BUDDHA, PENGENDALI PIKIRAN
Oleh: Piyadassi Mahathera
Oleh: Piyadassi Mahathera
Buddha bukanlah seorang filsuf di antara ahli filsafat lainnya, melainkan seorang Guru suci yang telah mencapai Penerangan, yang ajaran-Nya bertujuan merombak pikiran dan kehidupan umat manusia. Semangat pengorbanan diri, cinta kasih yang tanpa batas, kebaikan hati dan toleransi yang terkombinasi dengan kepribadian-Nya yang luar biasa, membangunkan mereka yang mengikuti-Nya dari ninabobo kebodohan dan membangunkan mereka untuk menyadari kebenaran.
Ajaran-Nya berawal di India Utara tetapi pesan-Nya menarik  perhatian seluruh dunia. Buddha berbicara kepada seluruh umat manusia  dan untuk sepanjang jaman. Ajaran dan disiplin-Nya (dhamma-vinaya)  adalah untuk seluruh umat manusia, apapun bahasa yang mereka gunakan,  apapun pakaian yang mereka kenakan, apapun negara yang mereka sebut  "rumah". Bahasa Buddha adalah kebenaran. Beliau mengenakan pakaian  kebenaran dan seluruh dunia adalah "rumah"Nya; karena kebenaran terdapat  dimana-mana dan setiap saat dapat disadari oleh setiap orang. Inilah  yang dimaksud keuniversalan Buddha Dharma atau Agama Buddha. Kebenaran  yang dibicarakan dalam Agama Buddha bukan konsep, oleh karena itu tidak  dapat disebarkan hanya dengan kata-kata saja. Buddha dapat menuntun kita  dengan menunjukkan jalan menuju kebenaran, kita sendiri yang harus  mengikuti cara-cara meditasi untuk menyadari kebenaran dan menjadikannya  milik sendiri. 
 
Buddha adalah Pengendali Pikiran. Beliau  mengembangkan pengendalian pikiran berkat meditasi dan berbagai bentuk  peningkatan spiritual lain dalam rangkaian kehidupan berturut-turut.  Dengan inilah Beliau dapat memahami dan menyatakan kebenaran pokok  mengenai kehidupan, mengenai arti dan tujuannya. Meskipun begitu  kebanyakan orang yang tertarik pada agama Buddha dewasa ini bukanlah  memperhatikan kebenaran-kebenaran pokok ini, tetapi mempelajari,  bagaimana ia dapat menghasilkan penyelesaian yang berguna untuk  mengatasi keragu-raguan dan kesulitan yang mengacaukan dan membingungkan  dirinya dalam usaha untuk memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan.
 
Salah  satu kebenaran pokok yang telah dinyatakan oleh Buddha adalah kekuatan  yang luar biasa dari pikiran. Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh  salah seorang siswa-Nya, Beliau menjelaskan kebenaran ini dengan tegas  sekali, "Dunia dikuasai oleh pikiran, dengan pikiran dunia terbentuk;  semuanya terjadi di bawah kekuasaan pikiran."1) Ilmu pengetahuan belum  sepenuhnya menyelidiki kekuatan dan pikiran, tetapi lebih dari 2500  tahun yang lalu Buddha telah menyadari keunggulannya dalam setiap aspek  kehidupan. Agama Buddha di masa awal memandang pikiran merupakan suatu  kekuatan besar yang harus dikembangkan dalam usaha untuk mencapai tujuan  tertinggi, Nirwana (Nibbana). Agama Buddha yang juga tidak mengingkari  dunia yang penuh persoalan dan dampak luar biasa yang diakibatkan oleh  dunia fisik terhadap kehidupan rohani, menekankan lebih pentingnya  pikiran manusia. Kekuatan pikiran merupakan hal yang sangat nyata.
 
Banyak  orang yang mencari ilham dan kebahagiaan dari sumber-sumber di luar  dirinya merasa kecewa. Hanya ketika seseorang menyadari keunggulan  pikiran dan mengerti bahwa pikiran yang dimiliki seseorang dapat membuat  dunia ini menjadi surga atau neraka bagi dirinya sendiri, maka ia akan  belajar bagaimana untuk merasa bahagia. Sang Pengendali Pikiran  memberikan pertolongan lebih lanjut, seperti yang dikatakan dalam  Dhammapada (165):
 
"Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan. Oleh diri  sendiri pula seseorang ternoda. Oleh diri sendiri kejahatan tidak  dilakukan. Oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci atau  tidak suci itu tergantung pada diri sendiri.Tak seorang pun dapat  membuat orang lain suci."
 
Selain itu Sang Pengendali Pikiran berkata:  "Engkau sendirilah yang harus berusaha, Para Buddha hanya menunjukkan  jalan."2) Kebenaran-kebenaran yang berharga ini mengajarkan manusia  untuk menemukan kebahagiaan di dalam dirinya sendiri dan melalui dirinya  sendiri.
Kebenaran pokok lain yang datang dari Sang Pengendali Pikiran adalah:
"Segala sesuatu yang terbentuk adalah tidak kekal, Mereka timbul dan lenyap, itulah sifat dasarnya; Mereka dilahirkan dan meninggal dunia,
Terbebas dari hal ini merupakan kebahagiaan tertinggi." (D. ii.157)
 
Kebenaran pokok lain yang datang dari Sang Pengendali Pikiran adalah:
"Segala sesuatu yang terbentuk adalah tidak kekal, Mereka timbul dan lenyap, itulah sifat dasarnya; Mereka dilahirkan dan meninggal dunia,
Terbebas dari hal ini merupakan kebahagiaan tertinggi." (D. ii.157)
"Segala hal yang memiliki sifat  untuk timbul, memiliki sifat untuk lenyap."3) Perubahan ini merupakan  inti dari segala sesuatu. Manusia tidak berbahagia karena semua hal yang  diinginkannya - istri dan anak-anak, kekayaan dan kekuasaan - tidak  bertahan selamanya. Dalam pekerjaan apa pun setiap orang mengalami  kecemasan yang sama untuk mempertahankan apa yang dicintainya. Hanya  jika manusia menyadari kebenaran pokok mengenai ketidakkekalan segala  sesuatu maka ia akan melatih dirinya sendiri untuk melepaskan diri dari  nafsu keinginan, karena nafsu keinginan rendah membawa ketidakbahagiaan.   Dalam hubungan ini, Sang Pengendali Pikiran mengucapkan sabda sebagai  berikut:  "Dari nafsu keinginan timbul kesedihan, Dari nafsu keinginan  timbul ketakutan, Bagi orang yang telah bebas dari nafsu keinginan,  Tiada lagi kesedihan maupun ketakutan" (Dhp. 216)
 
Buddha kadangkala  lebih memperhatikan tujuan yang mengandung unsur pengobatan daripada  analisis obyektif. Akan tetapi yang terutama mendapat perhatian-Nya  adalah pandangan analitis terhadap segala sesuatu, karena hal ini  membantu seseorang untuk memahami sesuatu sebagaimana hakekat yang  sesungguhnya. Melalui meditasi, Buddha menemukan akar dari  penyakit-penyakit universal yang terdapat di hati dan pikiran manusia.  Pengetahuan-Nya yang luar biasa sampai ke dalam cara berpikir  menempatkan Buddha sebagai Pengendali Pikiran, seorang ahli psikologi,  dan seorang ilmuwan terbesar. Tidak disangkal, caranya mencapai  kebenaran-kebenaran dari kehidupan rohani ini tidak selalu bersifat  eksperimen, namun apa yang ditemukan oleh Buddha tetap benar, dan dalam  kenyataannya telah dibuktikan oleh para ahli percobaan. Akan tetapi  tujuan Buddha terkait dengan penyelidikan ini berbeda dengan tujuan para  ilmuwan. Para ilmuwan lebih memusatkan perhatian untuk memperoleh  pengetahuan objektif mengenai sifat-sifat dasar, tetapi pernyataan  Buddha tentang sifat-sifat dasar dari pikiran dan jasmani di arahkan  untuk mencapai kebebasan, pembebasan tertinggi dari keterikatan.  Ajaran-Nya banyak menekankan fenomena pikiran dan mental karena hal ini  memainkan peranan penting dalam menimbulkan perbuatan. Dalam agama  Buddha pikiran merupakan basis, "Pikiran mendahului segala sesuatu,  pikiran adalah pemimpin, pikiran membentuk segalanya." (Dhp.1)
 
Buddha  adalah seorang manusia. Bahkan sesudah Beliau menjadi Buddha Beliau  tidak menyatakan diri-Nya sebagai Dewa, Tuhan atau Brahma, yang  menciptakan dunia dan mengadili nasib manusia. Ia adalah seorang MANUSIA  di antara banyak manusia. Bila ditanya siapakah Dia, jawabannya adalah:  "Aku seorang yang telah sadar" dan Beliau menyimpulkan pencapaianNya  dalam kata-kata berikut ini:
"Aku mengetahui apa yang harus diketahui, Apa yang harus dikembangkan telah Kukembangkan. Apa yang harus ditinggalkan telah Kutinggalkan,
Maka, Aku adalah BUDDHA, Dia yang bangun." (Sn. 558)
 
"Aku mengetahui apa yang harus diketahui, Apa yang harus dikembangkan telah Kukembangkan. Apa yang harus ditinggalkan telah Kutinggalkan,
Maka, Aku adalah BUDDHA, Dia yang bangun." (Sn. 558)
Pengikut-Nya, menyadari bahwa kebahagiaan dan  penderitaan adalah akibat dari perbuatan baik dan perbuatan tidak baik  yang dilakukan seseorang, tidak memohon kepada-Nya dan tidak  mengharapkan dari-Nya balas jasa ataupun hukuman. Mereka berlindung  kepada Buddha dengan menyadari bahwa hidup-Nya dan ajaran-Nya menawarkan  pada mereka sebuah teladan dan tuntunan. Dengan mengikuti ajaran-Nya  mereka mampu meningkatkan kehidupan rohani dari tingkat yang lebih  rendah menuju yang lebih tinggi, dan akhimya mencapai kebahagiaan yang  merupakan hasil dari perkembangan spiritual tertinggi, kebahagiaan  Nirwana.
 
Buddha dapat juga disebut sebagai seorang revolusioner dalam  pengertian sesungguhnya. Tujuan-Nya yang utama adalah mengadakan  perubahan dalam kehidupan rohani manusia, termasuk dunia dan menunjukkan  jalan menuju kesucian batin, kedamaian dan kebahagiaan. Akan tetapi  Beliau menemukan bahwa masyarakat India sangat memerlukan perubahan  secara radikal, karena begitu banyaknya ketimpangan sosial, serta  diskriminasi ekonomi dan sosial. Sejauh mengenai perhatian pada  ketimpangan ekonomi, Buddha berhasil menciptakan jaminan ekonomi yang  stabil dalam kelompok para bhikkhu dan bhikkhuni. Apa pun dasarnya  wihara dan dana yang disumbangkan oleh umat awam kepada Sangha selalu  merupakan milik Sangha, dan bukan milik perseorangan.
 
Bagaimanapun  juga, Bhagawa menentang semua bentuk diskriminasi sosial. Ketika  membicarakan Dharma dalam ajaran-Nya, Beliau tidak membeda-bedakan  kasta, suku, kelas, jenis kelamin ataupun perbedaan lainnya Pria dan  wanita dari berbagai pekerjaan - kaya dan miskin, kalangan rendah dan  kalangan atas, yang terpelajar dan yang buta huruf, brahmana dan luar  kasta, pangeran dan fakir miskin, orang suci dan penjahat — semuanya  mengindahkan Buddha, berlindung kepada-Nya dan mengikuti jalan menuju  kedamaian dan penerangan yang telah ditunjukkan oleh Beliau kepada  mereka. Jalan ini terbuka bagi semua orang.
 
Sebagai orang yang  bertingkah laku sesuai dengan apa yang di- khotbahkan-Nya, Buddha selalu  memusatkan perbuatan kepada Empat Keadaan Luhur (brahmavihara): cinta  kasih (metta), belas kasih (karuna), simpati atau bahagia melihat  kebahagiaan orang lain (mudita) dan keseimbangan batin (upekkha). Buddha  dikenal sebagai orang yang telah meletakkan gada (nihita danda),  seseorang yang telah meletakkan senjata (nihita sattha). Satu-satunya  senjata yang berhasil digunakan-Nya adalah cinta kasih dan belas kasih.  Beliau mempersenjatai diri dengan kebenaran dan belas kasih.
 
Beliau  adalah penjelajah terbesar di dunia. Ia berjalan dan berjalan terus  sepanjang jalan raya dan jalan kecil di India, merangkul semuanya  kedalam pancaran kasih dan kebijaksanaan-Nya yang tidak terbatas.
Ia bergerak di antara pria dan wanita, bukan sebagai manusia super atau penjelmaan dewa, tetapi sebagai manusia seutuhnya. Dalam kenyataannya, sifat dasar kemanusiannyalah yang terlihat nyata dalam catatan kehidupan dan kegiatan-Nya yang tertulis dalam Kitab Suci. Buddha membuat orang-orang mengerti bahwa semua orang dapat menjadi Buddha asalkan mau mengembangkan sifat dasar penting yang dapat menuntun menuju penerangan.
 
Ia bergerak di antara pria dan wanita, bukan sebagai manusia super atau penjelmaan dewa, tetapi sebagai manusia seutuhnya. Dalam kenyataannya, sifat dasar kemanusiannyalah yang terlihat nyata dalam catatan kehidupan dan kegiatan-Nya yang tertulis dalam Kitab Suci. Buddha membuat orang-orang mengerti bahwa semua orang dapat menjadi Buddha asalkan mau mengembangkan sifat dasar penting yang dapat menuntun menuju penerangan.
Buddha  memiliki rasa humor yang tinggi dan sifat ramah yang membuah  orang-orang yang datang berhubungan dengan-Nya merasa senang. Namun,  agak lucu pula bila kita perhatikan bahwa sebagian orang pada zaman itu,  terutama anggota kepercayaan lain, merasa takut kepada Buddha dan tidak  berani mengirimkan para murid dan pengikut mereka kepada Buddha, takut  kalau-kalau mereka beralih agama. Hal ini tampak jelas dalam catatan  berikut ini:
 
Suatu ketika Nigantha Nataputta (Jaina Mahavira) ingin  mengirim seorang siswanya yang terkenal, Upali, menemui Buddha untuk  menyangkal kata-kata-Nya dalam perdebatan. Kemudian Dighatapassin,  pengikut Jaina, berkata kepada Nataputta: "Bagiku, Yang Mulia,  sebenarnya tidak perlu sekali mengirim Upali untuk menyangkal kata-kata  Petapa Gotama, karena Petapa Gotama penuh tipu daya; Ia tahu mantra  sihir yang dengan itu menarik para pengikut dari sekte-sekte lain.  (Gotamo mayavi avattananim mayam janati)" (M.56; A. ii, 190).
 
Mereka  mungkin tidak menyadari bahwa metta yang dimiliki Buddha, kebesaran  cinta kasih dan kebaikan hatinyalah yang menarik orang- orang kepada-Nya  dan bukan dengan "muslihat yang menarik hati."
 
Buddha merupakan  perwujudan dari metta, contoh dari cinta kasih dalam tuntunan dan  keteladanan. Dalam perdebatan, Beliau selalu tenang dan menghadapi  penantang tanpa merasa terganggu, tanpa menunjukkan kemarahan. Saccaka,  lawan debatnya, pada akhir perdebatan dengan Buddha, tidak dapat menahan  diri untuk berkata: "Bagus sekali, mengagumkan, Gotama yang baik, walau  dicecar secara bertubi-tubi, walau diserang dengan kata-kata yang penuh  tuduhan, sifat Gotama yang baik begitu jelas, dan wajahnya menunjukkan  kebahagiaan sebagai seorang Arahat, yang sempuma, yang telah mencapai  Penerangan Tertinggi." (M36)
 
Bahkan ketika orang-orang menyerang-Nya  dan berusaha mempermalukan dengan kata-kata kasar, air muka Buddha tidak  pernah berubah. Dikatakan bahwa Beliau tersenyum, senyuman selalu  mengawali ucapan-Nya (mihita pubbangama).
 
Ernest F. Fenollosa  menilai: "Kesan terhadap tokoh ini (Buddha), berdasar pandangan orang  untuk pertama kali, menunjukkan Dia memiliki kesucian yang hebat.  Anggaplah berkelakar, seorang Kristiani yang berwawasan luas (=dirinya  sendiri) juga dapat dengan bebas terdorong untuk membungkukkan diri di  hadapan senyuman-Nya yang manis dan penuh kekuatan."
 
Tak ada sifat  manusia yang menjadi milik khusus (prerogatif) agama, negara, ras atau  kebudayaan tertentu. Bagi mereka, semua memiliki mata untuk melihat dan  pikiran untuk mengerti akan menyadari bahwa sifat-sifat seperti  persahabatan, belas kasih dan kebesaran hati umumnya terdapat dalam diri  setiap umat manusia. Akan tetapi ketika orang-orang itu salah jalan dan  tersesat, mereka membicarakan dan merencanakan "perang demi keadilan" -  kita bahkan membaca mengenai "perang suci". Perang adalah perang; "adil  ataupun suci"; tidak pemah membawa kedamaian. Semua bentuk perang  adalah biadab.
 
Suatu kejadian pada suatu ketika membawa Buddha menuju  medan perang. Sakya dan Koliya, dua negara yang bertetangga sampai di  ambang peperangan karena memperebutkan air Sungai Rohini. Mengetahui  bencana yang akan timbul, Bhagawa lalu menghampiri mereka dan menanyakan  kepada mereka manakah yang lebih berharga, air atau darah manusia.  Mereka mengakui bahwa darah manusia lebih berharga. Bhagawa berbicara  kepada mereka dan perang yang hampir pecah dapat dicegah.4)
 
Dalam  bidang agama dan filosofi, perubahan terbesar yang dilakukan, oleh  Buddha ketika Beliau mengecam konsep atta atau atman, roh yang kekal,  diri atau aku yang kekal. Ajaran mengenai anatta, tanpa roh yang kekal,  semata-mata merupakan ajaran agama Buddha. Buddha menunjukkan bahwa  menjadi apapun, dengan berbagai maksud kita menamakan pria, wanita atau  pribadi, bukanlah merupakan sesuatu yang statis melainkan dinamis.  Perpaduan antara jasmani dan rohani selalu dan terus menerus berubah.
Kini jika seseorang melihat kehidupan dari pandangan ini dan mengerti secara analitis bahwa keberadaannya merupakan rangkaian agregat rohani dan jasmani secara keseluruhan, ia melihat benda-benda sebagaimana yang sesungguhnya. la tidak berpegang pada pandangan salah mengenai "kepercayaan akan adanya pribadi" (sakkaya ditthi), kepercayaan terhadap adanya roh atau diri yang kekal, abadi, tidak berubah dan tetap, karena ia mengetahui melalui pengertian benar bahwa seluruh bentuk kehidupan yang nyata merupakan rangkaian sebab-musabab yang saling bergantungan (paticca samuppada). Melihat bahwa segala sesuatu disebabkan oleh sesuatu yang lain dan kehidupan berhubungan dengan keadaan itu, ia menyadari bahwa sebenarnya tak ada "aku", tidak ada prinsip aku yang kekal, tak ada diri atau sesuatu mengenai diri, tidak dalam proses kehidupan sekarang maupun di luar kehidupan saat ini. Oleh karena itu, ia bebas dari pikiran mengenai jiwa mikrokosmis (jivatma) atau jiwa makrokosmis (paramatma) atau bahkan jiwa kosmis.
Buddha tidak mengakui segala bentuk atman, jiwa atau diri, besar atau kecil yang kekal, karena hal-hal itu hanya merupakan bayangan dalam pikiran. Beliau bertanya: "Ketika suatu atman, jiwa atau diri tidak ditemukan, bukankah bodoh untuk menyatakan alam semesta sebagai atman atau diri dan mengatakan: aku akan menjadi atman setelah kematian, kekal, abadi, tidak berubah dan akan tetap sebagai atman untuk selama nya?"'5)
 
Kini jika seseorang melihat kehidupan dari pandangan ini dan mengerti secara analitis bahwa keberadaannya merupakan rangkaian agregat rohani dan jasmani secara keseluruhan, ia melihat benda-benda sebagaimana yang sesungguhnya. la tidak berpegang pada pandangan salah mengenai "kepercayaan akan adanya pribadi" (sakkaya ditthi), kepercayaan terhadap adanya roh atau diri yang kekal, abadi, tidak berubah dan tetap, karena ia mengetahui melalui pengertian benar bahwa seluruh bentuk kehidupan yang nyata merupakan rangkaian sebab-musabab yang saling bergantungan (paticca samuppada). Melihat bahwa segala sesuatu disebabkan oleh sesuatu yang lain dan kehidupan berhubungan dengan keadaan itu, ia menyadari bahwa sebenarnya tak ada "aku", tidak ada prinsip aku yang kekal, tak ada diri atau sesuatu mengenai diri, tidak dalam proses kehidupan sekarang maupun di luar kehidupan saat ini. Oleh karena itu, ia bebas dari pikiran mengenai jiwa mikrokosmis (jivatma) atau jiwa makrokosmis (paramatma) atau bahkan jiwa kosmis.
Buddha tidak mengakui segala bentuk atman, jiwa atau diri, besar atau kecil yang kekal, karena hal-hal itu hanya merupakan bayangan dalam pikiran. Beliau bertanya: "Ketika suatu atman, jiwa atau diri tidak ditemukan, bukankah bodoh untuk menyatakan alam semesta sebagai atman atau diri dan mengatakan: aku akan menjadi atman setelah kematian, kekal, abadi, tidak berubah dan akan tetap sebagai atman untuk selama nya?"'5)
Barang  siapa yang berakar pada pemikiran mengenai jiwa atau diri itu akan  merasa takut dan khawatir ketika ia mendengar bahwa segala keindahan  yang disenanginya akan hancur dan ia akan dihancurkan. Oleh karenanya ia  menyukai pemikiran mengenai atman, jiwa atau diri yang kekal untuk  mempertahankan dirinya sendiri. Itu sebabnya mengapa Buddha mengingatkan  para pengikut-Nya agar memandang Beliau bukan sebagai juru selamat yang  menyelamatkan jiwa makhluk ciptaannya, tetapi sebagai seorang guru yang  menuntun mereka pada jalan yang benar dan mendorong mereka untuk  memiliki kepercayaan pada diri sendin. Beliau juga menerangkan kepada  para siswa-Nya bahwa jika Beliau meninggal dunia nanti, mereka harus  mencari tempat berlindung dan perlindungan dalam diri mereka sendiri  sebagaimana juga di dalam Dharma, ajaran-Nya dan bukan pada tempat lain  (attasarana anannasarana dhammasarana anannasarana)6)
Namun, sebagian orang terpelajar, tidak dapat menerima ajaran tanpa aku ini, dan oleh karena itu mereka mencoba untuk mengubah ajaran Buddha dengan mengakui pemikiran mengenai "diri" (atta). Radhakrishnan, contohnya, salah menerjemahkan Dhammapada ayat 160 yang berbunyi: "Diri sendiri adalah tuan dari diri sendiri, siapa pula yang dapat menjadi tuan bagi dirinya sendiri? Setelah dapat menaklukkan dirinya sendiri dengan baik, seseorang akan menemukan tuan yang hanya sedikit orang saja dapat menemukannya."7) Di sini kata "atta" tidak memiliki hubungan dengan jiwa atau diri. Kata itu digunakan sebagai refleksi atau kata ganti tak tentu yang berarti saya sendiri, kau sendiri, aku sendiri, diri sendiri atau lain-lain. Berikut ini adalah terjemahan yang benar: "Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri, karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah dapat mengenali dirinya sendiri dengan baik, ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh amat sukar dicari."
 
Namun, sebagian orang terpelajar, tidak dapat menerima ajaran tanpa aku ini, dan oleh karena itu mereka mencoba untuk mengubah ajaran Buddha dengan mengakui pemikiran mengenai "diri" (atta). Radhakrishnan, contohnya, salah menerjemahkan Dhammapada ayat 160 yang berbunyi: "Diri sendiri adalah tuan dari diri sendiri, siapa pula yang dapat menjadi tuan bagi dirinya sendiri? Setelah dapat menaklukkan dirinya sendiri dengan baik, seseorang akan menemukan tuan yang hanya sedikit orang saja dapat menemukannya."7) Di sini kata "atta" tidak memiliki hubungan dengan jiwa atau diri. Kata itu digunakan sebagai refleksi atau kata ganti tak tentu yang berarti saya sendiri, kau sendiri, aku sendiri, diri sendiri atau lain-lain. Berikut ini adalah terjemahan yang benar: "Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri, karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah dapat mengenali dirinya sendiri dengan baik, ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh amat sukar dicari."
Para peterjemah juga salah mengartikan kata kunci  "natha" yang berarti perlindungan, pertolongan dan bukan "tuan".  Penjelasan pada ayat itu mengatakan "nattho ti patitha"; nattha artinya  perlindungan (bantuan, tempat berlindung, pertolongan). Pikirkan lawan  katanya "anatha". Apakah artinya menjadi "tanpa tuan"'? Tidak, ini  artinya tanpa bantuan, tanpa perlindungan, tanpa pertolongan. Terjemahan  yang salah menimbulkan pemikiran yang keliru mengenai diri yang besar  menguasai diri yang kecil, jiwa makrokosmis menguasai jiwa mikrokosmis.
 
Sebagian  orang suka berpikir keliru bahwa Buddhisme dapat diperbandingkan dengan  filsafat Marxisme karena keduanya dianggap menyangkal Dewa yang kekal  dan roh yang kekal. Salah bila mengatakan bahwa agama Buddha  mempengaruhi filsafat Marx, atau ajaran agama Buddha mendekati  dasar-dasar ajaran Marxisme. Ajaran Buddha mengenai hukum sebab akibat  moral (kamma), kehidupan sebelum kelahiran, kehidupan setelah kematian  (punnabhava) dan kebebasan tertinggi dari keterikatan (Nibbana), sama  sekali asing bagi Marxisme.
 
Penganut Marxisme percaya bahwa tidak ada  yang hidup terpisah dari materi. Bahkan pikiran merupakan hasil dari  materi. Mereka percaya bahwa setelah kematian badan jasmani,  "kepribadian" yang berhenti hidup.
Bagi penganut agama Buddha pertanyaan mengenai agama dan asal mulanya bukanlah merupakan pertanyaan yang bersifat metafisika, tetapi merupakan pertanyaan yang bersifat psikologis dan intelektual. Baginya agama bukan semata-mata keyakinan atau kitab wahyu ataupun ketakutan terhadap sesuatu yang tidak diketahui atau ketakutan terhadap makhluk gaib yang memberi pahala terhadap perbuatan baik dan memberi hukuman terhadap perbuatan jahat yang dilakukan oleh makhluk ciptaannya. Tidak hanya perhatian mengenai teologi, tetapi lebih kepada soal psikologis dan intelektual yang diakibatkan karena pengalaman merasa dukkha, yaitu penderitaan, konflik dan ketidakpuasan terhadap keberadaan empiris dalam sifat kehidupan.
 
Bagi penganut agama Buddha pertanyaan mengenai agama dan asal mulanya bukanlah merupakan pertanyaan yang bersifat metafisika, tetapi merupakan pertanyaan yang bersifat psikologis dan intelektual. Baginya agama bukan semata-mata keyakinan atau kitab wahyu ataupun ketakutan terhadap sesuatu yang tidak diketahui atau ketakutan terhadap makhluk gaib yang memberi pahala terhadap perbuatan baik dan memberi hukuman terhadap perbuatan jahat yang dilakukan oleh makhluk ciptaannya. Tidak hanya perhatian mengenai teologi, tetapi lebih kepada soal psikologis dan intelektual yang diakibatkan karena pengalaman merasa dukkha, yaitu penderitaan, konflik dan ketidakpuasan terhadap keberadaan empiris dalam sifat kehidupan.
Ketika  kita mempertimbangkan isi ajaran agama Buddha, kita dapat melihat  sesungguhnya ajaran agama Buddha berbeda dengan ajaran agama lain  terutama mengenai konsep penciptaan. Ada banyak kepercayaan dalam agama  Buddha, tetap tidak dapat dimasukkkan di antara agama-agama yang  terpusat pada penciptaan dan kekuatan-kekuatan supranatural. Agama  Buddha tidak mengenal Dewa pencipta yang kekal dan tidak menganjurkan  upacara pemujaan dalam bentuk apa pun dan permohonan kepada para dewa.  Tidak ada kepercayaan terhadap kekuatan supernatural di luar manusia  yang menguasai nasibnya. Dalam agama Buddha manusia menghubungkan  seluruh pencapaian dan prestasinya kepada usaha dan pengertiannya  sendiri. Agama Buddha bersifat antroposentris, tidak teosentris. Bagi  umat Buddha, agama merupakan pandangan hidup, kurang lebih mengenai  pandangan moral, latihan spiritual dan intelektual yang menuntun ke arah  pencapaian pengetahuan tertinggi, yang mengakhiri seluruh penderitaan  dan kelahiran yang berulang-ulang dan berhasil mencapai kebebasan batin  yang sempurna.
 
Dilihat dari pandangan filosofis, Buddha tidak  merisaukan masalah yang dikhawatirkan oleh para ahli filsafat Timur  maupun Barat dari zaman dahulu hingga sekarang. Dalam pandangan-Nya  masalah-masalah metafisika hanya membingungkan manusia dan mengganggu  keseimbangan rohaninya. Beliau tahu bahwa pemecahannya tidak akan  menghindari seseorang dari penderitaan, dari ketidakpuasan terhadap  sifat kehidupan. Itulah sebabnya mengapa Beliau tidak ingin menjawab  pertanyaan-pertanyaan seperti itu, dan pada saatnya menahan diri untuk  menjelaskan hal itu yang dirumuskan secara salah.
 
Tantangan dari  agama Buddha merupakan sarana yang mendorong para pemikir keagamaan  untuk meninjau kembali definisi kuno mereka tentang agama, dan menemukan  definisi baru yang dapat selaras dengan agama Buddha. Cara umat Buddha  memahami kebenaran tertinggi, bangun dari kebodohan untuk mencapai  pengetahuan sempurna, tidak tergantung hanya kepada perkembangan  kepandaian teoritis intelektual akademis, tetapi kepada pelaksanaan dari  ajaran yang praktis. Gabungan yang menyenangkan dari teori dan praktik  inilah yang menuntun penerangan dan pembebasan akhir.
Catatan:
1. A. ii, 117
2. Dhp. 276
3. Vin. i, 10; S. v, 420.
4. AA. I, 241; SnA 357; Thag A. 141.
5. Alagaddupama Sutta, M. 22, 138
6. Maha Parinibbana Sutta D. 16, 100.
7. S. Radhakrishnan, Gautama the Buddha (Hinds Kitabs, Bombay)
1. A. ii, 117
2. Dhp. 276
3. Vin. i, 10; S. v, 420.
4. AA. I, 241; SnA 357; Thag A. 141.
5. Alagaddupama Sutta, M. 22, 138
6. Maha Parinibbana Sutta D. 16, 100.
7. S. Radhakrishnan, Gautama the Buddha (Hinds Kitabs, Bombay)
--
Sumber : Spektrum Ajaran Buddha, kumpulan tulisan Piyadassi Mahathera
Penerbit : Yayasan Pendidikan Buddhis Triratna, Jakarta, 2003
Y.A. Piyadassi adalah bhikkhu Srilanka. Beliau telah wafat pada tanggal 18 Agustus 1998 di Colombo, Srilanka.
Dikutip dari: http://www.wayn.com/waynblog.html?wci=viewentry&entry_key=93861
Tidak ada komentar:
Posting Komentar