Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Senin, 23 Agustus 2010

Kebaktian Dan Manfaatnya

Kebaktian Dan Manfaatnya
Oleh: UP. Dharma Mitra (Peter Lim)


Salah satu dari sepuluh perbuatan baik, yang di ajarkan oleh Sang Buddha adalah Veyyavaca (Berbhakti kepada nusa,bangsa dan agama. Berbhakti kepada nusa dan bangsa, dalam hal ini adalah turut melindungi, membela, mempertahankan dan memperjuangkan kemakmuran, demi nusa dan bangsa. Salah satu wujud nyata dari kontribusi kemakmuran demi nusa dan bangsa adalah dengan membayar pajak yang sejujurnya.

Didalam kitab suci Anguttara Nikaya III : 45, Sang Buddha menyabdakan : "Dengan harta kekayaan yang telah dikumpulkan dengan bersemangat, dengan cara yang sah dan tanpa kekerasan, seseorang dapat membuat dirinya bahagia, orang tuanya, istri dan anak anaknya, pelayan, bawahannya dan orang-orang lain juga bahagia dapat mempertahankan kekayaanya memberikan hadiah kepada sanak keluarga, tamu-tamu, arwah para leluhur dan para dewa. Membayar pajak dan memberikan persembahan kepada orang suci, untuk mengumpulkan pahala...."

Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, sudah seharusnya kita berbhakti kepada nusa dan bangsa. Coba direnungkan barang sejenak, apakah yang bakal terjadi, jika seandainya kita hidup di dalam kekacauan, kerusuhan, ketidakdamaian dan kekerasan…..? Pasti sungguh menderita sekali akibatnya. Tanpa adanya bhakti yang mendalam terhadap nusa dan bangsa maka sifat memiliki (self of belongings) untuk melindungi, menjaga dan mempertahankan nusa dan bangsa, akan sirna segera. Jika kondisi ini sampai terjadi, maka penderitaan yang berkepanjanganlah, yang akan dirasakan.

Dan bagaimana pula, jika kita sebagai suatu individu yang beragama….? Tanpa adanya bhakti yang mendalam terhadap agama yang dianut maka sampai kapanpun, yang namanya kebahagiaan adalah bagaikan angan angan, yang berada di angkasa luar. Salah satu wujud bhakti umat Buddha, terhadap ajaran luhur Sang Buddha adalah dengan mau ikut berpartisipasi aktif, disetiap aktivitas Vihara/Cetiya, baik di hari-hari besar agama Buddha, maupun disetiap hari uposatha (kebhaktian). Umumnya, kita baru mau melaksanakan puja bhakti (kebhaktian) jika ada masalah-masalah yang tidak terpecahkan,tertimpa musibah, ingin mendapatkan berkahan ini dan itu, minta murah rezeki/umur yang panjang atau hanya sekedar formalitas, agar tidak dikatakan "atheis : tidak beragama". Jika dikarenakan oleh kondisi ini, kita baru mau ke Vihara/Cetiya, akan adakah manfaatnya…..? Sudah pasti tidak. Ini bisa diibaratkan dengan, setelah kehujanan (basah), baru menyediakan payung. Sebelum sakit, kesehatan tidak dijaga dengan baik, setelah sakit baru kedokter. Bukankah ini suatu hal yg sudah terlambat…? Singkatnya, jika ada masalah, Sang Buddha teringat tetapi jika lagi senang, Sang Buddha terlupakan. Inilah salah satu contoh dari :" moha : kebodohan".

Salah satu faktor yang menyebabkan, sampai timbulnya keengganan untuk mau ke Vihara/Cetiya, mungkin saja karena tidak dimilikinya pengertian yang baik, akan manfaat manfaat dari ke Vihara/Cetiaya. Sehingga timbul suatu pandangan salah, yang menyatakan bahwa ke Vihara/Cetiya itu, hanyalah membuang buang uang, waktu, tenaga dan perasaan (dicela atau disepelekan) saja. Apakah benar adanya bahwa ke Vihara/Cetiya, tiada manfaatnya sama sekali……? Nach, untuk lebih jelasnya, akan ada tidaknya manfaat manfaat ke Vihara/Cetiaya, marilah kita renungkan sesaat, uraian yang tertera dibawah ini. Kalau kita memiliki keseriusan dan keyakinan yang mendalam, di dalam pelaksanaan kebhaktian maka secara tidak langsung kita telah :

  1. Mengikis ke AKU an melalui pelaksanaan NAMASKARA.

    Pada dasarnya, kita ini termasuk manusia yang sombong dan angkuh. Mau tahu bukti nya…..? Disaat kita photo bersama dan setelah hasilnya didapatkan. Gambar siapakah yang pertama sekali dilihat…..? Pasti diri sendiri ! Mengapa bukan orang lain….? Inilah salah satu contoh dari ke Aku an. Contoh yang lainnya adalah apakah reaksi yang bakal timbul jika dikatakan cantik dan menawan…..?

    Pasti, bangganya luar biasa atau lupa diri barang sejenak. Dan bisa saja merasakan, seakan akan berada di angkasa, bagaikan burung yang terbang melayang layang kesana-kemari. Coba kalau kondisi sebaliknya yang terjadi, misalnya dikatakan jelek, jorok, menjengkelkan, kampungan, tidak bermoral dan membosankan. Reaksi apakah yang bakal timbul….? Pasti kesedihan yang berkepanjangan, bisa saja dicurahkan dalam wujud tangisan atau ratapan, yang ber episode lamanya. Baginya, hidup ini tiada artinya sama sekali. Makan tidak enak, tidur tidak nyenyak dan pikiranpun serba ruwet.

    Ini adalah kondisi kondisi yang umumnya, membelenggu bathin kita. Kalau di puji, gembiranya luara bisa, dan bisa saja sampai lupa daratan tetapi jika dicela, sedihnya pun tak terkirakan, baginya hidup ini, tidaklah berarti lagi. Ciri khas orang orang yang ke Aku an nya sangat menonjol adalah sedih dikala dicela dan gembira (bangga) kalau dipuji. Sang Buddha menyabdakan : "Bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai, demikian pula para bijaksana, tidak akan terpengaruh oleh celaan maupun pujian….."

    Jadi, bisa disimpulkan bahwa ke AKU an yang sangat menonjol, tidaklah berbeda dengan Si bodoh. Bodoh dalam hal ini adalah gampang (mudah) diombang ambing dan dipengaruhi, untuk mau melakukan perbuatan perbuatan, apapun juga. Selanjutnya, bagaimana caranya agar kita bisa menekan/mengurangi ke AKU an di Vihara/Cetiya…..? Caranya yaitu melalui pelaksanaan Namaskara (berlutut dan bersujud) sebanyak tiga kali, dihadapan Buddha rupang (Arca/patung Nya, Sang Buddha). Dalam hal ini, apakah kita menyembah-nyembah patung…? Pasti tidak ! Sang Buddha saja tidak kita sembah, apalagi patung Nya. Makna dari namaskara, merupakan salah satu wujud dari penghormatan dan rasa terima kasih kita, atas jasa jasa luhur Sang Buddha. Sikap namaskara, dalam hal ini, tidaklah difokuskan untuk menyembah nyembah patung. Semasa hidup Nya, Sang Buddha tidak pernah memperkenankan umat Nya, untuk menyembah nyembah beliau. Disetiap sabda Nya, Sang Buddha selalu menekankan bahwa cara penghormatan yang benar terhadap beliau adalah dengan melaksanakan Dharma (kebenaran) di dalam kehidupan yang nyata.

    Jadi adalah suatu anggapan yang salah dan fatal sekali, jika mengatakan bahwa umat Buddha menyembah-nyembah patung, di setiap kali kebhaktian. Sikap Namaskara/penghormatan umat Buddha di hadapan altar suci Sang Buddha, sama halnya dengan penghormatan, yang kita arahkan kepada bendera Merah Putih, yang merupakan lambang persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia. Umat Buddha menghormati dan menghargai bendera Merah Putih, juga atas dasar wujud terima kasih atas pengorbanan dan perjuangan para pahlawan terdahulu, dan demikan juga halnya dengan patungnya Sang Buddha. Pada waktu kita bernamaskara dihadapan altar suci Sang Buddha, disanalah kita merenungkan kembali, apalah artinya diriku ini jika tanpa bimbingan dan tuntunan Dharma (ajaran Nya Sang Buddha) Dari segi keagungan, aku sama sekali tiada artinya dibandingkan Sang Buddha, hidupku selalu terbelenggu oleh nafsu nafsu keduniawian, ingin makan yang enak, rumah yang indah, istri/suami yang cantik/gagah, ingin ini dan itu…akhirnya kabut avijja (ketidak tahuan) semakin tebal menyelimuti diriku…. Hanya, Sang Buddhalah yang bisa menerangi diriku agar terlepas dari "dukkha : derita" yang mendalam ini. Dengan selalu mengadakan perenungan perenungan ini, maka tanpa disadari, kita telah belajar menekan ke AKU an, yang begitu kentalnya, melekat di hati sanubari. Itulah salah satu manfaat yang di peroleh di Vihara/Cetiya.

  2. Mendapat perlindungan melalui pembacaan PARITTA/MANTRAM suci.

    Setelah kita ber namaskara (berlutut dan bersujud), tahapan selanjutnya adalah kita ikut serta di dalam penglafalan/pengumandangan Paritta Paritta/Mantram Mantram atau Sutra Sutra suci. Secara garis besarnya, Paritta berarti perlindungan. Kalau kita menglafalkan Paritta dengan penuh ketenangan dan konsentrasi serta memancarkan getaran getaran cinta kasih, ke segala penjuru demi kebahagiaan semua makhluk. Maka dalam hal ini, kita telah membuat suatu perlindungan yang sejati, baik melalui pikiran, ucapan maupun tindakan badan jasmani. Pembacaan Paritta Paritta/Mantram Mantram suci, akan bisa meredakan dan menghilangkan sifat negatif dari diri kita, misalnya : membenci, serakah maupun irihati.

    Dan semua isi dari Paritta Paritta/Mantram Mantram suci, hanya berpondasikan pada cinta kasih dan kasih sayang, untuk semua makhluk hidup, tanpa diboncengi oleh unsur diskriminasi. Dengan berhasilnya kita mengakhiri sifat-sifat jahat, maka kehidupan ini akan senantiasa dipenuhi oleh perbuatan-perbuatan baik.Terhindari dari perbuatan perbuatan jahat, sama artinya, hidup dengan penuh kedamaian dan ketentraman. Hidup yang dipenuhi oleh kedamaian dan ketentraman, akan mencegah tercetusnya karma karma jelek.

  3. Keterangan pikiran melalui MEDITASI (Pengkonsentras-an / Pengontrolan Pikiran).

    Umumnya, disetiap kali kebhaktian di Vihara/Cetiya, setelah mengumamdangkan Paritta Paritta /Mantram Mantram suci, akan dilanjutkan dengan pelaksanaan "Metta Bhavana : Meditasi Cinta Kasih . Ditahapan ini, kita dilatih untuk mengkonsentrasikan pikiran pada hal hal yang baik, setelah itu dipancarkan kembali ke segala penjuru, baik kepada kedua orang tua yang dicintai, saudara/ri sedharma, semua manusia, dan semua makhluk (hewan), baik yang terlihat maupun tidak terlihat (misalnya : setan), dengan hanya satu doa dan pengharapan yang tulus ""Semoga semua makhluk hidup, hendaknya senantiasa hidup di dalam kedamaian,ketentraman dan kebahagiaan " Adanya kemampuan untuk mengkonsentrasikan pikiran ke hal-hal yang baik, merupakan kunci utama bagi diri kita agar terbebaskan dari lingkaran derita. Orang yang memiliki ketenangan pikiran, tidak akan pernah merasa kecewa, frustasi, stress ataupun minder.
    Sang Buddha menyabdakan bahwa pikiran sangatlah dominan, menentukan bahagia tidaknya kehidupan kita ini. Di dalam kitab suci Dhammapada Citta Vagga III : 39, Sang Buddha bersabda : " Orang yang pikirannnya teguh, yang tiada tergoyahkan oleh nafsunya, yang tidak terangsang oleh kebencian, akan dapat mengatasi segala macam kejahatan dan kebaikan. Orang yang ulet dan sadar seperti itu, tiada lagi ketakutan yang akan menimpanya……." Itulah manfaat besar dari pelaksanaan meditasi yang benar dan baik, baik di Vihara maupun Cetiya. Manfaat-manfaat lain atas kemampuan meditasi, sebenarnya cukup banyak. Tetapi yang terpenting adalah orang yang mampu bermeditasi, tidak akan bisa di pengaruhi oleh orang-orang bodoh (hidup selalu diliputi oleh penderitaan karena ketidak-mampuan, membedakan mana yang baik dan salah), untuk mau melakukan perbuatan perbuatan tercela. Hidupnya akan senantiasa stabil dan tak tergoncangkan, baik ditimpa kemalangan maupun meraih kebahagiaan.

  4. Bertambah kebijaksanaan setelah DHARMASAVANA (mendengarkan khotbah Dharma)

    Kebhaktian yang lengkap adalah selain adanya pembacaan Paritta Paritta atau Mantram Mantram suci dan meditasi, juga diisi dengan dharmasavana (Pembabaran Dharma atau penguraian ajaran ajaran luhur Sang Buddha). Ada empat manfaat yang bisa dipetik, disaat mendengarkan kotbah dharma. Pertama disebut dengan Assutam Sunati.

    Dapat mendengar dharma, yang sebelumnya belum tahu. Disini, terbukalah mata bathin kita bahwa yang dimaksud dengan dharma (kebenaran) adalah ini dan Adharma (bukan kebenaran)adalah itu. Dengan dimilikinya pengetahuan akan inilah kebenaran dan itulah ketidakbenaran, maka peluang untuk terjerumus ke liang dukkha (derita), persentasenya adalah nol koma nol nol nol persen. Disaat ini, kita sudah tahu, mana yang seharusnya di hindari dan mana yang seharusnya dilaksanakan, apa yang di maksud dengan perbuatan baik dan jahat, serta mana yang salah dan mana yang benar.

    Kedua disebut denganSuttam Pariyodapati. Setelah mengerti dharma (kebenaran) yang telah didengar maka kesalahpahaman yang terjadi selama ini, akan tersirnakan segera. Sebelumnya, mungkin saja kita beranggapan bahwa ke Vihara/Cetiya, tiadalah manfaatnya sama sekali, tetapi setelah dimilikinya pengertian benar ini, maka anggapan atau pandangan salah tersebut, sirnalah sudah. Dalam hal ini, dengan dimilikinya pengertian benar ini, juga akan memotivasi diri kita agar semakin giat dan ulet, di dalam penimbunan penimbunankebajikan.

    Ketiga disebut dengan Kankham vihanati.Di tahapan ini, keragu-raguan akan kebenaran Dharma, telah berhasil disingkirkan. Dalam hal ini, belenggu bathin (keragu-raguan) akan kebenaran Dharma, sudah terhapuskan sehingga setiap pikiran, ucapan maupun tindakan badan jasmani, telah terfilter dengan baik. Kita tak akan pernah kecewa, sedih ataupun sakit hati, seandainya dicela ataupun tidak di hargai. Mengapa..? Karena kita telah menyadari dengan baik bahwa kondisi apapun yg terjadi, tidaklah terlepas dari pada karma, yang sudah seharusnya diterima.

    Keempat disebut dengan Ditthim Ujum Karoti. Ditahapan ini, kita telah memiliki pandangan hidup yang benar. Dengan dimilikinya pandangan hidup yang benar, maka kita akan mampu melihat segala sesuatu, atas dasar apa adanya. Dan disaat memutuskan suatu prihal, tanpa lagi diboncengi oleh unsur kemelekatan. Dalam hal ini, kebijaksanaan sudah mulai meningkat. Hidup pun akan semakin semangat dan tidak akan pernah terpengaruh oleh hasutan maupun gosipan. Kelima disebut dengan Cittamassa Pasidati. Di tahapan ini, pikiran sudah terbersihkan dari kekotoran bathin. Kalau pikiran sudah terkontrol dengan baik maka segala tindakan maupun perbuatannya, tidak akan pernah lagi, menimbulkan penyesalan maupun penderitaan, bagi makhluk manapun yang ada di sekitarnya.

    Sang Buddha menyabdakan : " Orang yang dapat menghayati Dharma, hidupnya berbahagia, pikirannya selalu tenang dan seimbang. Seperti halnya orang bijaksana, yang selalu gembira dalam menghayati Dharma, yang di babarkan oleh para Ariya".

  5. Bebas dari kemelekatan (keserakahan) melalui DANA PARAMITA.

    Didalam kitab suci Dhammapada Tanha Vagga XXIV : 338, Sang Buddha menyabdakan : "Sebatang pohon yang telah di tebang, masih akan dapat tumbuh dan bersemi lagi, apabila akar-akarnya masih kuat dan tidak di hancurkan. Begitu pula selama akar nafsu keinginan tidak dihancurkan maka penderitaan, akan tumbuh berulang kali". Dengan adanya pelaksanaan Dana Paramita (beramal) di Vihara/Cetiya, kita diajarkan untuk melepaskan kemelekatan, yang terdapat pada diri kita. Kemelekatan akan keduniawian ini jika sedikit demi sedikit dilatih atau dikikis, melalui pelaksanaan dana paramita maka akhirnya, kehidupan ini akan terbebas dari belenggu keserakahan. Adanya kemampuan untuk mau berdana dengan benar, tanpa paksaan serta ikhlas, secara tidak langsung, kita sudah menekan lobha (keserakahan) yang selama ini, membelenggu bathin kita. Orang yang telah terlepas dari belenggu (kemelekatan) duniawi, akan mampu (bisa) menikmati kehidupan ini dengan penuh kebahagiaan.

Kesimpulan :

Dengan demikian, secara garis besarnya, terdapat lima manfaat yang bisa raih, jika kita rutin di dalam pelaksanaan kebhaktian. Manfaat manfaat tersebut adalah:

  1. Mengikis ke AKU an melalui pelaksanaan namaskara. Ditahapan ini, kita diajarkan untuk senantiasa rendah hati, tidak angkuh/sombong, serta memiliki keluhuran budi. Orang yang tidak sombong/angkuh akan selalu di cintai dan di hargai, di manapun dia berada. Hidupnya akan selalu terlindung, akibat dari kemuliaan sifat yang dimiliki.

  2. Mendapatkan perlindungan sejati, melalui penglafalan Paritta Paritta/Mantram Mantram suci.

  3. Pikiran menjadi tenang dan terkontrol dengan baik melalui pelaksanaan meditasi. Pikiran yang terkontrol dengan baik, tidak akan bisa tercemari oleh niat niat jahat. Terbebaskan dari niat niat jahat, itulah kebahagiaan yang sesungguhnya.

  4. Kebijaksanaan akan meningkat, melalui rutinnya mendengar dharma (dhammasavana). Orang bijaksana di dalam tutur kata maupun tindakannya, tidaklah akan menimbulkan kerugian maupun penderitaan, bagi siapapun juga. Dia bagaikan pelita yang menerangi kegelapan.

  5. Bebas dari kemelekatan, melalui pelaksanaan dana paramita. Orang yg bebas dari unsur kemelekatan, tidak akan frustasi atau kecewa, dikala tertimpah musibah maupun kemalangan. Kemelekatan akan apapun juga, itulah pencetus timbulnya dukkha (derita) yang sesungguhnya.

Semoga dengan adanya penjelasan yang singkat ini, keyakinan kita untuk mau melaksanakan kebhaktian, akan semakin teguh dan baik. Kebhaktian bukan lagi didasarkan pada pamrih akan ini dan itu, atau karena takut diberikan sanksi oleh guru agamanya (bagi murid murid sekolah). Kebhaktian dalam hal ini, sudah merupakan sesuatu yg disenangi dan dijadikan prioritas utama. "SEMOGA DENGAN DIKETAHUINYA MANFAAT-MANFAAT KEBHAKTIAN DAN BERKAHNYA INI, SEMBOYAN LIBUR SEKOLAH, LIBUR PULA KEBHAKTIAN, ATAU JIKA ADA WAKTU, BARULAH KEBHAKTIAN, SUDAH TIDAK DIJUMPAI LAGI ".

Ingatlah selalu bahwa tanpa adanya penanaman bibit kebajikan maka yang namanya kebahagiaan, tidaklah akan pernah dirasakan! "Sabbe satta sabbadukkha pamuccantu-Sabbe satta bhavantu sukhitata : Semoga semua makhluk terbebaskan dari derita dan semoga semuanya senantiasa berbahagia…. Sa-dhu…..Sa-dhu…..Sa-dhu…..

Kebenaran Mulia

Kebenaran Mulia
Oleh: Yang Mulia Bhikkhu Jinnadhammo Mahathera


Kebenaran Mulai tentang Kehidupan Berkeluarga

Banyak orang sering mengatakan bahwa agama Buddha tidak menyenangkan karena terus menerus mengajarkan tentang penderitaan makhluk hidup. Akibatnya mereka merasakan tertekan, dan tidak memperileh suka cita dari mendengarkan dharma, mereka merasa seolah-olah penderitaan dan ketidakpuasanm yagn dibicarakan itu justru menjadi kekuatan yang bergabung dengan penderitaan dan ketidakpuasan yagn sudah ada di dalam diri mereka. sehingga mereka selalu merasa sedih dan patah semangat. Bukan hanya itu saja. Ajaran-ajaran dasar Sang buddha - Empat kebenaran mulia (ariya sacca) dimulai dengan penderitaan sebagai tema ajarannya. Hal ini jaub lebih banyak diajarkan dibanding hal-hal lain. Seolah-olah Sang Buddha justru mengusik orang-orang yang karena takut pada penderitaan datang mencario perlindungan pada dhamma, tetapi sebagai akibatnya, mereka malahan lari menjauh dari dhamma. Mereka tidak ingin duduk dan mendengarkan siapapun yang berbicara tentang penderitaan dan ketidakpuasan. Pernyataan demikian itu sebenarnya menunjukkan bahwa mereka belum memiliki pelatihan agama yang cukup untuk memahami tujuan-tujuan sejati agama Buddha yang mereka anut. Fakta bahwa Sang Buddha mengajarkan tentang penderitaan itu sepenihnya sejalan dengan hal-hal sebagaimana adanya. Itu sesuai dengan nama "Kebenaran Mulia". Kebenaran ini merupakan prinsip-prinsip dasar Agama Buddha. Kebenaran ini sangatlah benar. Sang Buddha adalah orang yang benar-benar tahu. itulah sebabnya beliau beliay dapat menunjukkan kekurangan dan cacat makhluk hidup karena pada dasarnya semua penderitaan yang kita alami disebabkan oleh kekurangan-kekurangan tersebut.

Misalnya saja tubuh kita terserang penyakit, ini menunjukkan bahwa ada kekurangan di dalam tubuh. Jika setiap bagian tubuh sepenuhnya fit dan sehat tidak akan adea rasa sakit dan penderitaan yang muncul. Hal ini menjadi jelas bila anda melihat pada pasean dengan berbagai penyakit yang memenuhi rumah sakit untuk diperiksa dan diobati. Mereka semua tanpa kecuali memiliki kekurangan di dalam tubuh. Mereka tidak sepenuhnya sehat. Apa yang dilakukan para dokter sewaktu melakukan pemeriksanaan dan memberikan obat? Mereka memeriksa untuk mencari kekurangan di dalam diri pasien, dan memberikan obat untuk menutup kekurangan itu. Jika obatnya manjur untuk penyakit itu, gejala-gejala aklan mereda dan pasean mulai lebih sehat. Dengan alat yang cocok, penyakit akan lenyap. Penderitaan terhenti, itulah akhir dari masalah.

Dengan kebijaksanaan, Sang Buddha mengajarkan kita agar tidak menangani ketidakpuasan dan penderitaan yang sebenarnya hanyalah dampak saja, Sang Buddha mengajar kita agar menangani penyebabnya, menangani kekurangan-kekurangan yang menimbulkan dampak itu. Kekurangan-kekurangan ini disebut "Samudaya", yang berarti asal mula penderitaan. Jika sebab-sebab itu berhenti, dengan sendirinya dampaknya pun terhenti juga. Sebelum menjelaskan hal lain, Sang Buddha mulai dengan penderitaan untuk menekan bukti yang mengokohkan kebenaran itu. Dengan begitu, kita dapat mencari penyebabnya dan membetulkannya dengan cara yang benar. Sama seperti pilisi harus menggunakan barang-barang curian sebagai bukti utama menelusuri dan menangkap pencurinya.

Bila anda tidak bekerja cukup untuk bisa menopang kebutuhan keluarga, sudah pasti akan tumbul masalah dan penderitaan didalam keluarga. Kebenaran yang sama berlaku juga bagi semua manusia dan semua makhluk hidup lain. Jika kebutuhan-kebutuhan mereka sepenuhnya terpenuhi, tidak banyak penderitaan didalam keluarga. Dan jika kebutuhan-kebutuhan mereka tidak terpenuhi, maka suami istri yang tadinya saling amat mencintai dapat mulai saling amat membenci dan kemudian berpisah. Hal ini dapat muncul dari kekurangan nafkah dan juga muncul dibidang-bidang lain. Penderitaan bisa muncul di dalam keluarga karena tidak cukupnya penghasilan untuk memenuhi berbagai kebutuhan atau mungkin ada yang tidak merasa kecukupan dapat muncul karena kurangnya intelegensi dalam mencari nafkah sehingga tidak mampu bersaing, karena kesehatan yang buruk, karena kemalasan kronis dan kebodohan batun yang dibarengi dengan sifat boros menghambur-hamburkan uang di luar kemampuan, karena dikuasai nafsu sex sehingga melupakan kelaurga dan tanggung jawabnya serta banyak lagi

Kekurangan-kekurangan ini disebut samudaya, asal mula penderitaan. Dimana pun salah satu kekurangan ini menonjol, penderitaan yang mengikutinya juga menonjol. Dimanapun kita kekurangan, disitulah penderitaan yang mengikutinya juga menonjol. Dimanapun kita kekurangan, disitulah penderitaan akan timbul. Inilah sebabnya Sang Buddha mengajarkan pada kita agar tidak malasa atau menyia-nyiakan kehidupan. Sang Buddha mengajarkan agar kita bekerja keras dan tidak mudah putus asa, agar kita menabung hasil kerja dan menggunakan hanya untuk hal-hal yang perlu sehingga kita dapat terhindar dari penderitaan. Beliau juga mengajarkan pada kita bagaimana cara menghapuskan penderitaan di dalam keluarga yang disebabkan kemalasan, dengan menggunakan jalan atau komitmen yang kokoh didalam mencari nafkah. Dengan demikia, kita dapat mencapai akhir penderitaan didalam keluarga, masyarakat, dan sebagainya. Tujuannya adalah agar setiap keluarga dan komunitas sosial dapat memenuhi kebahagiaan. Sang Buddha mengajar kita untuk tidak berleha-leha berpangku tangan tanpa berupaya mencari pekerjaan yagn dapat dilakukan. Beliau juga tidak mengajar kita untuk berbaring memelek penderitaan karena tidak ada makanan atau alat yang bisa digunaikan. Beliau tidak mengajar kita untuk duduk termenung, terperangkap dalam penderitaan tanpa mencari jalan keluar. Sebaliknya, semua kebenaran mulai yang diajarkan dimaksudkan membebaskan makhluk hidup dari penderitaan. Tidak ada satupun dari kebenaran mulai itu yang mengajarkan kita untuk membiarkan penderitana mengurung hidup kita. Sang Buddha mengajarkan kebenaran-kebenaran kepada para bhikkhu dan pada orang awam, dengan pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan para pendengarnya. Tapi didalam analisa terakhir, Sang Buddha mengajarkan kebenaran mulai itu sehingga orang-orang bisa menjadi cukup bijaksana untuk membebaskan diri dari penderitaan, baik pada tingkat eksternal yaitu keluarga, masyarakat, tempat kerja, maupun pada tingkat internal, yaitu penderitaan yang muncul terutama dalam hati. Rintangan-rintangan yang membuat kita tidak dapat bersaing dalam mencukupi diri sendiri sebenarnya disebabkan oleh ide yang kita anggap mengikuti zaman. "Tetapi mengikuti zmaan" disini justri berarti ikut hanyut dalam menimbulkan asal mula penderitaan. Kita mengikuti pandangan bahwa kita dapat ikut selamat dengan penghasilan yang kecil dan pengeluaran yang besar. Padahal, jika kita mengikuti jalan yang ditunjukkan oleh kebenaran mulia itu, penghasilan kita tentu akan bertambah hari demi hari. Perilaku kita akan tahu batas, pengeluaran kita akan sesuai dengan posisi kita, kecenderungan untuk boros berpendapat bahwa kita harus beli, beli, dan beli....., akan mulai memiliki prinsip pengendalian. Maka penghasilan kita yang berapapun jumlahnya akan memiliki kesempatan untuk ada bersama kita sejenak, tidak langsung pergi. Kita akan mulai menyadari bahwa nafsu bersaing dalam hal membeli ini./itu hanyalah jalan menuju kehancuran. Nafsu ini menghancurkan harta eksternal dan juga kebiasaan kebiasaan baik kita, yang sesungguhnya merupakan harta yang jauh lebih penting daripada kekayaan apapun didunia ini. Jika kebiasaan kebiasaan yang baik ini menjadi rusak karena kurangnya pemikiran terhadap masa kini dan masa depan, sama sekali kita tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk membentuk diri kita sendiri.

Ada orang orang yang tidak menelantarkan kebiasan kebiasaan baik dan berusaha untuk menelaah pikiran pikiran mereka sehingga tetap berada dalam batas batas keluhuran moral yang agung dan baik. Mereka ini pasti akan bersinar baik di masa kini maupun di masa depan, karena kebiasaan kebiasaan baik merupakan dasar segala harta. Ada syarat agar harta anda ini bisa bertahan. Kekayaan itu harus bergantung pada prinsip-prinsip dasar yang baik didalam hati, prinsip dasar yang bajik dan kokohm yang tidak mudah digoyangkan oleh pengaruh pengaruh luar. Kita harus memiliki penlaran yang mengendalikan diri kita dan harta milik kita. Dengan begitu, kita akan selamat dari kehilangan karena ditipu orang lain atau dibodohi oleh diri sendiri. Dibodohi oleh diri sendiri merupakan suatu yang sulit dilihat walaupun itu terus terjadi pada diri kita sepanjang waktu. Dengan kedua tangan kita berusaha untuk menyelamatkan telur burung di sarangnya, namun kemudian kita sendirilah yang memecahkan telur itu. Tanpa memikirkan apa yang pantas, kita hidup menuruti nafsu nafsu yang menguasai hati kita. Contoh kecil ini saja sudah cukup untuk membuat kita menyadari bahwa kita telah benar-benar membodohi diri kita sendiri.

Maka ajaran Sang Buddha yang mengajarkan kita untuk menuntun diri secara benar dengan menutup celah celah yang digunakan sebagai jalan masuk penderitaan. Sama seperti ketika dokter menjelaskan penyakit dan pengobatan medis kepada pasien agar mereka menuntun diri secara benar sehingga terhindari dari penyakit. Kebenaran mulai itu mengajarkan kita agar pandai menangani kehidupan kita. Kenyataan bahwa Sang Buddha mengajarkan agar kita mengetahuyi penyebab kebahagiaan dan pendeirtaan plus cara untuk menghilangkan apa yang buruk dan mengembangkan apa yang baik, menunjullan bahwa agama Buddha tidak megnajarkan sikap negatif atau pesimius seperti yang dipercayai oleh beberapa orang. Harus kita pastikan baha kita mengetahui tujuan sejati. Kebenaran mulai itu, yang membentuk hati setiap tingkat dunia dan setiap langkah dharma. Orang orang yang ingin maju harus menganalisa kebenaran mulai ini. Lalu mereka harus mempraktekkannya didalam kehidupan sesuai dengan posisi merekam agar mereka sejahtera baik di masa kini maupun di masa depan. Belum pernah terjadi kebenaran mulai Sang Buddha ini menyebabkan kegagalan atau kerugian bagi mereka yang mempraktekkannya di dalam kehidupan. Justru sebaliknya mereka yang memanfaatkan kebenaran ini menjadi suri tauladan bagi seluruh dunia. Apa yang saya bicarakan diatas berhubungan denagn kebenaran mulai di "luar" (eksternal). kebenaran mulai untuk kehidupan keluarga, ataupun nama yang cocok menurut anda.

Kebenaran Mulai Tentang Hati

Sekarang saya akan menjelaskan tentang kebenaran mulai di "dalam". Kebenarn mulai pada tingkat ini terutama menangani "hati", yaitu inti pikirang yang mendasar, yang mewujudkan diri sebagai perasaan, binatang, buah pikiran dan kesadaran. Pada intinya "hati" memiliki sifat 'mengetahui' yang mendasari segala pengalaman.

Orangorang yang sepenuhnya mempratekkan kebenarna mulai exernak ke dalam kehidupan dengan cara yang benar sehingga mereka menikmati kebahagiaan pada tingkat kehiduoan keluarga, mungkin masih mempunyai kekurangan kekurangan tertentu di dalam hati mereka. Penderitaan ini dapat terjadi pada siapapun juga, pada tingkat apapun di daloam kehidupan ini. Kaya, miskin, pria, wanita, orang awam atau yang sudah ditabhsikan, tanpa kecuali. Jika ada kekurangan di dalam hati, penderitaan oasti punya jalan untuk muncul, sama seperti di tubuh. Kekurangan dan cacat hati itu terdiri dari tiga jenis utama: nafsu sensual, nfasu untuk duniawi, dan nfasu untuk tidak duniawi. Tiga bentuk nafsu ini merupakan asal mula penderitaan karena masing-masing membebani hati. Ketiga cacat ini dapat disembuhkan dengan cara melatih diri didalam dhamma supaya hati mulai berkembang dan damai pun muncul. Hati harus diberi kesempatan agar meneguk cukup banyak gizi dhamma guna memenuhi kebutuhannya. Kalau tidak demikian, hati pasti haus dan menyelinap pergi keberbagai kesibukan lain untuk minum hal-hal lain. Tetap sebagian besar "air" yang ditemukan dengan cara ini adalah air asin. Begitu minum, anda menjadi lebih hasu dan harus minum lebih banyak lagi. Hasilnya, rasa haus itu terjadi berlanjut. Hati yang ketagihan kesibukan-kesibukan yang menimbulkan lebih banyak nafsu keinginan lagi - tidak dapat berlabuh didaratan 'kecukupan' Justru sebaliknya, hati akan tetap terpatok di daratan kelaparan. Maka Sang Buddha mengukur kehausan akan air asin semacam itu dengan mengatakan "tidak ada sungai yang sebanding dengan nafsu keinginan." Air macam itulah yang menyebabkan kerugian bagi mereka yang meminumnya, karena menambah rasa hasu dan membuat mereka ingin terus minum lebih banyak lagi. JIka kita bersikeras terus meneguk air asin itu untuk jangka waktu panjang, usus kita pasti akan terkikis. Jika kita tidak menemukan obat untuk menyembuhkan diri dari gejala ini, karakter kita akan hancur dan kita pun pasti mati.

Para bijaskana telah melihat kerugian dari air ini, maka mereka mengajarkan pada kita untuk menghindari dan mencari berbagai teknik untuk memotong ketiga jenis nafsu keinginan ini. Para bijaksana mengajarkan pada kita untuk melatih hati dengan dhamma - minuman yang paling lezat untuk hati agar kita menghentikan keingnan untuk mencicipi air asin, dan hanya meneguk cita rasa dhamma sebagai gisi kehiduoan. Bila hati ini dilatih dengan dhamma sehingga memperoleh perasaan damai dan puas, itulah cita rasa dhamma yang meneguknya. Makin banyak kita meneguk dhamma, makin banyak kiita merasakan kedamaian dan kepuasan.

Pada saat yang samat, kita akan menciptakan dunia yang riang dan luas di dalam hati. Kita akan melihat binatang sebagai binatang, manusia sebagai manusia, jahat sebagai benar-benar jahat, dan baik sebagai benar-benar baik. Dengan kata lain, kita akan jujur terhadap prinsip-prinsip dhamma, tidak terombang-ambing seperti orang yang menderita kelaparan yang berkepanjangan. Karena kehilangan kesadaran dan melihat daun kering sebagai sayuran segar, sehingga dia mengambil segenggam dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Setelah laparnya berlalu, bari dia menyadari bahwa kelaparan bisa membutakannya.

Karena itulah maka nafsu keinginan, kita terhadap apa yang tidak selayaknya diinginkan disebut 'asal mula penderitaan' (samudaya). Penderitaan adalah kerugian yang datang karena nafsu keinginan ini. Kita menyiksa diri sedemikian sehingga hati kita tidak lagi tinggal dapat diam karena terus menerus ditekan dan menjadi gelisah.

Sang jalan (magga) mengacu pada teknik untuk memotong ketiga bentuk nafsu itu selangkah demi selangkah, sedangkan berhentinya penderitaan (nirodha) merupakan akhir dari penderitaan dan ketidakpuasan di dalam hati lewat kekuatan pada sang jalan.

Setiap aktivitas yang luhur dan baik kedermawanan, moralitas dan mediasi merupakan bagian dari sang jalan yang membunuh penderitaan serta asal mula penderitaan di dalam hati. Jadi jika anda ingin mengakhiri penderitaan di dalam hati, anda harus memandang aktivitas -aktivitas itu menjadi kebiasaan rutin, sampai semua itu telah benar-benar berkembang di hati. Tak ada yang menaruh duri disepanjang jalan menuju akhir penderitaan ini. Jalan ini dapat diikuti didalam kemurnian hati orang-orang yang mencari jalan keluar dan tak ada yang menaruh duri di 'daratan'. Didaratan orang-orang yang telah terbebas dari penderitaan yang merupakan keadaan yang membahagiakan, seperti misalnya hati yang tidak lagi memiliki ketidakpuasan dan penderitaan.

Bagaimana dengan penderitaan di masa depan, di dalam kehidupan ini atau di kehidupan mendatang? Uruslah dahulu hati anda yang menderita pada masa kini ini. Demikian pula halnya dengan setiap tingkat kebahagiaan karena hanya hatilah yang memiliki bentyk-bentuk kebahagiaan dengan berbagai tujuannya.

Sudah cukup rasanya penjelasan kali ini tentang kebenaran mulai di dalam dan kebenaran mulia di luar. Saya harap anda mempraktekkan tingakt kebenaran mulai yang anda anggap cocok bagiu diri anda. Dengan demikian, anda dapat memperoleh manfaat dengan cara membebaskan diri anda sendiri dari penderitaan eksternal dan penderitaan yang ada di dalam diri.

Kebenaran mulai dapat dimiliki setiap orang, sama halnya setiap orang dapat menderita kekurangan ini-itu. Jika kita menggunakan kebenaran mulia untuk sepenuhnya mengembangkan diri di dalam bidang-bidang dimana kita masih memiliki kekurangan, maka hasilnya kebahagiaan secara penuh pasti akan datang tanpa pilih kasih, tanpa prasangka, tak peduli siapapun kita.

Kebijaksanaan

Kebijaksanaan


Sang Buddha bersabda : “Rago doso mado moho yattha panna na gadhati : Dimana terdapat nafsu, kebencian, kemabokan dan kedungguan disitu tidak terdapat kebijaksanaan”. Didalam tindakan sehari-hari yang tanpa disadari kita telah banyak melakukan kesalahan-kesalahan walau pun ada kalanya bertujuan baik.

Sering dijumpai seorang manager yang emosional mengomelin bawahannya dihadapan orang ramai tanpa mau tahu apakah bawahan tersebut sakit hati atau tidak. Di rumah adakalanya orang tua juga menghardik anak-anaknya yang telah dewasa dengan sejumlah kata-kata yang kurang tepat walaupun maksudnya baik. Demikian juga halnya di sekolah sang guru yang emosional tanpa pikir panjang membentak-bentak dan bahkan menyudutkan siswanya yang kurang mampu menangkap mata pelajaran dengan kalimat yang menyakitkan dihadapan siswa lainnya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang demikian terjadi didalam kehidupan sehari-hari. Maksud & tujuan memang baik tapi cuma caranya yang kurang tepat sehingga hasil yang diinginkan kebanyakan tidaklah sesuai dengan yang diharapkan. Siapapun yang diomelin walaupun salah dihadapan orang ramai pasti akan menimbulkan rasa malu dan rendah diri. Siapapun juga jika selalu dipermalukan dan disepelekan, suatu saat pasti akan kecewa dan timbul antipati. Jika kondisi antipati yang timbul dari orang-orang yang ditegur maka apapun hasil yang diharapkan dari dia akan sia-sia belaka. Mengapa semua kondisi ini bisa terjadi…..? Semuanya tidaklah terlepas dari kurangnya kebijaksanaan yang dimiliki. Orang yang kurang bijaksana akan bertindak dan berlaku semau gue didalam meraih cita-cita yang diingininya, walaupun niat dan tujuan adakalanya baik tapi belum tentu memberikan hasil yang memuaskan. Didalam sabda NYA, Sang Buddha menekankan bahwa hidup dengan kebijaksanaan adalah yang terluhur.

Untuk mengetahui apakah tindakan kita apakah telah sesuai dan pantas menurut kebenaran serta dapat dikatakan bijaksana, marilah kita simak kembali 7(tujuh) hal yang diutamakan oleh Sang Buddha yang terdapat dalam kitab suci Dhammavibhanga sutta yaitu mengenai penguraian tentang Satta Sappurisadhamma (7 hal yang dimiliki oleh orang yang bijaksana). Kalau kita telah memiliki ke 7 hal ini maka semua tindak tanduk dan keputusan yang diperbuat pasti akan menimbulkan simpati serta rasa hormat, yang namanya antipati dan bahkan dendam akan bisa dihindari. Seperti yang dikatakan oleh Sang Buddha bahwa tanpa adanya Mata Kebijaksanaan maka seseorang itu tak ubahnya seperti orang buta yang menginjak lentera penunjuk jalan. Agar kita berhasil melalui jalur kehidupan ini dengan pasti mana yang pantas dilaksanakan dan mana yang harus dihindari maka sebagai siswa Sang Buddha yang berkeinginan meraih kebijaksanaan, inilah saatnya kita selalu berpedoman kepada ajaran Sang Buddha.

Didalam Sutta Sappurisadhamma (7 hal pencapaian kebijaksanaan) Sang Buddha menguraikan sebagai berikut :

  1. Dharmannuta : Memaklumi kebenaran-kebenaran yang pasti timbul.
    Didalam kehidupan yang nyata ini makhuk hidup tidak akan terlepas dari apa yang namanya “suka dan duka” yang silih berganti timbul serta tenggelam. Si A bisa saja hari ini tampil dengan penuh keceriaan karena kondisi bathin lagi senang tapi beberapa saat kemudian setelah mengetahui dompetnya hilang maka keceriaan tersebut segera berubah menjadi kesedihan.

    Peristiwa suka dan duka ini silih berganti menghadiri kehidupan kita, dalam kondisi senang dan gembira dimana cita-cita yang didambakan berhasil diraih maka suka dirasakan, begitu apa yang diharapkan atau dicintai tak didapat maka dukapun menyelimuti jalur kehidupannya.

    Disisi lain harus juga menyadari kebenaran-kebenaran yang pasti terjadi di alam semesta ini, ketidak kekalan adalah hal yang pasti hidup dengan kondisi apapun juga pasti diliputi oleh derita dan segala sesuatu yang berada di alam semesta ini tidaklah memiliki inti yang kekal, semuanya senantiasa mengalami perubahan. Dengan menyadari kesunyataan (kebenaran-kebenaran) ini hendaknya kemelekatan akan apapun juga haruslah segera mungkin disingkirkan. Buddha bersabda didalam Kitab Suci Vibhangga (Abhidhammapitaka) yang berisi :

    1. Basmilah segera kejahatan yang sudah muncul

    2. Cegahlah timbulnya kejahatan yang belum muncul

    3. Timbulkan kebajikan yang belum muncul

    4. Pertahankan dan kembangkanlah kebajikan yang sudah muncul

  2. Atthannuta : Memiliki pengertian yang benar akan Dharma (kebenaran).
    Dengan dimilikinya pengertian yang benar akan Dharma bahwa segala sesuatu yang timbul suatu hari kelak pasti akan tenggelam (ketidak kekalan) maka yang namanya derita, keluh kesah maupun frustasi tak akan pernah menyelimuti diri kita seandainya kemalangan/kekurangan beruntungan menimpa diri kita karena sudah menyadari bahwa hal ini adalah hal yang lumrah dan pasti akan terjadi, cepat atau lambat. Didalam Pandita Vangga V1:83, Sang Buddha bersabda :”Lepaskanlah segala yang menimbulkan ikatan seperti hanlnya orang bijaksana yang tak pernah membicarakan segala nafsu dan kesenangan hidup duniawi. Karena itu tidak diganggu oleh kegembiraan dan kesedihan, tidak pernah memperlihatkan rasa senang dan tidak senang”. Memiliki pengertian yang benar akan Dharma (kebenaran) akan menimbulkan kebahagiaan yang luhur dan permanen karena terlindung oleh kebajikan-kebajikan sendiri dan bukanlah sebagai hasil dari penerima belas kasihan (berkahan) dari makhluk lainnya. Berbahagialah bagi yang telah memiliki pengertian yang benar akan Dharma. Selanjutnya Sang Buddha menekan bahwa jasa kebajikanlah yang menjadi pelindung bagi setiap insane dalam menyongsong kehidupan dimasa depan.

  3. Attannuta : Mampu mengontrol diri sesuai dengan Dharma (kebenaran).
    Kelebihan maupun kekurangan yang telah dimiliki hendaknya tidaklah menimbulkan masalah maupun kedukaan bagi masyarakat yang ada di lingkungannya. Dia sangat menyadari bahwa tidak satupun yang logis (pantas ditunding) atas kelebihan maupun kemalangan yang menimpa dirinya. Semuanya tidaklah terlepas dari buah-buah karma yang harus diterima. Hidup senantiasa memiliki sila (moral) yang baik dan berkreasi demi keharmonisan, ketentraman dan kesejahteraan semua makhluk.

  4. Mattannutta : Hidup sesuai dengan kebutuhan. Salah satu noda bathin yang seharusnya yang harus dihentikan adalah keserakahan “Luddho dhamam napassati : Apabila kelobaan telah merasuk, seseorang tidak melihat Dharma(kebenaran)”. Orang serakah dalam hal ini akan menempuh berbagai macam cara demi pemuasan akan kehausannya yang tiada henti-hentinya. Dia tidak segan-segannya menghalalkan tindakan negatif untuk memenuhi ambisinya. Oleh karena itu agar terlepaskan dari jeratan belenggu kejahatan ini, berusahalah terus menerus menyadari bahwa hidup sesuai dengan kebutuhan adalah yang terbahagia, bebas dari keruwetan, kepusingan maupun kekecewaan. Renungkanlah selalu sabda Sang Buddha yang singkat ini : “Kamehi Lokamhi Na Hatthi Titi : Di dunia ini tidak ada kepuasan dalam penikmatan nafsu inderawi”.

  5. Kalannuta : Mengatur waktu dengan bijaksana. Orang yang selalu berkomentar sibuk dan tiada waktu luang untuk ini dan itu adalah cirri khas orang yang diperbudak oleh waktu. Pengertian benar di dalam pemanfaatan waktu belum dimiliki olehnya sama sekali tapi bagi yang berhasil menguasai dan menaklukan serta mampu memanfaatkan waktu dengan benar, tidak akan pernah berkomentar sibuk ini dan itu. Bagi yang telah berkeluarga, waktu untuk keluarga telah tersedia dan disamping itu juga harus mampu membagi waktu untuk kegiatan duniawi maupun keagamaan. Yang terpenting adalah dimilikinya pengertian yang benar akan jalan tengah yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha dimana waktu dimanfaatkan kebijaksanaan mungkin. Waktu hanya dimanfaatkan untuk hal-hal yang berguna demi kebahagiaan diri sendiri maupun makhluk-makhluk yang ada dilingkungannya.

  6. Parisannuta : Bisa mengerti kenyataan-kenyataan yang ada di lingkungannya.
    Pada dasranya tidak satupun makhluk yang berkenan dilahirkan dengan kondisi-kondisi yang kurang menuntungkan misalnya ; miskin, bodoh, cacat, jelek, dan sebagainya. Di dalam masyarakat jika ditetemukan ketimpangan ini hendaknya memperlakukan mereka-mereka ini dengan sepantasnya. Jangan dikarenakan kemiskinan, kita menghina dan menyepelekan orang lain.

    Jangan karena kebodohan kita mengejeknya. Sadarilah bahwa setiap makhluk tidaklah akan terlepas oleh karma (perbuatan) yang diperbuat olehnya. Apapun perbuatan yang dilakukannya maka itulah suatu hari kelak yang akan diterimanya. Senantiasalah bertutur kata yang lemah lembut dan bimbinglah siapapun demi pencapaian kebahagiann bersama. Milikilah “Positive thinking” dan hindarilah keangkuhan.

  7. Puggalaparopannuta : Mengerti akan Dharma (kebenaran)menimbulkan kebijaksanaan.
    Dengan dimilikinya pengertian yang benar akan Dharma maka dapat dengan jelas mana yang pantas dilaksanakan dan mana yang harus dihindari, mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana sahabat dan mana musuh. Dalam hal ini dia bisa memaklumi kelebihan maupun kekurangan orang lain sehingga yang namanya emosinal akan jauh keberadaannya dan menangani kekurangan-kekurangan yang terjadi disamping pengembangan sifat welas asih yang terus diterapkan.


Kesimpulan :

“Panna naranam ratanam : kebijaksanaan menjadi permata bernilai bagi seseorang.” Demikianlah yang disabdakan oleh Sang Buddha. Tanpa adanya kebijaksanaan maka kesalahan dan kekasaran akan semakin sering dilakukan. Berpegang teguhlah pada ajaran Sang Buddha dengan dimilikinya pengertian yang benar akan Dharma bahwa semua yang berlaku terhadapa diri kita tidaklah harus mutlak sesuai dengan keinginan kita, apapun yang terjadi tidaklah terlepas dari karma yang harus dilalui (dijalani), agar jangan sampai terjerumus ke liang dukkha sebagai akibat dari perbuatan tercela, hidup sederhana dan sesuai dengan kebutuhan (jangan serakah), bisa mengatur waktu dengan baik (jangan diperbudak oleh waktu) dan senantiasa berkreasi demi pembebasan dan kebahagian bagi diri sendiri serta semua makhluk.

Dibagian lain dari sabdanya Sang Buddha menekankan bahwa kebijaksanaanlah yang lebih mulia dari pada kekayaan. Semoga dengan dimilikinya kebijaksanaan hendaknya keberadaan kita dibumi pertiwi tercinta ini merupakan salah satu asset yang berharga bagi ketentraman, kedamaian, kebahagiaan dan kesejahteraan bagi bangsa dan negara kita tercinta Indonesia…………… Sabbe satta bhavantu sukhitata : Semoga semua makhluk terbebas dari derita dan semoga semuanya berbahagia…..sadhu…..sadhu…..sadhu………

( Dikutip dari Majalah Buddhis Indonesia Edisi 62 )

Keajaiban Dari Kaca Mata Buddhis


Keajaiban tentu menarik perhatian banyak kalangan, apalagi yang dikatakan bahwa dapat membawa rezeki dan melancarkan usaha. Fenomena demikian yang belakangan ini hangat dibicarakan oleh segelintir umat Buddha yang kurang memahami Dhamma, mereka kelihatan terlalu mengagungkan orang-orang yang dikatakan memiliki kekuatan gaib dengan harapan dapat menambah kekayaan dan kejayaan usaha mereka.

Sebenarnya kekuatan gaib bukan hanya dapat dimiliki oleh Arahat atau Buddha, tetapi sebaliknya kekuatan-kekuatan gaib seperti membaca pikiran orang lain, kekuatan telinga dewa dan yang lainnya dapat dimiliki siapa saja yang melatih vipassana hingga mencapai jhana tertentu. Oleh sebab itu, siapa saja, dan dari kepercayaan mana saja bisa memiliki kekuatan seperti itu bila mencapai jhana melalui vipassana. Perlu ditekankan disini bahwa melatih vipassana bukan bertujuan untuk menguasai kekuatan gaib, tetapi untuk mengerti akan kebenaran semesta dan pembebasanlah yang dijadikan tujuan dari vipassana.

Walaupun memiliki kekuatan-kekuatan gaib, Sang Buddha sendiri tidak pernah menunjukkan kekuatan yang beliau miliki hanya untuk dipamerkan apalagi hanya untuk mencari pengikut yang banyak. Beliau hanya akan menggunakan kekuatannya tersebut bila memang dibutuhkan untuk menolong orang lain.

Hal ini juga diperkuat dengan kejadian dimasa kehidupan Sang Buddha. Sewaktu Sang Buddha berada di Nalanda di Hutan Pavarika, seorang umat yang bernama Kevaddha meminta agar Sang Guru menunjuk seorang Bhikkhu untuk memperagakan satu keajaiban dari kekuatan supernormal sehingga orang-orang Nalanda yang memang umat Buddhis itu menjadi lebih yakin terhadap Sang Buddha. Menjawab pertanyaan itu, Sang buddha berkata, "Kevaddha, Tathagata tidak mengajarkan Doktrin kepada para bhikkhu dalam cara itu". Jawaban yang sama juga diberikan oleh Sang Buddha ketika Kevaddha bertanya untuk kedua dan ketiga kalinya.

Beliau juga tidak bersetuju bila ada yang mengatakan bahwa orang yang memamerkan kekuatan gaib pasti mengajarkan ‘kebenaran’, oleh sebab itu rasanya kurang bijaksana bila ada yang langsung percaya bahwa seseorang telah mencapai penerangan hanya karena orang tersebut memiliki kekuatan gaib.

Bagi Sang Buddha, keajaiban tidak menduduki berperan penting dalam pengembangan spiritual tetapi peranannya minor saja(yang tidak penting). Sang Buddha sendiri tidak hanya mengajarkan muridnya agar jeli dalam menggunakan kekuatan gaib yang mungkin dimiliki, tetapi beliau juga memperingati yang lain agar tidak terikat akan demonstrasi demonstrasi seperti itu (demonsrasi kekuatan gaib). Sang guru pernah mengatakan keajaiban yang paling tinggi adalah dapat mengubah orang bodoh menjadi seorang yang bijaksana.

Bila sekarang ini anda tidak melihat pengikut-pengikut Sang Buddha memamerkan kekuatan gaib anda tidak perlu heran ataupun berkecil hati. Tidak dipamerkan bukan berarti tida ada, tetapi tidak perlu apalagi Sang Buddha pernah melarang pengikutnya memamerkan kekuatan-kekuatan yang mereka miliki karena dampak negatifnya akan lebih banyak dibandingkan dengan dampak positifnya.

Oleh sebab itu, anda tidak akan pernah melihat adanya orang-orang yang menjalankan disiplin Sang Buddha memamerkan kekuatan gaib yang dimiliki. Bila anda menyaksikannya, berarti yang bersangkutan harus disangsikan apakah benar murid Sang Buddha yang ingin membabarkan kebenaran atau hanya sekedar menggunakan nama Sang Buddha yang sudah mempunyai reputasi Internasional (hampir 2600 tahun lamanya) untuk mencari keuntungan pribadi.

Sang Buddha juga tidak pernah mengirimkan orang-orang yang menjalankan disiplinnya untuk menarik penganut kepercayaan lain dengan cara apapun juga termasuk didalamnya menggunakan demonstrasi kekuatan gaib, walaupun sekarang ini kita mendengar ada kepercayaan lain yang melakukan hal yang serupa. Sang Buddha meminta pengikutnya untuk menyebarkan kebenaran, membuat orang menjadi baik dan melakukan kebaikan tanpa harus menjadi pengikut dari Sang Buddha. Beliau juga menyarankan orang-orang untuk datang dan melihat bukan untuk datang dan percaya. Mungkin itulah keunikan yang menjadi daya tarik Agama Buddha yang tidak dimiliki agama lain, sehingga beberapa tahun belakangan ini Buddhisme berkembang pesat di dunia barat yang dengan ditandai dengan permintaan yang meningkat akan tenaga pembabar Dhamma dan pentabhisan anggota sangha dari orang-orang western.

Kebijaksanaanlah yang ditekankan oleh Sang Buddha bagi pengikutnya, bukannya kepercayaan yang diharuskan. Dengan ini diharapkan agar pengikut Sang Buddha dapat berpikir secara rasional dan tidak fanatik secara membabi-buta. Bila sakit hendaknya umat Buddha mencari dokter untuk kesembuhan, bukannya mencari penyembuhan melalui kekuatan gaib; Bila ingin hidup berkecukupan, kerjalah secara baik dan benar bukannya berpangku tangan dengan meminta bantuan dari kekuatan gaib tersebut; Bila ingin bebas dari penderitaan, pelajarilah Dhamma bukan mencari perlindungan dari mahkluk-mahkluk atau benda-benda yang menguasai keajaiban.

Tidak seharusnya seorang umat Buddha mencari keajaiban atau kekuatan-kekuatan seperti itu karena keajaiban dan atau kekuatan-kekuatan yang seperti itu tidak dapat mengantarkan seseorang menjadi suci. Kekuatan-kekuatan itu mungkin dapat membawa kebahagiaan untuk seketika, tetapi tidak mungkin untuk waktu yang lama karena buah kamma seseorang harus diterima oleh orang itu sendiri, tidak ada yang dapat diwakilkan atau lari dari buah kamma.

Melalui tulisan pendek ini, diharapkan agar umat Buddha tidak hanya tertarik kepada segala sesuatu yang gaib. Yakinlah bahwa kebenaran (Dhamma) adalah jalan yang benar, dalam kitab suci dikatakan bahwa mereka yang berpedoman pada Dhamma seperti orang yang berjalan dari kegelapan ke tempat yang terang, maukah anda berjalan kearah sebaliknya?



Kasih Sayang Tanpa Kebijaksanaan


Kalau kita berkunjung ke Vihara Samaggi Jaya yang terletak di kotamadya Blitar, Jawa-Timur; kita akan menemukan berbagai macam gambar dan tanda dimana semua itu merupakan satu isyarat bahwa membangun sebuah vihara tidaklah sama dengan membangun rumah biasa, tetapi mempunyai makna lambang yang cukup berat. Gambar dan tanda yang menempel atau pun yang berada di lingkungan sebuah vihara tidak ditujukan sebagai pajangan belaka ataupun sekedar untuk menghias vihara saja. Akan tetapi semua itu mengandung arti yang cukup dalam dan merupakan satu medium yang sangat baik untuk menyampaikan ajaran-ajaran Sang Buddha.

Salah satu gambar yang dapat kita temukan di Vihara Samaggi Jaya adalah gambar burung kakaktua. Burung kakaktua ini ada 2 ekor dimana yang seekor menghadap ke selatan dan yang lainnya menghadap ke utara dengan membawa padi di paruhnya. Gambar ini sebetulnya ada ceritanya! Alkisah, tersebutlah seorang petani yang mempunyai sebidang sawah yang sangat subur. Setiap hari petani ini memperhatikan sawahnya dan melihat ada serombongan burung kakaktua yang datang dan memakan padi-padinya. Dari sekelompok burung itu; ada seekor burung kakaktua yang selain makan, juga membawa terbang bulir-bulir padinya. Peristiwa ini terjadi setiap hari dan selalu dilakukan oleh burung kakaktua tersebut, bahkan kadang-kadang burung kakaktua itu membawanya lebih dari satu. Hal ini menimbulkan tanda tanya bagi sang petani sehingga dia berusaha untuk menangkapnya. Setelah berkali-kali dicoba, akhirnya burung kakaktua itu berhasil ditangkap. Setelah tertangkap, burung kakaktua itu ditanya oleh sang petani sebagai berikut:

P: "mengapa kalau kamu datang; selain memakan padi saya, kamu juga membawa pergi bulir-bulir padi saya? Apakah kamu mempunyai sawah ataukah kamu mempunyai lumbung padi di rumah?"
B: "Tidak! Saya tidak mempunyai sawah maupun lumbung padi di rumah. Tetapi dengan membawa bulir-bulir padi ini maka tugas saya bisa saya selesaikan dan harta saya juga bisa saya jaga. Jadi dengan membawa pergi bulir-bulir padi ini, saya memetik 2 manfaat sekaligus!"






Sang petani tidak mengerti jawaban burung tsb. Lalu dia bertanya lagi.

P: "Apa maksudnya tugas bisa diselesaikan dan harta bisa dijaga itu?"
B: "Tugas saya adalah menyantuni bapak dan ibu yang sudah tua dan tidak bisa terbang lagi. Saya membawa bulir-bulir padi itu adalah untuk saya berikan kepada bapak dan ibu saya supaya mereka tetap memperoleh kehidupan dari apa yang bisa saya dapatkan setiap hari."





Petani mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dia bertanya lagi:

P: "Kalau tugas sudah dilaksanakan, apakah artinya harta sudah dijaga itu?"
B: "Harta sudah dijaga itu maksudnya adalah bahwa di dalam hutan ini terdapat harta yang sangat berharga yaitu harta cinta-kasih. Saya membawa bulir-bulir padi itu kepada mereka yang sudah tidak bisa terbang lagi yang bukan bapak dan ibu saya, tetapi kepada sesama yang sedang sakit/membutuhkannya. Mereka yang sakit akan saya santuni supaya memperoleh kesembuhan. Mereka yang sudah tua meskipun bukan bapak dan ibu saya juga saya santuni supaya bisa mempertahankan hidupnya dan tetap memperoleh kehidupan. Inilah harta cinta-kasih yang perlu dikembangkan."








Dari cerita tersebut diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa tanda burung kakaktua tersebut, sebetulnya merupakan tanda dari pengembangan cinta-kasih, yaitu cinta-kasih kepada orangtua dan sesama. Dengan demikian ada dua hal yang harus kita kerjakan di dalam kehidupan ini. Yaitu mengembangkan cinta-kasih kepada orangtua dalam arti membalas jasa, dan mengembangkan cinta-kasih kepada sesama yang belum tentu berjasa kepada kita, tetapi kita perlu berbuat baik terlebih dahulu kepada mereka. Mengapa demikian? Karena kalau kita menanam padi maka kita akan memetik padi. Begitu juga kalau kita menanam kebajikan maka pada suatu ketika pasti kita pun akan memetik buah dari kebajikan yang telah kita tanam.

Pada bait pertama dari Karaniyametta Sutta disebutkan bahwa:
"Inilah yang harus dikerjakan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan.
Untuk mencapai ketenangan:
Ia harus mampu, jujur, sungguh jujur,
Rendah hati, lemah lembut, tidak sombong."

Dari syair tersebut di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa tujuan Sang Buddha menurunkan Karaniyametta Sutta itu adalah untuk membabarkan bagaimana cara memperoleh ketenangan batin/ketenangan hidup, bagaimana supaya kita bisa terbebas dari stress. Kalau kita ingin memperoleh ketenangan salah satunya adalah kita harus jujur, sungguh-sungguh jujur. Kenapa kita harus jujur? Karena orang yang jujur akan terbebas dari stress. Buktinya pada saat ujian misalnya. Kalau kita belajar dengan baik dan betul-betul menggunakan kecerdasan kita, maka kita akan mengerjakan soal-soal ujian dengan tenang. Sebaliknya kalau kita tidak jujur, mau 'ngerepek' atau kerjasama maka stress akan muncul. Selama kita tidak jujur, batin tidak pernah tenang. Tetapi kalau kita yakin pada diri sendiri, ketegangan tidak akan muncul. Oleh karena itu kalau kita tidak ingin stress dan ingin memperoleh ketenangan maka kita harus jujur, sungguh jujur dan seterusnya. Seperti yang tersebut dalam Karaniyametta Sutta.

Selanjutnya Karaniyametta Sutta juga menyebutkan apa yang harus kita kerjakan untuk dapat memperoleh ketenangan sebagai berikut:

"... Hendaklah ia berpikir
Semoga semua makhluk berbahagia dan tenteram,
Semoga semua makhluk berbahagia."

Kalau kita ingin memperoleh ketenangan maka hendaknya kita memancarkan cinta-kasih kepada semua makhluk. Karena kalau cinta-kasih kepada semua makhluk tidak muncul, stress akan menghampiri kita. Misalnya kita tidak senang kepada semut, padahal terdapat banyak semut di ruang makan. Kalau kita tidak memancarkan cinta-kasih, tentu kita sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi; kita pasti akan membunuh semut-semut itu. Mengapa demikian? Karena kita melakukan kebencian dan tidak bisa menyayangi semua makhluk. Inilah yang dapat menimbulkan stress alias tidak tenang. Karena itulah, dalam Karaniyametta Sutta dinyatakan bahwa kalau kita ingin tidak stress maka kita harus mengembangkan cinta-kasih kepada semua makhluk.

Cinta-kasih yang bagaimanakah yang harus kita kembangkan? Dalam bait Karaniyametta Sutta selanjutnya disebutkan:

"Bagaikan seorang ibu mempertaruhkan jiwanya
Melindungi anaknya yang tunggal,
Demikianlah terhadap semua makhluk
Dipancarkannya pikiran kasih-sayangnya tanpa batas."

Tentu kita dapat membayangkan bagaimana cinta-kasih orangtua kepada anak tunggalnya. Orangtua akan sangat memperhatikan semua kebutuhan dan keinginan anaknya. Apapun yang diminta oleh Sang Anak, orangtuanya pasti akan berusaha untuk memenuhinya. Demikian pula cinta-kasih kita kepada semua makhluk. Diibaratkan seperti ibu yang menyayangi anaknya yang tunggal. Contoh paling mudah yang dapat kita temukan sehari-hari adalah ayam/kucing yang mempunyai anak. Coba kalau anaknya Saudara ambil atau ganggu, induknya pasti marah dan menyerang Saudara. Ini baru binatang, apalagi kita manusia. Seperti itulah hendaknya cinta-kasih kita kepada semua makhluk.

Dalam bait yang berikutnya disebutkan:
" Selagi berdiri atau duduk
Atau berbaring selagi tiada lelap,
Ia tekun mengembangkan kesadaran ini,
Yang dikatakan: Berdiam dalam Brahma."

Maksudnya adalah mereka yang bisa melatih cinta-kasih bagaikan seorang ibu yang menyayangi anak tunggalnya ketika sedang duduk, berjalan, berdiri, atau berbaring selagi tiada lelap; mereka itulah yang akan memperoleh ketenangan batin/pikiran. Semua ini merupakan pengembangan cinta-kasih.

Kita perlu mengembangkan cinta-kasih kepada:
1) Orangtua
Mengapa kita perlu mengembangkan cinta-kasih kepada orangtua? Karena orangtua telah melahirkan kita semua. Dan ketahuilah bahwa badan kita ini mulai dari rambut sampai ujung kaki itu sebetulnya bukan milik kita tetapi milik orangtua. Tidak ada manusia yang dapat menciptakan bagian badannya sendiri. Orangtualah yang memproses dan memproduk kita selama kurang-lebih 9 bulan sejak kita berusia 0 tahun yaitu ketika kita berada di dalam kandungan/ketika sel telur dan sperma bertemu. Kalau kita menganggap bahwa 0 tahun itu dimulai pada detik kita dilahirkan berarti kita menganggap bahwa kita ini diciptakan sehingga badan ini adalah milik kita. Padahal sesungguhnya tidak demikian. Apalagi agama Buddha menggunakan teori evolusi, bukan penciptaan.

Sebagai seorang manusia yang berbudaya dan mempunyai pikiran bahkan mempunyai agama sudah selayaknyalah kita membalas jasa kepada orangtua, minimal patuh dan tidak memusingkan orangtua dengan mematuhi perintah orangtua. Kalau binatang yang dirawat dan diberi makan setiap hari menurut kapada yang memberinya makan karena naluri, lalu bagaimanakah moral/mental kita sesungguhnya kalau kita sebagai manusia tidak patuh kepada orangtua, yang telah mendidik dan merawat kita sejak kecil sampai belasan bahkan mungkin juga puluhan tahun. Hendaknya kita ingat baik-baik bahwa badan ini adalah pinjaman dari orangtua. Kita mempunyai kewajiban untuk membalas jasa orangtua karena sesungguhnya yang paling berjasa di dalam kehidupan kita adalah ayah dan ibu. Bahkan Sang Buddha sendiri menganggap bahwa ayah dan ibu itu adalah Buddha atau orang suci di rumah.

Dikatakan bahwa ada 5 perbuatan yang dapat menyebabkan seseorang terlahir di alam neraka yaitu:
- melukai seorang Buddha,
- membunuh seorang Arahat,
- membunuh ibu,
- membunuh ayah,
- memecah-belah Sangha.
Ke 5 hal ini mempunyai bobot yang sama. Jadi bobot ayah dan ibu adalah sama dengan Arahat/orang suci di dalam agama Buddha dan Sangha/persaudaraan para bhikkhu. Oleh karena itu, perkenankanlah Saya mengajak Saudara-saudara sekalian. Kalau Saudara masih mempunyai ayah dan/atau ibu, cobalah untuk membalas jasa kepada mereka karena hal tersebut, merupakan pengembangan cinta-kasih Saudara. Di dunia ini kita hanya mempunyai satu ayah dan satu ibu kandung, kalau mereka meninggal tidak ada yang bisa menggantikannya. Kalaupun ada, mereka bukanlah ayah dan ibu kandung yang memiliki badan Saudara. Oleh karena itu balaslah jasa ayah dan ibu Saudara sebanyak dan semampu yang bisa Saudara berikan, minimal Saudara tidak rewel, tidak nakal dan tidak menyusahkan orangtua.

2) Sesama
Artinya kita tidak hanya ingat kepada mereka yang telah berjasa saja tetapi kita juga harus menjadi orang yang baik dengan cara berusaha berbuat baik kepada siapa saja. Mengapa demikian? Karena dengan berbuat baik itu berarti kita menanam jasa. Contohnya adalah orangtua kita. Orangtua kita sebetulnya belum tahu apakah kita baik atau tidak, tetapi mereka sudah menanam jasa dengan cara merawat kita dengan baik. Demikian pula kita terhadap sesama. Kita mempunyai kewajiban kepada teman baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal (lingkungan) untuk berbuat baik sebanyak mungkin. Sama halnya dengan burung kakaktua tersebut yang membawa bulir-bulir padi karena ada tugas untuk merawat ayah dan ibu dan menjaga harta cinta-kasih/persaudaraan dengan cara menanam jasa atau kebaikan kepada mereka yang berada disekitarnya.

Dua hal inilah yang sebetulnya merupakan pengembangan cinta-kasih yang terdapat di dalam Karaniyametta Sutta yang dapat membuat batin kita tenang dan tidak stress. Karena itu latihlah... jalankanlah cinta-kasih itu, minimal kepada orangtua yang telah berjasa kepada Saudara semua. Akhirnya seperti ajaran Sang Buddha bahwa menanam padi akan tumbuh padi, menanam jagung akan tumbuh jagung maka kalau kita menanam cinta-kasih/kebajikan, kita pun akan memetik kabahagiaan. Cintailah orangtua dan lingkungan Saudara, demi kebahagiaan Saudara sendiri!


[ Dikutip dari Website Samaggi-Phala WWW.Samaggi-phala.or.id ]

Karma Orang Tua Dan Anak

Karma Orang Tua Dan Anak


Seorang mahasiswi menangis tersedu-sedu dihadapan dosen agama Buddha yang penuh kasih terhadapnya. Ia sedih, kecewa, dan agak tergoncang batinnya menghadapi kenyataan pahit yang harus diterimanya saat ini. Ia tidak menduga bahwa hubungan cinta yang telah dibinanya selama ini harus kandas di tengah jalan. Ia tidak menyangka bahwa calon mertuanya akan menolak dirinya sebagai menantu hanya karena ia mempunyai seorang ayah yang gemar berjudi dan mabuk-mabukan. Ia sedih karena calon mertuanya beranggpan bahwa jika orangtuanya berkelakuan tidak baik, maka anaknya pasti mempunyai kelakuan yang tidak baik pula. Ia kecewa karena ia merasa bahwa anggapan itu tidak berlaku terhadap dirinya. Dengan penuh kesabaran, dosen agama Buddha tadi memberikan nasihat-nasihat yang ternyata dapat menghibur mahasiswi tersebut.

Sesungguhnya karma orang-tua tidak menurun kepada anaknya karena setiap makhluk membawa karmanya masing-masing. Namun, memang ada persamaan karma antara orangtua dan anak sehingga mereka bisa berkumpul dalam satu keluarga. S etiap makhluk yang akan bertumimbal lahir harus mempunyai getaran karma yang sama dengan orang tuannya. Jadi, pada saat mahasiswi tadi bertumimbal lahir melalui kandungan ibunya, ia mempunyai getaran karma yang sama pula. Jika ia mempunyai ayah yang berkelakuan tidak baik, maka ini merupakan buah dari karma buruk yangpernah dilakukannya pada kehidupan yang lampau. Dengan demikian, ia tidak boleh membenci ayaknya. Ia tidak boleh menyalahkan ayahnya. Ia tidak boleh beranggapan bahwa ayahnyalah yang merupakan penyebab putushnya hubungan cointanya dengan teman kuliahnya itu.

Sesungguhnya, hubungan cintanya juga bisa putus diakibatkan oleh karma buruk lain yangpernah dilakulkannya pada kehidupan yang lampau.

Dalam kita suci Dhammapada Bab XXIII ayat 332, dikatakan:

“Berlaku baik terhadap ibu merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini; berlaku baik terhadap ayah juga merupakan kebahagiaan. Berlaku baik terhadap petapa merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini; berlaku baik terhadap para ariya (orang suci) juga merupakan kebahagiaan.”

Ayah dan ibu merupakan orang tua kita. Walau bagaimanapun buruknya sifat ayah dan ibu kita, mereka tetap orangtua kita. Sebagai anak, kita wajib menghormati dan menyayangi mereka. Jika mereka berkelakuan tidak baik, maka kita wajib berusaha untuk menyadarkan mereka agar kembali ke jalan yang benar. Memang ini bukan merupakan suatu tugas yang mudah, tetapi usaha kita lakukan dengan penuh pengorbanan pun tak akan sia sia.

Anak yang baik tidak akan menyalahkan orang lain bila ia menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan. Hendalnya ia menyadari bahwa penderitaan itu hanya datang kepada orang yang memang harus menerimanya. Ia akan menerima penderitaan itu dengan tabah walau tidakd apat dipungkiri bahwa pada saat itu pasti batinnya agak tergoncang.Namun, ia tidak akan terlalu berlarut-larut dalam kesedihan. Ia akan menyadariu bahwa tak ada gunanya menyesali peristiwa yang telah terjadi. Jika hubungan cinta itu memang harus kandas di tengah jalan, maka hal ini tidka perlu terlalu ditangisi. Masih ada kirannya pemuda lain yang lebih baik dari dia. Masih ada calon mertua yang dapat mengerti keadaannya dan mau menerimanya sebagai menantu. Masih banyak orang tua yang tidak berpandang picik seperti tersebut diatas. Dan masih banyak orang tua yang yakin bahwa menantunya merupakan orang yang bnaik walaupun orangtuan menantunya berkelakuan tidak baik.

Mahasiswi di atas merupakan gasid yang baik. Ia dapat menjadi baik berkat pendidikan agama yang diperolehnya di bangku sekolah. Ia tekun belajar agama Buddha. Ia rajin mendengarkan dan berdiskusi Dharma dengan tokon-tokoh Buddhis. Ia senantiasa berusaha melaksanakan Pancasila Buddhis dalam kehidupannya sehari-hari. Ia senang berbuat amal sesuai denga kemampuannya. Jika kelak ia berumah tangga, ia telah bertekad untuk menjadi seorang isteri yang setia dan puas hanya dengan seorang suami serta senantiasa menghormati ayah dan ibu mertuanya sebagai dewa dan dewi. Ia yang telah terbiasa hidup sederhana itu bertekad untuk tidak menjadi isteri yangmaterialistis. Sesungguhnya, pemuda yang dapat memperisterinya itu akan bahagia. Dengan demikian, nyatalah bahwa dari orangtua yang berkelakuan tidak baik mungkin saja muncul anak-anak yang berkelakuan baik.

Dalam Dhammapada Bab III ayat 43, dikatakan:

“Bukan seorang ibu, ayah, maupun sanak keluarga lain yang dapat melakukan; melainkan pikiran sendiri yang diarahkan dengan baik yang akan dapat mengangkat derajat seseorang.”

(Dikutip dari Majalah Dhamma Cakku No.13/Tahun X/1989)

Jantung Kemanusiaan



Jantung Kemanusiaan


Oleh Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera


Sekarang kita telah memasuki bulan Februari, yang di dalam agama Buddha dikenal dengan sebutan bulan Magha. Pada saat bulan purnama sempurna di bulan Februari umat Buddha memperingati hari suci Magha.

Hari suci Magha merupakan hari yang sangat bersejarah, hari keramat bagi umat Buddha. Bersejarah, keramat, dan istimewa; karena hari suci ini ditandai dengan empat tanda istimewa, yaitu:

  1. Pada saat bulan purnama sempurna di bulan magha atau bulan Februari, 1250 bhikkhu yang semuanya telah mencapai tingkat kesucian sempurna atau Arahat, datang bertemu di Veluvana Arama di kota Rajagaha.

  2. Keseribu dua ratus lima puluh bhikkhu yang kesemuanya telah mencapai Arahat tersebut, datang dari tempat yang berlain-lainan berkumpul ke Veluvana Arama di kota Rajagaha untuk menjumpai Sang Buddha, tanpa janji, tanpa musyawarah, tanpa persetujuan sebelumnya. Mereka datang serempak pada hari dan di tempat yang sama dengan spontan.

  3. Seribu dua ratus lima puluh bhikkhu tersebut, kesemuanya, pada waktu ditahbiskan sebagai bhikkhu, ditahbiskan langsung oleh Sang Buddha sendiri. Karena itu kesemuanya dikenal dengan sebutan Ehi Bhikkhu Upasampada, yang artinya: para bhikkhu yang ditahbiskan langsung oleh Sang Buddha sendiri.

  4. Pada kesempatan yang keramat dan istimewa ini, Sang Buddha membabarkan khotbah Tiga Bait yang merupakan inti dari Dhamma. Sari dari ajaran Beliau. Khotbah tiga bait ini terkenal sekali dengan sebutan Ovada patimokkha, Anjuran Penghayatan Dhamma. Apakah isinya? Pada kesempatan ini marilah kita ulangi dan kita renungkan bersama isi dan makna dari khotbah tiga bait tersebut. Demikianlah yang Sang Buddha babarkan:

Kesabaran adalah cara membina diri yang paling baik,
Buddha menyatakan, Nibbana - Kebebasan - adalah yang tinggi,
Bukanlah seorang petapa,
bukanlah seorang yang telah meninggalkan hidup keduniawian.

Bila mereka menyakiti atau menindas orang lain,
Menghindari semua perbuatan jahat,
Menambah kebaikan,
Membersihkan pikiran sendiri,
Inilah ajaran semua Buddha.

Tidak berbicara jahat, tidak menyakiti,
Mengendalikan diri sesuai dengan penghayatan Dhamma,
Makan sesuai dengan kebutuhan,
Tinggal di tempat yang tepat,
Berusaha meluhurkan pikiran,
Inilah ajaran semua Buddha

    "Menghindari semua perbuatan jahat, menambah kebaikan, membersihkan pikiran sendiri, inilah ajaran semua Buddha". Bait ini sungguh tersusun dari kalimat-kalimat yang sederhana. Namun, kalau kita mau merenungkan dalam-dalam, sesungguhnya kalimat-kalimat sederhana tersebut adalah jantung dari kemanusiaan. Jantung dan tuntutan setiap umat manusia di muka bumi ini. "Menghindari semua perbuatan jahat, menambah kebaikan; dan membersihkan pikiran sendiri".

    "Tidak berbuat jahat" adalah tuntutan semua ajaran agama. "Tidak berbuat jahat" adalah suara hati sanubari manusia yang paling murni dan paling dalam. Kejahatan adalah pembawa penderitaan bagi makhluk lain, bahkan penyebab utama bencana bagi dunia ini. Dan lebih dari pada itu, kejahatan adalah perusak kehidupan kita sendiri. Karena itu, janganlah kita berbuat jahat. "Jangan berbuat jahat" adalah permintaan kita kepada diri kita sendiri. Juga permintaan kita kepada setiap umat manusia. Kejahatan tidak pernah disetujui oleh hati nurani umat manusia. Kejahatan tidak pernah disetujui oleh hati nurani umat manusia. Kejahatan tidak pernah mendapat kompromi dari semua ajaran agama.

    Pada waktu Sang Buddha ditanya oleh Yakkha Alavaka, tentang apakah yang harus dibunuh; maka jawab Sang Buddha dengan tegas, “Kejahatan yang harus dibunuh!”. Dan yang paling utama, kejahatan dalam diri kita sendirilah yang harus kita bunuh.

    “Tambahlah kebaikan”, adalah tuntutan kuat bagi setiap umat manusia. Tuntutan dari semua ajaran agama. Dalam kehidupan ini berusahalah kita berbuat baik. Sekali lagi, berbuat baik. Berbuat baik dengan hati yang tulus. Berbuat baik hanya dengan tujuan, supaya orang lain mendapat kebaikan, dan kebaikan dalam diri kita sendiri menjadi bertambah. Karena kita sadar sesadar-sadarnya, bahwa hanya kebaikanlah yang akan membuat kita bahagia. Yang akan membuat kita mampu bertahan menghadapi segala macam problem dan ketegangan dalam kehidupan ini.

    Bahkan, bukan kekerasan, bukan pula kekuasaan, bukan peperangan, bukan materi; tetapi hanyalah kebaikan, kebaikan yang tulus, yang akan menciptakan perdamaian di bumi ini di manapun juga. Janganlah kita berbuat baik dengan pamrih yang lain, misalnya: pamrih materi, pamrih kedudukan, pamrih nama, pamrih itu dan ini, dan bermacam-macam pamrih rendah lainnya. Meskipun susah, berusahalah semampu mungkin menolong mereka yang membutuhkan pertolongan, mereka yang sedang menderita. Berusahalah menghibur mereka yang sedang sedih, bantulah mereka; dengan niat berbuat baik yang murni, tanpa embel-embel. Kebaikan inilah modal terbesar bagi kita untuk mencapai semua cita-cita luhur kita. Tanpa kebaikan, kehidupan kita akan cepat hancur.

    Kalau kita berusaha berbuat baik dengan setulus-tulusnya, maka kita pasti, merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan sejati, yang lain daripada kebahagiaan-kebahagiaan lainnya.

    Memang, dalam dunia ini, dalam kacamata materi, kebaikan itu kelihatan lemah. Kebaikan itu berbeda jauh dengan kekuasaan, dengan kegaiban, kekayaan, dan benda-benda dunia lainnya. Namun kebaikan mampu mengatasi segala-galanya. Meskipun kita, mungkin, pada suatu ketika terkena salah pengertian, ataupun fitnah, atau perbuatan-perbuatan jahat lainnya, hendaknya kita tetap teguh dalam niat baik kita yang tulus. Niat baik inilah yang akan mengangkat kehidupan kita dari semuanya itu.

    Memang susah untuk membuktikan secara teori, bahwa kebaikan yang kelihatan lemah mampu mengatasi kekerasan dan kejahatan. Tetapi kebenaran ini akan membuktikannya. Alangkah menyedihkan, bila di dunia ini sebagian besar umat manusia sudah tidak mempunyai keyakinan lagi terhadap kebaikan yang tulus dan murni. Alangkah menyedihkan, bila di dunia ini banyak di antara kita yang berbuat baik, tetapi baik hanya tampak luarnya saja, sedangkan di balik itu bersembunyi pamrih, pamrih nama. pamrih kedudukan, kemenangan, materi, dan seribu satu macam yang lain. Bila demikian, maka dunia kita ini akan dilanda krisis kebaikan.

    Di antara semuanya, kebaikanlah yang paling unggul. Di antara senjata, kebaikan senjata yang paling tajam. Di antara kekuatan, kebaikan kekuatan yang paling hebat. Di antara segala ilmu gaib, kebaikan adalah kesaktian yang paling ampuh. Di antara semua materi, kebaikan adalah kekayaan yang paling luhur. Di semesta alam ini, tidak ada yang bisa menaklukkan kebaikan. Meskipun dewa Brahma turun ke bumi, kebaikan tetap di atas segala-galanya.

    Seorang umat Buddha hendaknya selalu hidup dengan tenang menghadapi persoalan kehidupan sehari-hari. Apapun bentuknya. Karena seorang umat Buddha, demikian juga kita semua, hendaknya selalu mempunyai keyakinan yang teguh kuat terhadap kebaikan. Kebaikan yang tulus dan murni. Seandainya, kita sudah di ujung maut; kalau kita masih mempunyai karma-karma baik, karma baik itulah yang akan menyelamatkan kita. Berbahagialah saudara yang tetap teguh di dalam kebaikan.

    Akhirnya, pada khotbah keramat dalam bait kedua tersebut Sang Buddha mengatakan, “Bersihkan pikiran sendiri”. Tidak berbuat jahat, dan selalu menambah kebaikan dengan niat yang tulus, adalah pangkal kebersihan pikiran. Pikiran ini harus kita bersihkan sendiri. Karena tidak seorang pun, sekalipun dewa, bisa membuat pikiran kita menjadi bersih. Dengan pikiran yang bersih kita akan bertahan dalam kehidupan ini. Breseri-seri di mana pun juga. Batin kita tenang dan cemerlang.

    Inilah tiga kalimat sederhana yang keramat dan suci, yang menjadi tuntutan suci sanubari setiap umat manusia. Jantung kemanusiaan, dan jalan kebahagiaan. “Menghindari semua perbuatan jahat, menambah kebaikan, membersihkan pikiran sendiri

[ Dikutip dari buku Kumpulan Dhammadesana, Sri Pannavaro Thera Jilid II ]

Jalur Kehidupan

Jalur Kehidupan
Oleh: Alm Yang Mulia Bhikkhu Girirakkhito Mahathera


Saya ingin memberi penjelasan kepada saudara-saudara, bahwa sebagai manusia, apalagi sebagai seorang umat beragama, akan baru bisa disebut mempunyai tujuan apabila di dalam hidup ini telah ada usaha kita untuk mencapai tujuan; dan tujuannya adalah mencapai kebebasan. Maksud dari mencapai kebebasan itu yaitu di dalam perjuangan hidup kita sebagai manusia ini, dapat tercapai cita-cita kita yaitu mencapai keadaan yang tidak terikat; jadi mencapai Kebebasan di dalam hidup ini. Itu baru dikatakan kita mencapai tujuan. Apabila tidak mempunyai tujuan demikian maka hidup ini belum dikatakan mempunyai cita-cita atau mempunyai tujuan, karena tujuan orang hidup itu adalah memang satu-satunya untuk menikmati Kebebasan. Yang dinamakan Kebebasan itu adalah tidak mempunyai keterikatan dengan hal-hal yang membuat diri kita terikat.

Di dalam Buddha Dhamma dijelaskan bahwa tujuan dari hidup ini adalah untuk mengerti tentang kehidupan ini, bahwa hidup ini terdiri atas jasmani dan rohani/batin. Oleh karena itu, jasmani ini harus mendapat makanan, demikian pula dengan rohani/batin. Tetapi rohani ini dikatakan lebih banyak daripada hanya sekedar jasmani. Dengan mempunyai rohani/batin itu, kita harus memberikan makanan kepada apa yang dinamakan phassa atau kontak. Jadi, terjadilah kontak dengan pikiran, kontak dengan perasaan, kontak dengan kesadaran. Jadi itu harus diberikan makanan, maka disebutlah makanan bagi phassa/kontak. Kemudian pikiran, itu juga harus diberikan makanan, yang di dalam bahasa Pali disebut Mano Sancetana Ahara, makanan untuk pikiran. Makanan untuk pikiran, tentu jelas bahwa pikiran ini harus diberikan makanan yang sehat-sehat, yang baik-baik, yang terpilih, supaya pikiran itu mejadi sehat. Kemudian makanan untuk kesadaran, Vinnana Ahara.

Saudara-saudara, di dalam falsafah agama Buddha yang tinggi sekali, makanan untuk jasmani, makanan untuk kontak, makanan untuk pikiran, dan makanan untuk kesadaran itu pada hakekatnya adalah kita memperpanjang penderitaan, yang akan mengakibatkan kita lahir lagi, terus-menerus demikian, sehingga kesengsaraan itu jadi bertambah panjang. Tetapi itu adalah falsafah Buddhis yang sangat tinggi. Tentu bagi kita yang masih sebagai orang awam, kalau mengikuti falsafah yang tinggi ini maka kita akan menemui kesulitan. Jadi maksudnya adalah begini saudara, kita mempunyai jasmani, kita mempunyai alat untuk kontak dengan yang patut bisa berhubungan dengan diri kita, walaupun pada hakekatnya itu disebut menambah kesengsaraan tetapi bagi kita orang awam, jasmani itu perlu makanan, pikiran itu perlu makanan, kesadaran itu perlu makanan. Karena itu semuanya adalah untuk merawat alat-alat kita ini, yang terdiri atas jasmani, kontak, pikiran, dan kesadaran. Itu harus dirawat. Karena perjalanan hidup ini sangat panjang sekali, maka hal-hal yang diperlukan untuk menempuh kehidupan yang panjang ini harus dirawat dengan baik, harus diberikan makanan, kalau rusak harus diperbaiki, begitulah seterusnya. Jadi yang penting kita harus mengerti bahwa badan ini adalah sarana, adalah alat untuk mencapai tujuan.

Sama halnya dengan kita kalau berlayar pakai perahu, pakai kapal, pakai apa saja, itu adalah sarana. Kapal, perahu, atau yang lain-lainnya sebagai sarana itu haruslah dipelihara dengan baik. Kalau perahu atau kapal itu sudah bocor, harus didempul; kalau catnya sudah luntur, supaya kayunya bisa tahan lama, harus dicat kembali; mesin-mesinnya harus dirawat kembali, dengan demikian kapal ini bisa berlayar mengarungi lautan yang luas sekali untuk mencapai tujuan daratan yang akan kita tuju.

Di dalam kehidupan ini, daratan itu sebenarnya adalah tujuan untuk berlabuh, untuk mendapatkan kenyamanan di dalam tempat berlabuh itu. Maka sering ada perumpamaan dalam berlayar itu. Kalau si nakhoda kapal tidak tahu arah mana yang harus ditempuh untuk mencapai daratan, maka zaman dulu, nakhoda kapal itu katanya mempunyai burung gagak yang dilepas untuk mencari tahu di mana ada daratan. Kalau burung itu sudah menemukan daratan, dia akan balik lagi ke perahu atau ke kapal itu. Kalau belum, dia akan terbang terus untuk bisa melihat daratan tempat berlabuh itu. Maksudnya di sini burung itu adalah simbol, kalau belum melihat pantai atau daratan, di mana daratan itu tidak lain adalah perumpamaan dari pantai nibbana, maka burung itu akan berusaha terus, dan kemudian kembali lagi ke kapal kalau sudah melihat pantai/daratan.

Memang untuk mencapai pantai nibbana ini kita harus mengarungi lautan kehidupan, suka-duka, dan lain sebagainya. Panjang sekali perjalanan kapal kehidupan ini. Maka oleh karena itu, sarana-sarana seperti jasmani, pikiran, dan kesadaran yang kita punyai itu harus dirawat dengan baik sekali, digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir. Jadi, kalau ada orang mengatakan bahwa "untuk apa memelihara jasmani ini, memelihara pikiran ini, itu menambah beban saja, menambah lamanya sengsara saja", itu adalah perlu dikaji lagi. Sebab jasmani ini perlu makanan, pikiran itu perlu makanan, alat kontak atau phassa itu perlu makanan. Jadi dia harus dipelihara dengan sebaik-baiknya. Maksudnya supaya badan jasmani ini, yang diumpamakan sebagai kapal yang mengarungi kehidupan yang maha luas ini, bisa dipakai terus sampai tujuan tercapai. Jadi kita harus merawat jasmani ini, merawat pikiran ini, jangan sembarangan pikiran itu dikasih makanan yang kurang menguntungkan pikiran itu.

Sekarang ini, terutama orang-orang yang sedang bersaing, sedang berlomba-lomba untuk mencapai rezeki yang diharapkan maka orang itu berlomba-lomba, bersaing untuk mencapai tujuan itu. Tetapi dia lupa bahwa kalau tujuan belum tercapai, maka dari persaingan itu lalu terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya di Jakarta ini, sekarang apakah sudah terlaksana atau belum, akan ada seminar. Seminar untuk membahas "Apakah perlu ambisi itu dipelihara atau dipupuk dengan baik supaya tujuan bisa tercapai?" Begitulah pandangan orang yang sekarang ini. Sebab dalam keadaan kehidupan yang penuh persaingan, ambisi itu katanya perlu dipelihara. Padahal di dalam Agama Buddha, tidak ada istilah yang persis untuk "ambisi" itu. Mungkin yang bisa mirip adalah "lobha", itu mirip dengan "ambisi". Katanya kalau tidak ambisi, nanti tersingkir; barang siapa yang melaksanakan pekerjaan dengan penuh ambisi itu biasanya dia akan dapat sukses, tetapi kalau tidak ambisi maka akan ketinggalan, tersingkir, tersisihkan, begitu. Ada beberapa umat di Jakarta yang datang kepada saya sebelum seminar itu dilaksanakan. Saya dimintai pendapat atau pandangan bagaimana ambisi itu menurut agama Buddha. Tentu saya katakan bahwa istilah ambisi itu tidak ada, yang ada adalah lobha, dosa, moha; itu ada. Jadi kalau orang dengan dasar lobha itu berjuang, mungkin tingkah lakunya menurut agama Buddha menjadi aneh. Dengan kelobhaan ini dia termasuk melakukan hal-hal yang kurang wajar. Sebab kata "lobha" itu asal katanya dari "lob". Lob artinya mengait. Jadi apa yang dilihat, apa yang diketemukan, lalu disenangi, lalu dikait, diseret untuk menjadi miliknya. Itulah pengertian tentang "lob", atau kemudian berkembang menjadi lobha. Sudah tentu bagi agama Buddha, hal yang demikian itu benar-benar bisa menambah problem, menambah masalah, dan kemudian menjadi susah sendiri. Nah, sekarang banyak orang berpendapat bahwa kalau tidak ambisi, kalau tidak lobha —kalau ambisi sama dengan lobha—, akan celaka sekali, akan tersisih sekali, tidak akan berhasil apa-apa. Tapi kalau dia mempunyai ambisi, mempunyai lobha, baru dia berhasil. Begitu juga di dalam persaingan mencari pekerjaan di perusahaan-perusahaan, harus ada lobha. Jadi lobha ini harus ditonjolkan, kalau tidak ya tersingkir; begitulah pandangan mereka.

Saudara-saudara, kadang-kadang orang tidak begitu berhati-hati, bahkan dengan mempunyai lobha itu dia bertindak hantam kromo. Ini disebabkan karena mereka tidak menyadari bahwa hidup itu ada jalurnya sendiri. Jadi di dalam kehidupan ini, yang dinamakan pikiran, maka pikiran ini mempunyai jalurnya. Ini yang sering sekali tidak disadari oleh orang banyak, oleh orang awam. Dia akan melakukan apa saja yang dianggap menguntungkan, padahal pikiran itu mempunyai jalur. Kalau ini kurang dimengerti maka akan merusak rezekinya sendiri. Maka itu, orang harus mengerti bahwa jalur kehidupan itu memang tidak kelihatan nyata, tetapi kita harus waspada sekali bahwa kalau kita hantam kromo, nanti jalan untuk mencapai tujuan malah terhambat. Juga kita jangan menganggap bahwa jalur kehidupan itu tidak ada. Dalam kehidupan ini, menurut agama Buddha, dikenal ada dua macam jalan. Jalan untuk materi dan jalan untuk rohani, untuk pikiran. Jalan yang biasa disebut Pakati Magga. Pakati Magga ini adalah jalan yang dilalui oleh kaki, oleh kuda, sekarang sudah adan jalan aspal di zaman kemajuan ini, itu dilalui oleh mobil; kemudian ada jalan di sungai itu dilalui oleh perahu; jalan di lautan luas, itu juga dilalui oleh kapal. Kemudian ada jalan di udara yang dilalui oleh kapal udara; itu kenyataannya sekarang. Tetapi jalan yang dilalui oleh kehidupan, itu adalah di dalam batin disebut Patipada Magga.

Inilah yang kadang-kadang banyak orang tidak mengetahui yang disebut Jalan Kehidupan. Itu jalurnya tentu ada di dalam pikiran, perasaan, kesadaran. Jadi ini harus dibangun! Seperti kita membangun jalan, pakai aspal, pakai hotmix, supaya perjalanan yang ditempuh oleh mobil menjadi lebih lancar, lebih cepat, demikian pula dengan jalan kehidupan ini adalah dibentuk di dalam pikiran, di dalam kesadaran. Maka oleh karena itu, kita harus waspada dan hati-hati sekali dengan perjalanan dari kehidupan yang jalurnya adalah di dalam kesadaran. Maka oleh karena itu, kita harus waspada dan hati-hati sekali dengan perjalanan dari kehidupan yang jalurnya adalah di dalam batin ini. Kalau kita tidak memperhatikan syarat-syaratnya maka kita akan merusak kehidupan kita sendiri. Jadi umpama saudara-saudara, kita menganggap kalau berbuat curang, berbuat tidak baik itu, tidak apa-apa asal nanti kita dapat untung, dapat hoki, dapat rezeki. Ini adalah pandangan keliru. Kalau kita kita sudah membentuk jalan yang keliru itu maka justru rezeki itu akan menjadi terhambat, hoki itu akan menjadi terhalang. Ini yang sering tidak disadari oleh orang-orang awam. Maka moral itu harus dan perlu dipelihara, sila harus dipelihara, sebab itu adalah "jalan kehidupan". Jadi jangan mengabaikan itu. Jangan lantas karena tergiur oleh keuntungan yang datangnya cepat, datangnya segera, lalu moral diabaikan; akhirnya akan menghambat rezeki/hoki kita sendiri. Maka cobalah amati dalam pengambilan sila yang diberikan oleh para bhikkhu, kan jelas begitu —Silena Sugatim Yanti, Silena Bhogasampada, Silena Nibbutim Yanti, Tasma Silam Visodhaye. Itu maknanya dalam sekali. Jadi moral harus kita lakukan dengan sebaik-baiknya, sebab kebahagiaan akan datang dari sana; kemudian kebebasan juga akan datang dari sana, kemakmuran juga akan datang dari sana. Jadi untuk mencapai rezeki, jangan sekali-kali mengabaikan moral, mengabaikan sila itu. Itu akan menghambat diri kita sendiri. Itulah makna dari sabda Sang Buddha yang sederhana saja, seperti dalam pengambilan sila. Jadi lakukanlah sila dengan sebaik-baiknya. Dari situ nanti akan datang rezeki, kemakmuran, kebebasan, bahkan kebahagiaan surgawi dan kebahagiaan nibbana akan bisa dicapai melalui pelaksanaan moral/sila yang baik. Itulah JALAN KEHIDUPAN yang dibangun di dalam batin.

Saudara-saudara, apabila jalan aspal itu, di kota misalnya, ada peraturan-peraturan, tanda-tanda yang banyak sekali dipasang oleh polisi lalu lintas; itu tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menjaga ketertiban, keharmonisan pengemudi-pengemudi. Jadi kalau semuanya main labrak saja, tidak hirau dengan dengan tanda-tanda, maka akhirnya tidak ada yang disiplin. Lalu lintas seperti di kota-kota besar kalau tidak disiplin, tidak mentaati peraturan-peraturan lalu lintas, pasti akan terjadi kecelakaan atau mengganggu pengemudi yang banyak. Persis begitu saudara. Jadi peraturan itu harus ditaati. Saya ulangi, peraturan ini harus ditaati! Bukan harus dipuja, bukan harus disembahyangi tetapi peraturan harus ditaati, harus penuh disiplin melaksanakannya. Umpamanya kalau di tengah jalan ada lampu merah, di mana kita harus stop, maka tidak bisa lampu itu dikasih dupa, dikasih bunga, dikasih buah-buahan, agar kita dibela oleh lampu merah itu, tidak bisa begitu. Itu hanya harus ditaati saja.

Saudara-saudara sekalian, kalau ini sudah kita pahami, kita sudah mentaati peraturan dan berdisiplin mengikuti aturan-aturan, maka keselamatan akan dapat kita raih. Banyak orang yang sebenarnya tidak paham tentang apa yang saya katakan tadi. Saudara-saudara sekalian, saya ingin juga menjelaskan bahwa kehidupan ini yang tadi saya katakan mempunyai jalur, mempunyai jalan, itu juga sama begitu, harus ditaati sekali. Oleh karena itu, moral harus ditaati, peraturan-peraturan juga harus ditaati, sehingga kita sudah terbiasa dengan melaksanakan moral dan taat kepada aturan-aturan. Sebenarnya ketaatan kepada aturan-aturan inilah, yang membuat diri kita selamat, tidak terkena bahaya apa-apa karena kita taat kepada aturan. Oleh karena itu kita harus memperhatikan sekali apa yang saya sampaikan tadi. Kemudian yang perlu lagi diketahui dan dipahami adalah kita harus tahu sekali bahwa jalan kehidupan itu jalurnya adalah demikian. Jadi tidak boleh salah. Maka oleh karena itu kita tidak boleh mengabaikan. "Ah, kalau salah, nanti bisa kita perbaiki lagi", sering kita mempunyai pendapat demikian. Seratus kali salah, seratus kali diperbaiki, kadang-kadang begitu kita punya pendapat. Padahal itu tidak patut demikian. Jadi kita harus berhati-hati sekali, waspada sekali, jangan sampai salah. Karena salah itu membawa penyimpangan-penyimpangan, dan kalau sudah ada penyimpangan, maka lambat-laun itu menjadi lebih besar dan lebih besar lagi. Oleh karena itu kita harus berusaha supaya tidak sampai menyimpang dari aturan-aturan yang sudah ada, jadi usahakan supaya tidak banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan.

Yang sekarang saya maksudkan adalah seperti apa yang saya katakan tadi, di Jakarta ada seminar dimana yang dibahas tentang ambisi, "Apakah jelek ambisi itu?" Padahal ada yang mengatakan bahwa ambisi itu perlu sekali, kalau tidak maka kita akan ketinggalan. Jadi dasarnya mulai dari pengertian salah, lalu dianggap ambisi itu perlu dan harus dilakukan. Padahal seperti saya katakan tadi, ambisi itu akan merusak jalan yang akan ditempuh oleh pikiran itu. Pikiran akan terganggu pada waktu itu dan kemudian akan merusak sendiri jalan yang harus dilalui oleh pikiran. Siapa yang merusak? Kita sendiri.

Begitulah saudara-saduara. Maka tidak ada yang lebih baik daripada teliti sekali, telaten sekali dan waspada sekali, agar jangan terjadi kesalahan-kesalahan. Kalau kesalahan-kesalahan itu sudah tidak ada maka jalur dari jalan kehidupan itu akan aman, selamat, dan kemudian tidak menghambat datangnya rezeki, kedudukan, atau kehormatan, dan lain sebagainya, itu tidak terganggu, itu yang lebih baik daripada terganggu. Nah, ini harus dicamkan sekali. Kemudian saudara-saudara, saya ingin menyampaikan bahwa jalan kehidupan ini seperti apa yang saya katakan tadi, adalah terdapat di dalam pikiran. Kalau pikiran baik, jalan kehidupan juga akan baik; kalau pikiran tidak baik, jalan kehidupan juga akan tidak baik. Itu harus benar-benar dicamkan! Hendaknyalah saudara-saudara benar-benar mengerti hal ini. Jangan sembrono. Kalau kita berlomba-lomba mencari rezeki, mencari hoki, jangan melupakan atau mengabaikan yang dinamakan jalur kehidupan itu! Jangan ini dirusak, karena kalau rusak nanti malah tambah ruwet. Pokoknya yang mulus saja. Umpamanya berbohong, berdusta, memang kelihatannya, "Ah, cuma bohong, itu nantinya akan akhirnya toh kita yang untung", itu salah, saudara-saudara. Nanti malah justru keuntungan itu jadi lebih jauh, makin tidak tercapai. Maka lebih yang betul-betul mulus. Apa yang harus ditaati, diikuti seperti aturan-aturan itu, lebih baik kita ikuti dengan seksama. Jangan meniru kiri-kanan melakukan itu lalu dia untung, lalu dia dapat rezeki banyak, jangan itu diikuti. Sekarang rezeki, tapi kemudian setelah akibatnya datang, malah menjadi "bo-hoki’. Sering terjadi begitu. Jadi kita harus waspada sekali, introspeksi sekali, jangan dibiarkan pikiran itu melantur, tapi harus kita rem, harus kita kendalikan supaya kita tidak merusak jalan kita sendiri yang ada di dalam batin. Kalau kita tidak merusak jalan kita sendiri yang ada di dalam batin, maka semuanya akan menjadi lancar. Karena itu perhatikan sekali, jangan mudah menyerah atau ikut-ikutan dengan orang banyak. Jadi sekarang kendalikan diri. Itu akan lebih baik. Lakukan hal yang mulus, yang jujur. Saya membuktikan sekali, karena saya introspeksi terus. Lebih baik bekerja dengan mulus, dengan jujur, dengan sebaik-baiknya, maka kehormatan, rezeki, penghargaan, pujian, itu akan betul-betul datang dengan baik sekali. Dan lebih baik kita menikmati hal-hal yang demikian daripada mencari jalan pendek untuk mendapatkan untung atau kemajuan. Demikianlah saudara-saudara, sekilas tentang tujuan dari kehidupan.

Menurut agama Buddha, kalau orang yang telah mencapai kebersihan, ketidakterikatan dan semuanya dilakukan menurut aturan dan sebagainya, maka dia diumpamakan bebas seperti burung yang terbang di angkasa. Burung yang terbang di angkasa tidak dapat dilihat bekasnya, kemana burung itu terbang. Lain halnya kalau harimau berjalan di daratan itu jelas ada bekas kakinya, apakah kukunya yang tajam itu menekan tanah sehingga tampak jelas sekali. Orang-orang yang betul-betul bersih, betul-betul suci, diibaratkan seperti burung yang terbang itu, tidak ada bekasnya. Jadi karena beliau sama sekali tidak melekat kepada apapun, maka dinamakan bebas seperti burung yang terbang itu. Kalau kita, wah gampang sekali kena jerat, gampang kena jaring, pokoknya beda. Orang yang tidak melekat kepada apapun diumpamakan seperti burung yang terbang di angkasa, tidak dapat diketahui. Nah, itu cerita tentang orang suci zaman dahulu, tidak bisa diketahui bekas-bekasnya. Saudara-saudara, ada lagi perumpamaan, kalau burung —yang punya sayap—, hinggap di dahan yang kering, karena kesusu, lalu dahan itu jatuh, burung itu juga ikut jatuh, tetapi setelah jatuh, burung itu bisa terbang kembali. Lain halnya dengan buah kelapa atau buah mangga atau buah durian, kalau jatuh, tidak bisa bangun lagi. Kalau buah itu jatuh tidak bisa bangun lagi karena tidak punya sayap. Tapi burung itu punya sayap. Kita sebagai manusia harus berusaha menjadi seperti burung itu. Jadi biarpun jatuh tapi bisa terbang kembali, sehingga tidak terus jatuh konyol, begitulah. Ini maksudnya adalah tidak melekat kepada hal-hal tertentu. Jadi dengan demikian kita seperti burung, kalau jatuh tidak tenggelam tetapi terbang lagi. Begitu dianjurkan. Kalau kita belajar, itu supaya nanti punya sayap seperti burung; jatuh tidak terus jatuh, tetapi terbang lagi.

Saudara-saudara, memang dari jalur kehidupan sampai kepada perumpamaan burung, sudah cukup jelas sekali bahwa kita harus berusaha punya sayap. Tentu bukan berarti sayap seperti bidadari-bidadari yang ada sayapnya, bukan begitu maksudnya. Kita sebagai manusia harus bisa tidak melekat kepada hal-hal yang dianggap seperti jatuh itu. Jadi kalau kita jatuh, kita berusaha seperti burung itu, bangun lagi, terbang lagi. ini yang lebih baik. tidak seperti buah kelapa, kalau jatuh malah menggelinding terus mencari tempat yang paling rendah. Tidak demikian tujuan daripada kehidupan ini. Saudara-saudara, di dalam hidup ini memang kemungkinan untuk jatuh itu ada saja. Tetapi walaupun jatuh kita berusaha seperti burung itu bisa terbang kembali. Artinya bagaimana? Jadi orang yang tidak melekat kepada hal-hal yang dianggap sebagai miliknya, dianggap sebagai kepunyaannya, itu dia tidak melekat lagi. Itu namanya seperti burung. Kalau orang dagang umpamanya, dia rugi, tapi walaupun rugi dia bisa terbang kembali, jadi tidak melekat, tidak menangisi kerugian itu, tetapi tetap tegar, lalu dia terbang kembali. Hendaknyalah kita juga bisa hidup seperti burung itu.

[ Dikutip dari Mutiara Dhamma ]