TELAAH MUSIBAH
Oleh Dr. K. Sri Dhammananda Maha Nayaka Thera
Pembabar adalah bhikkhu asal Sri Lanka yang menjadi Ketua Sangha Malaysia  dan Singapura. Artikel ini dituliskan berdasarkan ceramah yang  disampaikan dalam "Dewan Berkah Dharma untuk Korban Tsunami", di Stadium  Negara, Kuala Lumpur, Malaysia, pada  tanggal 15 Januari 2005. Sumber: The Buddhist Channel, 24 Februari 2005.  Judul asal: The Anatomy of Disaster. Penerjemah: Suheryati, Palembang. Penyunting: Handaka Vijjananda, Yangon. Pelansir: Ehipassiko Foundation.
Prahara  tsunami yang melanda negara-negara yang berbatasan dengan Samudera  Hindia pada Desember tahun lalu telah mempertontonkan kedahsyatan  kekuatan alam dengan berbagai cara. Banyak orang mempertanyakan penyebab  terjadinya bencana semacam itu; apakah ini suatu pertanda "murka Tuhan"  untuk menghukum umat manusia atas segala kesalahan yang diperbuat di  bumi?
Sebelum  kita melangkah dan membuat asumsi-asumsi bahwa beberapa kekuatan  eksternal adalah penyebab kerusakan besar-besaran seperti itu, terlebih  dahulu kita harus belajar memahami sifat hakiki keberadaan, khususnya  keberadaan manusia.
Kata  "manusia" diturunkan dari kata Sanskerta "manussa" yang berarti  'manusia'. Kata "manussa" berasal dari "mana" yang berarti 'pikiran'. Di  antara segenap alam kehidupan, manusia adalah satu-satunya makhluk yang  berkesempatan untuk menjadi Buddha. Manusia mempunyai kesempatan ini  karena mereka memiliki kecerdasan dan kebijaksanaan untuk mempertanyakan  keberadaan mereka, bagaimana dan mengapa mereka terlahirkan di dunia  ini, dan tentang arti kehidupan itu sendiri.
Melalui  pengerahan kecerdasan seperti itu, manusia mampu mengembangkan  pengetahuan mendalam tentang sifat kehidupan, apa yang membentuk  kehidupan manusia, dan sifat makhluk itu sendiri. Melalui penyelidikan  seperti ini, Buddha mengajarkan kepada kita bahwa segenap makhluk hidup  dan alam semesta merupakan gabungan berbagai unsur dan energi.
Unsur-unsur  ini—tanah, angin, air, dan panas—diatur oleh hukum-hukum kosmik alamiah  dan universal yang berlangsung dalam siklus abadi pemunculan,  pertumbuhan, penuaan, dan pelenyapan. Dunia objek-objek bernyawa dan tak  bernyawa ini eksis di atas berbagai dasar kondisi dan keberlangsungan  fenomena mental dan fisik yang diatur oleh hukum-hukum alam  (dhammaniyama).
Buddha  berbicara tentang lima hukum alam, salah satunya adalah hukum energi  (utuniyama). Energi, dalam kedua wujud panas dan dingin, menyebabkan  banyak perubahan di dalam tubuh dan lingkungan. Energi selalu dalam  keadaan mengalir, terus berubah, dan selalu mencari keseimbangan. Inilah  kaidah yang mengatur perubahan-perubahan di dalam tubuh, seperti usia  tua dan sakit, atau dalam konteks ekologis berkenaan dengan hal-hal  seperti iklim, musim, dan pergerakan bumi.
Buddha  telah menerangkan dengan sangat gamblang bahwa kerja hukum ini tidak  terbatas pada dunia fisik ini saja, tetapi juga di segenap alam semesta.  Hukum ini mempengaruhi setiap tata surya dan semua bentuk metafisika  kosmik, baik berupa materi maupun non-materi. Semua unsur ini mengalami  perubahan, mengalami ketidakseimbangan dari waktu ke waktu.
Begitu  pula kehidupan, kehidupan manusia dan bumi dikendalikan oleh  hukum-hukum alam. Mereka menjadi renta, mati, dan lahir, lagi dan lagi,  tunduk pada suatu siklus kosmik nan tak berkesudahan. Bencana terjadi  dari waktu ke waktu karena unsur-unsur dasar seperti air, tanah, angin,  dan api senantiasa dalam perubahan konstan dan perlu mencari  keseimbangan. Karena itulah Buddha mengatakan bahwa kehidupan manusia  adalah tidak memuaskan (dukkha), karena manusia juga mengalami perubahan  semacam itu. Dikarenakan perubahan universal ini, tanpa pandang status  atau spesies, setiap makhluk mengalami dukkha.
Di  satu sisi, ajaran Buddha mengajarkan kepada kita bahwa kita adalah  arsitek dari nasib kita sendiri dan bahwasanya sebagai manusia pada  akhirnya kita dapat mengendalikan kekuatan kamma kita, namun demikian,  umat buddha tidak menganut kepercayaan bahwa segala sesuatu disebabkan  oleh kamma belaka. Umat Buddha tidak mengabaikan peran yang dimainkan  oleh kekuatan-kekuatan lain dari alam. Seperti yang kita lihat, kamma  hanyalah salah satu aspek dari hukum alam. Oleh karena itu, paham yang  menggampangkan bahwa semua pengalaman hidup hanya disebabkan oleh kamma  adalah tidak benar.
Pemahaman  adanya berbagai unsur yang bersemayam di alam fisik dan mental ini akan  membantu kita untuk memperoleh pemahaman yang lebih jernih mengenai  bagaimana suatu kejadian tunggal bisa diakibatkan oleh lebih dari satu  penyebab dan bagaimana berbagai faktor penentu bisa serempak terlibat  dalam pengondisian peristiwa atau pengalaman tertentu. Biasanya, ketika  ada lebih dari satu kaidah yang bekerja, kaidah yang lebih dominanlah  yang akan berlaku.
Sebagai  contoh, suhu (utuniyama) yang ekstrem dapat mempengaruhi kondisi  pikiran (cittaniyama) dan mengakibatkan seseorang gampang merasa tidak  nyaman; atau kekuatan tekad membaja (cittaniyama) mungkin untuk  sementara waktu mengatasi pengaruh lingkungan (utuniyama) negatif dan  buah kamma (kammaniyama). Dalam kasus bencana alam, energi kamma menjadi  non-aktif karena dahsyatnya daya pergerakan tanah dan air, seperti  gempa bumi dan tsunami. Pemusnahan akibat bencana tsunami Asia adalah  suatu perunjukan tak berdayanya hukum kamma terhadap hukum alam  (utuniyama).
Gelombang  pemusnah yang merenggut ratusan ribu kehidupan berlangsung tanpa  pandang kebaikan para korban. Mereka yang punya kamma baik dan punya  kamma buruk sama-sama menderita. Tak seorang pun, dan apa pun, mampu  melarikan diri dari kekuatan seperti ini, yang menunjukkan bahwa  ketidak-kekalan adalah sesuatu yang kekal adanya. Ajaran Buddha  dilandaskan pada penerimaan akan kebenaran universal ini. Memiliki  pemahaman mendalam mengenai pengetahuan tersebut akan memungkinkan kita  untuk menerima dengan batin seimbang apa yang tidak dapat diubah, dan  oleh karena itu memungkinkan kita menyalurkan energi positif untuk  penggunaan yang lebih produktif, lebih spiritual.
Mengembangkan  belas kasih dan mempertahankan kebaikan adalah hal yang penting bagi  manusia sebagai cara untuk belajar hidup dengan perubahan yang  terus-menerus seperti itu. Untuk hidup tenang tidak berarti kita harus  menaklukkan alam. Kita perlu memiliki pemahaman dan penghargaan mendalam  terhadap kekuatan-kekuatan alam. Inilah alasan yang tepat; menyalahkan  kekuatan-kekuatan eksternal (seperti Tuhan) atas petaka besar akibat  bencana tsunami adalah hal yang keliru. Tak perlu menyalahkan siapa pun,  dan tak ada apa pun yang perlu dipersalahkan.
Tidak  perlu mencari-cari alasan tindakan Tuhan karena bencana tsunami dengan  jelas telah menunjukkan kefanaan unsur-unsur bumi. Hal ini telah  nyata-nyata membuka mata kita terhadap keterkondisian alam, kefanaan,  dan ketiadaan inti yang ajek. Inilah pula alasan bahwa kita perlu  belajar untuk tidak mengembangkan nafsu keinginan terhadap hal-hal  duniawi. Kemelekatan terhadap diri fisik kita sendiri dan terhadap  lingkungan pasti akan membuat kita lebih menderita karena kelahiran  kembali pada masa mendatang bisa membuat kita mengalami  kekuatan-kekuatan hukum alam yang tak terduga seperti itu. Kita bahkan  dapat menggunakan peristiwa ini sebagai suatu pelajaran demi  keselamatan, yaitu untuk berusaha terlahir di "tempat yang sesuai"  (patiropadesavaso, dari Mangala Sutta, Ceramah Tentang Berkah), bebas dari penderitaan yang disebabkan oleh hukum-hukum alam seperti  itu.
Bencana  ini juga merupakan pengingat tepat waktu bagi kita untuk mengkaji  kembali bagaimana kita hidup, dan untuk meninjau kembali hubungan kita  dengan alam. Hukum Sebab Akibat yang Saling Bergantungan  (paticcasamuppada) menjelaskan tentang kejadian pikiran dan tubuh dalam  suatu ikatan saling interaksi dan ketergantungan. Apa yang kita  pikirkan, ucapkan, dan lakukan membawa dampak jauh melampaui keberadaan  jasmani kita ini. Jika kita mencemari tanah, dampaknya akan datang  menghantui kita melalui air yang tercemar. Jika kita mengambil sikap  selalu ingin menaklukkan alam, berpikir bahwa kepandaian kita adalah  yang paling unggul, kita harus siap-siap menghadapi konsekuensi  kemurkaan alam.
Bencana  adalah suatu pengingat bagi kita untuk kembali menyikapi kebenaran  silam akan kebersahajaan. Ini terasa benar dalam masa-masa dewasa ini,  ketika pembangunan yang berlebihan telah menyebabkan menganganya  ketidakseimbangan ekologis. Studi menunjukkan bahwa jika gosong karang  di lepas pantai Sri Lanka masih utuh, itu akan berperan sebagai  penyangga untuk mengurangi dampak ombak yang menghantam pantai.  Sepanjang pantai India, keberadaan rawa bakau telah menunjukkan dengan  jelas bahwa karya alam semacam itu dapat membantu mencegah musibah yang  lebih besar.
Hidup  bersahaja dalam masyarakat dewasa ini tidak berarti menyerah pada  kemiskinan. Hal ini berarti memiliki kemampuan dan kesadaran untuk hidup  selaras dengan alam sekitar. Itu berarti tidak merusak alam dan  menciptakan llingkungan buatan untuk memuaskan selera kita. Hidup dalam  kebersahajaan berarti saling mendorong untuk menjadi baik dan berbelas  kasih, sehingga nilai-nilai kemanusiaan mengungguli hasrat-hasrat  keduniawian.
Tatkala  dunia berduka untuk para korban, marilah kita memupuk rasa belas kasih  dan melimpahkan jasa bagi mereka yang meninggal. Kita dapat melakukan  hal ini dengan berbagai cara. Satu, kita berbuat jasa dengan kita  sendiri memberikan usaha pertolongan, sehingga kita dapat memberikan  bantuan langsung bagi mereka yang menderita. Yang kedua, kita  memancarkan energi batin positif untuk orang-orang yang meninggal agar  mereka terlahir kembali dengan lebih baik. Yang ketiga, mari kita juga  memancarkan pikiran cinta kasih untuk para relawan penolong yang pada  saat ini tengah berbuat yang terbaik untuk menyokong para korban.
Semoga  kita semua belajar untuk menjadi sadar dan lebih peka terhadap diri  kita dan alam sehingga kita dapat hidup selaras dengan alam dan semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar