang Buddha
membuat sebuah revolusi sosial dengan menerima kaum perempuan hingga menjadi
Bhikkhuni serta mampu mencapai tingkat kesucian dan berhak berkotbah maupun
mengajar.
Pada usia delapan puluh tahun, Sang Buddha meninggal
di Kusinara (sekarang Uttar Pradesh di India). Waktu itu bulan purnama di bulan
Vaisak. Saatnya sama seperti saat kelahiran Pangeran Siiddhartha Gotama, dan
sama seperti saat memcapai pencerahan sempurna dan menjadi Buddha.
Dimasa kini, penganut ajaran Buddha tersebar di Sri
lanka, Myammar, Thailand, Kamboja, Jepang, Cina, Vietnam, Tibet, Taiwan,
Monggolia, Korea, beberapa bagian negara India, Pakistan, Nepal, Rusia,
Indonesia, Amerika, dan Eropa. Umat Buddha di seluruh dunia itu berjumlah
sekitar lima ratus juta jiwa.
[Sumber:
Buku "Riwayat Hidup Buddha Gotama", Pandita. S. Wldyadharma; Buku
"Panggilan Dharma Seorang Bhikkhu", Biografi dari YM. Girirakkhito
Mahathera, Penyusun: Nh. Dini.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar