Aku Tersesat!
Oleh: Yenny Heriana
Oleh: Yenny Heriana
Bunyi gemeretak itu mengagetkanku. Aku berteriak, melompat, dan menoleh ke belakang. Dengan segera aku membulatkan mata dan mendengarkan mencari sumber suara itu. Ah, hanya ranting pohon. Aku melangkah mendekat, memastikan bahwa itu benar-benar hanya ranting pohon, lalu tertawa sinis. “Hah! Sejak kapan kamu menjadi penakut begini, Reta? Kamu kan sudah berlindung pada Sang Triratna!” Aku mengomel sendiri, berharap yang tadi itu bisa menenangkan hatiku yang sudah hampir meledak, atau aku cuma menghibur diriku sendiri. Aku tak peduli. Aku meneruskan perjalananku, sembari mengucapkan ‘Om Mani Padme Hum’ dalam hatiku. Kuharap itu bisa membantu.
Malam semakin kelam, dan rembulan bulat penuh menggantung di langit yang sunyi. Purnama, dan indah. Namun sedikit membuatku merinding di tengah hutan cemara dalam perjalanan gila ini. Ya, gila! Gila bila kau bayangkan seorang gadis yang baru melewati dua hari setelah ulang tahunnya yang ke tujuh belas berkeliaran seorang diri, atau lebih tepatnya tersesat di tempat seperti ini, ditemani gelapnya malam.
Aku kembali menelusuri jalan setapak di depanku sambil mengingat-ingat kembali apa yang terjadi. Well, aku sedang berjalan-jalan dengan teman-teman se-vihara di… hmm, aku melihat sekelilingku. Oh My God! Aku bahkan tidak tahu tempat apa ini. Aku kembali mengedarkan pandanganku, banyak sekali pohon cemara. Ya, hutan cemara! Begitu tadi aku menyebutnya. Dan aku ditinggal begitu saja oleh Andre, Kevin, dan Mega. Aku tidak ingat bagaimana, mengapa, dan untuk apa kami di sini. Aku tidak ingat apa-apa. Yang kutahu hanyalah aku berada di sini sekarang, sendirian.
Aku berjalan terus dalam kegelapan sambil menyeret kedua tungkaiku. Terus terang aku tidak tahu ke mana jalan kecil ini akan membawaku. Yang kutahu aku merasa sangat kelelahan, pelipisku berdenyut-denyut. Tubuhku serasa membeku, 17oC, begitu perkiraanku. Seekor kelelawar terbang di depan wajahku dalam jarak 50 centimeter. Aku terperanjat sejenak. “O Mi Tho Hut” begitu saja meluncur dari mulutku.
Belum juga detak jantungku normal kembali, tiba-tiba terdengar sebuah lolongan panjang yang menyeramkan. Ah! Pasti anjing hutan, atau… Serigala?! Oh, tidak. Aku mempercepat langkahku menerobos sarang laba-laba di antara pohon-pohon cemara. Lolongan itu semakin panjang, dan terdengar semakin dekat.
Aku kini berlari, benar – benar berlari. Tidak jelas ke arah mana aku berlari, aku tak peduli, dan aku tak melihat apapun. Aku berlari sambil memejamkan mata. Kurasakan semak belukar dan ranting – ranting cemara merobek pullover orange kotak-kotak dan celana cargo biru yang melekat di tubuhku.
Sepatu ketsku terasa berat. Warnanya yang putih kini berubah menjadi kelabu, dilapisi lumpur yang tebal. Ranting-ranting pohon menusuk-nusuk tubuhku, menggores tangan kiriku hingga berdarah. Aku semakin dalam memasuki hutan. Dan ketika aku melangkahi sebuah genangan air besar, aku tergelincir. “Akhh! Aduuuhhh…” Aku terjerembab, jatuh tepat di atas genangan air itu. Aku berusaha bangkit, tapi kaki kananku terasa nyeri. Kucoba lagi untuk berdiri, dan terjatuh kembali. Beberapa kali aku mencoba namun gagal. Akhirnya aku menyerah, duduk di atas genangan air itu dan putus asa.
“Akhh….., Areta! Kali ini gawat deh kamu!” Sambil merenungi nasib, kurasakan angin malam yang dingin berhembus ke wajahku. Lolongan pun kembali terdengar. Panjang….. Belum sempat aku bereaksi, lolongan itu tiba-tiba saja lenyap. Hilang ditelan kegelapan malam. Sunyi sejenak. Namun tiba-tiba terdengar suara aneh, seperti ketukan. Tap..Tap.Tap… Ah, bukan! Itu…. itu suara langkah kaki. Seseorang,.. atau mungkin sesuatu datang mendekat. Ya,.. aku dapat merasakannya, langkah kakinya, dan.. dengusan, tepat di belakangku. ‘Deg..deg..deg…’ Aku mendengar detak jantungku sendiri, sangat keras. Aku takut seseorang, atau sesuatu itu mendengar dentuman ketakutanku yang keras. Aku berusaha bergerak, ingin berdiri. Tapi seluruh tubuhku kaku. Aku benar-benar mematung saat kurasakan desah napas makhluk itu di belakangku. Mataku membelalak, mulutku menganga, mencoba untuk menjerit, namun yang terdengar lagi-lagi detak jantungku sendiri. Kutenangkan diriku, ‘O Mi Tho Hut!’ Tenanglah,… Entah aku sedang membohongi diriku atau tidak, tapi aku merasa lebih tenang setelah kalimat itu terucap dalam hatiku. Tapi makhluk itu kini telah mencengkeram leherku, dan tiba-tiba aku merasa sekelilingku gelap, hitam, kelam, dan aku takut!
Aku, Andre, Kevin, dan Mega berjalan menyusuri setapak kecil menuju sebuah bangunan megah bergaya Cina klasik dengan sepasang ukiran naga yang menghias atapnya. Hari ini Minggu. “Reta, untung aja deh elo ngak dimangsain beneran sama monster itu,” Kevin berkomentar.
“Iya,.. padahal kita bakal merasa kehilangan lho nanti. Tapi kita janji deh kalo memang yang semalem itu kejadian, kita rela ‘sang keng’ buat elo tujuh hari tujuh malam deh, tulus!” Andre nyerocos sambil mengejekku.
“Bagong! Awas ya elo!” Yaaa,… sebenarnya aku ngak keberatan banget mereka ngerjain aku sampai gimana parahnya. Karena aku sendiri malah lega bisa melihat ketiga sobat karibku, walaupun semalam mereka meninggalkan aku sendirian di hutan cemara yang kusam dan angker itu. Iiihh… aku bergidik membayangkan kejadian semalam.
“Udah deh, kita semua wajib bersyukur lho karena sohib kita tercinta ini masih siap disaji sebagai bulan-bulanan. Eh, Reta! Ntar nyampe ke Vihara elo mesti berterima kasih pada Sang Buddha yang telah melindungimu lho,” Kali ini Mega yang bersuara.
“Iya, Gimana pun aku sendiri agak heran, kok masih sempat-sempatnya aku mengucapkan ‘O Mi Tho Hut’ segala macam di saat kejepit kayak itu. Ah, udah deh! Ngak usah ceritain lagi, ngeri aku. Huh! Benar-benar mimpi yang menyeramkan!”
Malam semakin kelam, dan rembulan bulat penuh menggantung di langit yang sunyi. Purnama, dan indah. Namun sedikit membuatku merinding di tengah hutan cemara dalam perjalanan gila ini. Ya, gila! Gila bila kau bayangkan seorang gadis yang baru melewati dua hari setelah ulang tahunnya yang ke tujuh belas berkeliaran seorang diri, atau lebih tepatnya tersesat di tempat seperti ini, ditemani gelapnya malam.
Aku kembali menelusuri jalan setapak di depanku sambil mengingat-ingat kembali apa yang terjadi. Well, aku sedang berjalan-jalan dengan teman-teman se-vihara di… hmm, aku melihat sekelilingku. Oh My God! Aku bahkan tidak tahu tempat apa ini. Aku kembali mengedarkan pandanganku, banyak sekali pohon cemara. Ya, hutan cemara! Begitu tadi aku menyebutnya. Dan aku ditinggal begitu saja oleh Andre, Kevin, dan Mega. Aku tidak ingat bagaimana, mengapa, dan untuk apa kami di sini. Aku tidak ingat apa-apa. Yang kutahu hanyalah aku berada di sini sekarang, sendirian.
Aku berjalan terus dalam kegelapan sambil menyeret kedua tungkaiku. Terus terang aku tidak tahu ke mana jalan kecil ini akan membawaku. Yang kutahu aku merasa sangat kelelahan, pelipisku berdenyut-denyut. Tubuhku serasa membeku, 17oC, begitu perkiraanku. Seekor kelelawar terbang di depan wajahku dalam jarak 50 centimeter. Aku terperanjat sejenak. “O Mi Tho Hut” begitu saja meluncur dari mulutku.
Belum juga detak jantungku normal kembali, tiba-tiba terdengar sebuah lolongan panjang yang menyeramkan. Ah! Pasti anjing hutan, atau… Serigala?! Oh, tidak. Aku mempercepat langkahku menerobos sarang laba-laba di antara pohon-pohon cemara. Lolongan itu semakin panjang, dan terdengar semakin dekat.
Aku kini berlari, benar – benar berlari. Tidak jelas ke arah mana aku berlari, aku tak peduli, dan aku tak melihat apapun. Aku berlari sambil memejamkan mata. Kurasakan semak belukar dan ranting – ranting cemara merobek pullover orange kotak-kotak dan celana cargo biru yang melekat di tubuhku.
Sepatu ketsku terasa berat. Warnanya yang putih kini berubah menjadi kelabu, dilapisi lumpur yang tebal. Ranting-ranting pohon menusuk-nusuk tubuhku, menggores tangan kiriku hingga berdarah. Aku semakin dalam memasuki hutan. Dan ketika aku melangkahi sebuah genangan air besar, aku tergelincir. “Akhh! Aduuuhhh…” Aku terjerembab, jatuh tepat di atas genangan air itu. Aku berusaha bangkit, tapi kaki kananku terasa nyeri. Kucoba lagi untuk berdiri, dan terjatuh kembali. Beberapa kali aku mencoba namun gagal. Akhirnya aku menyerah, duduk di atas genangan air itu dan putus asa.
“Akhh….., Areta! Kali ini gawat deh kamu!” Sambil merenungi nasib, kurasakan angin malam yang dingin berhembus ke wajahku. Lolongan pun kembali terdengar. Panjang….. Belum sempat aku bereaksi, lolongan itu tiba-tiba saja lenyap. Hilang ditelan kegelapan malam. Sunyi sejenak. Namun tiba-tiba terdengar suara aneh, seperti ketukan. Tap..Tap.Tap… Ah, bukan! Itu…. itu suara langkah kaki. Seseorang,.. atau mungkin sesuatu datang mendekat. Ya,.. aku dapat merasakannya, langkah kakinya, dan.. dengusan, tepat di belakangku. ‘Deg..deg..deg…’ Aku mendengar detak jantungku sendiri, sangat keras. Aku takut seseorang, atau sesuatu itu mendengar dentuman ketakutanku yang keras. Aku berusaha bergerak, ingin berdiri. Tapi seluruh tubuhku kaku. Aku benar-benar mematung saat kurasakan desah napas makhluk itu di belakangku. Mataku membelalak, mulutku menganga, mencoba untuk menjerit, namun yang terdengar lagi-lagi detak jantungku sendiri. Kutenangkan diriku, ‘O Mi Tho Hut!’ Tenanglah,… Entah aku sedang membohongi diriku atau tidak, tapi aku merasa lebih tenang setelah kalimat itu terucap dalam hatiku. Tapi makhluk itu kini telah mencengkeram leherku, dan tiba-tiba aku merasa sekelilingku gelap, hitam, kelam, dan aku takut!
Aku, Andre, Kevin, dan Mega berjalan menyusuri setapak kecil menuju sebuah bangunan megah bergaya Cina klasik dengan sepasang ukiran naga yang menghias atapnya. Hari ini Minggu. “Reta, untung aja deh elo ngak dimangsain beneran sama monster itu,” Kevin berkomentar.
“Iya,.. padahal kita bakal merasa kehilangan lho nanti. Tapi kita janji deh kalo memang yang semalem itu kejadian, kita rela ‘sang keng’ buat elo tujuh hari tujuh malam deh, tulus!” Andre nyerocos sambil mengejekku.
“Bagong! Awas ya elo!” Yaaa,… sebenarnya aku ngak keberatan banget mereka ngerjain aku sampai gimana parahnya. Karena aku sendiri malah lega bisa melihat ketiga sobat karibku, walaupun semalam mereka meninggalkan aku sendirian di hutan cemara yang kusam dan angker itu. Iiihh… aku bergidik membayangkan kejadian semalam.
“Udah deh, kita semua wajib bersyukur lho karena sohib kita tercinta ini masih siap disaji sebagai bulan-bulanan. Eh, Reta! Ntar nyampe ke Vihara elo mesti berterima kasih pada Sang Buddha yang telah melindungimu lho,” Kali ini Mega yang bersuara.
“Iya, Gimana pun aku sendiri agak heran, kok masih sempat-sempatnya aku mengucapkan ‘O Mi Tho Hut’ segala macam di saat kejepit kayak itu. Ah, udah deh! Ngak usah ceritain lagi, ngeri aku. Huh! Benar-benar mimpi yang menyeramkan!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar