Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Sabtu, 23 Januari 2010

Psikologi & Agama Buddha

Psikologi & Agama Buddha

Agama Buddha juga mempunyai peranan besar dalam bidang psikologi. Dikatakan bahwa agama Buddha adalah sains mengenai pikiran. Buddha, jauh sebelum Aquinas atau Heisenberg, menekan kan keunggulan pikiran dalam persepsi dan bahkan dalam "penciptaan" realitas. Salah satu konsep sentral dalam Buddhisme adalah gagasan tentang "segala sesuatu diciptakan dari pikiran".. Perbedaan apapun antara subyek dan obyek adalah khayal dan di pilah-pilah oleh kesadaran yang diskriminatif.
Dalam Avatamsaka Sutra bab 20, Buddha menggunakan sebuah metafor :

"Pikiran adalah seperti seorang artis
Yang melukis seluruh dunia....
Bila seseorang mengetahui cara kerja pikiran
Sebagaimana ia secara universal menciptakan dunia
Orang ini lalu melihat Buddha
Dan memahami sifat-dasar Buddha yang sejati dan aktul."

Kita berpikir bahwa kita sedang melakukan observasi terhadap alam, tetapi apa yang kita observasikan adalah pikiran kita sendiri yang sedang bekerja. Kita adalah subyek dan obyek dari metodologi kita sendiri.

Didalam kitab Abhidamma dan kitab aliran Yogacara seperti Samdhinirmocana Sutra di jelaskan secara terperinci mengenai berbagai macam kondisi pikiran dan kategori kesadaran. Tidak lah mengherankan bila banyak neuroscientist dan psychotherapist terkemuka di dunia menjadi pelopor dalam mempelajari agama Buddha untuk di gunakan dalam studi seperti terapi untuk gangguan tidur, penyembuhan terhadap pemikiran dan bentuk-bentuk mental ya ang negatif, pemahaman terhadap proses terjadi nya mimpi, tidur, dan proses kematian.

PIKIRAN ADALAH PELOPOR DAN PENCIPTA FENOMENA

Menurut salah satu aliran pemikiran Buddhisme yaitu aliran Yogacara (Cittamatra), menyebutkan bahwa dunia ini adalah manifestasi dari pikiran kita. Dunia dan alam semesta yang kita amati ini sesungguh nya merupakan proyeksi tiga dimensi dari pikiran kita sendiri.
Fenomena yang kita persepsikan sebagai realita bukanlah realita absolut karena masing-masing individu memproyeksikan dimensi pikiran nya sehingga tidak ada realitas tunggal yang berlaku untuk semua orang. Masing masing individu telah mendistorsi tersebut dengan kacamata berwarna yang di ciptakan dari benih energi karma individu pada kehidupan-kehidupan sebelum nya. Hal ini di bahas Michael Talbot dalam buku nya Holographic Universe dan B. Alan Wallace dalam dua buku nya berjudul The Taboo of Subjectivity dan Choosing Reality.
Talbot mengumpamakan semesta tidak lebih nyata di bandingkan sebuah hologram yang merupakan sebuah gambar tiga dimensi yang di proyeksikan ke dalam ruang pikiran kita.

PSIKOTERAPI DAN NEUROSAINS

Dr. Carl G. Jung, seorang pendiri Psikologi Analitik dan pelopor Psikologi Modern, telah menunjukkan bahwa psikologi analitik sangat dekat persamaan nya dengan metode Buddhisme yang esensi nya terkait dengan masalah asal datang nya penderitaan, metode dalam mengatasinya, kategori mental states, dan pemahaman mendalam mengenai kesadaran (consciousness)

Mark Epstein, dalam bukunya berjudul Thoughts Without a Thinker, berusaha menggabungkan ilmu kejiwaan Barat dengan ajaran Buddha. Dalam bukunya, disebutkan bahwa ingatan-ingatan yang hilang, emosi-emosi yang menyakitkan, pandangan-pandangan khayal, dan nafsu menghancurkan, dapat di temukan akarnya pada ajaran Buddha. Dengan di temukan akarnya, maka ajaran Buddha menawarkan suatu penyembuhan bagi seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan.

Contoh nyata aplikasi atas hal tersebut adalah dengan di massukkan nya metoda meditas relaksasi dan penanaman pemikiran positif pada 12 langkah pengobatan depresi mental yang telah terbukti berhasil (baca buku Rangkuman 12 langkah yang telah berhasil mengobati individu depresif dalam kelompok kecil, diterbitkan oleh Lewinsohn, Antonuccio, Steinmetz dan Teri pada tahun 1984)

Pada rangkuman tersebut, meditasi relaksasi disebut sebagai latihan relaksasi dan penanaman untuk berpikir positif di sebut sebagai strategi kognitif, yang kemudian di definisikan sebagai "metoda belajar untuk meningkatkan pikiran positif dan menurunkan pikiran negatif untuk mengenali pikiran irasional dan mengubahnya, serta untuk menggunakan pelatihan diri guna menangani situasi bermasalah"

Hal ini amat dekat kaitan nya dengan agama Buddha apabila kita mengingat bahwa salah satu petikan dari Abhidamma adalah "pikiran adalah pelopor". Dalam strategi kognitif , seperti halnya dalam agama Buddha, kita di ajarkan untuk mengembangkan pikiran positif terhadap lingkungan kita, membuang segenap pikiran negatif, serta mengenali pikiran irasional yang oleh Sang Buddha di sebut sebagai khayalan atau delusi pikiran dan mentransformasikannya mejadi pikiran yang mengarah ke hal-hal yang baik (kusala-citta).

Daniel Goleman, dalam bukunya berjudul Destructive Emotions, menceritakan dialog yang berlangsung antara Dalai Lama dengan para psikolog barat. salah satu tema dari buku itu adalah membahas cara-cara dalam mengatasi keadaan-keadaan emosi yang bersifat destruktif seperti kemarahan, kecemburuan, dan nafsu keinginan yang tak terkendalikan. Filsafat Buddhis memberitahukan kepada kita bahwa semua ketidakbahagiaan dan konflik antar perorangan terletak pada "tiga racun" : nafsu, keinginan, kemarahan dan delusi

Dari beberapa kali dialog yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir antara Timur dan Barat dalam hal psikologi dan psikoterapi, dapat di simpulkan bahwa metode psikoterapi dan ajaran ilmu kejiwaan di Barat belum mencapai tingkatan yang di tuntut di Timur. Medard Boss, seorang filosof Swiss yang terkemuka, pernah menyatakan bahwa di pandang dari sudut ajaran-ajaran dan tingkah laku guru-guru timur, metode-metode dan tujuan-tujuan psikoterapi, psikoterapi Barat tidak memadai.

Menurut Boss, jika di bandingkan dengan tingkat pemurnian dari yang di tuntut oleh latihan-latihan dari Timur, maka "analisa latihan Barat yang paling baik sekalipun tidak lebih dari suatu kursus pengantar saja bagi Timur".

Buddhisme mempunyai metode praktis untuk menumbuhkan pemikiran positif yakni dengan melaksanakan Empat Brahma Vihara, yang terdiri dari :Metta, Karuna, Mudita, dan Upeksha/Upekkha. Metta berarti cinta kasih universal, gembira atas kebahagiaan orang lain; Karuna berarti welas asih, turut merasakan penderitaan makhluk lain; Mudita berarti ikut bergembira atas kesuksesan orang lain; dan Upekkha berarti keseimbangan batin, tanpa membedakan teman dan musuh, sedih dan gembira.
Melatih keseimbangan batin berarti kita berusaha untuk tidak merasa senang atau sedih apabila di puji atau di cela.. Memang kesemua hal tersebut di atas tidak semudah membalik telapak tangan karena kita membutuhkan suatu latihan kejiwaan yang oleh Sang Buddha di sebut praktek Dhamma. Praktek ini melibatkan seluruh aspek kehidupan kita sehingga kita dapat mencapai seperti apa yang di capai Sang Buddha yaitu Pencerahan Sempurna.

ENERGI KEBIASAAN DAN GEN

Hal penting lain nya adalah mengenai kecenderungan-kecenderungan yang hanya di miliki orang tertentu. Misal nya ada orang yang mempunyai daya tahan rendah terhadap stress sehingga mudah melakukan bunuh diri, demikian juga ada orang yang menderita penyakit suka mencuri (kleptomania). Para psikolog dewasa ini belum dapat menjelaskan secara memuaskan mengenai penyebab hal tersebut. Para ahli kejiwaan hanya dapat sedikit menjelaskan bahwa hal tersebut di sebabkan oleh lingkungan sekitar yang membentuk karakteristik seseorang.

Mengenai hal ini, agama Buddha dapat memberikan penjelasan yang kita dapatkan dari ajaran Yogacara (Cittamatra), yang didirikan oleh Asanga dan Vasubandhu. Vasubandhu sendiri menulis beberapa karya tulisan sastra yang di sarikan dari Sutra-Sutra Buddhis, antara lain Lankavatara Sutra, yang merupakan salah satu sutra penting dalam aliran Yogacara. karya Vasubandhu yang akan kita pakai sebagai rujukan adalah Trisvabhavanirdesa sastra.

Pada naskah tersebut di sebutkan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh tubuh , ucapan dan pikiran "tercetak" dalam dasar/akar kesadaran.Dengan kata lain , apa yang dilakukan manusia akan menimbulkan jejak yang permanen. Jejak yang permanen itu antara lain dapat menimbulkan akibat pada kepribadian seseorang pada kehidupan berikut nya, bila kondisi-kondisi karmanya telah matang. bahkan jejak permanen tersebut dapat menimbulkan suatu akibat tertentu pada kondisi fisik manusia dan gen-gen seperti tubuh yang cacat atau gen diabetes.
Dengan kata lain, gen-gen merupakan manifestasi kasar dari energi karma yang di ciptakan dari perbuatan-perbuatan pada kehidupan lampau. Sebagai contoh, orang yang pernah melakukan bunuh diri pada kehidupan lampau, maka akan memilki kecenderungan sama yang tercetak pada kesadaran akarnya sehingga apabila ia terlahir kembali dan kemudian mengalami depresi, maka ia akan mudah mengambil keputusan untuk bunuh diri. Demikian Buddhisme menjelaskan mengenai hal tersebut.

1 komentar: