KSeiring dengan perjalanan dan bertambahnya usia dunia/bumi ini, setelah banyak melahirkan dan menumbuh-kembangkan manusia-manusia yang berintelek dan berpengetahuan tinggi, yang mampu menciptakan teknologi-teknologi super canggih sehingga membawa perkembangan dan kemajuan kehidupan umat manusia. Segala kebutuhan yang bersifat materi bukan lagi menjadi suatu yang sukar untuk diperoleh. Walau dewasa ini, data kemiskinan (terutama di Indonesia) menunjukkan peningkatan angka yang serius.
Di sini nampak jelas bahwa kemajuan hidup dimotori oleh iptek selain membawa kemajuan dalam satu aspek kehidupan namun juga memiliki dampak negatif yang maha dahsyat. Sudah tidak terhitung lagi jiwa manusia yang menjadi tumbal atau korban dari canggihnya teknologi tersebut, mulai dari ideologi, paham, persepsi, pandangan, pola pikir dan landasan perilaku hidup hingga cara-cara untuk mendapatkannya. Maka tidak heran, bila kita sering menjumpai kejadian dan peristiwa seperti percekcokan, perkelahian, pertengkaran antara anak dengan orang tua, suami dengan istri, kakak dengan adik, sahabat dengan teman dan yang lebih besar lagi antara kelompok dengan golongan serta antara daerah satu dengan daerah lainnya. Itu semua disebabkan pola berpikir dan cara berpandangan hidup yang materialistis, mengganggap segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini dapat diselesaikan dengan materi. Sungguh disayangkan bila mana kita terjerat dengan paham yang keliru itu. Dan lebih tidak bijak lagi bila ia mengaku tokoh agama Buddha tapi pernyataan dan pandangannya justru tidak mencerminkan Dhamma.
Paham, pandangan dan pola pikir demikian hal ini yang menjadi sumber atau embrio lahirnya pergeseran nilai kebenaran. Karena pengertian dan pandangan salah (micchaditthi) yang menyelimuti dan mencengkeram pikiran dan kesadaran seseorang akan melahirkan pemahaman, pengertian dan penyelaman yang salah, terhadap sesuatu yang bukan kebenaran dianggap sebagai kebenaran dan yang benar dianggap salah.
Pergeseran kebenaran ini demikian halus, rapi dan sangat tersembunyi menyelinap masuk ke segala sendi-sendi dan pola hidup umat manusia. Mulai dari budaya, makanan, minuman, berpakaian, pergaulan dan prinsip-prinsip kehidupannya. Beberapa bulan yang lalu kita dihebohkan dengan kehadiran foto atau gambar pornografi dalam majalah maupun tabloid-tabloid sehingga bermunculan argumen dan pandangan-pandangan yang intinya tidak setuju dengan pola tersebut, tetapi walau begitu ada pula komentar yang mengatakan bahwa hal tersebut masih dalam kewajaran. Sesungguhnya prinsip seperti inilah yang harus dicermati dengan hati-hati, agar kita tidak terhanyut pada kesemuan dan belenggu kehidupan. Sebab bila kita lengah prinsip itu akan menjelma menjadi pemahaman dan pandangan salah terhadap nilai ketidakbenaran.
Pola pergaulan masyarakat dewasa inipun telah memasuki titik pergeseran yang cukup memprihatinkan dan memerlukan perhatian pada pemahaman akan norma, etika dan sopan santun. Sebagai contoh : Putra-putri dewasa ini, mereka menganggap dan merasa bukan sesuatu yang tabu lagi bila mana melakukan tindakan dan perbuatan antara lawan jenis walaupun mereka belum ada ikatan suami istri atau menikah. Di sinilah kita harus ekstra hati-hati jangan sampai diluluhleburkan oleh budaya dan pandangan salah. Kita harus ingat bahwasanya dalam kehidupan ini ada dua hukum yang selalu menyelimuti kita, yaitu Hukum Paññatti dan Pakati.
Hukum Pannatti adalah hukum konvensional, hukum yang berlaku karena kesepakatan bersama atau kebenaran ini dibuat atas dasar kemampuan daya serap dan pikir seseorang, dengan dalih hal itu sangat masuk akal, logika, relevan, wajar dan cocok dengan perkembangan lingkungan. Dalih atau alasan itu yang sering dijadikan tolok ukur dan patokan untuk menilai pada sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran, tanpa analisa dan penyelaman terlebih dahulu agar kita tidak dengan buru-buru menyatakan hal tersebut sebagai kebenaran. Hukum ini sangat pandai menyusup dan menjerat kita dalam kekeliruan, sebab hukum ini berubah-ubah mengikuti perkembangan jaman. Oleh karena itu kita harus hati-hati dan cepatlah berpaling pada hukum Pakati ialah hukum alamiah.
Hukum Pakati atau hukum kebenaran ini tidak berubah-ubah karena waktu, kondisi dan tempat kebenaran ini selalu berlaku untuk kapan saja, tidak termusnahkan oleh waktu dan keadaan. Oleh karena itu hendaklah kita selalu waspada dan hati-hati bila menjumpai pernyataan tentang kebenaran, jangan terlena dan terjebak dengan kesemuan. Sebagai contoh : Para pakar ilmuwan menyatakan bahwa hidup bersuami istri itu merupakan kebutuhan atau wajib. Apakah hal ini merupakan kebenaran yang sejati ? Kita perlu menelaah secara bijak apakah yang dimaksud dengan kebutuhan ? Kebutuhan adalah sesuatu yang harus ada. Misalnya makan dan minum itu harus ada sebab bila tidak ada kita akan mati tetapi lain dengan bersuami istri itu tidak akan membuat kita mati kering bila tidak bersuami istri. Berarti hal tersebut bukan merupakan kebutuhan.
Pergeseran yang sangat mencolok dalam kehidupan dewasa ini yang merupakan ekses dari kemajuan yang tidak seimbang tersebut adalah pola pikir dan prinsip hidup umat manusia. Tidak kita pungkiri bahwa kemajuan iptek yang telah membuat dunia ini indah dan gemerlapan telah mampu membius jiwa penghuninya. Sehingga manusia memuja-muja materi dan menganggap materilah satu-satunya barang termahal nilainya. Pola berpandangan seperti ini telah menjelma dan menyusup ke jiwa umat manusia dalam praktek dan aktivitas hidup sehari-harinya, sehingga nilai dari cinta kasih dan kasih sayang (Metta-Karuna), dedikasi dan kejujuran (Sacca), kesabaran (Khanti) dan penyelaman terhadap hukum kamma seakan-akan lenyap tanpa arti.
Di dalam kitab suci TiPitaka Sang Buddha berkali-kali menjelaskan tentang kekayaan, kedudukan, kejayaan dan kemuliaan serta kesempurnaan. Bahwa hal tersebut dapat diperoleh dari akibat perbuatan baik (Vipaka-Kamma) oleh karena itu, sangat disayangkan bila mana seseorang ingin memiliki kekayaan tetapi dengan cara yang salah seperti korupsi, mencuri, merampok, menipu dan lain-lainnya. Harta kekayaan yang diperoleh dengan cara yang salah itu seperti orang meminjam milik orang lain, maka jangan heran bila menemui orang yang kaya raya tiba-tiba miskin tidak punya apa-apa, karena ibarat pinjamannya sudah diambil oleh orang yang punya dan karena selama ini dia hanya pinjam dan tidak pernah berusaha sendiri, maka dia tidak memiliki apa-apa. Begitu pula dengan kedudukan tidak bisa dikejar atau dibeli, hal ini dapat diperoleh dari akibat jasa dan perbuatan baik. Bagaimana dengan orang-orang yang memiliki kedudukan dengan cara KKN atau membeli ? Hal ini seperti seseorang yang tidak pernah kuliah kedokteran tetapi pura-pura menjadi dokter. Maka orang itu bukan malah membantu menyelamatkan nyawa manusia tetapi justru membunuh manusia, sebab tidak tahu tentang penyakit dan obat-obatnya.
Seseorang yang mengejar atau mencari untuk memiliki kekayaan, kedudukan, kejayaan dan lainnya, dengan alasan agar ia hidup bahagia. Sesungguhnya orang tersebut justru menjauhi dan tidak pernah akan hidup bahagia. Sebab materi dan kedudukan adalah kekosongan (sunya), sehingga tidak dapat kita miliki dengan arti yang sebenarnya. Materi, kedudukan, suami istri, anak-anak, dan harta benda hanyalah sebagai sarana untuk melaksanakan kebaikan karena pandangan materialistis yang menyebabkan seseorang tidak dapat menyelami hakekat kehidupan yang sebenarnya. Sehingga tidak dapat melihat milik kebenaran yang sebenarnya. Maka dengan penyelaman dan penghayatan terhadap Buddha Sasana secara intensif kita dapat mengetahui nilai kebenaran sejati.
Di sini nampak jelas bahwa kemajuan hidup dimotori oleh iptek selain membawa kemajuan dalam satu aspek kehidupan namun juga memiliki dampak negatif yang maha dahsyat. Sudah tidak terhitung lagi jiwa manusia yang menjadi tumbal atau korban dari canggihnya teknologi tersebut, mulai dari ideologi, paham, persepsi, pandangan, pola pikir dan landasan perilaku hidup hingga cara-cara untuk mendapatkannya. Maka tidak heran, bila kita sering menjumpai kejadian dan peristiwa seperti percekcokan, perkelahian, pertengkaran antara anak dengan orang tua, suami dengan istri, kakak dengan adik, sahabat dengan teman dan yang lebih besar lagi antara kelompok dengan golongan serta antara daerah satu dengan daerah lainnya. Itu semua disebabkan pola berpikir dan cara berpandangan hidup yang materialistis, mengganggap segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini dapat diselesaikan dengan materi. Sungguh disayangkan bila mana kita terjerat dengan paham yang keliru itu. Dan lebih tidak bijak lagi bila ia mengaku tokoh agama Buddha tapi pernyataan dan pandangannya justru tidak mencerminkan Dhamma.
Paham, pandangan dan pola pikir demikian hal ini yang menjadi sumber atau embrio lahirnya pergeseran nilai kebenaran. Karena pengertian dan pandangan salah (micchaditthi) yang menyelimuti dan mencengkeram pikiran dan kesadaran seseorang akan melahirkan pemahaman, pengertian dan penyelaman yang salah, terhadap sesuatu yang bukan kebenaran dianggap sebagai kebenaran dan yang benar dianggap salah.
Pergeseran kebenaran ini demikian halus, rapi dan sangat tersembunyi menyelinap masuk ke segala sendi-sendi dan pola hidup umat manusia. Mulai dari budaya, makanan, minuman, berpakaian, pergaulan dan prinsip-prinsip kehidupannya. Beberapa bulan yang lalu kita dihebohkan dengan kehadiran foto atau gambar pornografi dalam majalah maupun tabloid-tabloid sehingga bermunculan argumen dan pandangan-pandangan yang intinya tidak setuju dengan pola tersebut, tetapi walau begitu ada pula komentar yang mengatakan bahwa hal tersebut masih dalam kewajaran. Sesungguhnya prinsip seperti inilah yang harus dicermati dengan hati-hati, agar kita tidak terhanyut pada kesemuan dan belenggu kehidupan. Sebab bila kita lengah prinsip itu akan menjelma menjadi pemahaman dan pandangan salah terhadap nilai ketidakbenaran.
Pola pergaulan masyarakat dewasa inipun telah memasuki titik pergeseran yang cukup memprihatinkan dan memerlukan perhatian pada pemahaman akan norma, etika dan sopan santun. Sebagai contoh : Putra-putri dewasa ini, mereka menganggap dan merasa bukan sesuatu yang tabu lagi bila mana melakukan tindakan dan perbuatan antara lawan jenis walaupun mereka belum ada ikatan suami istri atau menikah. Di sinilah kita harus ekstra hati-hati jangan sampai diluluhleburkan oleh budaya dan pandangan salah. Kita harus ingat bahwasanya dalam kehidupan ini ada dua hukum yang selalu menyelimuti kita, yaitu Hukum Paññatti dan Pakati.
Hukum Pannatti adalah hukum konvensional, hukum yang berlaku karena kesepakatan bersama atau kebenaran ini dibuat atas dasar kemampuan daya serap dan pikir seseorang, dengan dalih hal itu sangat masuk akal, logika, relevan, wajar dan cocok dengan perkembangan lingkungan. Dalih atau alasan itu yang sering dijadikan tolok ukur dan patokan untuk menilai pada sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran, tanpa analisa dan penyelaman terlebih dahulu agar kita tidak dengan buru-buru menyatakan hal tersebut sebagai kebenaran. Hukum ini sangat pandai menyusup dan menjerat kita dalam kekeliruan, sebab hukum ini berubah-ubah mengikuti perkembangan jaman. Oleh karena itu kita harus hati-hati dan cepatlah berpaling pada hukum Pakati ialah hukum alamiah.
Hukum Pakati atau hukum kebenaran ini tidak berubah-ubah karena waktu, kondisi dan tempat kebenaran ini selalu berlaku untuk kapan saja, tidak termusnahkan oleh waktu dan keadaan. Oleh karena itu hendaklah kita selalu waspada dan hati-hati bila menjumpai pernyataan tentang kebenaran, jangan terlena dan terjebak dengan kesemuan. Sebagai contoh : Para pakar ilmuwan menyatakan bahwa hidup bersuami istri itu merupakan kebutuhan atau wajib. Apakah hal ini merupakan kebenaran yang sejati ? Kita perlu menelaah secara bijak apakah yang dimaksud dengan kebutuhan ? Kebutuhan adalah sesuatu yang harus ada. Misalnya makan dan minum itu harus ada sebab bila tidak ada kita akan mati tetapi lain dengan bersuami istri itu tidak akan membuat kita mati kering bila tidak bersuami istri. Berarti hal tersebut bukan merupakan kebutuhan.
Pergeseran yang sangat mencolok dalam kehidupan dewasa ini yang merupakan ekses dari kemajuan yang tidak seimbang tersebut adalah pola pikir dan prinsip hidup umat manusia. Tidak kita pungkiri bahwa kemajuan iptek yang telah membuat dunia ini indah dan gemerlapan telah mampu membius jiwa penghuninya. Sehingga manusia memuja-muja materi dan menganggap materilah satu-satunya barang termahal nilainya. Pola berpandangan seperti ini telah menjelma dan menyusup ke jiwa umat manusia dalam praktek dan aktivitas hidup sehari-harinya, sehingga nilai dari cinta kasih dan kasih sayang (Metta-Karuna), dedikasi dan kejujuran (Sacca), kesabaran (Khanti) dan penyelaman terhadap hukum kamma seakan-akan lenyap tanpa arti.
Di dalam kitab suci TiPitaka Sang Buddha berkali-kali menjelaskan tentang kekayaan, kedudukan, kejayaan dan kemuliaan serta kesempurnaan. Bahwa hal tersebut dapat diperoleh dari akibat perbuatan baik (Vipaka-Kamma) oleh karena itu, sangat disayangkan bila mana seseorang ingin memiliki kekayaan tetapi dengan cara yang salah seperti korupsi, mencuri, merampok, menipu dan lain-lainnya. Harta kekayaan yang diperoleh dengan cara yang salah itu seperti orang meminjam milik orang lain, maka jangan heran bila menemui orang yang kaya raya tiba-tiba miskin tidak punya apa-apa, karena ibarat pinjamannya sudah diambil oleh orang yang punya dan karena selama ini dia hanya pinjam dan tidak pernah berusaha sendiri, maka dia tidak memiliki apa-apa. Begitu pula dengan kedudukan tidak bisa dikejar atau dibeli, hal ini dapat diperoleh dari akibat jasa dan perbuatan baik. Bagaimana dengan orang-orang yang memiliki kedudukan dengan cara KKN atau membeli ? Hal ini seperti seseorang yang tidak pernah kuliah kedokteran tetapi pura-pura menjadi dokter. Maka orang itu bukan malah membantu menyelamatkan nyawa manusia tetapi justru membunuh manusia, sebab tidak tahu tentang penyakit dan obat-obatnya.
Seseorang yang mengejar atau mencari untuk memiliki kekayaan, kedudukan, kejayaan dan lainnya, dengan alasan agar ia hidup bahagia. Sesungguhnya orang tersebut justru menjauhi dan tidak pernah akan hidup bahagia. Sebab materi dan kedudukan adalah kekosongan (sunya), sehingga tidak dapat kita miliki dengan arti yang sebenarnya. Materi, kedudukan, suami istri, anak-anak, dan harta benda hanyalah sebagai sarana untuk melaksanakan kebaikan karena pandangan materialistis yang menyebabkan seseorang tidak dapat menyelami hakekat kehidupan yang sebenarnya. Sehingga tidak dapat melihat milik kebenaran yang sebenarnya. Maka dengan penyelaman dan penghayatan terhadap Buddha Sasana secara intensif kita dapat mengetahui nilai kebenaran sejati.
[ Dikutip dari Berita Dhammacakka Edisi 19 September 1999 ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar