Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Minggu, 24 Januari 2016

Buddhadharma Mewujudkan Perdamaian


Buddhadharma Mewujudkan Perdamaian


Oleh:  Jo Priastana (Peneliti, Dosen Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda dan Sekolah Tinggi Agama Buddha Sriwijaya)
Disampaikan dalam Sekolah Agama ICRP, Jakarta, Jum’at 31 Juli 2015

Upaya-upaya mewujudkan perdamaian perlu dilakukan dalam rangka menjauhkan penyelesaian masalah dari tindak kekerasan. Agama senantiasa mempelopori tindakan tanpa kekerasan dan membawa misi perdamaian bagi dunia.

Demikian pula dengan agama Buddha yang cinta damai dan menjauhkan tindakan kekerasan. Pendiri agama Buddha, Siddharta Gautama dalam sejarah hidupnya, sejak kanak-kanak telah menolak tindakan kekerasan dan memelopori pembelaaan bagi kehidupan agar segenap makhluk tidak dikenai kekerasn.

Dikisahkan. Pada suatu musim semi, Pangeran Siddharta ketika sedang memperhatikan seorang petani sedang meluku sawahnya menyaksikan seekor burung menukik meluncur turun kemudian mematuk seekor cacing kecil yang lemah dari gumpalan tanah. Setelah menyaksikan kejadian itu, Ia bertanya dalam hati: “Apakah semua makhluk, hidup saling membunuh antar sesamanya?”
Kisah angsa yang terpanah menceritakan bagaimana Siddharta memperjuangkan angsa yang terpanah untuk dapat dibebaskan dari klaim pemburu yang memanahnya. Siddharta memperjuangkan kehidupan angsa yang terpanah meski melalui perdebatan dan sidang para tetua masa itu yang meyakini kebenaran kepemilikan angsa berada pada sang pemburu. Siddharta melakukan pembelaaan dan memenangkan kehidupan sang Angsa.

Pertapa Siddharta dalam upaya mencapai kebuddhaannya pun menyadari bahwa tindakan kekerasan itu hanya mendatangkan kesia-siaan. Ia sempat melakukan asketisme ektrem, namun akhirnya menyadari bahwa tindakannya itu tidak akan menuntunnya menjadi Budsha.

Menolak Kekerasan

Selama 45 tahun, Buddha mengabarkan dharmanya demi mengatasi segenap makhluk yang dibelenggu penderitaan, beliau melakukannya dengan menunjukkan sikap tanpa kekersan dan menumnuhkan saling menghormati dan toleransi. Kepada Upali yang hendak menjadi pengikutnya Sang Buddha memintanya agar ia berpikir matang-matang, dan juga agar selalu tetap menghormati gurunya (M.I. 378-380).

Beliau sama sekali menolak tindakan pemaksaan dan tindakan kekerasan dan membangun budaya tanpa kekerasan di setiap pembabaran dharmanya. “Samana Gotama tidak merusak biji-bijian yang masih dapat tumbuh dan tidak mau merusak tumbuh-tumbuhan. Tidak membunuh makhluk. Samana Gotama menjauhkan diri dari membunuh makhluk. Ia telah membuang alat pemukul dan pedang. Ia tidak melakukan kekerasan karena cinta kasih, kasih sayang, dan kebaikan hatinya kepada semua makhluk”. (Brahmajala Sutta).

Seringkali tindak kekerasan itu terjadi berkaitan dengan kebencian yang dilandasi balas dendam. Tetapi tindakan balas dendam dengan tindakan kekerasan tidaklah selalu manis. Perwujudan rasa benci hanya menghadirkan kepahitan berkepanjangan. “Kebencian tak akan berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi kebendian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci. Inilah satuhukum abadi”. (Dhammpada 5).

Dalam Buddhadharma diingatkan bahwa bukan dengan membalas dendam atau menaklukkan orang lain melalui kekerasan, kemenangan itu akan tercapai, melainkan dengan mengalahkan diri sendiri dalam menyucikan hati dan pikiran dari kebencian, dialah baru disebut penakluk sejati. “Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam seribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri” (Dhammapada 103). “Menaklukkan ribuan orang belum disebut sebagai pemenang. Tapi mampu mengalahkan diri sendiri itulah yang disebut penakluk gemilang.” (Dhammapada 104).

Sang Buddha menolak kekerasan karena kekerasan menjauhkan dari peningkatan kualitas kehidupan spitual manusia. Ajaran agama Buddha menekankan agar setiap manusia dapat memajukan kualitas kehidupan spiritualnya. Dan hal ini  berlaku juga dalam tataran kehidupan sosial dan politik.
Manusia hidup dan tumbuh dalam saling tergantung satu sama lain (hukum kesaling tergantungan pratitya samutpada), dan karenanya dalam tataran sosial-politis tingginya kualitas kehidupan antar Negara akan terlihat bilamana   tidak diberlakukannya kekerasan dalam menyelesaikan segala macam masalah atau konflik yang terjadi.

Buddha mengatakan, politik yang maju dan beradab adalah politik yang: “tanpa membunuh, tanpa melukai, tanpa menjajah, tanpa membuat sedih, dan mengikuti Dhamma atau ajaran kebenaran” (Samyutta Nikaya).

Dalam sejarah sosil politik semasa Sang Buddha, Sang Buddha  selalu tidak membenarkan terjadinya pemakaian kekerasan atau peperangan. Ketika Vidudhaba, putra Raja Pasenadi dari Kosala menyerbu Kapilavasthu dengan empat divisi prajurit, dan ketika ia akan melewati Sang Buddha yang sedang bermeditasi di bawah pohon yang sudah layu, Vidudhaba bertanya kepada Sang Putra Sakya itu:
“Mengapa anda duduk di bawah pohon yang sudah layu ini, sedangkan ada banyak pohon yang tumbuh penuh dengan dedaunan dan banyak cabangnya?” Sang Buddha menjawab: “Naungan rasa persaudaraan lebih mulia daripada naungan rasa permusuhan.”

Begitu pula dengan Ajatasattu. Ketika Raja Ajatasattu, putra Bimbisara dari  Magadha hendak menyerang Vajjis, negara tetangganya, ia meminta saran terlebih dahulu kepada Sang Buddha lewat pendeta Vassakara.

Kemudian Sang Buddha mengingatkannya untuk tidak mengobarkan peperangan, tidak mempergunakan kekerasan, melainkan sebaliknya menjalankan politik tanpa kekerasan yakni dengan menekankan untuk bermusyawarah dan mematuhi semua ketentuan perdamaian yang telah diberlakukan.  (Maha Paninibbana Sutta).

Pelopor Perdamaian

Aspek politik di dalam sejarah perkembangan Buddhadharma di Asia yang sangat fenomenal  diketemukan dalam  raja besar yang bernama Asoka (abad k3 SM). Raja ini menjalankan ajaran tanpa kekerasan dan memelopori perdamaian serta mengusahakan kehidupan rukun antar agama dengan mendirikan piagam toleransi yang bernama piagam Piyadassi.
Asoka (abad 3 SM) seorang penganut Buddha yang mempraktekkan Buddhadharma dan sekaligus mampu  menciptakan suatu negara yang makmur, memelopori sikap tanpa kekerasan serta toleransi kehidupan beragama. Sikap Raja Asoka ini mungkin bisa menjadi cermin atau teladan bagi para penguasa, pemimpin negara dewasa ini dalam menyelesaikan konflik.

Sepanjang abad Milenium ini kita mengenal tokoh-tokoh Engaged Buddhism yang mempromosikan keterlibatan Buddhadharma dalam dunia kontemporer jaman ini dengan berbagai problema sosial politiknya. Mereka semuanya mengetengahkan perjuangan tanpa kekerasan dan memelopori perdamaian.

Ada Thich Nhat Hanh dengan aksi  cinta-nya dalam perang Vietnam di tahun 1970-an, Dalai Lama yang tengah memperjuangkan otonomi Tibet dan kekayaan tradisi spiritual Tibet dengan tanpa kekerasan, dan juga Aung San Su Kyi  dengan kekuatan kesabaran dan perjuangan damainya dalam mewujudkan Myanmar yang demokratik.
Begitu pula dengan spirit toleransi yang diperlihatkan Buddhadhasa di Thailand, serta Ajahn Sulak Sivaraksa yang pro-demokrasi. Ada  Maha Ghosananda di Kamboja, dan Ambedkar yang memperjuangkan penghapusan diskriminasi atas kaum Dallit di India.

Banyak tokoh Buddhis terkemuka lainnya yang merupakan Bodhisattva jaman kini yang mampu menterjemahkan Buddhisme secara kontekstual, adaptif, humanistik serta menyatakan keterlibatan cinta kasihnya dalam lapangan social-politik sebagaimana yang menjadi hakikat dan jiwa Buddhadharma.

Dekade Perdamaian

Baik pula bila kita ingan pesan yang tertuang dalam deklarasi pertemuan 22 orang Guru Buddhis Barat dengan Dalai Lama di bulan Maret 1993 (Ken Jones: 1999), dengan alinea pertama proklamasinya berbunyi:

“1. Tanggung Jawab Kita pertama sebagai Buddhis adalah bekerja menciptakan sebuah bentuk kehidupan yang lebih baik di muka bumi.
2. Mempromosikan Buddhadharma sebagai sebuah agama yang memiliki keterlibatan terhadap toleransi maupun hormat kepada agama lain.
3. Setiap aksi memperjuangkan keterlibatan tersebut hendaknya dipimpin oleh prinsip kebaikan dan kasih sayang, serta perdamaian dan harmoni.”

Perjuangan mewujudkan pedamaian dan kehidupan  dengan tanpa kekerasan dan anti kekerasan itu merupakan ciri khas dari keterlibatan Buddhadharma yang telah diawali Sang Buddha, Raja Asoka maupun sejumlah Bodhisattva masa kini.

Semuanya menunjukkan kekuatan dari cinta-kasih dalam keterlibatannya mewujudkan perdamaian bagi kehidupan sesama. Spirit damai yang dikandung dalam agama Buddha ini kiranya dapat memberikan sumbangannya dalam mewujudkan “Dekade Budaya Perdamaian” yang  dicanangkan PBB, dan sekaligus “Dekade Non-kekerasan terhadap Anak-anak,” untuk menandai dekade pertama millennium abad ini.

Deklarasi PBB tanggal 13 September 1999, mendefinisikan Budaya Perdamaian sebagai “sejumlah nilai, keyakinan, tradisi, perilaku dan gaya hidup. Anak-anak agar sejak dini dilibatkan dalam kegiatan kependidikan yang mentransfer nilai, keyakinan, perilaku dan gaya hidup yang memberdayakan mereka untuk melerai konflik secara damai berdasarkan spirit toleransi, menghargai harkat manusia dan nondiskriminasi”. (Deklarasi PBB 1999).

Budaya damai dan menentang peperangan, dan memajukan politik tanpa kekerasan inilah yang menjadi semangat dan aspirasi semua agama termasuk Buddhadharma sebagaimana yang tercermin dan berpuncak dalam spiritualitas Buddha  dengan pencapaian kesempurnaannya, kesadaran penuhnya yang tercerahkan dan cinta damai. Budaya damai yang bersumber dari spirit dan inti ajaran agama yakni cinta kasih: “Loko Patthambika Metta; hanya cinta kasihlah yang menyelamatkan dunia.”

Toleransi dan Kerukunan

Agama Buddha pernah hidup di Indonesia dan bahkan turut menandai puncak-puncak zaman keemasan kerajaan Nusantara dahulu kala, dan setidaknya turut pula menyerapkan kekayaan batin bangsa Indonesia mengenai kerukunan hidup beragama maupun hidup saling toleransi.
Dalam agama Buddha, terdapat prinsip untuk melindungi dan menghormati keyakinan bergama seseorang. Dicontohkan oleh Sang Buddha sendiri,  diantaranya adalah ketika ada seseorang bernama Upali hendak menjadi pengikutnya Sang Buddha memintanya agar ia berpikir matang-matang, dan juga agar selalu tetap menghormati gurunya (M.I. 378-380).

Pedoman dalam masyarakat Buddhis lainnya yang menganjurkan untuk mewujudkan sikap saling toleransi dan saling menghormati serta menjaga kerukunan beragama adalah dekrit Raja Asoka (abad ke 2 SM),

“Janganlah kita menghormati agama kita sendiri dengan mencela agama lain. Sebaliknya agama lain pun hendaknya dihormati atas dasar-sadar tertentu. Dengan berbuat demikian kita membuat agama kita sendiri berkembang, selain menguntungkan kerukunan dalam Prasasti Batu Kalinga No. XXII:pula agama lain. Jika kita berbuat sebaliknya kita akan merugikan agama kita sendiri, di samping merugikan agama lain. Oleh karena itu, barangsiapa menghormati agamanya sendiri dan mencela agama lain, semata-mata terdorong rasa bakti kepada agamanya sendiri, justru ia akan merugikan agamanya sendiri. Karena itu kerukunan dianjurkan dengan pengertian biar semua orang mendengar dan bersedia mendengarkan ajaran yang dianut orang lain.”

Sebuah percakapan yang menarik antara Buddha dan Ananda, tentang pentingnya musyawarah tercatat dalam Maha Parinibbana Sutta.

“Ananda, selama kaum Vajji sering dan rutin mengadakan permusyaratan, mereka dapat diharapkan untuk menjadi makmur dan tidak merosot. Apakah engkau mendengar bahwa kaum Vajji berkumpul dan bubar secara damai dan rukun, dan menangani urusannya dengan rukun?” Demikianlah yang telah saya dengan, Yang Mulia,” “Ananda, selama kaumVajji berkumpul dengan rukun, bubar dengan rukun, dan menangani urusannya dengan rukun, mereka dapat diharapkan menjadi makmur dan tidak merosot.”

Sabda Sang Buddha tersebut merupakan bagian dari wejangannya mengenai syarat-syarat kesejahteraan suatu bangsa yang antara lain meliputi:
1.     mengadakan musyawarah secara tetap dan teratur dan dihadiri oleh banyak orang.
2.     Perselisihan dan perbedaan pendapat selalu diselesaikan secara sepakat dan damai dalam suatu musyawarah.
3.     Selalu memperhatikan dan menghormati orang-orang tua mereka dan selalu mengindahkan kata mereka.
4.     Memperhatikan, merawat dan menyokong tempat-tempat ibadah mereka serta tidak lupa ikut melaksanakan ibadah seperti apa yang diharuskannya.

Faktor-faktor yang menghambat kerukunan beragama, antara lain:
1.     Sifat fanatisme terhadap pelaksanaan ajaran agama, di atas kewajiban dan kepentingan nasional, yang dapat berakibat suatu konflik sosial keagamaan.
2.     Sikap kurang tenggang rasa terhadap pemeluk lain.
3.     Cara-cara yang tidak terpuji untuk menarik pemeluk lain atau pemeluk lain mazhab untuk meyakini agama yang dipeluknya.
4.     Pengaruh negatif pelaksanaan agama di negara asing yang seringkali tidak sesuai dengan tata cara, kebiasaan, dan adat istiadat bangsa kita yang kadang kala bermotif politik.

MewujudkanPerdamaian

Sejak dahulu kala masyarakat Indonesia telah menganut bermacam-macam agama. Walau kerap kali dikhawatirkan perbedaan agama bisa menjadi tidak terciptanya kerukunan dan perdamaian. tetapi hampir dapat dipastikan bahwa penghayatan agama yang dalam akan menyadarkan semua umat beragama bahwa sesungguhnya semua orang dihadapan Tuhan Yang Maha Esa itu satu dan sama adanya.

Kekayaan batin mengenai kerukunan yang mengejawantah dalam perilaku etis saling toleransi yang telah ada sejak dahulu kala merupakan modal dan warisan tak ternilai para leluhur bagi generasi sekarang yang hidup di jaman globalisasi.

Dalam kekayaan batin dan penghayatan agama yang demikian itu maka sikap rukun yang terjelma itu bukan hanya bersifat semu atau  hanya  sekedar untuk menyembunyikan dan menunda konflik. Sikap rukun juga tidak dapat diatur secara eksternal melalui peraturan-peraturan, tetapi peraturan-peraturan ini harus lahir dari kesadaran nurani dan dengan hati yang tulus.

Bangsa Indonesia telah mengenal prinsip-prinsip kerukunan hidup beragama, warisan kebijaksanaan para leluhur maupun nilai-nilainya yang terkandung dalam Pancasila serta yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Kendati begitu, sikap batin yang diharapkan berkembang dalam setiap umat beragama dengan berfungsinya agama sebagai landasan moralitas, etik, spiritual umatnya itu harus pula dilengkapi dalam konteks hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang mengupayakan sikap rukun dan damai.

Karenanya penting pula mengetahui dan mempelajari berbagai pendekatan yang pernah ada atau dilakukan oleh pemerintah di dalam mengupayakan tumbuh dan terselenggarakanya kerukunan beragama dan mewujudkan perdamaian.

Meskipun telah memiliki modal jiwa kerukunan yang telah dimiliki bangsa Indonesia  sejak dahulu kala,  namun mengingat  perkembangan masyarakat Indonesia dan dinamika kehidupan yang terjadi, masalah kerukunan umat seringkali juga menyita cukup banyak perhatian, baik dari kalangan agama maupun negara atau pemerintah.

Dan oleh karenanya selalu menjadi bahan pemikiran untuk menemukan kebijakan-kebijakan yang tepat dalam mendekati masalah kerukunan umat beragama dan mewujudkan perdamaian.

***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar