Buddhadharma
Mewujudkan Perdamaian
Oleh: Jo
Priastana (Peneliti, Dosen Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda dan Sekolah
Tinggi Agama Buddha Sriwijaya)
Disampaikan dalam Sekolah Agama ICRP, Jakarta, Jum’at 31 Juli 2015
Upaya-upaya mewujudkan perdamaian perlu dilakukan dalam rangka menjauhkan
penyelesaian masalah dari tindak kekerasan. Agama senantiasa mempelopori
tindakan tanpa kekerasan dan membawa misi perdamaian bagi dunia.
Demikian pula dengan agama Buddha yang cinta damai dan menjauhkan tindakan
kekerasan. Pendiri agama Buddha, Siddharta Gautama dalam sejarah hidupnya,
sejak kanak-kanak telah menolak tindakan kekerasan dan memelopori pembelaaan
bagi kehidupan agar segenap makhluk tidak dikenai kekerasn.
Dikisahkan. Pada suatu musim semi, Pangeran Siddharta ketika sedang
memperhatikan seorang petani sedang meluku sawahnya menyaksikan seekor burung
menukik meluncur turun kemudian mematuk seekor cacing kecil yang lemah dari
gumpalan tanah. Setelah menyaksikan kejadian itu, Ia bertanya dalam hati:
“Apakah semua makhluk, hidup saling membunuh antar sesamanya?”
Kisah angsa yang terpanah menceritakan bagaimana Siddharta memperjuangkan
angsa yang terpanah untuk dapat dibebaskan dari klaim pemburu yang memanahnya.
Siddharta memperjuangkan kehidupan angsa yang terpanah meski melalui perdebatan
dan sidang para tetua masa itu yang meyakini kebenaran kepemilikan angsa berada
pada sang pemburu. Siddharta melakukan pembelaaan dan memenangkan kehidupan
sang Angsa.
Pertapa Siddharta dalam upaya mencapai kebuddhaannya pun menyadari bahwa
tindakan kekerasan itu hanya mendatangkan kesia-siaan. Ia sempat melakukan
asketisme ektrem, namun akhirnya menyadari bahwa tindakannya itu tidak akan
menuntunnya menjadi Budsha.
Menolak Kekerasan
Selama 45 tahun, Buddha mengabarkan dharmanya demi mengatasi segenap
makhluk yang dibelenggu penderitaan, beliau melakukannya dengan menunjukkan
sikap tanpa kekersan dan menumnuhkan saling menghormati dan toleransi. Kepada
Upali yang hendak menjadi pengikutnya Sang Buddha memintanya agar ia berpikir
matang-matang, dan juga agar selalu tetap menghormati gurunya (M.I. 378-380).
Beliau sama sekali menolak tindakan pemaksaan dan tindakan kekerasan dan
membangun budaya tanpa kekerasan di setiap pembabaran dharmanya. “Samana Gotama
tidak merusak biji-bijian yang masih dapat tumbuh dan tidak mau merusak
tumbuh-tumbuhan. Tidak membunuh makhluk. Samana Gotama menjauhkan diri dari
membunuh makhluk. Ia telah membuang alat pemukul dan pedang. Ia tidak melakukan
kekerasan karena cinta kasih, kasih sayang, dan kebaikan hatinya kepada semua
makhluk”. (Brahmajala Sutta).
Seringkali tindak kekerasan itu terjadi berkaitan dengan kebencian yang
dilandasi balas dendam. Tetapi tindakan balas dendam dengan tindakan kekerasan
tidaklah selalu manis. Perwujudan rasa benci hanya menghadirkan kepahitan
berkepanjangan. “Kebencian tak akan berakhir apabila dibalas dengan kebencian.
Tetapi kebendian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci. Inilah
satuhukum abadi”. (Dhammpada 5).
Dalam Buddhadharma diingatkan bahwa bukan dengan membalas dendam atau
menaklukkan orang lain melalui kekerasan, kemenangan itu akan tercapai,
melainkan dengan mengalahkan diri sendiri dalam menyucikan hati dan pikiran
dari kebencian, dialah baru disebut penakluk sejati. “Walaupun seseorang dapat
menaklukkan beribu-ribu musuh dalam seribu kali pertempuran, namun sesungguhnya
penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri”
(Dhammapada 103). “Menaklukkan ribuan orang belum disebut sebagai pemenang.
Tapi mampu mengalahkan diri sendiri itulah yang disebut penakluk gemilang.”
(Dhammapada 104).
Sang Buddha menolak kekerasan karena kekerasan menjauhkan dari peningkatan
kualitas kehidupan spitual manusia. Ajaran agama Buddha menekankan agar setiap
manusia dapat memajukan kualitas kehidupan spiritualnya. Dan hal ini
berlaku juga dalam tataran kehidupan sosial dan politik.
Manusia hidup dan tumbuh dalam saling tergantung satu sama lain (hukum
kesaling tergantungan pratitya samutpada), dan karenanya dalam tataran
sosial-politis tingginya kualitas kehidupan antar Negara akan terlihat
bilamana tidak diberlakukannya kekerasan dalam menyelesaikan segala
macam masalah atau konflik yang terjadi.
Buddha mengatakan, politik yang maju dan beradab adalah politik yang: “tanpa
membunuh, tanpa melukai, tanpa menjajah, tanpa membuat sedih, dan mengikuti
Dhamma atau ajaran kebenaran” (Samyutta Nikaya).
Dalam sejarah sosil politik semasa Sang Buddha, Sang Buddha selalu
tidak membenarkan terjadinya pemakaian kekerasan atau peperangan. Ketika
Vidudhaba, putra Raja Pasenadi dari Kosala menyerbu Kapilavasthu dengan empat
divisi prajurit, dan ketika ia akan melewati Sang Buddha yang sedang
bermeditasi di bawah pohon yang sudah layu, Vidudhaba bertanya kepada Sang
Putra Sakya itu:
“Mengapa anda duduk di bawah pohon yang sudah layu ini, sedangkan ada
banyak pohon yang tumbuh penuh dengan dedaunan dan banyak cabangnya?” Sang
Buddha menjawab: “Naungan rasa persaudaraan lebih mulia daripada naungan rasa
permusuhan.”
Begitu pula dengan Ajatasattu. Ketika Raja Ajatasattu, putra Bimbisara
dari Magadha hendak menyerang Vajjis, negara tetangganya, ia meminta
saran terlebih dahulu kepada Sang Buddha lewat pendeta Vassakara.
Kemudian Sang Buddha mengingatkannya untuk tidak mengobarkan peperangan,
tidak mempergunakan kekerasan, melainkan sebaliknya menjalankan politik tanpa
kekerasan yakni dengan menekankan untuk bermusyawarah dan mematuhi semua
ketentuan perdamaian yang telah diberlakukan. (Maha Paninibbana Sutta).
Pelopor
Perdamaian
Aspek politik di dalam sejarah perkembangan Buddhadharma di Asia yang
sangat fenomenal diketemukan dalam raja besar yang bernama Asoka
(abad k3 SM). Raja ini menjalankan ajaran tanpa kekerasan dan memelopori
perdamaian serta mengusahakan kehidupan rukun antar agama dengan mendirikan
piagam toleransi yang bernama piagam Piyadassi.
Asoka (abad 3 SM) seorang penganut Buddha yang mempraktekkan Buddhadharma
dan sekaligus mampu menciptakan suatu negara yang makmur, memelopori
sikap tanpa kekerasan serta toleransi kehidupan beragama. Sikap Raja Asoka ini
mungkin bisa menjadi cermin atau teladan bagi para penguasa, pemimpin negara
dewasa ini dalam menyelesaikan konflik.
Sepanjang abad Milenium ini kita mengenal tokoh-tokoh Engaged Buddhism yang
mempromosikan keterlibatan Buddhadharma dalam dunia kontemporer jaman ini
dengan berbagai problema sosial politiknya. Mereka semuanya mengetengahkan
perjuangan tanpa kekerasan dan memelopori perdamaian.
Ada Thich Nhat Hanh dengan aksi cinta-nya dalam perang Vietnam di
tahun 1970-an, Dalai Lama yang tengah memperjuangkan otonomi Tibet dan kekayaan
tradisi spiritual Tibet dengan tanpa kekerasan, dan juga Aung San Su Kyi
dengan kekuatan kesabaran dan perjuangan damainya dalam mewujudkan
Myanmar yang demokratik.
Begitu pula dengan spirit toleransi yang diperlihatkan Buddhadhasa di
Thailand, serta Ajahn Sulak Sivaraksa yang pro-demokrasi. Ada Maha
Ghosananda di Kamboja, dan Ambedkar yang memperjuangkan penghapusan
diskriminasi atas kaum Dallit di India.
Banyak tokoh Buddhis terkemuka lainnya yang merupakan Bodhisattva jaman
kini yang mampu menterjemahkan Buddhisme secara kontekstual, adaptif,
humanistik serta menyatakan keterlibatan cinta kasihnya dalam lapangan
social-politik sebagaimana yang menjadi hakikat dan jiwa Buddhadharma.
Dekade Perdamaian
Baik pula bila kita ingan pesan yang tertuang dalam deklarasi pertemuan 22
orang Guru Buddhis Barat dengan Dalai Lama di bulan Maret 1993 (Ken Jones:
1999), dengan alinea pertama proklamasinya berbunyi:
“1. Tanggung Jawab Kita pertama sebagai Buddhis adalah bekerja menciptakan
sebuah bentuk kehidupan yang lebih baik di muka bumi.
2. Mempromosikan Buddhadharma sebagai sebuah agama yang memiliki
keterlibatan terhadap toleransi maupun hormat kepada agama lain.
3. Setiap aksi memperjuangkan keterlibatan tersebut hendaknya dipimpin oleh
prinsip kebaikan dan kasih sayang, serta perdamaian dan harmoni.”
Perjuangan mewujudkan pedamaian dan kehidupan dengan tanpa kekerasan
dan anti kekerasan itu merupakan ciri khas dari keterlibatan Buddhadharma yang
telah diawali Sang Buddha, Raja Asoka maupun sejumlah Bodhisattva masa kini.
Semuanya menunjukkan kekuatan dari cinta-kasih dalam keterlibatannya mewujudkan
perdamaian bagi kehidupan sesama. Spirit damai yang dikandung dalam agama
Buddha ini kiranya dapat memberikan sumbangannya dalam mewujudkan “Dekade
Budaya Perdamaian” yang dicanangkan PBB, dan sekaligus “Dekade
Non-kekerasan terhadap Anak-anak,” untuk menandai dekade pertama millennium
abad ini.
Deklarasi PBB tanggal 13 September 1999, mendefinisikan Budaya Perdamaian
sebagai “sejumlah nilai, keyakinan, tradisi, perilaku dan gaya hidup. Anak-anak
agar sejak dini dilibatkan dalam kegiatan kependidikan yang mentransfer nilai,
keyakinan, perilaku dan gaya hidup yang memberdayakan mereka untuk melerai
konflik secara damai berdasarkan spirit toleransi, menghargai harkat manusia
dan nondiskriminasi”. (Deklarasi PBB 1999).
Budaya damai dan menentang peperangan, dan memajukan politik tanpa
kekerasan inilah yang menjadi semangat dan aspirasi semua agama termasuk
Buddhadharma sebagaimana yang tercermin dan berpuncak dalam spiritualitas
Buddha dengan pencapaian kesempurnaannya, kesadaran penuhnya yang tercerahkan
dan cinta damai. Budaya damai yang bersumber dari spirit dan inti ajaran agama
yakni cinta kasih: “Loko Patthambika Metta; hanya cinta kasihlah yang
menyelamatkan dunia.”
Toleransi
dan Kerukunan
Agama Buddha pernah hidup di Indonesia dan bahkan turut menandai
puncak-puncak zaman keemasan kerajaan Nusantara dahulu kala, dan setidaknya
turut pula menyerapkan kekayaan batin bangsa Indonesia mengenai kerukunan hidup
beragama maupun hidup saling toleransi.
Dalam agama Buddha, terdapat prinsip untuk melindungi dan menghormati
keyakinan bergama seseorang. Dicontohkan oleh Sang Buddha sendiri,
diantaranya adalah ketika ada seseorang bernama Upali hendak menjadi
pengikutnya Sang Buddha memintanya agar ia berpikir matang-matang, dan juga
agar selalu tetap menghormati gurunya (M.I. 378-380).
Pedoman dalam masyarakat Buddhis lainnya yang menganjurkan untuk mewujudkan
sikap saling toleransi dan saling menghormati serta menjaga kerukunan beragama
adalah dekrit Raja Asoka (abad ke 2 SM),
“Janganlah kita menghormati agama kita sendiri dengan mencela agama lain.
Sebaliknya agama lain pun hendaknya dihormati atas dasar-sadar tertentu. Dengan
berbuat demikian kita membuat agama kita sendiri berkembang, selain
menguntungkan kerukunan dalam Prasasti Batu Kalinga No. XXII:pula agama lain.
Jika kita berbuat sebaliknya kita akan merugikan agama kita sendiri, di samping
merugikan agama lain. Oleh karena itu, barangsiapa menghormati agamanya sendiri
dan mencela agama lain, semata-mata terdorong rasa bakti kepada agamanya
sendiri, justru ia akan merugikan agamanya sendiri. Karena itu kerukunan
dianjurkan dengan pengertian biar semua orang mendengar dan bersedia
mendengarkan ajaran yang dianut orang lain.”
Sebuah percakapan yang menarik antara Buddha dan Ananda, tentang pentingnya
musyawarah tercatat dalam Maha Parinibbana Sutta.
“Ananda, selama kaum Vajji sering dan rutin mengadakan permusyaratan,
mereka dapat diharapkan untuk menjadi makmur dan tidak merosot. Apakah engkau
mendengar bahwa kaum Vajji berkumpul dan bubar secara damai dan rukun, dan
menangani urusannya dengan rukun?” Demikianlah yang telah saya dengan, Yang
Mulia,” “Ananda, selama kaumVajji berkumpul dengan rukun, bubar dengan rukun,
dan menangani urusannya dengan rukun, mereka dapat diharapkan menjadi makmur
dan tidak merosot.”
Sabda Sang Buddha tersebut merupakan bagian dari wejangannya mengenai
syarat-syarat kesejahteraan suatu bangsa yang antara lain meliputi:
1. mengadakan musyawarah
secara tetap dan teratur dan dihadiri oleh banyak orang.
2. Perselisihan dan
perbedaan pendapat selalu diselesaikan secara sepakat dan damai dalam suatu
musyawarah.
3. Selalu memperhatikan
dan menghormati orang-orang tua mereka dan selalu mengindahkan kata mereka.
4. Memperhatikan, merawat
dan menyokong tempat-tempat ibadah mereka serta tidak lupa ikut melaksanakan
ibadah seperti apa yang diharuskannya.
Faktor-faktor yang menghambat kerukunan beragama, antara lain:
1. Sifat fanatisme
terhadap pelaksanaan ajaran agama, di atas kewajiban dan kepentingan nasional,
yang dapat berakibat suatu konflik sosial keagamaan.
2. Sikap kurang tenggang
rasa terhadap pemeluk lain.
3. Cara-cara yang tidak
terpuji untuk menarik pemeluk lain atau pemeluk lain mazhab untuk meyakini
agama yang dipeluknya.
4. Pengaruh negatif
pelaksanaan agama di negara asing yang seringkali tidak sesuai dengan tata
cara, kebiasaan, dan adat istiadat bangsa kita yang kadang kala bermotif politik.
MewujudkanPerdamaian
Sejak dahulu kala masyarakat Indonesia telah menganut bermacam-macam agama.
Walau kerap kali dikhawatirkan perbedaan agama bisa menjadi tidak terciptanya
kerukunan dan perdamaian. tetapi hampir dapat dipastikan bahwa penghayatan
agama yang dalam akan menyadarkan semua umat beragama bahwa sesungguhnya semua
orang dihadapan Tuhan Yang Maha Esa itu satu dan sama adanya.
Kekayaan batin mengenai kerukunan yang mengejawantah dalam perilaku etis
saling toleransi yang telah ada sejak dahulu kala merupakan modal dan warisan
tak ternilai para leluhur bagi generasi sekarang yang hidup di jaman
globalisasi.
Dalam kekayaan batin dan penghayatan agama yang demikian itu maka sikap
rukun yang terjelma itu bukan hanya bersifat semu atau hanya
sekedar untuk menyembunyikan dan menunda konflik. Sikap rukun juga tidak dapat
diatur secara eksternal melalui peraturan-peraturan, tetapi peraturan-peraturan
ini harus lahir dari kesadaran nurani dan dengan hati yang tulus.
Bangsa Indonesia telah mengenal prinsip-prinsip kerukunan hidup beragama,
warisan kebijaksanaan para leluhur maupun nilai-nilainya yang terkandung dalam
Pancasila serta yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Kendati begitu, sikap batin yang diharapkan berkembang dalam setiap umat
beragama dengan berfungsinya agama sebagai landasan moralitas, etik, spiritual
umatnya itu harus pula dilengkapi dalam konteks hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara yang mengupayakan sikap rukun dan damai.
Karenanya penting pula mengetahui dan mempelajari berbagai pendekatan yang
pernah ada atau dilakukan oleh pemerintah di dalam mengupayakan tumbuh dan
terselenggarakanya kerukunan beragama dan mewujudkan perdamaian.
Meskipun telah memiliki modal jiwa kerukunan yang telah dimiliki bangsa
Indonesia sejak dahulu kala, namun mengingat perkembangan
masyarakat Indonesia dan dinamika kehidupan yang terjadi, masalah kerukunan
umat seringkali juga menyita cukup banyak perhatian, baik dari kalangan agama
maupun negara atau pemerintah.
Dan oleh karenanya selalu menjadi bahan pemikiran untuk menemukan
kebijakan-kebijakan yang tepat dalam mendekati masalah kerukunan umat beragama
dan mewujudkan perdamaian.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar