Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Sabtu, 09 Oktober 2010

Akhirnya Engkaupun Tersenyum




Akhirnya Engkaupun Tersenyum
Oleh : Bodhiratna

Malam minggu ini, aku sendirian lagi. Duduk seorang diri di teras rumahku. Malam belum begitu larut. Baru sekitar jam sepuluh. Tapi suasana sungguh sepi. Atau hatiku yang sedang sepi, pikirku. Mataku menerawang ke angkasa. Menatap indahnya bulan di saat purnama. Bulan yang indah beserta ribuan zamrud bertebaran di angkasa. Semuanya tampak begitu indah. Tapi mengapa aku tak dapat menikmati indahnya malam ini. Karena aku seorang diri. Mengapa aku harus sendiri! Mengapa ? Apakah ini sudah takdir untuk diriku ? Hehhh, entah sudah helaan yang ke berapa. Rasanya sudah ribuan kali aku menghela nafas. Pikiranku kacau.

Aku berjalan keluar. Dengan berjalan-jalan semoga pikiranku dapat tenang. Hujan turun rintik-rintik seakan ikut merasakan kepedihan hatiku. Dan itu malah menambah kepedihan hatiku. Mataku terasa panas. Tak kuasa ku menahan air mata membasahi pipiku. Aku memandang sekeliling, tak ada yang memperhatikanku. Ramai orang lalu lalang di jalan. Semua berpasangan, mereka tampak bahagia, bagaimana dengan diriku? Kuusap rambutku yang menutupi wajahku, mencoba untuk tegar. Berjalan di rintik-rintik hujan. Sambil memandang ke depan. Di ujung jalan ada bar tempat aku biasa minum-minum saat sedang ada masalah. Tak ada salahnya, pikirku. Aku masuk ke dalam. Suasananya hiruk pikuk. Aku mengambil tempat duduk di pojok. Satu gelas biasa, kataku kepada bartendernya. Tangannya yang cekatan mulai mencampur amuan-ramuan, dan gelas itu tahu-tahu sudah ada di depanku. Langsung ku teguk habis. Satu lagi, ... lagi, .... Kehangatan alkohol memenuhi tubuhku.

Tiba-tiba pundakku ditepuk seseorang. Aku menoleh, rupanya sobatku. Sudahlah Ver, kamu harus bisa merelakan kepergiannya, katanya meng-hibur. Kemudian dia duduk di sebelahku. Ingat pepatah cina, katanya, "jangan minum sendirian karena kamu akan mabuk sendirian saja, dua orang jangan berjudi karena salah satu terpaksa memakan uang yang lain, tiga orang jangan berdebat karena seorang tak tahu harus memihak kepada siapa", jadi mari saya temani kamu minum. Hehhh, dia selalu ada saat saya sedang sedih. Tak tahu apa dia memperhatikan saya atau ini semua cuma kebetulan. Tapi dia memang selalu ada disaat diperlukan. .... Tak ada yang kekal di dunia ini, katanya. Semua pasti akan selalu datang dan pergi. Inilah fenomena kehidupan. Kamu pun sudah tahu itu. Bukankah seharusnya kamu yang lebih tahu dharma daripada aku ? Mengapa kamu tak dapat merelakan kepergiannya ? Inilah kehidupan. Dan pembicaraan pun berlanjut ke hal-hal lain. Sepertinya dia berusaha membuatku lupa pada masalahku ini. Tapi aku terlalu pintar, atau dia yang terlalu bodoh, sehingga pikiranku sama sekali tidak beralih, masih pada topik semula dan aku masih saja sedih. Sampai saat pulang, dia mengatakan kepadaku, "jangan lupa nasehat-nasehatku". Dan kami pun berpisah di situ.

Saya berjalan pulang, hujan sudah reda, seperti kesedihan hatiku yang mulai reda. Ternyata cukup manjur juga bar di ujung jalan ini. Tapi saat memasuki rumah, kembali aku teringat saat dia menyambutku, betapa cerianya wajahnya setiap aku pulang, hehh, pintu depan terbuka, sedetik kemudian muncul wajah yang sudah sangat saya kenal. Wajah mama tercinta. "Masih memikirkannya ? Sudahlah Ver, terimalah kenyataan ini. Kenyataan bahwa hidup adalah dukkha. Semakin kamu terikat kepadanya, semakin pedih hatimu disaat kehilangan dirinya. Seperti ajaran Buddha Gotama, empat kebenaran mulia, kebenaran mulia tentang dukkha, kebenaran mulia tentang sumber dukkha, kebenaran mulia tentang berakhirnya dukkha, dan kebenaran mulia tentang jalan menuju lenyapnya dukkha. Dengan adanya keterikatan, maka kamu tidak akan pernah dapat lepas dari dukkha.

Bla bla bla ... Mama memang seorang buddhist yang taat, dan dapat dibilang fanatik. Sudahlah, sudah malam, besok harus bangun pagi, kan mau ke vihara, kata mama. Tidur sana. Saya pun masuk ke dalam kamar saya. Kuputar lagu sebelum tidur, sambil berbaring di ranjang. Sesaat kemudian kamar saya dipenuhi suaranya Aerosmith, I Don't Wanna Miss A Thing. ... I could stay awake just to hear you're breathing. Lagi-lagi saya tak dapat tidur, mendengar lagu ini, teringat lagi saat-saat bersamanya. Saat kami tidur bersama, saat kutatap wajahnya yang polos disaat tidur, saat ku dengar napasnya yang halus. Aku tak ingin kehilangan momen tersebut. Aku ingin seperti saat itu selamanya. Membayangkan saat-saat bersamanya, ..... Akhirnya aku tertidur juga.....

KRIINNGGG !!! Jam-ku ribut membangunkanku. Kubuka mataku, silau mentari pagi masuk lewat celah-celah kain gorden kamarku. Kulihat jam di dinding, tepat jam tujuh pagi. Aku langsung bangun. Uhh, kepalaku sedikit pening, mungkin akibat alkohol kemarin. Kemudian aku ke kamar mandi, waktu lewat di ruang makan, semua sudah menungguku sarapan. Maka aku pun bergegas. Saya lahap sarapan dalam sekejap, kemudian saya pergi bersama adik saya ke vihara. Sampai di vihara, kami memasuki ruang kebaktian. Tempat itu terasa suci, dan suasananya menenangkan hatiku. Setelah namaskara, pembacaan paritta dimulai. Sampai pada saat khotbah dari bhante. Ternyata bhante favoritku. Aku langsung menyimak yang dikatakannya. .(mencari segenggam biji lada dari keluarga yang saudaranya belum pernah meninggal).....Saat itu, saya langsung sadar, untuk apa kesedihanku selama ini ??? Untuk apa pekerjaanku terbengkalai, untuk apa itu semua!!! Tiba-tiba saya berpikir,... ya saya harus!! Saya namaskara tiga kali, kemudian langsung keluar, kutinggalkan adikku di vihara, di dalam pikiranku cuma satu, saya bertekad harus merelakan kepergiannya. Saya bawa trooper saya ke pemakamannya. Sampai di sana, saya berlutut, dan berdoa, "Marshel, anjingku yang lucu, saya sekarang sudah sadar, bahwa saya harus merelakan kepergianmu, kenangan manis bersamamu akan saya kenang selalu, semoga kamu terlahir di alam yang lebih baik". Tiba-tiba perasaan hatiku tenang, sangat tenang. Dan saya tersenyum untuk pertama kalinya sejak kepergiannya, sambil memandang anak-anak anjing di depanku bermain dan bercanda.

(Dikutip dari Berita Vimala Dharma)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar