Alih Bahasa Inggris - Indonesia :
Chandasili Nunuk Y. Kusmiana, Samuel B. Harsojo;
Editor : Thitaketuko Thera;
Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Akhir Oktober 2002.
Chandasili Nunuk Y. Kusmiana, Samuel B. Harsojo;
Editor : Thitaketuko Thera;
Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Akhir Oktober 2002.
KATA PENGANTAR
(buku kedua)
Kami mendapat kiriman tiga buah buku Dhamma dari Bhikkhu Visudhacara                    (Seorang Bhikkhu berkebangsaan Swiss) beberapa tahun lalu. Salah                    satu buku tersebut sangat menarik bagi kami karena mengupas                    proses meditasi vipassana secara rinci.
Setelah membaca isinya (aslinya dalam bahasa Inggris) kami                    memutuskan untuk menterjemahkan buku ini. Tentu ada alasan khusus                    mengapa buku ini yang kami pilih untuk diterjemahkan dan diterbitkan.                    Ini karena begitu sedikitnya buku Dhamma di tanah air. Semakin                    sedikit lagi adanya buku yang mengupas tentang metode meditasi                    vipassana dalam bahasa Indonesia.
Aslinya buku ini sampai ke tangan kami tanpa nama penulis atau                    siapa orang yang telah mengumpulkan naskah-naskah ceramah di                    dalam buku ini. Karena, melihat teknik penulisannya, misal ditemukannya                    pengulangan kalimat di sana sini, juga banyaknya kalimat langsung,                    bahan-bahan buku diambil dari sekumpulan ceramah dari Rangoon,                    Burma sampai ke Sidney – Australia.
Menurut Bhante Thitakhetuko Thera yang kami hubungi di awal                    penerbitan buku pertama, buku ini mengupas praktek meditasi                    vipassana versi Mahasi Sayadaw. Perlu diketahui Almarhum                    Mahasi Sayadaw adalah salah satu guru meditasi besar di Burma.
Buku ini pertama kali kami terbitkan dalam bahasa Indonesia                    di tahun 1998 dengan jumlah terbatas dan cetakan yang sangat                    sederhana. Kami memberanikan diri menerbitkan lagi buku yang                    sama dengan menambah beberapa bahan baru (yang belum sempat                    kami terjemahkan di naskah pertama).
Berbeda dengan cetakan pertama yang seluruh naskah terjemahannya                    diedit oleh Bhante Thitakhetuko Thera, naskah tambahan (Bab                    IV dan V) kami selesaikan sendiri. Ini mengingat Bhante Thita                    saat ini memiliki kesibukan yang padat disamping kondisi jasmani                    beliau yang sering jatuh sakit. Meski demikian Bhante Thita                    tahu dari awal proses penerbitan buku kedua ini. Sementara kami                    memberanikan diri mencantumkan nama beliau sebagai editor (yang                    beliau tolak pada penerbitan pertama) didasari oleh rasa hormat                    dan kasih sayang yang dalam dari kami.
Terakhir, tak lengkap kiranya kami belum mengucapkan terima                    kasih kepada saudari Susan Inawati (Jakarta) yang dengan tulus                    mengumpulkan dana untuk penerbitan kedua buku ini. Juga terima                    kasih kepada para donatur (nama-nama donatur kami tulis di akhir                    buku) yang dengan sama tulusnya telah menyumbangkan sejumlah                    dana untuk merealisir rencana ini.
Semoga dengan keberadaan buku ini akan dapat membantu kita                    dalam mempraktekkan meditasi Vipassana secara baik dan benar.
Surabaya, akhir Oktober 2002.
Penerjemah
DANAR VIPASSAKA PRADANA
KATA PENGANTAR
(buku pertama)
Keberadaan seorang guru meditasi memiliki banyak arti. Terutama,                    dengan kasih sayang, ketekunan dan kesabaran beliau memberi                    semangat kepada para pemeditasi dalam menjalankan praktek vipassana.
Yang juga tak kalah penting beliau tahu kapan harus menegur,                    “memarahi”, “membiarkan” dan menjadi                    kawan. Gambaran guru seperti ini nyaris tidak ditemukan bilamana                    guru tersebut tidak mencapai tahap-tahap tertentu dalam kebijaksanaan                    Dhamma.
Namun kemuliaan guru demikian kadang menjadi celaan bagi para                    siswa maupun umat yang masih diliputi oleh kegelapan batin.                    Sebab yang menjadi tolok ukur adalah diri kita yang penuh “kebodohan”                    ini. Seperti halnya yang sering kami lakukan.
Kadang pada suatu latihan kami sudah merasa sedemikian luar                    biasa dalam mencapai kemajuan. Tapi ketika “kemajuan”                    itu dikonfirmasikan kepada beliau kesimpulannya tidak lain adalah                    “penyelewengan” dari “rel” latihan vipassana.
Saat ini di tengah hirup pikuk duniawi kami menyadari segala                    kebodohan yang melandasi segala kebodohan yang melandasi semua                    penilaian kami atas tindakan beliau (yang sesungguhnya selalu                    diliputi kasih sayang yang luar biasa kepada para siswanya).
Untuk mengenang dan menghormati apa-apa yang telah beliau (dalam                    hal ini kami memahami ketidakinginan beliau untuk dipublikasikan)                    berikan, naskah terjemahan ini kami terbitkan.
Semoga dengan adanya buku ini kami memperoleh sedikit pencerahan.                    Dan, semoga buku ini bermanfaat bagi semua.
Batu, 10 Oktober 1998.
Penerjemah
DANAR VIPASSAKA PRADANA
B A B I
PETUNJUK-PETUNJUK UMUM SECARA SINGKAT
I.1. SAMATHA BHAVANA
Pertama-tama yang harus kita ketahui adalah perbedaan antara                    meditasi Samatha dan meditasi Vippasana. Jika                    tidak, mustahil bagi seseorang untuk berhasil berlatih meditasi                    dengan baik, karena yang akan didapati adalah kebingungan.
 Perlu dijelaskan bahwa dalam agama Buddha dikenal dua macam                    meditasi, yaitu meditasi Samatha dan meditasi Vipassana.
 Samatha berarti konsentrasi atau suatu keadaan mental                    yang membuat pikiran menjadi tenang. Ketika pikiran dikonsentrasikan                    pada sebuah obyek, ini dikenal sebagai konsentrasi pikiran.                    Maka, bila ingin meningkatkan konsentrasi dapat dipraktekkan                    meditasi Samatha. Sebab tujuan dari meditasi Samatha                    adalah untuk mencapai tingkat-tingkat konsentrai yang lebih                    tinggi yang sering disebut jhana atau appana.
Di Burma pengertian jhana ini dikenal dengan Zhan.                    Di Cina dikenal dengan sebutan Chan atau Zen                    di Jepang. Di sini Zen berarti konsentrasi.                    Tapi beberapa beberapa aliran (dalam agama Buddha) mengartikan                    Zen sebagai meditasi.
Dengan demikian jhana adalah tingkat meditasi yang                    sangat tinggi. Oleh sebab itu bila kita berlatih meditasi Samatha,                    kita akan memperoleh atau mencapai tingkatan konsentrasi tinggi                    yang juga dikenal dengan jhana.
Untuk mencapai jhana-jhana ini kita harus mengonsentrasikan                    pikiran pada satu obyek, seperti misalnya obyek pernapasan,                    salah satu obyek dalam kasina, asubha dan lain sebagainya.
Umumnya umat Buddha mempraktekkan meditasi dengan obyek napas.                    Dalam bahasa Pali meditasi dengan menggunakan obyek                    napas ini dikenal sebagai Anapanasati.
Saat berlatih meditasi dengan obyek napas, pikiran harus dipusatkan                    pada keluar-masuknya napas. Saat bernapas, udara menyentuh ujung                    hidung, maka kita amati dan mencatatnya dalam batin sebagai                    “napas masuk”. Juga saat menghembuskan napas (secara                    alami), udara melewati ujung hidung, kita mencatat hal itu sebagai                    “napas keluar”. Demikian seterusnya, dengan pikiran                    selalu terpusat pada ujung hidung.
Andaikata pikiran tidak dapat terpusat pada keluar-masuknya                    napas dan mengembara kemana-mana, serta berpikir hal-hal lain,                    seperti memikirkan keluarga, teman, sekolah, dan lain-lain,                    pikiran harus dipusatkan kembali pada obyek semula, yakni keluar-masuknya                    napas.
Meski pikiran dipusatkan pada keluar-masuknya napas, ini tidak                    dapat dipertahankan lebih lama. Pada masa awal berlatih, pikiran                    akan sering mengembara kemana-mana. Lalu kita harus mengajak                    kembali pikiran tersebut pada obyek semula, yakni obyek keluar-masuknya                    napas dan memperhatikan serta menyadari (= mencatat dalam batin)                    napas masuk dan keluar melalui sentuhan udara pada ujung hidung.                    Dengan cara ini pikiran dapat dipusatkan pada obyek dan memegang                    obyek tersebut lebih lama. Dengan cara ini latihan terus ditingkatkan.
Setelah berlatih selama seminggu atau sepuluh hari pikiran                    akan menjadi semakin terkonsentrasi pada keluar-masuknya napas                    melalui sentuhan dengan ujung hidung. Ini berarti konsentrasi                    anda semakin baik dan tajam. Jika latihan ini dilanjutkan sampai                    2 atau 3 bulan, pikiran menjadi semakin terpusat dan terasah.                    Pemusatan pikiran pada obyek dapat bertahan selama 10 atau 15                    menit. Demikianlah kita harus berjuang sebaik mungkin untuk                    mempertahankan pikiran pada obyek napas tersebut. Akhirnya pikiran                    menjadi terpusat pada keluar-masuknya napas dan pikiran menjadi                    bebas. Artinya ketika pikiran hanya terpusat pada keluar-masuknya                    napas, pikiran tanpa gangguan, tak ada kekacauan.
Kondisi pikiran seperti keinginan-keinginan hawa nafsu, kesakitan,                    kemalasan, kegelisahan, penyesalan dan keraguan (yang kesemuanya                    ini disebut halangan atau gangguan) dapat disingkirkan, karena                    pikiran hanya terkonsentrasikan pada satu obyek, yakni keluar-masuknya                    napas.
Sepanjang pikiran hanya terpusat pada keluar-masuknya napas                    melalui hidung, gangguan-gangguan seperti disebutkan tadi dapat                    disingkirkan. Sesudah itu pikiran akan semakin lunak, tenang                    dan cerah. Kita akan merasakan kedamaian selama pikiran dapat                    dipertahankan terpusat pada keluar-masuknya napas. Inilah yang                    dimaksud atau disebut dengan jhanna. Pikiran hanya                    benar-benar terpusat pada obyek meditasi, yakni keluar-masuknya                    napas.
Meskipun demikian, pikiran yang terpusat itu tidak dapat membangkitkan                    kesadaran untuk melihat kondisi-kondisi pikiran atau perubahan-perubahan                    pada tubuh yang terjadi dalam diri kita. Meditasi Samatha                    adalah meditasi yang melatih atau memusatkan pikiran saja bukan                    meditasi untuk membangkitkan kesadaran.
I.2. VIPASSANA BHAVANA
Meditasi lainnya yang kita kenal adalah meditasi vipassana.                    Arti dari Vipassana adalah kesadaran akan 3 corak dari                    keberadaan pikiran dan fenomena fisik. Apa sajakah ketiga corak                    itu ?
Ketiga corak tersebut adalah anicca (ketidakkekalan),                    dukkha (segala sesuatu yang tidak memuaskan) dan anatta                    (tidak adanya diri atau aku yang kekal). Karenanya kita harus                    mengamati setiap kondisi pikiran atau perubahan fisik yang timbul                    pada saat itu. Pengamatan dilakukan dengan sungguh-sungguh sehingga                    kita dapat menyadari ketiga corak dari kondisi pikiran atau                    perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh.
Ketiga corak diatas, yakni anicca, dukkha dan anatta                    haruslah disadari secara jelas oleh pelaksana meditasi, sehingga                    gangguan-gangguan pikiran atau kekotoran batin seperti keserakahan,                    nafsu, kemelekatan, keinginan, keengganan, perasaan acuh tak                    acuh, kesombongan, iri hati dan lain-lain dapat dihancurkan.
Praktis meditasi Vipassana dapat menyadari anicca,                    dukkha dan anatta (dengan kata lain yang dikenal                    sebagai diri, saya, kamu atau aku) dan tidak menganggap setiap                    kondisi-kondisi pikiran atau perubahan-perubahan pada tubuh                    sebagai individu, aku atau kamu, melenyapkan konsep ke-aku-an,                    diri, atau roh yang merupakan akar dari kekotoran dan gangguan                    terhadap batin, sehingga kebahagiaan dan kedamaian dapat dicapai                    dalam pada kehidupan saat ini juga. Inilah tujuan dari meditasi                    Vipassana.
Vipassana dapat berarti batin. Pengetahuan oleh batin                    yang menembus kesunyataan dari bentuk-bentuk pikiran dan fenomena                    fisik disebut Vipassana nana (= pengetahuan pandangan                    terang).
Tujuan berlatih meditasi Vipassana adalah untuk membangkitkan                    kesadaran akan kesunyataan atas tiga corak dari pikiran dan                    perubahan pada tubuh sebagaimana adanya (anicca, dukkha,                    anatta). Untuk menyadari hal itu kita harus mencapai tingkatan-tingkatan                    dalam konsentrasi.
Tingkatan-tingkatan dalam konsentrasi ini dapat diperoleh dengan                    menyadari sepenuhnya segala sesuatu yang sedang terjadi pada                    tubuh dan pikiran. Sebab, untuk menyadari corak-corak asli dari                    tubuh dan bentuk-bentuk pikiran, kita harus melakukan perhatian                    penuh atas segala sesuatu yang sedang terjadi pada tubuh dan                    pikiran tersebut. Tidak perlu memikirkan hal-hal yang sedang                    terjadi pada pikiran atau proses-proses yang terjadi pada tubuh.                    Tidak perlu menganalisanya. Juga tidak perlu mengritik apa-apa                    yang sedang terjadi pada tubuh dan pikiran.
Saat berlatih meditasi Vipassana, tidak perlu melakukan                    analisa (penelitian), memikirkan hubungannya dengan sesuatu                    hal, mengritik (hal-hal yang sedang muncul saat berlatih), mencari                    jawaban yang masuk akal, atau berpikir dengan pengertian-pengertian                    yang telah dimiliki sebelumnya. Apa yang harus dilakukan hanya                    menyadari/melihat apa yang sedang berlangsung pada tubuh dan                    pikiran. Tidak perlu bereaksi pada obyek (meditasi). Apakah                    itu baik atau buruk. Yang harus dilakukan hanyalah mengamati                    apa saja yang sedang terjadi atau muncul pada tubuh dan pikiran.                    Hanya menyadari. Tidak melakukan tindakan apapun. Tak melakukan                    penilaian. Hanya melihat apa yang sedang terjadi sebagaimana                    adanya. Hanya itu. Memiliki kesadaran penuh melihat hal-hal                    yang sedang terjadi apa adanya. Dan ketika kesadaran dimantapkan                    secara terus-menerus, maka pikiran menjadi terpusat.
Pada saat pikiran terpusat dengan baik, kesadaran terhadap                    kesunyataan dari bentuk-bentuk pikiran dan proses yang sedang                    terjadi pada tubuh, bangkit dengan hanya menyadarinya. Jadi,                    meditasi ini dikenal dengan meditasi pandangan terang atau meditasi                    Vipassana.
Dalam berlatih meditasi Vipassana hal yang paling                    penting adalah menyadari atau mengamati segala sesuatu yang                    muncul dalam pikiran.
Saat berlatih meditasi mungkin memikirkan keluarga, pekerjaan                    atau teman. Pikiran berkeliaran kemana-mana, memikirkan sesuatu                    yang lain. Bahkan kadang berkhayal, berencana dan lain sebagainya.                    Bentuk-bentuk pikiran ini harus disadari sepenuhnya : mengingat                    masa lalu, berencana, berkhayal, berpikir yang lain, dengan                    mencatat dalam hati sebagai “Berpikir … berpikir                    … berpikir” atau “Berkhayal … berkhayal                    … berkhayal”.
Saat melihat banyak khayalan muncul dalam diri, catatlah itu                    sebagai “melihat … melihat … melihat”                    tanpa perlu menganalisanya, tanpa perlu berpikir apakah itu,                    dan tanpa mengritiknya. Maka, didalam mempraktekkan meditasi                    Vipassana/meditasi pandangan terang, kesadaran untuk                    tidak bereaksi adalah faktor untuk mencapai keberhasilan.
Tidak perlu melakukan aksi apapun saat melihat/menyadari suatu                    obyek. Saat mendengar suara, mencium bebauan, mencicipi masakan,                    menyentuh/meraba sesuatu, atau memikirkan sesuatu, tidak perlu                    bereaksi terhadap obyek-obyek tersebut. Hanya sadari dengan                    penuh kesadaran atas segala sesuatu yang dilihat, didengar,                    dicium, dicicipi, disentuh, dipikir, dengan mencatat hal-hal                    itu sebagai “melihat … mendengar … mencium                    … mencicipi … menyentuh … berpikir”.
Dalam proses menyadari atau mencatat enam kesadaran ini, tidak                    perlu bereaksi atas obyek-obyek tersebut.
Sebagai contoh, karena besarnya kekuatan untuk menyadari atas kesadaran-melihat, maka kesadaran-melihat tidak dapat mengamati obyek dengan baik. Sehingga dengan ini tidak dapat digunakan untuk memberikan penilaian, apakah obyek itu baik atau buruk.
Sebagai contoh, karena besarnya kekuatan untuk menyadari atas kesadaran-melihat, maka kesadaran-melihat tidak dapat mengamati obyek dengan baik. Sehingga dengan ini tidak dapat digunakan untuk memberikan penilaian, apakah obyek itu baik atau buruk.
Ketika kesadaran-melihat tidak dapat digunakan untuk memberikan                    penilaian pada obyek sebagai sesuatu yang baik atau buruk, maka                    perasaan tidak akan menjadi baik atau buruk. Perasaan tidak                    akan terseret pada obyek yang muncul. Tentunya tidak ada reaksi                    sama sekali atas obyek-obyek itu.
Kesadaran tidak memiliki cukup waktu jika pengamatan tidak                    dilakukan. Maka akibat dari hal ini akan memunculkan penilaian                    pada obyek sebagai yang baik atau buruk.
Saat kesadaran-mengamati menilai obyek sebagai sesuatu yang                    baik, timbul kesenangan yang luar biasa atas obyek itu. Sebaliknya,                    bila kesadaran mengamati menilai obyek sebagai sesuatu yang                    buruk, akan timbul kesedihan.
Kita menyukainya, mencintainya, ingin mendapatkannya. Nafsu                    keinginan untuk memiliki muncul karena obyek itu dirasa menyenangkan.                    Keinginan adalah reaksi atas obyek yang tidak disadari atau                    dicatat. Keinginan adalah akar dari penderitan, dukkha.                    Sebab-sebab timbulnya dukkha adalah adanya nafsu keinginan                    yang timbul karena kita luput/gagal menyadari obyek yang muncul                    dan kita terseret untuk bereaksi. Timbulnya reaksi ini adalah                    bentuk dari nafsu keinginan atau cinta.
Tidak perlu bereaksi atas obyek yang muncul. Harus selalu sadar                    dan menyadarinya/mencatatnya (dalam batin) sebagai : “melihat                    … melihat … (atau mendengar …, mencium …,                    mencicipi …, menyentuh). Jangan berpikir bila obyek-obyek                    itu muncul.
Pada saat menyadari setiap obyek yang timbul, apakah itu bentuk-bentuk                    pikiran atau proses-proses yang terjadi pada tubuh, tidak perlu                    bereaksi terhadap obyek-obyek tersebut. Dengan demikian timbul                    ketenangan. Inilah sebabnya kita namakan meditasi pandangan                    terang.
Untuk melatih meditasi pandangan terang yang dibutuhkan adalah                    menyadari segala sesuatu yang sedang terjadi pada tubuh atau                    pikiran. Tidak perlu memikirkannya, menghubungkannya dengan                    konsep-konsep maupun pengertian-pengertian yang telah dimiliki                    sebelumnya. Apabila konsep-konsep itu dibiarkan berkeliaran                    pada pikiran saat bermeditasi, maka wujud asli dari pikiran                    dan perubahan-perubahan pada tubuh yang diamati tidak akan dapat                    dipahami. Jadi, prinsip dari meditasi Vipassana atau                    pandangan terang adalah menyadari hal-hal yang muncul pada pikiran                    dan proses-proses pada tubuh sebagaimana adanya.
Melihat hal itu teknik pada meditasi ini tidaklah sulit. Boleh                    dikata sangat mudah dan sederhana. Tapi sangat efektif bila                    dipraktekkan dengan tekun. Harus bersabar bila belum dapat mencapai                    tingkat yang lebih tinggi dalam pencerahan. Ketekunan, kesabaran                    dan usaha yang tak kenal lelah adalah hal yang paling diperlukan                    bagi pemeditasi untuk mencapai keberhasilan.
Jelaslah bahwa prinsip dari meditasi vipassana adalah                    menyadari bentuk-bentuk pikiran dan proses-proses yang berlangsung                    pada tubuh dan batin. Selain itu pada meditasi vipassana                    kita memiliki obyek-obyek yang bervariasi. Bukan hanya satu                    obyek seperti dalam meditasi Samatha.
Inilah perbedaan yang harus dimengerti antara meditasi Samatha                    dan Vipassana, dimana pada meditasi Samatha                    hanya digunakan satu obyek meditasi seperti misalnya napas.                    Sementara dalam meditasi vipassana memiliki banyak                    obyek yang berbeda karena semua bentuk-bentuk pikiran dan proses-proses                    yang terjadi pada tubuh adalah obyek. Semua obyek-obyek itu                    harus disadari dan dicatat dalam batin.
I.3. MENGAMATI GERAKAN PERUT
Untuk membuat latihan tersebut lebih mudah kita dapat memperhatikan                    kembung-kempisnya perut. Pengamatan terhadap kembung-kempisnya                    perut tidak sama dengan meditasi yang menggunakan obyek pernapasan.                    Ini disebut pengamatan terhadap unsur-unsur dalam diri. Sebab,                    kita mengamati empat unsur yang terdiri dari unsur tanah, air,                    api, dan udara. Pada permulaan berlatih kita akan menyadari                    atau mengamati sepenuhnya tentang empat unsur tersebut.
Pengamatan atas naik-turunnya (kembung-kempisnya) perut disebut                    (melatih) kesadaran akan unsur-unsur dalam diri manusia. Dalam                    bahasa Pali dikenal dengan sebutan dhatu manasikara.                    Ini bukanlah meditasi pernapasan (anapanasati seperti                    dalam meditasi Samatha) walaupun gerakan naik-turunnya                    perut berhubungan dengan keluar-masuknya napas. Tetapi hanya                    mengamati/menyadari terhadap gerakan naik-turunnya perut. Udara                    di dalam perut membuat gerakan kembung-kempis atau naik-turunnya                    perut. Gerakan naik-turunnya perut ini diamati dan dicatat “kembung                    … kempis … kembung … kempis …”.
Oleh sebab itu ini bukanlah meditasi pernapasan tetapi disebut                    dhatu manasikara, satu dari empat obyek kesadaran yang                    dijelaskan oleh Sang Buddha. Karena ini bukan meditasi pernapasan,                    kita tidak seharusnya melekat pada gerakan naik-turunnya perut                    sebagai satu-satunya obyek meditasi. Karena dalam meditasi vipassana,                    gerakan naik-turunnya perut merupakan pengamatan atas unsur-unsur                    dalam tubuh, satu dari sekian banyak obyek, bukanlah satu-satunya                    obyek meditasi.
Saat perut mengembung atau bergerak maju, sadari dan catat                    dalam batin sebagai “maju/kembung …” Saat                    perut bergerak mundur atau mengempis, catat hal itu sebagai                    “mundur/kempis …” Gerakan maju-mundurnya atau                    kembung-kempisnya perut disadari dan dicatat sebagai “maju                    … mundur … maju … mundur” atau “kembung                    … kempis … kembung … kempis …”.
Sambil kita mengamati naik-turunnya perut, di dalam pikiran                    mungkin (muncul) memikirkan hal lain. Pada pemula, hal ini mungkin                    tidak disadari. Setelah beberapa saat berulah disadari bahwa                    pikiran berpindah ke obyek lain. Segera setelah menyadari hal                    itu, kita ikuti pikiran yang tertuju pada obyek tersebut, amati                    dan catat sebagai “berpikir … berpikir …”                    atau “melamun … melamun …”.
Saat pikiran yang mengembara itu kembali ke obyek utama, yaitu                    naik-turunnya perut, catat seperti biasa sebagai “naik                    … turun … naik … turun … “. Seandainya                    pikiran itu berkeliaran lagi, ikuti saja dan catat dalam batin                    sebagai “berpikir … berpikir …” (atau                    hal lain yang berkaitan dengan yang dituju oleh pikiran). Jika                    pikiran berhenti memikirkan hal/obyek tersebut, kembalilah pada                    obyek semula, yakni naik-turunnya perut. Semua aktifitas ini                    dicatat dalam batin sebagaimana mestinya.
Selang duduk bermeditasi selama 20–30 menit, mungkin                    timbul rasa sakit pada bagian tubuh. Kaki, lutut atau punggung                    terasa sakit. Rasa sakit tersebut lebih berpengaruh daripada                    obyek naik-turunnya perut. Karenanya pengamatan harus dialihkan                    pada rasa sakit itu serta dicatat dalam batin.
Rasa sakit tersebut lebih dominan daripada obyek semula (naik-turunnya                    perut). Amati dan catat sebagai “sakit … sakit …                    sakit …”. Lakukan pengamatan terhadap rasa sakit                    secara intensif/terus-menerus dan penuh perhatian.
Rasa sakit mungkin menjadi lebih terasa. Kita harus menghadapinya                    dengan lebih sabar dan memandang rasa sakit itu sebagaimana                    adanya, dengan penuh kesabaran serta mencatatnya dalam batin                    sebagai “sakit … sakit … sakit …”.
Apabila rasa sakit itu tak tertahankan, kita harus bangkit                    (dari posisi duduk) lalu lakukan meditasi jalan. Melakukan meditasi                    jalan jauh lebih baik daripada merubah posisi (dalam sikap duduk                    meditasi). Jadi, untuk melepaskan diri dari rasa sakit, tidak                    perlu berganti posisi. Bangkit dan lakukan meditasi jalan.
I.4. MEDITASI JALAN
Dalam melakukan meditasi jalan kita harus mengamati gerakan                    kaki. Saat melangkah dengan kaki kiri, pusatkan pikiran pada                    gerakan kaki kiri. Demikian pula pada kaki kanan. Catat gerakan                    kaki tersebut sebagai “kiri … kanan … kiri                    … kanan ..”. Gerakan kaki dipengaruhi unsur vayodhatu,                    merupakan unsur udara yang harus ditembus dengan kesadaran akan                    kesunyataan itu.
Lalu pengamatan terhadap gerakan kaki dapat ditingkatkan menjadi                    dua bagian. Tentunya ini dilakukan setelah mengamati gerakan                    kaki kiri dan kanan berlangsung dengan baik. Dua bagian gerakan                    itu, adalah “angkat” dan “turun”. Saat                    mengangkat kaki, amati dan catat hal itu sebagai “angkat”.                    Begitu pula bila menurunkan kaki. Gerakan kaki tersebut diamati                    dan dicatat sebagai “angkat … turun … angkat                    … turun …”.
Pengamatan dapat ditingkatkan dengan membagi gerakan kaki menjadi                    tiga bagian, yakni “angkat”, “maju”,                    “turun”.
Gerakan kaki mulai dari “mengangkat”, “maju”                    dan kemudian “menurunkannya” dilakukan dalam satu                    rangkaian gerakan. Sehingga satu gerakan tersebut terbagi dalam                    tiga bagian, yakni “angkat”, “maju”,                    dan “turun”. Amati dan catat gerakan itu sebagai                    “angkat … maju … turun …”.
Dalam melakukan meditasi jalan, jangan melihat sekeliling.                    Pandangan mata setengah tertutup dan jarak pandang sejauh lebih                    kurang 2 meter di depan kita. Jangan lebih dekat dari itu. Pikiran                    harus terpusat pada gerakan kaki “angkat … maju                    … turun …”. Jangan berjalan dengan cepat,                    sebab hal ini akan membuat kita tidak dapat menyadari gerakan                    kaki dengan baik. Gerakan melangkah harus dilakukan dengan perlahan.
Ketika mencapai batas akhir dari lintasan, kita dapat berbalik.                    Saat berbalik, ada keinginan untuk membalikkan badan. Maka keinginan                    itu harus dicatat (dalam batin) sebagai “ingin …                    ingin … ingin …”. Kemudian pengamatan ditujukan                    kepada gerakan tubuh yang berbalik serta dicatat sebagai “balik                    … balik … balik …”.
Sewaktu wajah menghadap ke arah darimana kita datang, tetaplah                    berdiri tegak dan amati posisi tubuh dalam keadaan demikian                    sebgai “berdiri … berdiri … berdiri …”                    selama lebih kurang sepuluh kali. Kemudian praktek meditasi                    jalan dapat dilanjutkan kembali serta mencatat setiap gerakan                    kaki sebagai “angkat … maju … turun …”.
Latihan ini dapat dilakukan, setidaknya, selama 1 jam. Namun                    bagi pemula mungkin agak sulit untuk berjalan selama 1 jam.                    Mungkin menjadi 30 menit.
Saat mencapai dinding atau batas lintasan, kita dapat melakukan                    hal yang sama. Pertama, tetap berdiri tegak sambil mencatat                    dalam batin sebagai “berdiri … berdiri … berdiri                    …”. Amati posisi tubuh dalam keadaan tegak tersebut                    lalu catatlah “ingin …ingin … ingin…”                    (ketika muncul keinginan untuk memutar tubuh) sambil memutar                    tubuh “balik … balik… balik …”                    secara perlahan. Kemudian berjalan kembali ke arah darimana                    kita datang pada lintasan yang sama. Pusatkan pikiran pada gerakan                    kaki sampai benar-benar terpusat, yang dalam bahasa Pali disebut                    Samadhi.
Samadhi ini dapat dicapai dengan melatih kesadaran                    secara terus-menerus. Juga dapat dibangkitkan dengan cara melakukan                    meditasi jalan maupun duduk secara bergantian.
Setelah berjalan, selama 30 menit atau 1 jam, kita dapat kembali                    ke tempat kita duduk. Konsentrasi dan kesadaran yang dikumpulkan                    selama melakukan meditasi jalan tidak seharusnya kacau atau                    terpatahkan saat berjalan menuju ke tempat kita duduk bermeditasi.                    Kesadaran harus dipertahankan tetap utuh saat menuju tempat                    melakukan meditasi duduk. Gerakan kaki harus dipertahankan tetap                    stabil sampai ke tempat kita duduk bermeditasi. Ketika mencapai                    tempat tersebut, catatlah posisi tubuh itu sebagai “berdiri                    … berdiri … berdiri …”. Posisi tubuh                    yang tegak ini harus dalam keadaan diam. Lalu kita dapat duduk                    dan meneruskan praktek meditasi tersebut.
Ada keinginan untuk duduk. Keinginan ini harus diamati dan                    dicatat dalam batin sebagai “ingin … ingin …                    ingin …”. Kemudian duduklah secara perlahan. Gerakan                    untuk duduk ini harus tetap diamati dan dicatat dalam batin                    sebagai “duduk … duduk … duduk …”.                    Saat tubuh (pantat) menyentuh tempat duduk, kita harus mencatatnya                    sebagai “sentuh … sentuh … sentuh …”.                    Juga saat mengatur tangan dan kaki, semuanya ini harus diamati                    dengan penuh kesadaran. Dalam posisi duduk bermeditasi, posisi                    kaki dapat disilangkan atau posisi apa saja yang enak. Jika                    berganti posisi dari meditasi duduk ke meditasi jalan, juga                    saat bangkit dari posisi duduk, harus tetap waspada dan mengamati                    semua gerakan tangan, kaki, serta gerakan-gerakan tubuh secara                    keseluruhan. Ketika berjalan, amati gerakan kaki dan catat dalam                    batin sebagai “kiri … kanan … kiri …                    kanan …”. Saat mencapai tepi/batas lintasan, tetaplah                    berdiri tegak sampai mengamati posisi tersebut. Catat dalam                    batin sebagai “berdiri … berdiri …”.
Dengan cara ini kita harus menyadari sepenuhnya apa saja yang                    muncul pada tubuh dan pikiran. Inilah meditasi pandangan terang.                    Meditasi yang bertujuan untuk menyadari semua bentuk-bentuk                    pikiran dan proses-proses yang sedang terjadi pada tubuh sebagaimana                    adanya.
BAB II
PETUNJUK LANJUTAN
II.1. MEDITASI JALAN
Ketika melakukan meditasi jalan konsentrasikan pikiran pada                    langkah kaki. Konsentrasi akan melemah bila pikiran tertuju                    pada bagian-bagian lain dari kaki, seperti lutut atau pangkal                    paha. Begitu pula dalam hal kecepatan melangkah.
Langkah kaki yang terlampau cepat akan membuat proses pengamatan                    terhadap gerakan kaki tersebut tidak dapat dilakukan secara                    tepat dan penuh perhatian. Hal ini pun akan membuat konsentrasi                    melemah.
Pada saat melangkah kita tak perlu melihat sekeliling dan ke                    tempat-tempat lain. Perhatikanlah, keinginan/nafsu adalah penyebab                    yang menimbulkan pengaruh melihat. Bila unsur menyebabnya telah                    dimusnahkan, tidak akan ada pengaruh yang mendorong munculnya                    keinginan untuk melihat. Dengan demikian kita tidak ingin melihat.                    Maka cara terbaik untuk mengendalikan mata adalah menyadari                    keinginan untuk melihat saat keinginan tersebut muncul.
Kita harus menyadari saat keinginan untuk melihat sesuatu muncul                    dengan mencatat, “ingin … ingin … ingin …”,                    sampai keinginan tersebut hilang. Jika keinginan untuk melihat                    ini telah hilang kita tidak akan lagi memiliki keinginan untuk                    melihat ke sekeliling. Akibatnya konsentrasi tidak terpecah.                    Maka waspadalah melihat munculnya nafsu keinginan apapun sampai                    keinginan tersebut lenyap. Hanya dengan lenyapnya nafsu keinginan                    kita dapat melanjutkan mengamati langkah kaki.
Setelah berjalan selama lima sampai sepuluh menit pikiran mungkin                    akan berkeliaran, berkhayal atau memikirkan sesuatu. Dalam hal                    ini kita harus berhenti melangkah, tetap dalam posisi berdiri                    dan sadari hal itu sebagai “berkhayal … berkhayal”                    atau “berpikir … berpikir” hingga khayalan                    atau pikiran tersebut lenyap. Setelah itu meditasi jalan dapat                    dilanjutkan kembali.
Langkah kaki haruslah pendek, sekitar sepanjang kaki, sehingga                    kita dapat melangkah dengan baik dan mengamatinya dengan tepat                    dan terarah. Bila langkah terlalu panjang, sebelum kita meletakkan                    kaki pada lantai, kemungkinan yang terjadi adalah secara tidak                    sadar kita telah mengangkat tumit dari kaki yang satunya. Maka                    kita akan kehilangan pengamatan terhadap pengangkatan tumit                    tersebut. Hal ini dikarenakan langkah kita terlalu panjang.
Sesudah meletakkan kaki dengan baik, kita dapat mulai mengangkat                    tumit dari kaki yang lain. Lalu amati dan sadari gerakan tersebut                    dengan baik sehingga permulaan dari mengangkat tumit dapat sepenuhnya                    disadari.
Kita dapat mengamati gerakan kaki dalam tiga bagian, yaitu                    “angkat”, “maju”, “turun”.                    Ini dilakukan setelah mengamati atau mencatat (dalam batin)                    gerakan kaki “kiri … kanan … kiri …                    kanan …” selama lebih kurang sepuluh menit.
Pengamatan gerakan kaki dalam dua bagian kurang begitu baik,                    karena saat mengangkat kaki dan menurunkannya, kaki tersebut                    akan tetap berada di tempat yang sama. Seharusnya, setelah mengangkat                    kaki kita harus menggerakkan kaki maju dalam jarak tertentu                    untuk kemudian menurunkannya. Dengan mencatat gerakan turun                    setelah angkat, kita melewati pengamatan proses gerakan maju                    atau mendorong. Langkah kaki pada bagian pertengahan menjadi                    hilang. Maka, kita perlu melakukan pengamatan gerakan kaki menjadi                    tiga bagian, yaitu “angkat”, “maju”,                    “dorong”.
Ketika meletakkan kaki dan kaki tersebut menyentuh lantai,                    kita dapat mencatatnya sebagai “sentuh”. Dengan                    cara ini pengamatan gerakan kaki menjadi “angkat …                    maju … turun … sentuh …”.
Juga saat kaki menyentuh lantai, kita mengangkat kaki yang                    lain dengan mulai mengangkat tumit. Segera setelah mengangkat                    tumit kita harus menekan kaki depan sedikit. Penekanan tersebut                    harus disadari dan dicatat dalam batin sebagai “tekan”.                    Maka, gerakan terbagi menjadi “angkat … maju …                    turun … sentuh … tekan …”.
Dalam kitab komentar tertulis, langkah kaki harus dicatat dalam                    enam gerakan. Saat mengangkat tumit dan mencatatnya sebagai                    “angkat” kemudian menaikkan kaki dicatat sebagai                    “naik”. Sehingga gerakan kaki terbagi menjadi “angkat                    … naik … maju … turun … sentuh …                    tekan “.
II.2. HUBUNGAN JASMANI dan BATIN
Setiap tindakan dimulai oleh proses mental yaitu keinginan.                    Saat timbul keinginan mengangkat kaki, kita mengangkat kaki                    tersebut. Bukan hanya mengangkat kaki, tapi semua tindakan dan                    gerakan lainnya dimulai oleh proses mental, yaitu keinginan.
Bila dapat mengamati keinginan maka kita mampu menyadari hubungan                    antara gerakan kaki dan proses mental.
Untuk menyadari bagaimana kedua proses ini bekerja, proses                    jasmani yaitu gerakan dan proses mental yaitu keinginan, saling                    berhubungan satu sama lain, kita harus memiliki konsentrasi                    yang sangat dalam yang ditumbuhkan dari kesadaran pada gerakan                    kaki.
Jika dapat menyadari bagaimana kedua proses itu berhubungan                    satu sama lain, serta tidak memiliki ide tentang individu yang                    sedang berjalan, mengangkat kaki, atau “diri” yang                    mendorong gerakan ke depan, kesadaran tersebut merupakan suatu                    harapan, sebuah proses mental yang disebabkan dari gerakan mengangkat                    kaki.
Tanpa suatu maksud atau keinginan, gerakan tak mungkin dilakukan.                    Dengan cara ini kita dapat memahami hukum sebab-akibat di dalam                    meditasi jalan.
Apa yang menyebabkan kaki dapat diangkat ? Tidak lain jawabnya                    adalah keinginan. Maksud atau keinginan itu menyebabkan ujung                    jari kaki dapat diangkat. Maksud/keinginan itu menyebabkan kaki                    menekan dan seterusnya. Kita tidak akan menemukan individu,                    diri atau jiwa yang mengangkat, menaikkan dan mendorong kaki                    ke depan.
Kenyataannya keinginan membuat kaki diangkat, dinaikkan dan                    didorong ke depan serta diturunkan. Itu adalah suatu keinginan.                    Bukan diri, jiwa, saya atau kamu. Itu adalah keadaan mental.
Saat keadaan itu timbul, sesaat kemudian lenyap. Itu bukanlah                    suatu kesatuan yang permanen. Bukan kesatuan yang tak berakhir                    yang disebabkan oleh konsep adanya individu tertentu. Itu hanya                    sebuah proses mental alami yang menyebabkan kaki dapat diangkat,                    ujung jari naik dan mendorong ke depan, serta lain sebagainya.
Demikianlah keinginan “angkat”, “naik”,                    “dorong”, “turun”, “sentuh”                    dan “tekan” diamati.
Saat menyadari sentuhan hal itu tidak didahului oleh keinginan.                    Sebab pada saat menjatuhkan kaki dan menyentuh tanah, hal itu                    terjadi secara otomatis, tanpa peduli ada keinginan atau tidak.                    Dan kenyataannya tidak ada keinginan. Maka, sebelum “sentuh”                    kita tidak perlu menyadari “keinginan sentuh”. Sebab                    tidak ada keinginan disana. Sehingga proses tersebut menjadi,                    keinginan “angkat”, keinginan “naik”,                    keinginan “dorong”, keinginan “turun”                    , “sentuh” dan keinginan “tekan”.
Sang Buddha Yang Maha Tahu telah mengajarkan empat posisi meditasi,                    yaitu berjalan, berbaring, duduk dan berdiri. Saat melatihnya                    kita harus menyadari semua tindakan dan gerakan yang melibatkan                    keempat posisi ini tanpa terputus.
Sang Buddha juga mengajarkan untuk menyadari semua aktifitas                    sehari-hari. Apa yang beliau ajarkan adalah menyadari secara                    penuh setiap kegiatan jasmani sebagaimana adanya. Apapun yang                    dilakukan harus disadari dan diamati tanpa terputus. Sehingga                    mampu dipertahankannya kesadaran yang kokoh sepanjang hari.                    Keberlangsungan kesadaran yang kokoh ini disebabkan oleh konsentrasi                    yang sangat dalam.
Apabila kesadaran suatu saat diterobos oleh ingatan atau emosi,                    terjadilah suatu pemisah antara kesadaran awal dan kesadaran                    berikutnya. Kesadaran yang terpecah semacam ini tidak dapat                    berkelanjutan dan berlangsung secara konstan.
Untuk memiliki pengertian secara benar mengenai kenyataan mutlak                    pada proses-proses jasmani dan batin, bukan adanya suatu diri                    atau jiwa yang kekal, kita harus menyadari apapun yang timbul                    pada batin dan jasmani sebagaimana adanya.
Sang Buddha mengatakan, saat meluruskan lengan, harus disadari                    “sedang meluruskan lengan”. Saat meluruskan kaki,                    harus disadari “sedang meluruskan kaki”. Ketika                    menekuk lengan atau kaki, harus disadari “sedang menekuk                    lengan atau kaki”. Sepanjang sedang menekuk lengan atau                    kaki, harus disadari “sedang melakukan gerakan menekuk”.                    Sepanjang atau kaki diluruskan, haruslah disadari gerakan meluruskan                    tersebut. Dengan cara ini kita dapat menyadari secara benar                    kenyataan dari seluruh gerakan tangan dan kaki. Sehingga dapat                    disadari akan kenyataan bekerjanya/beradanya unsur udara atau                    angin.
Selama duduk bermeditasi sensasi berupa rasa sakit mungkin                    dialami. Kita harus bersabar dengan hal itu dan dan tidak terburu-buru                    merubah posisi. Sebab merubah posisi adalah hal yang kurang                    baik.
Tapi sering terjadi, meski tidak merubah posisi duduk, tangan                    bergerak kesana-kemari. Kadang tangan menyentuh wajah atau kepala.
Tanpa mengalami sensasi seperti rasa gatal, kita tidak mungkin                    menggosok wajah atau tangan. Kadang saat merasa sangat lelah                    atau kesakitan, tangan secara otomatis terangkat dan menyentuh                    atau bersandar pada lutut, dan lain sebagainya.
Dalam sistematika duduk meditasi, tidak seharusnya ada gerakan,                    walaupun hanya tangan. Posisi duduk harus seperti patung sehingga                    tidak memecah konsentrasi, tetapi sebaliknya membuat konsentrasi                    semakin terpusat dan stabil.
Jika menggerakkan tangan dari satu tempat ke tempat lain, pikiran                    akan bergerak mengikuti tangan. Konsentrasi pecah.
Kebiasaan bergerak tanpa sadar membuat kita terus melakukannya                    dimasa mendatang. Maka, perlu mengingatkan diri sendiri untuk                    mengambil posisi seperti patung, “saya harus duduk seperti                    patung Sang Buddha”.
Kadang secara tidak sadar menggerakkan tangan. Meski dikatakan                    tanpa sadar, sesungguhnya pikiran mengikuti gerakan tangan itu.                    Tanpa suatu maksud/keinginan untuk menggerakkan tangan, tangan                    tidak akan mungkin bergerak. Karena keinginanlah yang menjadi                    sebab bergeraknya tangan tersebut.
Keinginan itu merupakan proses mental. Pikiran yang terkonsentrasi                    juga merupakan sebuah proses mental.
Saat menggerakkan tangan dan pikiran mengikuti gerakan itu,                    konsentrasi terpecah. Maka, berusahalah untuk tidak menggerakkan                    atau memindahkan tangan dari satu tempat ke tempat yang lain                    selama duduk bermeditasi.
Untuk memiliki konsentrasi yang kuat, kesadaran harus diupayakan                    tidak terputus dan konstan sepanjang hari. Agar dapat memiliki                    kesadaran yang berkelanjutan dan konstan, haruslah memiliki                    cukup usaha dalam mempraktekkan pengamatan. Harus selalu sadar                    atas apapun yang muncul pada jasmani dan batin saat sedang duduk,                    berjalan, dan melaksanakan aktifitas sehari-hari selama bermeditasi.
Dengan cara ini kesadaran dapat dipertahankan stabil dan konstan.                    Untuk memiliki kesadaran seperti ini, haruslah dimiliki cukup                    usaha. Agar dimiliki cukup usaha, harus cukup yakin terhadap                    teknik meditasi yang dipraktekkan atau pun pada Dhamma.
Apa yang menyebabkan penderitaan atau dukkha? Lobha                    atau keterikatan adalah sebab penderitaan. Bila muncul keterikatan                    pada pengalaman yang menyenangkan pada saat meditasi itu disebut                    dukkha juga.
Meditasi adalah sesuatu dimana kita diharap menimba pengalaman                    sebanyak mungkin. Ia bukan sesuatu dimana kita harus terikat,                    seenak apapun pengalaman yang timbul. Bila kita terikat dengan                    pengalaman yang baik dan menyenangkan di waktu lalu atau hari                    ini meditasi kita pasti mengalami kemunduran. Kemunduran bisa                    berupa konsentrasi yang menurun. Hal ini akan menimbulkan penyesalan.                    Dibutuhkan usaha yang lebih besar untuk mengamati kekacauan.                    Akibatnya dibutuhkan tenaga lebih banyak yang mengakibatkan                    cepat merasa lelah.
Pengalaman yang tak mengenakkan ini bukanlah hanya disebabkan                    oleh keterikatan akan pengalaman yang baik. Sebab secara alamiah                    kita cenderung ingin mengulang atau meraih kembali pengalaman                    menyenangkan yang pernah kita alami. Padahal pengalaman apapun                    dalam meditasi tak akan berlangsung selamanya.
Sang Buddha mengatakan, keterikatan adalah Samudaya Sacca.                    Samudaya berarti sebab awal dari segala sesuatu. Dan                    Sacca adalah kebenaran. Maka, Samudaya Sacca                    berarti kebenaran atas sebab dari penderitaan. Kesimpulannya,                    sebab dari penderitaan adalah keterikatan. Inilah yang benar.
II.3. JANGAN BERPIKIR
Kadang saat melakukan meditasi jalan, pikiran berkeliaran atau                    berkhayal tapi kita tetap meneruskan praktek meditasi dengan                    mengamati gerakan “angkat … dorong … turun                    …”. Ketika sampai di batas lintasan, kita tetap                    berdiri dan menyadari bahwa pikiran sedang berkeliaran atau                    melamun. Mungkin kita terkejut dengan kenyataan ini.
Peristiwa ini terjadi karena kita lupa mengamati, tidak menyadari                    bahwa pikiran sedang berkeliaran. Padahal kita beranggapan masih                    mengamati langkah kaki. Saat mencoba mengamati pikiran tersebut                    akhirnya disadari bahwa pikiran sedang melakukan sesuatu. Melamun,                    berkhayal atau tengah mengamati akhir dari proses melamun.
Akhirnya saat mengetahui, katakanlah dua atau tiga detik setelah                    lamunan itu muncul, gerak pikiran itu dapat ditangkap. Kadang                    disadari pikiran sedang berkeliaran karena terus-menerus mengamati.                    Tipuannya dapat disadari.
Karenanya saat mempraktekkan meditasi, kita harus mengamati                    bentuk-bentuk pikiran tanpa pernah lengkah sedikitpun.
Awalnya kita mungkin tidak mengetahui, menjadi tidak waspada                    terhadap bentuk-bentuk pikiran saat ia muncul. Lambat-laun hal                    itu dapat disadari juga. Katakanlah dalam 10 kali bentuk-bentuk                    pikiran itu muncul, kita dapat mengamatinya sebanyak 3 kali.                    Untuk kemudian bertambah menjadi 8 kali. Akhirnya semua bentuk-bentuk                    pikiran yang muncul dapat disadari sepenuhnya.
Pada keadaan demikian “pencuri” telah tertangkap.                    Bentuk-bentuk pikiran tersebut tak dapat terlepas lagi. Sehingga                    pikiran dapat terkonsentrasi pada pengamatan setiap obyek.
Walau demikian, bentuk-bentuk pikiran tersebut bukanlah musuh                    kita. Tetapi merupakan sahabat. Bila muncul keenganan terhadap                    bentuk-bentuk pikiran tersebut berarti kita telah terikat padanya.                    Sebab saat ia datang, muncul kekecewaan. “Oh, banyak melamun                    … Saya tak dapat berkonsentrasi dengan baik”.
Dalam hal ini kita terikat dengan munculnya perasaan enggan                    terhadap bentuk-bentuk pikiran tersebut. Kita mengira tidak                    menyukainya. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Kita akan                    menyenanginya dan ia akan semakin sering datang.
Sesungguhnya bentuk-bentuk pikiran itu sahabat kita. Mengapa                    ? karena, bila tidak memiliki pikiran, kita akan kehilangan                    kesempatan baik untuk menyadari sifat sesungguhnya dari pikiran.                    Seandainya sifat sejati dari pikiran tidak disadari, atau tidak                    mengetahui bahwa pikiran itu tidak kekal, penuh penderitaan,                    tak ada jiwa/diri, kita akan beranggapan bahwa semua itu sebagai                    “aku/diri”.
Kadang suatu yang buruk muncul di pikiran. Jika tidak menyadari                    hal itu, kita akan terseret dan menjadi terikat olehnya. Ini                    terjadi karena tidak menyadari munculnya bentuk-bentuk pikiran                    tersebut.
Ketika bentuk-bentuk pkiran itu muncul dan diamati, kita dapat                    menyadarinya, setidaknya akan terlihat bahwa itu hanyalah sebuah                    proses berpikir. Jangan menganggap itu sebagai diri atau individu.                    Sekali lagi, sadari saja hal itu sebagai proses berpikir.
Akhirnya kita menyadari adanya proses berpikir dan proses menyadari                    atas pikiran itu sendiri. Disini terlihat adanya dua proses                    mental. Di sisi lain kita tak perlu mengidentifikasikan diri                    dengan proses berpkir itu selain menyadari proses berpikir yang                    tengah muncul.
Dengan proses di atas kita mulai mampu menghapuskan ide tentang eksistensi adanya “orang”, “diri” atau “individu” yang berhubungan dengan proses pikiran. Kesadaran ini merupakan pengetahuan atau pandangan terang yang muncul dari pangamatan atas proses berpikir.
Dengan proses di atas kita mulai mampu menghapuskan ide tentang eksistensi adanya “orang”, “diri” atau “individu” yang berhubungan dengan proses pikiran. Kesadaran ini merupakan pengetahuan atau pandangan terang yang muncul dari pangamatan atas proses berpikir.
Karenanya pikiran adalah sahabat kita. Bila tidak memiliki                    pikiran kita tak mengetahui hakekat pikiran. Jika tak memiliki                    kesadaran atas pikiran sebagaimana ia adanya, waktu kita akan                    terbuang sia-sia untuk sekedar mengidentifikasi pikiran, kapan                    munculnya disertai ide adanya konsep “aku”, “milikku”,                    atau “diri”. Disini muncul sakkaya ditthi, atta                    ditthi yang jadi sebab munculnya kekotoran batin dan akhirnya                    menimbulkan penderitaan.
Karenanya perlulah bersikap wajar terhadap bentuk-bentuk pikiran yang muncul. Sikap wajar yang bagaimanakah ini? Dengan menganggap apapun bentuk pikiran yang muncul adalah sahabat kita.
Karenanya perlulah bersikap wajar terhadap bentuk-bentuk pikiran yang muncul. Sikap wajar yang bagaimanakah ini? Dengan menganggap apapun bentuk pikiran yang muncul adalah sahabat kita.
Saat berpikir sebaliknya, bahwa bentuk pikiran adalah musuh,                    muncul pertarungan dengan pikiran tersebut. Jadi catat apa saja                    bentuk pikiran yang muncul. Saat lamunan muncul, sadari secepatnya                    dan catatlah dengan cermat, sabar dan teliti sebagai …”melamun                    … melamun …”.
Sekali lagi, biasanya kita bertarung dengan bentuk-bentuk pikiran                    karena menganggapnya sebagai musuh. Jadi bersikaplah sebaliknya.                    Ini yang terbaik.
Sewaktu bentuk-bentuk pikiran muncul, terimalah, amati dan                    sadari sampai ia lenyap. Setelah itu kembalilah segera ke objek                    utama, yakni mengamati kembung dan kempisnya perut.
Seandainya bentuk-bentuk pikiran yang sama muncul lagi, terimalah                    apa adanya. Juga amati dengan penuh ketenangan, cermat dan tepat.                    Maka bentuk-bentuk pikiran itu akan meluruh.
Akhirnya timbul kesadaran bahwa bentuk pikiran yang muncul                    tak akan bertahan lama. Bila kita mampu mencatat bentuk pikiran                    yang muncul ia akan segera lenyap. Catatlah dalam batin sebagai                    “berpikir … bepikir …”.
Setelah itu muncul bentuk pikiran yang baru. Tak lupa kita                    catat lagi sebagai …“berpikir … berpikir…”.
Bentuk pikiran yang baru itu akan lenyap pula. Lama-lama muncul                    kesadaran bahwa bentuk-bentuk pikiran itu tidak kekal. Karenanya                    kita perlu bersahabat dengan bentuk-bentuk pikiran itu dan tidak                    terikat olehnya. Inilah yang dimaksud dengan bersikap wajar                    terhadap bentuk-bentuk pikiran yang muncul. Dengan sikap ini                    akan membuat kita terbebas dari gangguan dan kekecewaan terhadap                    bentuk-bentuk pikiran tersebut.
Saat bentuk-bentuk pikiran muncul dan kita mampu menyadarinya,                    secara perlahan objek itu semakin melemah dan terus melemah.                    Seiring dengan semakin melemahnya bentuk-betuk pikiran itu,                    kesadaran kita semakin menguat. Sehingga pikiran menjadi tenang,                    tak lagi berkeliaran atau dipenuhi lamunan dan khayalan.
Perhatian terpusat pada objek yang diamati atau disadari, yakni                    gerakan kaki “angkat … dorong … turun …”.                    Apapun yang kita amati/sadari, konsentrasi ada di sana. Konsentrasi                    semakin terpusat dan batin menjadi jernih.
Kalau tahap meditasi ini dapat dilewati dengan memuaskan, akan                    ada banyak harapan yang timbul. Pada tahap ini memang membuat                    kita mampu menyadari proses-proses pada tubuh dan pikiran sebagaimana                    adanya. Dan pada titik ini mulai muncul pandangan terang atau                    pengetahuan tingkat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.
Sebelum mencapai pengetahuan ini, kita harus berusaha dengan                    sungguh-sungguh, terutama menyadari kegiatan sehari-hari selama                    meditasi berlangsung. Yang Mulia Mahasi Sayadaw juga menekankan                    untuk selalu menyadari kegiatan sehari-hari secara mendetail.                    Sebisa mungkin melakukan semua tindakan dan kegiatan tersebut                    secara perlahan. 
BAB III
MENYADARI RASA SAKIT
III.1. RASA SAKIT SEBAGAIMANA ADANYA
Vipassana atau meditasi pandangan terang berdasarkan                    empat landasan kesadaran, yaitu Kayanupassana Satiphatana                    (pengamatan atas obyek jasmani), Vedananupassana Satiphatana                    (pengamatan atas bentuk-bentuk perasaan), Citanupassana                    Satiphatana (pengamatan atas pikiran) dan Dhammanupassana                    Satiphatana (pengamatan atas bentuk-bentuk pikiran). 
Bentuk-bentuk pikiran yang dimaksud di sini adalah pikiran                    itu sendiri sebagai obyek meditasi, seperti berpikir, pikiran                    tidak terkonsentrasi, pikiran kabur, terpusat dan lain sebagainya.                    Dengan kata lain, pemeditasi haruslah menyadari dan mencatat                    setiap perubahan pada batin dan jasmani yang sedang muncul dan                    dominan pada saat itu.
Dan Vedananupassana Satiphatana, yakni pengamatan                    atas bentuk-bentuk perasaan, terbagi menjadi 5 bagian, yaitu                    sukha-vedana, dukha-vedana, somanasa-vedana, domanasa-vedana,                    dan upekha-vedana.
Sukha-vedana adalah sensasi rasa senang yang ditimbulkan                    oleh perubahan yang terjadi pada tubuh atau tergantung pada                    proses yang berlangsung pada tubuh.
Somanasa-vedana juga merupakan sensasi yang menyenangkan,                    tapi ditimbulkan oleh pikiran, yakni keadaan mental atau emosi.                    Ini merupakan sensasi rasa senang yang bergantung pada proses-proses                    mental.
Dukkha-vedana merupakan sensasi tidak menyenangkan                    yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan atau proses-proses                    pada tubuh.
Sementara domanasa-vedana merupakan sensasi tidak                    menyenangkan yang ditimbulkan oleh proses-proses pada batin,                    yakni keadaan batin atau emosi.
Dan upekkha-vedana hanya ada satu jenis, bukan dua,                    merupakan sensasi mental yang netral dan bergantung pada kondisi                    mental/batin.
Sebagian besar waktu yang dijalani oleh pemeditasi berhubungan                    dengan dukkha-vedana, yaitu sensasi tidak menyenangkan                    pada tubuh, seperti kaku-kaku, kesemutan, dan lain-lain. Namun                    suatu saat kita bisa mengalami sensasi mental yang menyenangkan.
Kita dapat menyadari setiap gerakan pada tubuh secara jelas                    di tingkat lanjut. Pada tingkat ini konsentrasi sudah terpusat                    dan kesadaran telah menjadi sangat jernih. Akibatnya muncul                    perasaan bahagia, piti, atau kegiuran. Meski begitu                    muncul keterikatan menyertai timbulnya hal-hal tersebut. Pada                    saat seperti ini sensasi mental semenyenangkan apapun perlu                    dicatat sebagai …”senang … senang …                    senang” atau …”bahagia… bahagia …                    bahagia …”.
Jika pengamatan dilakukan pada saat yang tepat, kesadaran menjadi                    tak terputus dan kuat. Akibatnya tak ada keterikatan muncul                    di sela-sela pengamatan tersebut.
Semakin lama kita berlatih semakin seimbang jadinya. Pengetahuan                    tentang keseimbangan ini muncul pada nana kesebelas. Pada saat                    ini tak ada dukkha maupun sukkha. Tidak ada                    bahagia maupun tidak tak bahagia. Pikiran benar-benar terpusat                    pada objek.
Pikiran secara terpusat mengamati muncul dan lenyapnya perubahan                    pada batin dan jasmani. Pada saat itu pikiran menjadi sangat                    elastis.
Walau kita mengirim pikiran pada obyek-obyek yang menyenangkan                    dan disukai pikiran tidak akan menuju ke hal-hal tersebut. Karena                    kesadaran sudah menjadi otomatis. Ia secara otomatis hanya melakukan                    pengamatan pada obyek-obyek yang dominan. Dalam hal sensasi                    umumnya muncul perasaan netral. Hanya perasaan tak menyenangkan                    yang sesekali muncul sajalah yang perlu diamati. Hanya saja                    sebagai pemula sebagian besar pengalaman batin yang timbul bersifat                    dukkha.
Tujuan mengamati bentuk-bentuk perasaan adalah untuk menyadari                    sifat sesungguhnya dari perasaan itu. Sayangnya beberapa yogi                    (pemeditasi) tak memahami hal ini dengan baik. Seringkali saat                    perasaan tak menyenangkan timbul muncul keinginan untuk sesegera                    mungkin menyingkirkan hal tersebut. Bila pencatatan telah dilakukan                    dan perasan tak menyenangkan itu masih ada, muncul perasaan                    kecewa. Tujuan yogi-yogi ini adalah menyingkirkan rasa sakit                    itu bukan menyadarinya. Tujuan yang benar atas pengamatan rasa                    sakit (termasuk perasaan yang tak menyenangkan) adalah menyadari                    sifat-sifat umum maupun khusus dari sensasi rasa sakit tersebut.
Sabbhava lakhana adalah kata dalam bahasa Pali untuk                    menyebut kharakteristik rasa sakit secara khusus. Sabbhava                    berarti khusus. Sementara Samanna Lakhana adalah penyebut                    rasa sakit secara umum. Samanna berarti umum. Dan Lakhana                    berati kharakteristik.
Dengan kejernihan pikiran (citta visudhi) secara bertahap                    kita mampu menyadari sifat-sifat khusus dari batin dan jasmani.
Karenanya setiap muncul sensasi tak menyenangkan pada jasmani                    harus dicatat sebagai “sakit … sakit … kaku                    … kaku …” dan lain sebagainya. Pemberian nama                    atau pencatatan dalam batin tidaklah mutlak. Hal itu hanya diperlukan                    untuk membantu memusatkan pikiran pada objek yang diamati.
Bagi praktisi, yogi tingkat lanjut, tidak perlu pemberian nama                    dan pencatatan seperti di atas. Yang perlu dilakukan adalah                    mengamati dan menyadari setiap obyek sebagaimana adanya.
Semakin kuat konsentrasi semakin mampu kita mengamati rasa                    sakit sekecil apapun. Akibatnya rasa sakit terasa semakin tajam.                    Seolah rasa sakit tersebut semakin meningkat intensitasnya.                    Sesungguhnya yang terjadi tidak demikian.
Rasa sakit muncul sebagaimana adanya. Kita mengetahui setiap                    detil rasa sakit, yang nampaknya semakin tajam itu, karena konsentrasi                    kita semakin baik. Hal ini bisa terjadi bila kita mencatat rasa                    sakit itu terus-menerus secara penuh. Jadi ada sebab akibat                    yang terjadi. Dengan mencatat rasa sakit secara terus-menerus,                    konsentrasi semakin kuat. Sebaliknya dengan semakin kuatnya                    konsentrasi rasa sakit seolah nampak semakin tajam.
Secara bertahap kita tak merasakan sensasi rasa sakit lagi                    tapi hanya menyadari adanya rasa sakit. Meski tetap muncul sakit                    pada jasmani kita tidak berpikir, “saya mengalami sakit                    … saya merasa sakit”. Tapi muncul kesadaran sensasi                    rasa sakit itu objek yang harus disadari dan dicatat dalam batin.
Cukup sering kita tak perduli dimana rasa sakit muncul. Karena                    tugas yang lebih penting adalah menyadari dan mencatatnya. Apa                    yang benar-benar disadari adalah sensasi rasa sakit dan pikiran                    yang tengah mencatatnya.
Akibatnya tak perlu pengidentifikasian rasa sakit sebagai “diri”.                    Rasa sakit hanyalah rasa sakit bukan “saya” atau                    “kamu”, bukan individu atau mahluk tertentu. Pandangan                    terang ini membuat kita melihat rasa sakit sebagaimana adanya                    dan tidak mengaitkannya dengan ide adanya diri, jiwa atau individu.                    Ini berarti kita telah melihat hakekat rasa sakit. 
Rasa sakit akan lenyap bila kita terus-menerus mencatat munculnya                    rasa sakit dengan konsentrasi penuh dan kesadaran yang terpusat.                    Setelah itu rasa sakit yang baru muncul lagi. Rasa sakit yang                    baru ini kita catat seperti sebelumnya. Tak lama rasa sakit                    yang baru ini pun lenyap. Lama kelamaan kita menyadari salah                    satu karakter umum dari sensasi rasa sakit yakni ketidakkekalan                    (anicca).
Cukup sering rasa sakit itu tak mau lenyap meski sudah mengerahkan                    segala daya. Rasa sakit itu sedemikian besarnya. Apa yang kita                    temukan adalah volume dari sensasi rasa sakit.
Jika kita meningkatkan usaha tanpa putus asa muncul rasa sabar                    menghadapi rasa sakit. Akibatnya konsentrasi semakin kuat. Konsentrasi                    ini mampu menembus pusat rasa sakit. Dengan cara ini rasa sakit                    itu pun pecah. Kita menyadari pecahnya atau berubahnya rasa                    sakit dengan melakukan pengamatan. Dengan cara ini kita belajar                    tentang ketidakkekalan (anicca) melalui sensasi rasa                    sakit.
Ada beberapa cara lain bagi kita untuk menyadari sensasi rasa                    sakit. Kadang saat mengamati sakit, dengan konsentrasi yang                    terpusat, rasa sakit tiba-tiba lenyap. Lalu rasa sakit muncul                    di tempat yang berbeda dan kita mengamatinya. Rasa sakit tersebut                    juga lenyap. Muncul rasa sakit yang lain, diamati dan disadari,                    lalu lenyap. Pada kondisi demikian, konsentrasi sudah sangat                    tajam.
Pemeditasi yang memiliki pengalaman seperti ini mungkin menjadi                    sangat gembira. Sebab, mereka dapat melihat rasa sakit itu lenyap.                    Ini merupakan satu pengalaman yang baik dan petunjuk munculnya                    pandangan terang terhadap corak umum dari sensasi rasa sakit.                  
Terkadang seorang pemula merasakan sakit yang luar biasa. Hal                    ini dapat menambah kekuatan kesabaran. Saat itu, pemeditasi                    mungkin ingin merubah posisi dengan harapan dapat menghilangkan                    rasa sakit tersebut. Tetapi, bagi pemeditasi yang sudah dapat                    melakukan latihan dalam posisi duduk selama 30 menit, tidak                    seharusnya merubah posisi. Sebaliknya berdiri dan melakukan                    meditasi jalan. Karena merubah posisi dalam keadaan duduk meditasi                    dapat memecah konsentrasi.
Sering merubah posisi saat duduk bermeditasi akan membuat hal                    ini menjadi suatu kebiasaan. Walau pengalaman sudah mencapai                    tahap lanjutan, timbul otomatis untuk merubah posisi sekalipun                    tidak timbul rasa sakit. Ini dikarenakan keinginan untuk merubah                    posisi sudah menjadi suatu kebiasan.
Tetapi seorang pemeditasi yang tidak dapat duduk bermeditasi                    selama 30 menit karena alasan-alasan jasmani, dapat dilakukan                    perubahan posisi untuk menghilangkan rasa sakit tersebut. Ingat                    hanya satu kali saja. Jangan lakukan sampai dua kali.                    Selanjutnya dalam posisi duduk tersebut dapat dilanjutkan pengamatan                    atas proses-proses yang sedang terjadi pada batin dan jasmani,                    tergantung mana yang lebih sering muncul.
Pemeditasi yang duduk selama 10 menit dan merasakan sensasi                    rasa sakit yang tak tertahankan, dapat merubah posisi akibat                    ketidakmampuan untuk duduk selama 30 menit. Perubahan posisi                    ini harus tetap diamati.
Saat pemeditasi ingin merubah posisi, keinginan ini dicatat                    sebagai “ingin … ingin … ingin…”.                    Saat meluruskan kaki, “lurus … lurus … lurus                    …”. Ketika menggerakkan tubuh, “bergerak …                    bergerak …”. Juga saat menekuk kaki, “menekuk                    … menekuk …” dan seterusnya.
Yang perlu ditekankan disini adalah pemeditasi harus selalu                    sadar terhadap setiap gerakan dan aktifitas yang dilakukan oleh                    tubuh, termasuk merubah posisi duduk bermeditasi.
Pemberian nama terhadap obyek-obyek yang diamati dimaksudkan                    untuk mempertahankan pikiran tetap terkonsentrasi pada obyek-obyek                    yang muncul. Setelah merubah posisi, pengamatan terhadap proses-proses                    yang timbul pada jasmani dan batin tetap berlanjut
Sesudah duduk selama 5 atau 10 menit mungkin timbul rasa sakit                    lagi. Maka dengan penuh kesadaran kita melanjutkan pengamatan                    terhadap rasa sakit tersebut. Bila rasa sakit tak tertahankan,                    bangkitkan dengan penuh kesadaran dan lakukan meditasi jalan.
III.2. PERTAHANKAN POSISI DUDUK :
Seorang yogi yang telah duduk selama 45 menit mungkin merasakan                    sakit. Barangkali ia ingin merubah posisi duduk. Dari petunjuk                    sebelumnya para yogi disarankan tidak merubah posisi duduknya.                    Sebaliknya ia bangkit dari posisi duduk dan mulai melakukan                    meditasi jalan.
Hal di atas baik dilakukan bila ia telah cukup lama duduk,                    taruhlah sekita 30 menit tanpa merubah posisi. Bila yogi ini                    tak ingin bermeditasi jalan ia dapat melepaskan diri dari rasa                    sakit dengan merenungkan sifat-sifat Sang Buddha. Ini disebut                    Buddhanusati Bhavana.
Buddhanusati Bhavana adalah meditasi dengan melakukan                    perenungan atas sifat-sifat luhur Sang Buddha. Ini merupakan                    salah satu objek dalam meditasi Samatha. Dengan melakukan hal                    ini seorang yogi merasa seolah-olah rasa sakitnya lenyap.
Sesungguhnya rasa sakit tersebut tidak lenyap. Prosesnya adalah                    demikian; ketika pikiran menyatu dalam perenungan sifat-sifat                    luhur Sang Buddha pikiran tidak lain menyadari adanya rasa sakit.                    Karena itu yogi ini menganggap rasa sakitnya telah lenyap. Ini                    adalah salah satu cara menghindari rasa sakit. Teknik ini diajarkan                    oleh Sang Buddha seperti yang tertulis dalam Sutta Bhikkhunupassaya.
Kembali ke praktek meditasi, bila banyak mengalami kekacauan,                    muncul perasaan tertekan. Akibatnya timbul kemalasan, enggan,                    khawatir berlebihan serta pecahnya konsentrasi. Dalam keadaan                    demikian sulit mengharapkan kemajuan. Pada kondisi ini adalah                    baik untuk merubah meditasi dari vipassana ke samatha untuk                    sementara waktu.
Setelah berubah ke samatha kita bisa memilih obyek yang disukai                    seperti melakukan meditasi cinta kasih atau yang lainnya. Saat                    pikiran terkonsentrasi dengan baik pada objek muncul ketenangan                    dan kebahagiaan. Tak lama pikiran menjadi jernih kembali. Kekacauan                    yang mengganggu sudah tersingkirkan.
Sewaktu ketenangan semacam ini sudah tercapai kita bisa kembali                    bermeditasi vipassana. Kita kembali mengamati proses. 
BAB IV
KEMAJUAN VIPASSANA BHAVANA
KEMAJUAN VIPASSANA BHAVANA
IV.1. KEMAJUAN Pada KONSENTRASI Dan KESADARAN
Ada tingkat kemajuan batin yang disebut paccaya pariggaha                    nana, pengetahuan akan sebab. Pada tahap ini kita                    menyadari karakteristik proses jasmani dan batin secara lebih                    khusus dan apa yang menjadi penyebabnya.
Tahap kemampuan batin di atas juga diberi nama lain “tahap                    pemurnian”. Karena kita secara langsung mampu melihat                    setiap fenomena yang muncul beserta sebab dan akibatnya. Hal                    ini memunculkan kemampuan untuk mengikis keragu-raguan.
Semakin trampil kita dalam proses ini, konsentrasi semakin                    tajam dan kesadaran semakin kuat. Akibatnya kita mampu melihat                    secara keseluruhan karakteristik proses mental dan jasmani.                    Sementara pada dua tingkat sebelumnya kita baru menyadari proses                    jasmani dan batin serta penyebabnya.
Meski penglihatan kita semakin jelas dan tajam muncul kembali                    rasa sakit jasmani seperti rasa kaku, kejang atau kesemutan.                    Kemunculan rasa sakit ini membuat kita cukup menderita apalagi                    setelah melewati beberapa proses yang menyenangkan.
Pada tahap ini cobalah lakukan pencatatan dengan lebih intensif.                    Jika mungkin “masuk” ke pusat rasa sakit. Maka lambat                    laun rasa sakit itu menghilang.
Sebelum rasa sakit itu belum benar-benar menghilang, muncul                    rasa sakit yang baru di tempat lain. Lakukan hal yang sama,                    amati dan catat dengan cermat. Sebelum rasa sakit yang kedua                    ini benar-benar pergi muncul ketidaknyamanan, katakanlah rasa                    gatal, di tempat yang lain lagi. Lakukan hal yang sama, amati                    dan catat secermat dan seteliti mungkin.
Lama-lama muncul pengetahuan batin. Pengetahuan yang muncul                    di tingkat ini dinamakan sammasana nana. Ini adalah                    pengetahuan yang memunculkan pengertian akan ketiga corak kehidupan                    duniawi yakni anicca, dukkha dan anatta. 
Kembali ke rasa sakit. Ketika secara jelas kita melihat pecah,                    lenyap atau terdisentegrasinya rasa sakit kemudian muncul rasa                    sakit yang baru. Rasa sakit yang baru inipun pecah, menghilang                    atau lenyap. Begitu berulang-ulang. Kita sadar bahwa rasa sakit                    adalah subyek dari ketidakkekalan.
Selanjutnya kita menyadari ketidakkekalan yang berlangsung                    pada proses-proses jasmani dan batin. Disini muncullah kesadaran                    akan adanya dukkha, penderitaan. Namun saat kita melihat                    dengan jelas muncul dan lenyapnya sensasi yang tak mengenakkan                    di atas, kemudian kita catat, amati dengan cermat. Timbul kesadaran                    berupa segala sesuatu yang timbul akan lenyap. Hal ini akan                    memunculkan pengetahuan batin bahwa tak ada segala sesuatu yang                    kekal. Timbullah pengetahuan batin berupa lenyapnya konsep akan                    adanya atta (diri), ego atau jiwa yang kekal. Apa yang                    benar-benar ada hanyalah proses perubahan jasmani-batin yang                    susul-menyusul, muncul dan lenyap. 
Meski muncul rasa sakit pada tahap ini kita lebih sabar menghadapinya.                    Terlebih ketika kita menyadari rasa sakit memiliki ketiga corak                    kehidupan yakni anicca, dukkha dan anatta,                    kita mencatatnya lebih cermat, rasa sakit itu pelan-pelan menghilang.                    Di akhir tahap ini (tahap ke tiga) rasa sakit itu benar-benar                    menghilang.
Setelah tahap ini terlewati pikiran menjadi lebih segar dan                    bertenaga. Karena tak ada lagi rasa sakit yang dominan kita                    bisa mengkonsentrasikan pikiran untuk mengamati proses jasmani                    dan batin tepat pada saat munculnya. Akibatnya konsentrasi semakin                    tajam dan kesadaran pun semakin kuat.
Dengan konsentrasi dan kesadaran seperti ini kita mampu melihat                    kemunculan segala sesuatu pada batin dan jasmani secara lebih                    jelas. Pada saat inilah kita memasuki tahap pengetahuan batin                    yang keempat yakni nama-rupa nana. Tahap keempat ini                    tercapai setelah kita melewati proses kesakitan yang sangat                    sulit. Tak heran bila setelah ini kita menjadi lebih bertenaga,                    tenang dan bahagia.
Setelah itu sampailah kita pada tahap dimana semua pengalaman                    meditasi rasanya serba baik. Tahap pengalaman yang serba baik                    pun menjadi perangkap tersendiri bagi para yogi. Maklum saja                    secara alamiah kita selalu berpihak pada kesenangan.
Tak heran bila kita senang berada di tahap ini. Hal inilah                    yang menyebabkan beberapa yogi tak mampu meraih tahap pengetahuan                    yang lebih tinggi. Pesan penting yang harus disampaikan seorang                    guru adalah berusahalah sebaik mungkin, sehingga kita tak mudah                    terperangkap pada pengalaman, yang baik maupun yang buruk.
Bila terus mengembangkan kewaspadaan kita mampu “melihat”                    muncul dan lenyapnya segala sesuatu; ketidakkekalan dari fenomena                    batin dan jasmani.
IV.2. PERKEMBANGAN PENGETAHUAN BATIN
Ketika seorang yogi mampu melihat ketiga karakteristik duniawi                    yang berlangsung pada jasmani dan batin berarti ia benar-benar                    berada pada sammasana nana. Pengetahuan batin ini adalah                    pengetahuan yang memunculkan pengertian akan ketiga karakteristik                    duniawi di atas.
Pada tahap ini konsentrasi kita menjadi sangat tajam. Karena                    ketajaman konsentrasi ini kita mampu melihat beragam ketidaknyamanan                    tubuh, kayika dukkha, seperti rasa neg, tubuh kaku,                    kram, kesemutan, dll.
Pada saat melakukan meditasi jalan mungkin kita lakukan dengan                    sangat lambat. Meski lambat dan lembut kita mampu melihat awal,                    pada pertengahan dan akhir dari kemunculan suatu objek. Saat                    rasa sakit muncul kita mampu melihat pula pada awal, pertengahan                    dan akhir dari kemunculan rasa sakit itu.
Bisa dikatakan rasa sakit itu muncul dan lenyap di luar kehendak                    kita. Meski kita menghendaki rasa sakit itu pergi, tak muncul                    lagi, rasa sakit itu benar-benar muncul dan lenyap diluar kehendak                    kita. Jadi rasa sakit itu tunduk pada hukumnya sendiri, yakni                    hukum anatta. Segala sesuatu tunduk pada hukum ketidakkekalan,                    pada hukum ketanpaintian.
Pengetahuan batin di atas yakni pacceka nana muncul.                    Ini adalah pengetahuan menyeluruh atas ketiga karakteristik                    duniawi. Pacceka nana adalah bentuk lain Sammasana                    nana, yakni pengetahuan batin dari merefleksi pengalaman                    melihat muncul dan lenyapnya fenomena jasmani dan batin yang                    terjadi saat ini.
Ketika kita melihat secara jelas dan langsung fenomena muncul                    dan lenyapnya objek-objek jasmani dan batin muncul refleksi                    yang mengacu pada ketiga karakteristik duniawi yakni anicca,                    dukkha dan anatta. Timbul perenungan demikian,                    karakter alamiah dari nama dan rupa (batin                    dan jasmani) adalah anicca, dukkha dan anatta.                    Sehingga objek-objek yang belum sempat teramati pun memiliki                    ketiga corak duniawi ini.
Semua proses-proses jasmani dan batin di masa lalu, masa kini                    dan masa yang akan datang, jauh atau dekat, internal maupun                    eksternal, kasar atau halus tunduk pada ketiga hukum duniawi                    itu. Pengetahuan batin ini dinamakan anumana nana atau                    neyya nana.
IV.3. PERANGKAP SENSASI CAHAYA
Setelah kita mampu melihat ke dalam bahwa segala fenomena jasmani                    dan batin tunduk pada ketiga karakteristik alam konsentrasi                    semakin menguat. Rasa sakit pun semakin berkurang. Kita semakin                    mampu melihat dan mencatat berbagai bentuk sensasi rasa sakit.                    Kita semakin mempu melihat dan mencatat berbagai bentuk sensasi                    rasa sakit. Kita mampu melihat dan mencatat apapun objek yang                    muncul melalui keenam pintu panca indera.
Dalam hal ini seolah-olah daya upaya kita terlihat konstan,                    tak terlalu bergiat pun tak terlalu santai, tak terlalu kuat                    atau pun lemah. Upaya semacam ini secara otomatis muncul menolong                    kesadaran untuk siap mencatat setiap objek yang muncul pada                    saat itu juga. Keadaan ini memunculkan perasaan bahagia.
Pada tahap ini cukup sering terlihat pengalaman munculnya cahaya-cahaya                    atau sinar-sinar. Sinar-sinar ini kadang terang benderang seperti                    sorot lampu senter atau lampu mobil di malam hari. Yang perlu                    dicatat adalah semua sensasi ini tak akan berlangsung selamanya.
Kembali ke sensasi cahaya. Ketika sensasi cahaya ini datang                    kita mencatatnya. Tak lama kemudian proses ini pun lewat. Hanya                    ada beberapa sinar yang bisa bertahan antara sepuluh sampai                    dua puluh detik. Tak ada yang lebih lama dari ini.
Hanya saja sensasi sinar-sinar ini mendatangkan “perangkap”                    tersendiri bagi beberapa yogi yakni munculnya perasaan nikmat,                    takjub atau terpesona. Bila seorang yogi terlambat, lalai mencatatnya                    sensasi cahaya atau sinar-sinar ini akan muncul lebih sering                    dan lebih terang.
Bagaimana pun indahnya sensasi ini akan berakhir pula suatu                    saat. Yang perlu kita lakukan hanyalah mencatat sensasi ini                    dalam batin dengan menyebut, “melihat … melihat”.
Jika kita lakukan pencatatan seperti itu cahaya ini kemudian                    lenyap. Tak lama cahaya atau sinar yang baru muncul lagi. Lakukan                    hal yang sama, catat lagi, “melihat … melihat”.                    Demikian seterusnya.
Perlu dicatat, kita tetap berada pada perangkap cahaya bila                    kita melakukan pencatatan tapi bawah sadar kita “berkeras”                    terus menikmati sensasi ini. Saya (penceramah, D.V.P) akan menceritakan                    tentang seorang yogi perempuan berusia antara dua puluh sampai                    tiga puluh tahun. Yogi ini melihat sinar-sinar muncul ketika                    ia sedang bermeditasi.
Herannya cahaya-cahaya ini muncul semakin terang dari waktu                    ke waktu. Yogi perempuan ini sangat menikmati munculnya sinar-sinar                    ini. Meski demikian ia berusaha keras mencatat setiap sinar                    yang muncul.
Jadi ketika seberkas sinar muncul ia mencatat, “melihat                    … melihat”. Tak lama sinar itu lenyap. Tapi hanya                    sebentar. Sinar yang baru muncul lagi. Ia kembali mencatat seperti                    tadi. Sinar yang baru ini pun lenyap.
Meski demikian bawah sadarnya sangat menikmati pengalaman ini.                    Bila saat wawancara tiba ia menjadi sangat malu karena terus-menerus                    menceritakan pengalaman yang sama.
Ia bercerita demikian, ketika sinar-sinar ini muncul ia merasa                    seperti masuk ke dalam koper. Ia merasa masuk ke dalam perangkap                    yang menyesakkan, benar-benar tak berdaya untuk keluar dari                    sana. 
Yogi perempuan ini terperangkap dalam pengalaman ini sehingga                    ia membutuhkan dua puluh hari untuk benar-benar keluar dari                    perangkap yang mengasyikkan ini. Pengalaman ini dinamakan nikanti.                    Nikanti artinya kekotoran batin yang sangat halus. Kerinduan                    atau rasa kangen termasuk ke dalam nikanti.
Lihatlah bagaimana kekotoran batin yang sangat halus ini diam-diam                    telah menyusup ke dalam pikiran kita, mencuri kesadaran kita.                    Nikanti termasuk ke dalam sepuluh kekotoran batin.                    Sesuatu yang justru sangat berbahaya karena halusnya. 
Pada masa kehidupan Sang Buddha ada seorang bhikkhu yang bermeditasi                    samatha sampai memperoleh tingkat konsentrasi yang                    tinggi. Ketika sampai ke jhana (tingkat konsentrasi)                    yang tinggi ia merubah meditasinya dari samatha ke                    vipassana.
Bhikkhu ini tekun berlatih dan rajin mencatat setiap proses                    apapun yang muncul. Sampailah ia pada nana kedua dalam                    vipassana. Sayangnya setelah itu bhikkhu ini tak mampu                    meraih pengetahuan batin yang lebih tinggi karena keterikatannya                    pada jhana. Ia memiliki salah satu nikanti,                    ya itu tadi, keterikatan yang sangat halus akibat terkonsentrasinya                    pikiran pada jhana-jhana.
Bhikkhu ini hanya mampu mondar-mandir dari nana satu                    sampai kedua. Begitu terus bolak-balik. Ia benar-benar terperangkap                    pada konsentrasinya yang tinggi. Sang Buddha menyebut pengalaman                    ini sebagai Dhamma raga, dhamma nandi. Artinya kenikmatan                    yang timbul akibat meraih dhamma. Dhamma yang dimaksud disini                    adalah jhana-jhana. Baik Dhamma raga maupun                    Dhamma Nandi adalah nikanti.
Bhikkhu ini sendiri tak menyadari ia masuk dalam perangkap                    nikanti. Sang Buddhalah yang memberitahu Bhikkhu Ananda alasan                    kenapa bhikkhu itu tak mampu meraih kearahatan.
IV.4. UDAYABHAYA NANA
Ketika kita mampu melewati perangkap nikanti (yang                    umumnya terjadi di nana kedua) kita akan memasuki kondisi “sangat                    buruk” tapi penuh pengalaman batin. Keadaan ini seolah-olah                    “buruk” tapi menjadi sebuah pengalaman yang baik                    di awal pencapaian nana keempat (Udayabhaya nana                    : kemampuan melihat muncul dan lenyapnya fenomena jasmani dan                    batin).
Tentu tahap keempat ini bisa kita masuki setelah kita berada                    para proses yang sangat sulit, yang sangat “sakit”                    yakni tahapan pengetahuan batin kedua. Sekali lagi pikiran menjadi                    sangat tangkas dan mudah dikendalikan. Seluruh tubuh terasa                    nyaman dan ringan. Perasaaan pun bahagia. Karena kondisi yang                    nyaman ini lah seorang yogi bisa terperangkap atau terikat dengan                    hal ini. Keadaan ini dinamakan upakilesa. 
Upakilesa bisa diterjemahkan sebagai hal-hal yang                    buruk. Jadi pengalaman yang menyenangkan di atas pun bisa masuk                    ke dalam “hal yang buruk” dalam dhamma. Pengalaman                    yang menyenangkan ini banyak mengotori pengertian kita, kebijaksanaan                    kita. Karena “kenikmatannya” ia membuat kita tak                    mampu meraih tingkat kemajuan batin yang lebih tinggi. Nyanaponika                    Thera menterjemahkan upakilesa sebagai korupsi, sesuatu                    yang bersifat jahat dan buruk, mengikis kebijaksanaan kita sedikit                    demi sedikit. Ia, upakilesa adalah salah satu dari                    sepuluh kilesa (kekotoran batin) dalam vipassana.
Dalam kasus di atas secepatnya kita memberitahu guru pembimbing                    bahwa kita memiliki kendala ini. Sehingga beliau bisa memberikan                    beberapa petunjuk yang akan membuat kita mampu keluar dari perangkap                    ini. Apa yang seharusnya kita lakukan adalah terus mengawasi,                    melihat apapun proses yang timbul pada latihan kita dan mencatatnya                    seteliti mungkin.
Dengan cara semacam di atas lah kita mampu keluar dari perangkap                    “proses yang menyenangkan” ini. Biasanya setelah                    itu muncul perasaan-perasaan yang tak menyenangkan seperti rasa                    tak bahagia, bosan dan gelisah. Meski demikian pikiran tetap                    terkonsentrasi dengan baik bahkan semakin tajam. Pun pengetahuan                    semakin banyak diperoleh.
Dalam kondisi ini proses apapun yang muncul mampu kita lihat                    dan catat. Setelah dicatat dalam sekejap proses ini lenyap.                    Setelah itu kita mencatat lagi proses yang muncul kemudian.                    Proses terakhir ini, yang sempat kita lihat dan catat pun lenyap                    pula. Dari pengalaman-pengalaman ini muncul kesimpulan, “apapun                    yang muncul pasti akan lewat/lenyap juga”.
Dalam hal meditasi jalan, ketika kita mencatat gerakan mengangkat,                    …“angkat … angkat …angkat”. Gerakan                    pertama dari mengangkat yang sempat tercatat tak lama kemudian                    lenyap. Kemudian muncul gerakan baru. Ketika gerakan yang baru                    ini kita catat lagi, gerakan ini pun lenyap juga. Dengan cara                    ini terlihat banyak gerakan kaki muncul dan lenyap begitu gerakan                    ini muncul. Disini kita dihadapkan langsung pada muncul dan                    lenyapnya fenomena jasmani.
Demikian juga yang terjadi pada objek pikiran. Ketika suatu                    bentuk pikiran muncul kita mencatat, “berpikir …                    berpikir… berpikir …”. Maka bentuk pikiran                    ini akan lenyap. Kemudian muncul lagi bentuk pikiran yang lain.                    Kita melakukan hal yang sama dengan mencatatnya, “berpikir                    … berpikir … berpikir …”. Maka bentuk                    pikiran yang baru ini pun lenyap. Dari pengalaman ini muncul                    kesimpulan di dalam diri, O… ternyata pikiran adalah subjek                    dari ketidakkekalan. Tak ada satu pun bentuk pikiran yang kekal.                    Mereka akan muncul kemudian lenyap”.
Meski demikian sulit melihat bentuk-bentuk pikiran dalam tiga                    karakteristik alam (bersifat anicca, dukkha dan anatta)                    kecuali kemunculan dan kelenyapan bentuk-bentuk pikiran itu.                    Faktanya jauh lebih mudah melihat tiga karakteristik almiah                    dari proses-proses jasmani seperti mangangkat, meletakkan mendorong,                    menjatuhkan pada meditasi jalan, dan lain-lain dibanding pengalaman                    melihat proses batin.
BAB V
FAKTOR – FAKTOR KEBERHASILAN
FAKTOR – FAKTOR KEBERHASILAN
V.1. LIMA FAKTOR KEBERHASILAN
Sang Buddha menyebutkan adanya lima faktor yang diperlukan                    seorang yogi untuk meraih keberhasilan. Faktor-faktor ini adalah                    :
- Saddha (Keyakinan) Keyakinan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha khususnya yang behubungan dengan metode vipassana. Munculnya keyakinan bahwa metode yang diberikan oleh guru meditasi mampu mengantarkan kita pada pencerahan.
 - Kesehatan Seorang yogi harus memiliki kesehatan yang baik. Jika sehat kita mampu melakukan latihan meditasi secara optimal (siang dan malam). Dari pengalaman ada yogi yang tak tidur selama tujuh hari tujuh malam. Jadi, dengan tubuh yang sehat kita bisa berlatih terus-menerus. Sebaliknya dengan tubuh yang rapuh dan sakit-sakitan tak mampu membawa seorang yogi meraih keberhasilan.
 - Harus jujur dan berterus terang Kita tak boleh memberikan laporan palsu pada guru pembimbing. Dalam menceritakan proses vipassana kita harus berkata jujur, terbuka, rendah hati dan langsung (tidak berbelit-belit) kepada guru.
 - Viriya (semangat): Sang Buddha menggambarkan semangat yang berhubungan dengan meditasi ke dalam dua kata. Yang pertama adalah parakama. Parakama adalah daya upaya yang terus menerus ditingkatkan. Kata kedua adalah dahla viriya; artinya daya upaya yang teguh (usaha yang keras). Apabila digabungkan kedua kata itu berarti kita harus memiliki daya upaya teguh yang berkesinambungan. Ada kata lain yang digunakan Sang Buddha yakni Anikita Dhara. Nikita artinya meletakkan dan dhara artinya beban atau tanggung jawab. Jadi arti kedua kata terakhir ini adalah kita memiliki tanggung jawab pada latihan sampai memperoleh pencerahan yakni saat kita mampu meletakkan seluruh beban. Diilustrasikan bagaimana selama ini kita selalu memanggul baban (lima khanda: lima aggregat) seumur hidup bahkan sepanjang siklus kehidupan. Hanya mereka yang telah mencapai kearahatan sajalah yang benar-benar telah meletakkan baban itu dari pundaknya.
 - Harus memiliki pengetahuan akan muncul dan lenyapnya fenomena Muncul pertanyaan, “bagaimana mungkin seorang pemula bisa melihat muncul dan lenyapnya berbagai fenomena jasmani dan batin”? Tidak. Tak ada seorang pun meditator pemula yang bisa melihat fenomena ini di awal latihan. Apakah ini berarti yogi bersangkutan tak bisa memenuhi kelima faktor keberhasilan di atas? Yang ingin dikatakan Sang Buddha adalah; apabila seorang yogi berjuang sunggguh-sungguh dia akan memperoleh pengetahuan yakni kemampuan melihat muncul dan lenyapnya fenomena fisik dan mental. Dengan kata lain ia akan memiliki kemampuan menyadari muncul dan lenyapnya fenomena. Itu yang dimaksudkan oleh Sang Buddha.
 
Sekarang saya (=peceramah, DVP) akan menjelaskan nana                    (pengetahuan batin) keempat (Udayabhaya nana) yakni                    pengetahuan menyadari muncul dan lenyapnya fenomena jasmani                    dan batin. Beberapa yogi punya kemampuan yang sangat baik menyadari                    proses ini. Bahkan bagi yogi ini rasa sakit yang timbul bisa                    menjadi objek yang baik untuk dilihat kemunculan dan kelenyapannya.
Caranya adalah demikian; dengan mengerahkan segenap tenaga                    secara perlahan kita bisa menuju ke pusat rasa sakit. Bila usaha                    ini berhasil terlihat bagaimana rasa sakit tak akan bisa eksis,                    berbentuk demikian, selamanya. Rasa sakit itu akan “meledak”,                    berubah bentuk atau memudar, bahkan perlahan-lahan lenyap. Beberapa                    yogi bahkan pernah menyadari timbul dan tenggelamnya perasaan                    atau sensasi yang dinamakan vedana khanda (kumpulan                    unsur-unsur perasaan atau sensasi yang termasuk ke dalam kelompok                    batin).
V.2. KEMAJUAN BATIN
Ketika seorang yogi telah memiliki kelima faktor penunjang                    keberhasilan maka ada garansi baginya untuk bisa meraih magga                    (jalan) dan phala (buah) jika ia meneruskan latihannya                    dengan sungguh-sungguh. Hal ini diawali, sekali lagi, dengan                    melihat muncul dan lenyapnya fenomena jasmani dan batin. 
Setelah itu ia menyadari apapun yang dilihatnya ia “melihat” anicca, ketidakkekalan. Apapun yang muncul kemudian lenyap. Ketika ia mencatat proses rasa sakit, kram, kaku atau kesemutan ia akan melihat kemunculan dan kelenyapan sensasi rasa sakit susul menyusul dengan jelas dan terang.
Setelah itu ia menyadari apapun yang dilihatnya ia “melihat” anicca, ketidakkekalan. Apapun yang muncul kemudian lenyap. Ketika ia mencatat proses rasa sakit, kram, kaku atau kesemutan ia akan melihat kemunculan dan kelenyapan sensasi rasa sakit susul menyusul dengan jelas dan terang.
Ketika, misalnya, ia mencatat muncul dan lenyapnya suatu gerakan                    ia melihat patahan tiap-tiap gerakan dari proses muncul dan                    lenyap. Kemunculan dan kelenyapan ini datang susul menyusul.                    Dengan cara ini ia mampu mencatat setiap kemunculan dan kelenyapan                    objek apapun.
Setelah itu proses kemunculan dan kelenyapan ini menjadi jarang-jarang                    Karena prosesnya telah berubah. Sebagian besar hal yang dilihatnya                    adalah proses kelenyapan, keluruhan atau pecahnya dibanding                    timbulnya suatu objek. Sampai ia benar-benar merasa semua proses                    jasmani dan batin meluruh, lenyap seketika begitu “ia”                    muncul.
Kadang seorang yogi melihat proses keluruhan ini begitu cepatnya.                    Begitu ia mampu mencatat suatu objek, objek itu pun lenyap.                    Sehingga kita semakin jarang melihat munculnya objek-objek.
Pada tahap ini tak terlihat lagi wujud tubuh, fisik, secara                    jelas misalnya wujud sebuah tangan, lengan, kaki atau kepala,                    dan lain-lain. Semua bentuk menghilang. Kita sudah kehilangan                    rasa terhadap berbagai macam wujud. Apa yang benar-benar dilihat,                    disadari adalah proses keluruhan, pecah atau menghilang yang                    sangat cepat. 
Bahkan, cukup sering kita kehilangan kesadaran barang satu                    dua detik. Ini artinya ketika kita melihat proses lenyapnya                    fenomena jasmani-batin yang sangat cepat kesadaran yang mencatat                    proses ini pun lenyap dengan sama cepatanya. Jadi, baik subjek                    yang melihat maupun objek yang dilihat secara cepat meluruh,                    lenyap, hilang satu persatu dengan sangat cepatnya. Tahap ini                    dinamakan kemampuan (pengetahuan) batin melihat proses melenyap.                    Dalam bahasa Pali dinamakan Bhanga nana.
Pada tahap ini beberapa yogi mampu melihat pikiran bawah sadarnya.                    Bisa dikatakan dengan bahasa lain kita bisa melihat pikiran                    bawah sadar di antara pikiran-pikiran sadar. Cukup sering pula                    kita melihat pikiran bawah sadar melalui perasaan kita.
Setelah di tahap bhanga nana beberapa yogi memutuskan                    untuk sementara waktu berada di sini. Artinya ia memutuskan                    untuk mentrampilkan diri di tahap ini sebelum masuk ke tahap                    selanjutnya. Ini sebuah keputusan yang baik.
Pada tahap ini para yogi melihat tiadanya sensasi rasa sakit                    pada jasmani seperti kaku, kram, kesemutan dan lainnya. Ini                    membuat kita bisa duduk dalam waktu lama tanpa menanggung penderitaan                    jasmani. Tak ada kecenderungan untuk lekas-lekas berdiri di                    saat meditasi duduk.
Kita bisa duduk antara tiga sampai empat jam dengan rasa nyaman.                    Akibatnya kita leluasa untuk melihat proses hilang, lenyapnya                    fenomena jasmani dan batin. Kadang-kadang seperti yang telah                    saya (penceramah, DVP) katakan sebelumnya, kita kehilangan rasa                    terhadap wujud jasmani. Apa yang benar-benar kita lihat hanyalah                    proses timbul-tenggelamnya fenomena jasmani dan batin.
V.3. MUNCULNYA RASA TAKUT DAN JIJIK
Secara bertahap muncul rasa takut dan jijik melihat proses                    melenyap yang terjadi pada jasmani dan batin. Karena apa yang                    kita lihat, kita catat, hanya proses meluruh, hilang dan lenyapnya                    fenomena jasmani dan batin yang terjadi dengan sangat cepat.
Tak ada yang tersisa. Semuanya melenyap. Bahkan pada detik-detik                    terakhir semua fenomena, apapun yang berbentuk. Sankhara,                    adalah subjek dari kelenyapan, ketidakkekalan. Hal-hal ini lah                    yang menimbulkan perasaan ngeri, takut tadi.
Bagi para yogi yang pengetahuan batinnya belum matang muncul                    rasa takut tanpa mengetahui takut terhadap apa. Hal ini terjadi                    karena ia belum secara jelas melihat proses lenyapnya fenomena                    jasmani dan batin. Soal rasa takut ini seorang yogi tidak takut                    terhadap dunia atau terhadap hidup. Tapi ia benar-benar merasa                    takut ketika kesadarannya melihat proses hilangnya, luruhnya,                    lenyapnya segala sesuatu yang berhubungan dengan jasmani dan                    batin.
Bentuk rasa takut di atas berbeda dengan rasa takut ketika                    kita melihat binatang buas seperti ular atau harimau. Dalam                    kasus bersua dengan binatang buas muncul perasaan enggan, emoh                    dan berusaha buru-buru menghindar dari objek yang ditakuti.                    Bentuk rasa takut demikian bersifat akusala. Artinya                    rasa takut ini bersifat dosa, salah satu dari kekotoran                    batin.
Sementara rasa takut yang ditimbulkan oleh pengetahuan batin                    di atas tak bersifat dosa. Meski pengalaman mencatat                    proses melenyap pada jasmani dan batin ini menakutkan sama sekali                    tak muncul rasa tak muncul rasa enggan. Yang ada adalah perasaan                    takut. Titik. Rasa takut ini bersifat kusala.
Bersifat kusala, baik, karena rasa takut ini muncul                    akibat melihat proses lenyapnya fenomena jasmani dan batin.
Semakin lama berlatih melihat lenyapnya segala sesuatu semakin                    akrab kita dengan rasa takut. Karena keterampilan kita bertambah,                    kita mampu pula melihat bentuk-bentuk pikiran yang akan muncul.                    Ketika kita mampu mencatat bentuk-bentuk pikiran yang akan muncul,                    bentuk-bentuk pikiran ini lenyap, tak jadi muncul.
Akibatnya konsentrasi kita semakin tajam. Di sisi lain melihat                    kelenyapan, keluruhan dan hilangnya segala sesuatu mendasari                    munculnya perasaan jijik. Rasa jijik yang muncul mendasari pula                    munculnya perasaan tak senang akan proses-proses jasmani dan                    batin yang sekejap muncul dan lenyap. 
Muncul pula perasaan “sakit”. Meski tak ada hambatan                    berarti pada jasmani dan batin muncul perasaan tak bahagia atas                    proses meditasi yang tengah kita lakukan. Bisa dikatakan perasaan                    suram mendominasi kita sampai ke tingkat depresi serta enggan                    melakukan ini dan itu. Perasaan-perasaan ini sampai terpantul                    di wajah kita.
Karena munculnya perasaan suram di atas muncul pikiran meditasi                    yang tengah kita lakukan mengalami kemunduran. Bahkan cukup                    sering muncul perasaan putus asa; apakah meditasi ini akan dilanjutkan                    atau tidak. Nasihat seorang guru dalam hal ini adalah “catat                    sajalah apapun bentuk perasaan yang muncul dengan penuh kesabaran,                    kecermatan dan teliti”.
Jika taat atas nasehat guru dengan mencatat apapun yang muncul                    kita bisa melewati tahap ini dengan sangat gampang. Sementara,                    kembali ke soal jijik di atas rasa jijik ini bukan seperti melihat                    ulat atau kotoran sapi. Kita jijik “melihat” fenomena                    jasmani dan batin yang muncul dan lenyap tanpa henti khususnya                    soal kemunculan dan kelenyapan segala sesuatu yang terjadi dengan                    cepatnya.
Hal-hal di atas mendasari munculnya perasaan bosan terhadap                    semua hal. Bosan terhadap formasi; bentukan-bentukan. Bosan                    terhadap hidup. Bosan pada dunia. Seolah kita tak menemukan                    satu tempat pun dimana kita bisa hidup nyaman dan bahagia.
Dalam hal bosan ada seorang yogi yang ingin nyemplung                    ke laut atau ke jurang yang dalam. Ini terjadi karena yogi tersebut                    tak menemukan satu pun proses jasmani dan batin yang memuaskan.                    Bila konsentrasi cukup baik kita bisa melihat munculnya kecenderungan                    untuk cepat-cepat bangkit dari meditasi duduk setelah lewat                    30 sampai 40 menit meski tak ada penderitaan fisik yang berarti.
Kondisi di atas bisa dijelaskan demikian; Konsentrasi baik.                    Kesadaran baik. Tapi kita memiliki hasrat untuk bangkit dari                    duduk karena kita tidak merasa nyaman dengan kondisi yang terjadi                    saat ini.
Hati-hatilah bila memasuki proses ini. Beberapa yogi memutuskan                    untuk pulang begitu mereka memasuki proses ini. Jadi, mereka                    mausuk ke kuti masing-masing untuk berkemas-kemas dan                    minta izin pulang kepada guru. 
Kemudian kami katakan demikian, “Baiklah kamu boleh pulang.                    Tapi tunggulah satu hari lagi. Saat ini kembali ke tempat mu                    awasi saja apa yang kamu rasakan”.
Karena sangat hormat dan cinta kepada guru mereka mematuhi                    apa yang kami (penceramah, DVP) katakan.
“Baiklah saya akan tinggal satu hari lagi,” begitu                    yang umumnya mereka jawab.
Tak lama inilah proses yang umumnya muncul dan mereka catat                    “bosan … bosan … bosan …”. Atau                    lagi, “tidak bahagia … tak bahagia … tak bahagia”.
Satu malam berlalu. Keesokan harinya kami memanggil yogi-yogi                    tersebut satu persatu. “Bukanlah hari ini kamu akan pulang?”.
“Tidak. Saya tidak jadi pulang. Proses meditasi saya                    sekarang sangat bagus”, kata mereka umumnya.
Pengetahuan batin di atas dinamakan nibbida nana atau                    dengan nama lain mucituka nana. Nibbida nana                    adalah pengetahuan atas munculnya rasa jijik. Mucituka nana                    artinya pengetahuan atau hasrat akan keterlepasan atau kebebasan.
Ketika kita kembali berlatih muncul perasaan bahagia. Tapi                    sekali lagi kita merasakan ketidakenakkan jasmani seperti munculnya                    rasa nyeri, kaku, pegal-pegal, kram atau kesemutan. Kesakitan                    jasmani ini terasa lebih keras dari sakit-sakit sebelumnya.                    Kita kehilangan kesabaran karena kemunculan penderitaan fisik                    di saat seperti ini.
Pada awal-awal latihan, misalnya di tahap nana ke                    satu, dua dan tiga kita masih bisa sabar menghadapi rasa sakit.                    Saat ini rasa sakit yang sama muncul lagi. Kita mampu mencatat                    munculnya rasa sakit dengan baik tetapi muncul rasa tak sabar                    menghadapinya. Kita cenderung ingin merubah-rubah posisi duduk.                    Kita ingin segera bangkit, meski akhirnya tak jadi kita lakukan,                    dan lain-lain.
Di samping itu bagaimana soal keinginan atau hasrat akan kebebasan                    dan keterlepasan itu bisa dijelaskan ? Prosesnya demikian; muncul                    keinginan untuk terbebas dari fenomena proses jasmani dan batin                    yang muncul dan tenggelam. Keinginan ini memunculkan daya upaya                    yang sungguh-sungguh. Daya upaya yang sungguh-sungguh ini menumbuhkan                    konsentrasi yang semakin kuat.
Semakin tajam konsentrasi rasa sakit yang kita alami dan catat                    terasa semakin kuat. Tapi sama sekali tak muncul perasaan enggan                    untuk mencatat setiap sensasi yang muncul. Karena sadar bila                    berhenti mengamati proses ini kita tak bisa membebaskan diri                    atau keluar dari proses ini. Kesadaran ini memunculkan nana                    tersendiri (merupakan nana ke sepuluh dalam vipassana).
V.4. MENUJU BATAS WILAYAH PARA ARIYA
Akhirnya proses ketidaksabaran menghadapi rasa sakit bisa kita                    lewati juga. Semua rasa sakit itu telah “pergi”.                    Ketidaknyamanan jasmani kita sudah lewat. Karenanya muncul perasaan                    damai dan bahagia. Konsentrasi menjadi lebih stabil dan semakin                    tajam.
Tak lama muncul perasaan tenang. Tapi, kemunculan perasaan                    tenang, nyaman dan bahagia ini tak akan berlangsung lama. Karena                    tahu dari pengalaman sebelumnya setiap objek yang kita amati                    merupakan subjek dari ketidakkekalan.
Pikiran benar-benar terkonsentrasi penuh. Meski kita berniat                    mengalihkan perhatian ke objek-objek yang kita sukai pikiran                    tak mau pergi ke arah itu. Ini artinya pikiran sudah menjadi                    sangat elastis.
Karena konsentrasi kita sedemikian baik, nana, pengetahuan                    batin muncul begitu terang, tajam dan “menembus”.                    Kita mampu melihat kemunculan dan kelenyapan objek apapun. Tak                    ada satupun objek yang kemunculan dan kelenyapannya tak teramati                    oleh kesadaran kita. Pengamatan kita menjadi stabil. Kita merasa                    nyaman dan tenang. Tapi perasaan yang muncul tak bahagia juga                    tidak tidak bahagia melihat keadaan ini.
Umumnya kita masuk di proses ini antara lima sampai sepuluh                    hari. Bahkan ada yogi yang berada di proses ini sampai satu                    bulan. Saya (penceramah, DVP) merasa sangat alamiah sifatnya                    bagi sementara yogi “memilih” berada pada tahap                    yang baik ini cukup lama sebelum mereka meraih magga                    dan phala (jalan dan buah).
Dalam wawancara beberapa yogi berkata demikian, “Tidak                    ada yang baru … benar-benar tidak ada yang baru. Hanya                    muncul dan lenyap. Begitu terus. Tapi konsentrasi kami sangat                    baik”.
Latihan fakta ini. Bahkan ketika kita mencapai kearahatan,                    seorang arahat benar-benar tak melihat sesuatu yang baru. Arahat                    melihat seperti yang kita lihat. Arahat melihat fenomena muncul                    dan lenyap proses jasmani dan batin. Bukankah tak ada sesuatu                    yang baru disini?
Pengalaman batin di atas dinamakan sankharaupekkha nana,                    pengetahuan atas keseimbangan segala sesuatu. Ini adalah nana                    kesebelasan dalam vipassana. Bisa dikatakan ini adalah                    nana yang sangat baik dalam meditasi vipassana.
Pada tahap ini kita memiliki kekuatan konsentrasi dan kesadaran                    yang sangat baik untuk mengamati objek. Karena besarnya kedua                    kekuatan ini kita hanya sebentar di tahap ini. Sebentar di sini                    relatif karena waktu yang umum digunakan seorang yogi berada                    di tahap ini adalah antara satu sampai dua bulan.
Kita mampu melihat muncul dan lenyapnya fenomena jasmani dan                    batin dengan sangat cepat. Sedemikian cepatnya objek-objek ini                    muncul dan lenyap sehingga mendatangkan rasa pusing. Rasa pusing                    adalah indikasi bahwa kita akan segera meninggalkan tahap ini.
Setelah mencapai “hasil”, ketika mengulas kembali                    pengalaman latihan-latihan sebelumnya kita menyadari banyak                    hal, “Oh ini begini, itu begitu, dan lain-lain”.
Tahap diatas dinamakan anuloma nana. Anuloma nana                    adalah kemampuan batin beradaptasi dengan pengetahuan-pengetahuan                    sebelumnya. Mengapa dikatakan adaptasi karena pada tahap ini                    muncul pengertian yang lebih tajam atas pengetahuan-pengetahuan                    batin yang muncul pada latihan-latihan terdahulu.
Setelah proses ini dilewati kita sampai pada suatu batas antara                    wilayah umat awam dan wilayah yang sangat berharga, suatu wilayah                    dimana hanya para praktisi tingkat tinggi (para ariya) sajalah                    yang “menghuninya”. Terdapat pembatas di antara                    kedua wilayah itu. Kemampuan batin memahami batas ini dinamakan                    gothrabhu nana atau matangnya pengetahuan.
Bila kita berada di batas ini secara pasti hanya ada satu arah;                    melangkah ke depan. Sekarang kita benar-benar berada di batas                    ini. Segera setelah kita melaksanakan suatu tekad, suatu ketetapan                    hati maka kita melangkah ke wilayah lain yakni wilayah para                    ariya (wilayah para orang suci). 
Tapi sebelum itu para yogi harus benar-benar mengalami empat                    nana terakhir. Keempatnya dimulai dari melihat muncul                    dan lenyapnya segala fenomena sampai ke gotrabhu nana.                    Keempat nana itu dikelompokkan ke dalam patipada                    nana dassana visudhi artinya pengetahuan atas pemurnian                    dan penglihatan batin. Keempat inilah jalan pengetahuan itu.
Pemurnian sendiri terdiri dari tujuh jenis. Kita harus mengalami                    pemurnian itu satu persatu sampai mencapai hasil. Pemurnian                    pertama adalah pemurnian atas sila (etika moral). Kedua                    pemurnian akan pikiran dan bentuk-bentuk pikiran. Ketiga, pemurnian                    akan cara pandang (visi ke depan). Keempat, pemurnian atas keragu-raguan.                    Kelima, pemurnian terhadap suatu pengetahuan atas apa yang disebut                    “jalan” dan yang “bukan jalan”. Keenam,                    pemurnian terhadap teori dan praktek serta visi ke depan. Ketujuh,                    magga nana, pemurnian atas visi dan pengetahuan-pengetahuan                    batin sebelumnya.
Yang perlu dimengerti setiap kemampuan menyadari dan mencatat                    proses apapun yang muncul dalam latihan semakin dekat kita dengan                    “hasil”.
Selamat berlatih.
BAB VI
PATICCA SAMUPADDA
PATICCA SAMUPADDA
Tujuan meditasi adalah untuk mencapai konsentrasi pikiran yang                    lebih tinggi. Kita menyebutnya dengan istilah konsentrasi jhana.                    Kadang kita menyebutnya dengan konsentrasi appana atau                    samadhi appana.
Konsentrasi jhana diterjemahkan sebagai konsentrasi                    yang menetap. Sementara samadhi appana diterjemahkan                    sebagai konsentrasi penyerapan. Keduanya memiliki arti yang                    sama.
Saat pikiran berada pada kondisi konsentrasi yang terpusat                    pada satu obyek meditasi, dan menggenggam kuat obyek tersebut,                    hal ini dinamakan konsentrasi yang terpusat. Juga secara penuh                    konsentrasi menyerap obyek meditasi. Karenanya inipun disebut                    konsentrasi penyerapan, samadhi appana.
Beberapa pemeditasi samatha bertujuan memiliki atau                    memperoleh kekuatan supra natural, melalui konsentrasi terpusat.                    Seperti para pertapa di jaman dahulu yang masuk ke hutan-hutan                    dan berlatih meditasi samatha untuk memperoleh kekuatan                    supra natural.
Walaupun pemeditasi samatha memiliki kekuatan supra                    natural, mereka tidak mampu menyadari tiga corak dari proses                    batin dan jasmani, yakni anicca, dukkha dan anatta.                    Sebab tujuan mereka adalah memiliki konsentrasi yang kuat, bukannya,                    menyadari setiap proses-proses yang berlangsung pada batin dan                    jasmani.
Ada juga alasan lain mengapa pemeditasi samatha tidak                    dapat menyadari nama (batin) dan rupa (jasmani).                    Jika pikiran terkonsentrasi sangat kuat terhadap obyek, maka                    kita tidak dapat menyadari proses-proses yang terjadi pada batin                    dan jasmani. Karena konsentrasi itu terlalu kuat, sehingga menghalangi                    untuk menyadari proses-proses yang terjadi pada batin dan jasmani.
Tujuan mempraktekkan meditasi vipassana adalah untuk                    mencapai nibbana. Menghancurkan kekotoran-kekotoran                    batin serta menimbulkan pengertian benar atas proses yang terjadi                    pada batin dan jasmani.
Maka, para pemeditasi vipassana harus memiliki tingkat                    konsentrasi tertentu namun tidak terlalu kuat. Tingkat konsentrasi                    khanika samadhi adalah suatu tingkatan konsentrasi                    dimana kita akan membangun pengetahuan pandangan terang melalui                    pengamatan pada proses-proses batin dan jasmani.
Pengetahuan pandangan terang ini akan menghancurkan kilesa                    (kekotoran batin). Bagi para pemeditasi vipassana,                    jika belum mencapai magga dan phala, masih                    dapat menghancurkan sebagian kilesa walaupan tidak                    secara tuntas.
Ada tiga jenis penghancuran kilesa. Kita menyebutnya                    tiga jenis pahana. Disini pahana berarti penghancuran.                    Sebenarnya penghancuran ini terdiri dari lima jenis. Tetapi                    untuk memudahkan dijelaskan tiga jenis penghancuran saja.
Pertama, tadanga pahana, penghancuran sebagian. Kedua,                    vikkhambana pahana, penghancuran sementara. Terakhir,                    samucheda pahana, penghancuran kilesa secara                    total.
Penghancuran kilesa sebagian dilakukan oleh vipassana                    nana atau pengetahuan pandangan terang. Penghancuran sementara                    dilakukan oleh konsentrasi yang dalam (samadhi). Penghancuran                    kilesa secara total dilakukan oleh jalan pengetahuan                    (phala) pencerahan (= kebijaksanaan, penerjemah).
Saat mempraktekkan meditasi vipassana dan kesadaran                    menjadi stabil terus-menerus, pikiran secara bertahap makin                    terkonsentrasi. Bila kesadaran itu dapat berlangsung terus-menerus,                    maka konsentrasi yang dicapai semakin dalam. Hal ini membuat                    semakin jelas pengetahuan pandangan terang yang diperoleh. 
Dengan konsentrasi yang lebih dalam, pengetahuan pandangan                    terang kita menjadai semakin menembus dan tajam. Kemudian kesadaran                    tersebut dapat digunakan untuk menyadari proses-proses pada                    batin dan jasmani.
Misalnya kita mendengar sebuah lagu yang sangat indah dan menyukainya.                    Apa yang kemudian terjadi ? Kita merasa senang, “Ah, sangat                    indah. Saya menyukainya.”
Timbulnya perasaan senang itu bergantung pada telinga dan lagu                    yang merdu. Maka muncul perasaan senang terhadap lagu tersebut.                    Jika hal itu tidak dapat disadari dan dicatat sebagai “mendengar                    … mendengar …”, kita akan semakin menikmati                    lagu tersebut. Sehingga bertambah kuat kemelekatan untuk terus                    mendengarkan itu.
Ketika perasaan senang itu semakin kuat, akan timbul keinginan                    untuk terus mendengarkan lagu itu. Kadang, malah ingin bertemu                    dengan penyanyinya.
Sementara mendengarkan lagu yang merdu itu kita lengah untuk                    menyadari dan mencatatnya dalam batin sebagai “mendengar                    … mendengar …”. Bahkan semakin menikmatinya.                    Lalu keinginan untuk bertemu dengan penyanyinya atau mendengarkan                    lagu itu terus-menerus muncul, tergantung pada perasaan senang                    atas lagu tersebut. Mengapa ? Sebab kita lengah untuk mengamati                    dan menyadarinya.
Dengan semakin kuatnya keinginan untuk bertemu penyanyinya                    atau mendengarkan lagu itu, maka kita akan melakukan sesuatu                    untuk bertemu dengan penyanyi lagu itu. Mungkin kita akan pergi                    menemuinya.
Perbuatan tersebut bisa baik dan juga bisa buruk. Saat bertemu                    dengan sang penyanyi, kita akan membicarakan sesuatu. Pembicaraan                    itu bisa baik atau tidak baik. Ini disebut tindakan melalui                    kata-kata, vaci kamma (Pali).
Tindakan ini timbul dan tergantung pada semakin kuatnya keinginan                    yang muncul dengan datangnya keinginan untuk bertemu dengan                    sang penyanyi atau mendengarkan lagu tersebut.
Dari contoh di atas nampak jelas mengapa kita selalu membangun                    rantai kekotoran batin secara berkelanjutan. Sebab kita tidak                    mencatat dan menyadari hal itu sebagai apa adanya. Munculnya                    perasaan senang terhadap lagu tersebut tergantung pada telinga                    atau lagu itu. Dalam bahasa Pali ini disebut salayatana                    paccaya phasso, phassa paccaya vedana, yakni ketergantungan                    pada asal mula.
Phassa paccaya vedana, karena kita memiliki telinga.                    Telinga melakukan kontak dengan lagu. Kontak ini disebut phassa.                    Hal ini terkondisi karena adanya telinga dan lagu. Adanya kontak                    menimbulkan perasaan senang atau tidak senang. Itulah vedana                    (perasaan). Phassa paccaya vedana, perasaan itu terkondisi                    melalui kontak.
Karena perasaan senang kita berhasrat untuk bertemu penyanyi                    atau mendengarkan lagu itu berulang-ulang. Hasrat tersebut disebabkan                    oleh perasaan senang. Dalam bahasa Pali disebut vedana paccaya                    tanha. Artinya hasrat itu dikondisikan oleh perasaan senang.
Saat keinginan itu lengah untuk dicatat atau disadari, maka                    keinginan tersebut bertambah kuat. Keinginan yang bertambah                    kuat itu disebut kelobaan dan upadana. Kita                    menggenggam hal itu. Tanpa pernah kita coba melepaskannya. Menggenggamnya                    dengan sangat kuat. Kelobaan ini dibangkitkan oleh                    nafsu keinginan. Dalam bahasa Pali disebut tanha paccaya                    upadana.
Karenanya, salah satu kondisi mental yang cocok, yang timbul                    bersamaan dengan kesadaran mendenar adalah perasaan. Ini sangat                    jelas, lebih kuat dari kondisi mental lainnya. Segera setelah                    mendengar lagu, kita harus mencatatnya sebagai “mendengar                    … mendengar …”. Penuh perhatian, segenap tenaga                    dan sesegera mungkin. Sehingga kesadaran menjadi semakin kuat,                    menguasai kesadaran mendengar. Akibatnya kesadaran tidak dapat                    lagi mendengar lagu dengan jelas. Hal ini akan membuat tidak                    munculnya penilaian, baik atau buruk.
“Mendengar … mendengar…” kita catat.                    Maka pendengaran tidak dapat lagi mengetahui obyek dengan baik,                    karena tidak mampu menilai apakah lagu itu baik atau buruk,                    menyenangkan dan tidak menyenangkan. Walau demikian tetap ada                    kontak, namun perasaan senang dan tidak senang tidak muncul.                    Karena kesadaran tidak memiliki kesempatan untuk menilai obyek                    itu baik atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Sehingga                    tidak timbul perasaan senang atau tidak senang. Perasaan disingkirkan                    oleh kesadaran.
Dikarenakan menyadari apa yang kita dengar, maka tidak akan                    timbul perasaan menyenangkan atau tidak menyenangkan. Dengan                    cara ini perasaan disingkirkan atau dilemahkan oleh kesadaran                    yang berkesinambungan. Tidak lagi muncul perasaan senang. Sehingga                    tidak timbul keinginan untuk mendengarkan lagu atau bertemu                    dengan penyanyinya.
Karena tidak adanya nafsu-nafsu keinginan, maka kelobaan                    tidak muncul. Dengan lenyapnya kelobaan terhadap sebuah                    obyek, kita tidak memerlukan tindakan apapun untuk meraihnya.                    Dengan tidak adanya tindakan, tidak akan ada kelahiran kembali                    (dalam hal ini berhubungan dengan kesadaran mendengar). Kelahiran                    kembali berhenti di sini.
Dengan cara ini semua penderitaan dihentikan. Tak ada lagi                    penderitaan. Mengapa ? Karena kita menyadari obyek-obyek tersebut,                    menjadi waspada akan apa yang didengar dan dicatat dalam batin                    sebagai “mendengar … mendengar …”.
Kontak terjadi karena adanya telinga dan lagu. Namun kita menyadari                    dan mencatatnya dalam batin. Dengan kesadaran ini pikiran tidak                    dapat menilai sebuah lagu atau obyek sebagai sesuatu yang baik                    atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Sehingga tidak                    lagi ada perasaan senang dan tidak senang. Dengan tidak adanya                    perasaan senang dan tidak senang, tidak ada keinginan untuk                    bertemu dengan penyanyi atau mendengarkan lagu. Ini disebut                    vedana nirodha tanha nirodha.
Karena tidak adanya perasaan atau sensasi-sensasi, keinginan                    tidak muncul. Ini membuat kelobaan berakhir. Hal demikian                    disebut tanha nirodha upadana nirodha.
Dengan berakhirnya kelobaan, berakhir pula keinginan.                    Ini disebut upadana nirodha bhava nirodha.
Karena tidak adanya tindakan, baik atau buruk, tidak ada lagi                    kelahiran kembali. Ini disebut bhava nirodha jati nirodha.
Pada keadaan ini proses-proses batin dan jasmani dihentikan.                    Proses-proses itu tidak akan berlangsung lebih lama lagi. Penderitaan                    dihentikan. Kita mencapai suatu keadaan tanpa penderitaan. Mengapa                    ?
Ini disebabkan kita selalu menyadari apa yang kita dengar dan                    mencatatnya dalam batin. Karenanya kita menjadi waspada terhadap                    kesadaran mendengar.
Apabila kita dapat melihat munculnya kesadaran mendengar saat                    mendengar sesuatu, maka kesadaran atau pikiran tidak dapat memberikan                    suatu penilaian terhadap obyek sebagai sesuatu yang baik atau                    buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan.
Ini disebut “menutup semua jendela”. Jendela macam                    apa yang ditutup? Jendela telinga ditutup dengan kesadaran sehingga                    musuh tidak dapat masuk ke dalamnya.
Siapa yang menjadi musuh ? Tanha (vedana                    atau perasaan adalah pelopornya). Maka saat kita mendengar sebuah                    lagu dan kesadaran menjadi konstan secara berkesinambungan,                    tidak ada kekotoran yang masuk ke diri kita. Telinga di tutup.                    Dengan demikian kesadaran mencegah kekotoran batin yang datang                    dari pikiran lewat jendela telinga.
Hal yang sama terjadi pada kelima indra lainnya. Saat melihat                    sesuatu, sadari dan catat sebagai “melihat … melihat                    …”. Jendela mata dapat ditutup. Ketika mencium sesuatu,                    sadari dan catat sebagai “mencium … mencium …”.                    Jendela penciuman ditutup. Bila makan sesuatu, kita harus mencatat                    semua tindakan makan sebagai “mengambil membuka mulut                    … memasukkan makanan ke dalam mulut … mengunyah                    … merasakan … dan lain lain”.
Sewaktu kita mengamati setiap proses-proses batin atau jasmani,                    maka tidak akan ada lagi kenikmatan terhadap segala sesuatu                    yang dimakan. Karena kesadaran secara penuh mencegah kekotoran                    batin dari jendela lidah.
Katakanlah saat kita merasakan sesuatu yang manis sambil menikmati                    makanan, maka harus disadari dan dicatat dalam batin sebagai                    “mengunyah … mengunyah …” atau “manis                    … manis …” Kemudian ketika kesadaran semakin                    bertambah tajam, kita tidak akan mengetahui rasa manis itu lagi.                    Karena yang disadari saat itu adalah kesadaran mengunyah atau                    sesuatu yang berhubungan dengan menggerakkan dua rahang. Maka,                    kita tidak perlu mengidentifikasi rasa itu. Tidak perlu mengidentifikasi                    gerakan dua rahang sebagai diri. Ada dua rahang yang bergerak                    secara konstan dan juga ada sesuatu diantara dua rahang tersebut.                    Hanya itu saja. Selanjutnya kita tidak akan sedikitpun menikmati                    rasa manis tersebut.
Karena tidak dapat menikmati rasa manis, maka tidak ada nafsu                    keinginan untuk menikmatinya. Bila mampu melakukan pencatatan                    secara jelas dan terperinci, secara bertahap kita ingin memuntahkannya.                    Mengapa ? Karena kita menjadi enggan terhadap makanan tersebut.                    Apakah itu sesuatu yang baik ? Jawabannya bukan. Sebab, keenganan                    juga salah satu dari kekotoran batin, yaitu dosa.
Kita harus memiliki perasaan yang netral. Tanpa perasaan menyenangkan                    atau tidak menyenangkan. Jika kita merasa senang akan timbul                    nafsu keinginan. Jika merasa tidak senang, timbul keenganan.                    Maka, perasaan kita haruslah netral.
Untuk membuat perasaan menjadi netral, kita harus menyadarinya.                    Dengan demikian kita tidak akan mengetahui makanan itu baik                    atau tidak baik, disukai atau tidak disukai. Inilah yang disebut                    dengan menutup jendela lidah.
Semua hal di atas disebut indrya samvara. Indrya                    berarti enam panca indera. Samvara berarti menutup.                    Kita menutup telinga dengan kesadaran. Maka, tidak akan ada                    lagi kekotoran batin yang masuk ke dalam pikiran melalui telinga                    karena kita telah menutupnya. Inilah yang dimaksudkan dengan                    menutup enam panca indera.
Oleh sebab itu apapun yang kita dengar haruslah dicatat sebagai                    “mendengar … mendengar …”. Apapun yang                    dilihat, disadari dan dicatat sebagai “melihat …                    melihat …”. Apapun yang dicium, disadari dan dicatat                    sebagai “mencium … mencium …’. Apapun                    yang dirasakan hendaknya disadari dan dicatat sebagai “merasa                    … merasa …” atau “mengunyah …mengunyah                    …”. Dan seterusnya. Apapun yang kita sentuh, sadari                    dan catat sebagai “menyentuh … menyentuh …”.                    Bila menyentuh sesuatu yang keras, sadari dan catat sebagai                    “keras … keras …”. Juga saat kita menyentuh                    sesuatu yang lunak, sadari dan catat sebagai “lunak …                    lunak …”. Sehingga tidak ada lagi kekotoran batin                    sama sekali. Sebab, kita menyadari hal ini sebagai kesadaran                    menyentuh.
Dengan konsentrasi yang lebih terpusat dan kebijaksanaan yang                    lebih terang, kita akan dapat menyadari timbul dan lenyapnya                    kesadaran mendengar. Kemudian kita menyadari ketidakkekalan                    dari kesadaran mendengar, anicca. Sehingga tidak ada                    lagi nafsu keinginan atau keenganan. Tidak ada kekotoran batin                    sama sekali. Inilah tujuan dari meditasi vipassana.                    Inilah maksud pencapaian dan menghentikan penderitaan melalui                    kesadaran atas proses-proses batin dan jasmani sebagaimana adanya.
Pemeditasi samatha tidak dapat menyadari proses-proses                    yang terjadi pada batin dan jasmani, sebab tujuan mereka adalah                    mencapai tingkat-tingkat konsentrasi yang lebih tinggi.
Akhirnya, kembali lagi, ada tiga jenis penghancuran atau penyingkiran.                    Bila telinga mendengar lagu yang merdu dan kita menyadari serta                    mencatatnya sebagai “mendengar … mendengar”,                    maka kita akan mengetahui adanya pendengaran dan obyek serta                    pikiran yang mencatat hal itu dengan konsentrasi yang terpusat.                  
Apabila kita tidak mencatat hal tersebut, maka akan timbul                    nafsu keinginan untuk mendengarkan lagu atau bertemu dengan                    penyanyinya. Munculnya nafsu keinginan ini tergantung pada perasaan                    atau sensasi. Namun jika kita mampu menyadari dan mencatat dalam                    batin apa yang kita dengar, mengetahui hal itu sebagai mendengar                    sebuah lagu dan pikiran menyadari hal itu. Ini yang dimaksud                    dengan vipassana nana (=pengetahuan pandangan terang),                    dimana diperoleh pengertian benar atas kesadaran mendengar,                    adanya sebuah lagu atau suara dan pikiran yang tengah menyadari                    hal tersebut. Dengan pengertian yang benar ini akan dapat menghapus                    semua kekotoran batin yang mungkin timbul.
Namun, ada kekotoran batin lainnya. Sebagai contoh, bila kita                    melihat sesuatu ada nafsu keinginan untuk melihat. Bila kita                    merasakan sesuatu akan timbul keinginan untuk mencicipi. Nafsu-nafsu                    keinginan ini, yaitu tanha, lobha, masih tetap ada.                    Sebab apa yang kita hancurkan adalah naf
su keinginan, tanha                    yang akan timbul bila kita gagal menyadari pendengaran tersebut.
Maka, beberapa bagian dari nafsu keinginan telah dihancurkan                    oleh pengertian yang benar saat kita menyadari pendengaran.                    Inilah yang dimaksud dengan penghancuran sebagian kilesa                    oleh vipassana nana, pengetahuan pandangan terang.
Semoga kita semua dapat menutup keenam pintu panca indera kita                    dengan kesadaran seutuhnya dan mencapai keberhasilan.
Penerjemah,
Surabaya, akhir Oktober 2002

Tidak ada komentar:
Posting Komentar