Oleh: Alm Yang Mulia Bhikkhu Girirakkhito Mahathera
Saya ingin memberi penjelasan kepada saudara-saudara,       bahwa sebagai manusia, apalagi sebagai seorang umat beragama, akan baru       bisa disebut mempunyai tujuan apabila di dalam hidup ini telah ada usaha       kita untuk mencapai tujuan; dan tujuannya adalah mencapai kebebasan.       Maksud dari mencapai kebebasan itu yaitu di dalam perjuangan hidup kita       sebagai manusia ini, dapat tercapai cita-cita kita yaitu mencapai keadaan       yang tidak terikat; jadi mencapai Kebebasan di dalam hidup ini. Itu baru       dikatakan kita mencapai tujuan. Apabila tidak mempunyai tujuan demikian       maka hidup ini belum dikatakan mempunyai cita-cita atau mempunyai tujuan,       karena tujuan orang hidup itu adalah memang satu-satunya untuk menikmati       Kebebasan. Yang dinamakan Kebebasan itu adalah tidak mempunyai keterikatan       dengan hal-hal yang membuat diri kita terikat.
     
      Di dalam Buddha Dhamma dijelaskan bahwa tujuan dari hidup ini adalah untuk       mengerti tentang kehidupan ini, bahwa hidup ini terdiri atas jasmani dan       rohani/batin. Oleh karena itu, jasmani ini harus mendapat makanan,       demikian pula dengan rohani/batin. Tetapi rohani ini dikatakan lebih       banyak daripada hanya sekedar jasmani. Dengan mempunyai rohani/batin itu,       kita harus memberikan makanan kepada apa yang dinamakan phassa atau       kontak. Jadi, terjadilah kontak dengan pikiran, kontak dengan perasaan,       kontak dengan kesadaran. Jadi itu harus diberikan makanan, maka disebutlah       makanan bagi phassa/kontak. Kemudian pikiran, itu juga harus diberikan       makanan, yang di dalam bahasa Pali disebut Mano Sancetana Ahara, makanan       untuk pikiran. Makanan untuk pikiran, tentu jelas bahwa pikiran ini harus       diberikan makanan yang sehat-sehat, yang baik-baik, yang terpilih, supaya       pikiran itu mejadi sehat. Kemudian makanan untuk kesadaran, Vinnana Ahara.
     
      Saudara-saudara, di dalam falsafah agama Buddha yang tinggi sekali,       makanan untuk jasmani, makanan untuk kontak, makanan untuk pikiran, dan       makanan untuk kesadaran itu pada hakekatnya adalah kita memperpanjang       penderitaan, yang akan mengakibatkan kita lahir lagi, terus-menerus       demikian, sehingga kesengsaraan itu jadi bertambah panjang. Tetapi itu       adalah falsafah Buddhis yang sangat tinggi. Tentu bagi kita yang masih       sebagai orang awam, kalau mengikuti falsafah yang tinggi ini maka kita       akan menemui kesulitan. Jadi maksudnya adalah begini saudara, kita       mempunyai jasmani, kita mempunyai alat untuk kontak dengan yang patut bisa       berhubungan dengan diri kita, walaupun pada hakekatnya itu disebut       menambah kesengsaraan tetapi bagi kita orang awam, jasmani itu perlu       makanan, pikiran itu perlu makanan, kesadaran itu perlu makanan. Karena       itu semuanya adalah untuk merawat alat-alat kita ini, yang terdiri atas       jasmani, kontak, pikiran, dan kesadaran. Itu harus dirawat. Karena       perjalanan hidup ini sangat panjang sekali, maka hal-hal yang diperlukan       untuk menempuh kehidupan yang panjang ini harus dirawat dengan baik, harus       diberikan makanan, kalau rusak harus diperbaiki, begitulah seterusnya.       Jadi yang penting kita harus mengerti bahwa badan ini adalah sarana,       adalah alat untuk mencapai tujuan.
     
      Sama halnya dengan kita kalau berlayar pakai perahu, pakai kapal, pakai       apa saja, itu adalah sarana. Kapal, perahu, atau yang lain-lainnya sebagai       sarana itu haruslah dipelihara dengan baik. Kalau perahu atau kapal itu       sudah bocor, harus didempul; kalau catnya sudah luntur, supaya kayunya       bisa tahan lama, harus dicat kembali; mesin-mesinnya harus dirawat       kembali, dengan demikian kapal ini bisa berlayar mengarungi lautan yang       luas sekali untuk mencapai tujuan daratan yang akan kita tuju.
     
      Di dalam kehidupan ini, daratan itu sebenarnya adalah tujuan untuk       berlabuh, untuk mendapatkan kenyamanan di dalam tempat berlabuh itu. Maka       sering ada perumpamaan dalam berlayar itu. Kalau si nakhoda kapal tidak       tahu arah mana yang harus ditempuh untuk mencapai daratan, maka zaman       dulu, nakhoda kapal itu katanya mempunyai burung gagak yang dilepas untuk       mencari tahu di mana ada daratan. Kalau burung itu sudah menemukan       daratan, dia akan balik lagi ke perahu atau ke kapal itu. Kalau belum, dia       akan terbang terus untuk bisa melihat daratan tempat berlabuh itu.       Maksudnya di sini burung itu adalah simbol, kalau belum melihat pantai       atau daratan, di mana daratan itu tidak lain adalah perumpamaan dari       pantai nibbana, maka burung itu akan berusaha terus, dan kemudian kembali       lagi ke kapal kalau sudah melihat pantai/daratan.
     
      Memang untuk mencapai pantai nibbana ini kita harus mengarungi lautan       kehidupan, suka-duka, dan lain sebagainya. Panjang sekali perjalanan kapal       kehidupan ini. Maka oleh karena itu, sarana-sarana seperti jasmani,       pikiran, dan kesadaran yang kita punyai itu harus dirawat dengan baik       sekali, digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir. Jadi, kalau       ada orang mengatakan bahwa "untuk apa memelihara jasmani ini,       memelihara pikiran ini, itu menambah beban saja, menambah lamanya sengsara       saja", itu adalah perlu dikaji lagi. Sebab jasmani ini perlu makanan,       pikiran itu perlu makanan, alat kontak atau phassa itu perlu makanan. Jadi       dia harus dipelihara dengan sebaik-baiknya. Maksudnya supaya badan jasmani       ini, yang diumpamakan sebagai kapal yang mengarungi kehidupan yang maha       luas ini, bisa dipakai terus sampai tujuan tercapai. Jadi kita harus       merawat jasmani ini, merawat pikiran ini, jangan sembarangan pikiran itu       dikasih makanan yang kurang menguntungkan pikiran itu.
     
      Sekarang ini, terutama orang-orang yang sedang bersaing, sedang       berlomba-lomba untuk mencapai rezeki yang diharapkan maka orang itu       berlomba-lomba, bersaing untuk mencapai tujuan itu. Tetapi dia lupa bahwa       kalau tujuan belum tercapai, maka dari persaingan itu lalu terjadilah       hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya di Jakarta ini, sekarang apakah       sudah terlaksana atau belum, akan ada seminar. Seminar untuk membahas       "Apakah perlu ambisi itu dipelihara atau dipupuk dengan baik supaya       tujuan bisa tercapai?" Begitulah pandangan orang yang sekarang ini.       Sebab dalam keadaan kehidupan yang penuh persaingan, ambisi itu katanya       perlu dipelihara. Padahal di dalam Agama Buddha, tidak ada istilah yang       persis untuk "ambisi" itu. Mungkin yang bisa mirip adalah       "lobha", itu mirip dengan "ambisi". Katanya kalau       tidak ambisi, nanti tersingkir; barang siapa yang melaksanakan pekerjaan       dengan penuh ambisi itu biasanya dia akan dapat sukses, tetapi kalau tidak       ambisi maka akan ketinggalan, tersingkir, tersisihkan, begitu. Ada       beberapa umat di Jakarta yang datang kepada saya sebelum seminar itu       dilaksanakan. Saya dimintai pendapat atau pandangan bagaimana ambisi itu       menurut agama Buddha. Tentu saya katakan bahwa istilah ambisi itu tidak       ada, yang ada adalah lobha, dosa, moha; itu ada. Jadi kalau orang dengan       dasar lobha itu berjuang, mungkin tingkah lakunya menurut agama Buddha       menjadi aneh. Dengan kelobhaan ini dia termasuk melakukan hal-hal yang       kurang wajar. Sebab kata "lobha" itu asal katanya dari       "lob". Lob artinya mengait. Jadi apa yang dilihat, apa yang       diketemukan, lalu disenangi, lalu dikait, diseret untuk menjadi miliknya.       Itulah pengertian tentang "lob", atau kemudian berkembang       menjadi lobha. Sudah tentu bagi agama Buddha, hal yang demikian itu       benar-benar bisa menambah problem, menambah masalah, dan kemudian menjadi       susah sendiri. Nah, sekarang banyak orang berpendapat bahwa kalau tidak       ambisi, kalau tidak lobha —kalau ambisi sama dengan lobha—, akan       celaka sekali, akan tersisih sekali, tidak akan berhasil apa-apa. Tapi       kalau dia mempunyai ambisi, mempunyai lobha, baru dia berhasil. Begitu       juga di dalam persaingan mencari pekerjaan di perusahaan-perusahaan, harus       ada lobha. Jadi lobha ini harus ditonjolkan, kalau tidak ya tersingkir;       begitulah pandangan mereka.
     
      Saudara-saudara, kadang-kadang orang tidak begitu berhati-hati, bahkan       dengan mempunyai lobha itu dia bertindak hantam kromo. Ini disebabkan       karena mereka tidak menyadari bahwa hidup itu ada jalurnya sendiri. Jadi       di dalam kehidupan ini, yang dinamakan pikiran, maka pikiran ini mempunyai       jalurnya. Ini yang sering sekali tidak disadari oleh orang banyak, oleh       orang awam. Dia akan melakukan apa saja yang dianggap menguntungkan,       padahal pikiran itu mempunyai jalur. Kalau ini kurang dimengerti maka akan       merusak rezekinya sendiri. Maka itu, orang harus mengerti bahwa jalur       kehidupan itu memang tidak kelihatan nyata, tetapi kita harus waspada       sekali bahwa kalau kita hantam kromo, nanti jalan untuk mencapai tujuan       malah terhambat. Juga kita jangan menganggap bahwa jalur kehidupan itu       tidak ada. Dalam kehidupan ini, menurut agama Buddha, dikenal ada dua       macam jalan. Jalan untuk materi dan jalan untuk rohani, untuk pikiran.       Jalan yang biasa disebut Pakati Magga. Pakati Magga ini adalah jalan yang       dilalui oleh kaki, oleh kuda, sekarang sudah adan jalan aspal di zaman       kemajuan ini, itu dilalui oleh mobil; kemudian ada jalan di sungai itu       dilalui oleh perahu; jalan di lautan luas, itu juga dilalui oleh kapal.       Kemudian ada jalan di udara yang dilalui oleh kapal udara; itu       kenyataannya sekarang. Tetapi jalan yang dilalui oleh kehidupan, itu       adalah di dalam batin disebut Patipada Magga.
     
      Inilah yang kadang-kadang banyak orang tidak mengetahui yang disebut Jalan       Kehidupan. Itu jalurnya tentu ada di dalam pikiran, perasaan, kesadaran.       Jadi ini harus dibangun! Seperti kita membangun jalan, pakai aspal, pakai       hotmix, supaya perjalanan yang ditempuh oleh mobil menjadi lebih lancar,       lebih cepat, demikian pula dengan jalan kehidupan ini adalah dibentuk di       dalam pikiran, di dalam kesadaran. Maka oleh karena itu, kita harus       waspada dan hati-hati sekali dengan perjalanan dari kehidupan yang       jalurnya adalah di dalam kesadaran. Maka oleh karena itu, kita harus       waspada dan hati-hati sekali dengan perjalanan dari kehidupan yang       jalurnya adalah di dalam batin ini. Kalau kita tidak memperhatikan       syarat-syaratnya maka kita akan merusak kehidupan kita sendiri. Jadi       umpama saudara-saudara, kita menganggap kalau berbuat curang, berbuat       tidak baik itu, tidak apa-apa asal nanti kita dapat untung, dapat hoki,       dapat rezeki. Ini adalah pandangan keliru. Kalau kita kita sudah membentuk       jalan yang keliru itu maka justru rezeki itu akan menjadi terhambat, hoki       itu akan menjadi terhalang. Ini yang sering tidak disadari oleh       orang-orang awam. Maka moral itu harus dan perlu dipelihara, sila harus       dipelihara, sebab itu adalah "jalan kehidupan". Jadi jangan       mengabaikan itu. Jangan lantas karena tergiur oleh keuntungan yang       datangnya cepat, datangnya segera, lalu moral diabaikan; akhirnya akan       menghambat rezeki/hoki kita sendiri. Maka cobalah amati dalam pengambilan       sila yang diberikan oleh para bhikkhu, kan jelas begitu —Silena Sugatim       Yanti, Silena Bhogasampada, Silena Nibbutim Yanti, Tasma Silam Visodhaye.       Itu maknanya dalam sekali. Jadi moral harus kita lakukan dengan       sebaik-baiknya, sebab kebahagiaan akan datang dari sana; kemudian       kebebasan juga akan datang dari sana, kemakmuran juga akan datang dari       sana. Jadi untuk mencapai rezeki, jangan sekali-kali mengabaikan moral,       mengabaikan sila itu. Itu akan menghambat diri kita sendiri. Itulah makna       dari sabda Sang Buddha yang sederhana saja, seperti dalam pengambilan       sila. Jadi lakukanlah sila dengan sebaik-baiknya. Dari situ nanti akan       datang rezeki, kemakmuran, kebebasan, bahkan kebahagiaan surgawi dan       kebahagiaan nibbana akan bisa dicapai melalui pelaksanaan moral/sila yang       baik. Itulah JALAN KEHIDUPAN yang dibangun di dalam batin.
     
      Saudara-saudara, apabila jalan aspal itu, di kota misalnya, ada       peraturan-peraturan, tanda-tanda yang banyak sekali dipasang oleh polisi       lalu lintas; itu tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menjaga       ketertiban, keharmonisan pengemudi-pengemudi. Jadi kalau semuanya main       labrak saja, tidak hirau dengan dengan tanda-tanda, maka akhirnya tidak       ada yang disiplin. Lalu lintas seperti di kota-kota besar kalau tidak       disiplin, tidak mentaati peraturan-peraturan lalu lintas, pasti akan       terjadi kecelakaan atau mengganggu pengemudi yang banyak. Persis begitu       saudara. Jadi peraturan itu harus ditaati. Saya ulangi, peraturan ini       harus ditaati! Bukan harus dipuja, bukan harus disembahyangi tetapi       peraturan harus ditaati, harus penuh disiplin melaksanakannya. Umpamanya       kalau di tengah jalan ada lampu merah, di mana kita harus stop, maka tidak       bisa lampu itu dikasih dupa, dikasih bunga, dikasih buah-buahan, agar kita       dibela oleh lampu merah itu, tidak bisa begitu. Itu hanya harus ditaati       saja.
     
      Saudara-saudara sekalian, kalau ini sudah kita pahami, kita sudah mentaati       peraturan dan berdisiplin mengikuti aturan-aturan, maka keselamatan akan       dapat kita raih. Banyak orang yang sebenarnya tidak paham tentang apa yang       saya katakan tadi. Saudara-saudara sekalian, saya ingin juga menjelaskan       bahwa kehidupan ini yang tadi saya katakan mempunyai jalur, mempunyai       jalan, itu juga sama begitu, harus ditaati sekali. Oleh karena itu, moral       harus ditaati, peraturan-peraturan juga harus ditaati, sehingga kita sudah       terbiasa dengan melaksanakan moral dan taat kepada aturan-aturan.       Sebenarnya ketaatan kepada aturan-aturan inilah, yang membuat diri kita       selamat, tidak terkena bahaya apa-apa karena kita taat kepada aturan. Oleh       karena itu kita harus memperhatikan sekali apa yang saya sampaikan tadi.       Kemudian yang perlu lagi diketahui dan dipahami adalah kita harus tahu       sekali bahwa jalan kehidupan itu jalurnya adalah demikian. Jadi tidak       boleh salah. Maka oleh karena itu kita tidak boleh mengabaikan. "Ah,       kalau salah, nanti bisa kita perbaiki lagi", sering kita mempunyai       pendapat demikian. Seratus kali salah, seratus kali diperbaiki,       kadang-kadang begitu kita punya pendapat. Padahal itu tidak patut       demikian. Jadi kita harus berhati-hati sekali, waspada sekali, jangan       sampai salah. Karena salah itu membawa penyimpangan-penyimpangan, dan       kalau sudah ada penyimpangan, maka lambat-laun itu menjadi lebih besar dan       lebih besar lagi. Oleh karena itu kita harus berusaha supaya tidak sampai       menyimpang dari aturan-aturan yang sudah ada, jadi usahakan supaya tidak       banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan.
     
      Yang sekarang saya maksudkan adalah seperti apa yang saya katakan tadi, di       Jakarta ada seminar dimana yang dibahas tentang ambisi, "Apakah jelek       ambisi itu?" Padahal ada yang mengatakan bahwa ambisi itu perlu       sekali, kalau tidak maka kita akan ketinggalan. Jadi dasarnya mulai dari       pengertian salah, lalu dianggap ambisi itu perlu dan harus dilakukan.       Padahal seperti saya katakan tadi, ambisi itu akan merusak jalan yang akan       ditempuh oleh pikiran itu. Pikiran akan terganggu pada waktu itu dan       kemudian akan merusak sendiri jalan yang harus dilalui oleh pikiran. Siapa       yang merusak? Kita sendiri.
     
      Begitulah saudara-saduara. Maka tidak ada yang lebih baik daripada teliti       sekali, telaten sekali dan waspada sekali, agar jangan terjadi       kesalahan-kesalahan. Kalau kesalahan-kesalahan itu sudah tidak ada maka       jalur dari jalan kehidupan itu akan aman, selamat, dan kemudian tidak       menghambat datangnya rezeki, kedudukan, atau kehormatan, dan lain       sebagainya, itu tidak terganggu, itu yang lebih baik daripada terganggu.       Nah, ini harus dicamkan sekali. Kemudian saudara-saudara, saya ingin       menyampaikan bahwa jalan kehidupan ini seperti apa yang saya katakan tadi,       adalah terdapat di dalam pikiran. Kalau pikiran baik, jalan kehidupan juga       akan baik; kalau pikiran tidak baik, jalan kehidupan juga akan tidak baik.       Itu harus benar-benar dicamkan! Hendaknyalah saudara-saudara benar-benar       mengerti hal ini. Jangan sembrono. Kalau kita berlomba-lomba mencari       rezeki, mencari hoki, jangan melupakan atau mengabaikan yang dinamakan       jalur kehidupan itu! Jangan ini dirusak, karena kalau rusak nanti malah       tambah ruwet. Pokoknya yang mulus saja. Umpamanya berbohong, berdusta,       memang kelihatannya, "Ah, cuma bohong, itu nantinya akan akhirnya toh       kita yang untung", itu salah, saudara-saudara. Nanti malah justru       keuntungan itu jadi lebih jauh, makin tidak tercapai. Maka lebih yang       betul-betul mulus. Apa yang harus ditaati, diikuti seperti aturan-aturan       itu, lebih baik kita ikuti dengan seksama. Jangan meniru kiri-kanan       melakukan itu lalu dia untung, lalu dia dapat rezeki banyak, jangan itu       diikuti. Sekarang rezeki, tapi kemudian setelah akibatnya datang, malah       menjadi "bo-hoki’. Sering terjadi begitu. Jadi kita harus waspada       sekali, introspeksi sekali, jangan dibiarkan pikiran itu melantur, tapi       harus kita rem, harus kita kendalikan supaya kita tidak merusak jalan kita       sendiri yang ada di dalam batin. Kalau kita tidak merusak jalan kita       sendiri yang ada di dalam batin, maka semuanya akan menjadi lancar. Karena       itu perhatikan sekali, jangan mudah menyerah atau ikut-ikutan dengan orang       banyak. Jadi sekarang kendalikan diri. Itu akan lebih baik. Lakukan hal       yang mulus, yang jujur. Saya membuktikan sekali, karena saya introspeksi       terus. Lebih baik bekerja dengan mulus, dengan jujur, dengan       sebaik-baiknya, maka kehormatan, rezeki, penghargaan, pujian, itu akan       betul-betul datang dengan baik sekali. Dan lebih baik kita menikmati       hal-hal yang demikian daripada mencari jalan pendek untuk mendapatkan       untung atau kemajuan. Demikianlah saudara-saudara, sekilas tentang tujuan       dari kehidupan.
     
      Menurut agama Buddha, kalau orang yang telah mencapai kebersihan,       ketidakterikatan dan semuanya dilakukan menurut aturan dan sebagainya,       maka dia diumpamakan bebas seperti burung yang terbang di angkasa. Burung       yang terbang di angkasa tidak dapat dilihat bekasnya, kemana burung itu       terbang. Lain halnya kalau harimau berjalan di daratan itu jelas ada bekas       kakinya, apakah kukunya yang tajam itu menekan tanah sehingga tampak jelas       sekali. Orang-orang yang betul-betul bersih, betul-betul suci, diibaratkan       seperti burung yang terbang itu, tidak ada bekasnya. Jadi karena beliau       sama sekali tidak melekat kepada apapun, maka dinamakan bebas seperti       burung yang terbang itu. Kalau kita, wah gampang sekali kena jerat,       gampang kena jaring, pokoknya beda. Orang yang tidak melekat kepada apapun       diumpamakan seperti burung yang terbang di angkasa, tidak dapat diketahui.       Nah, itu cerita tentang orang suci zaman dahulu, tidak bisa diketahui       bekas-bekasnya. Saudara-saudara, ada lagi perumpamaan, kalau burung       —yang punya sayap—, hinggap di dahan yang kering, karena kesusu, lalu       dahan itu jatuh, burung itu juga ikut jatuh, tetapi setelah jatuh, burung       itu bisa terbang kembali. Lain halnya dengan buah kelapa atau buah mangga       atau buah durian, kalau jatuh, tidak bisa bangun lagi. Kalau buah itu       jatuh tidak bisa bangun lagi karena tidak punya sayap. Tapi burung itu       punya sayap. Kita sebagai manusia harus berusaha menjadi seperti burung       itu. Jadi biarpun jatuh tapi bisa terbang kembali, sehingga tidak terus       jatuh konyol, begitulah. Ini maksudnya adalah tidak melekat kepada hal-hal       tertentu. Jadi dengan demikian kita seperti burung, kalau jatuh tidak       tenggelam tetapi terbang lagi. Begitu dianjurkan. Kalau kita belajar, itu       supaya nanti punya sayap seperti burung; jatuh tidak terus jatuh, tetapi       terbang lagi.
     
      Saudara-saudara, memang dari jalur kehidupan sampai kepada perumpamaan       burung, sudah cukup jelas sekali bahwa kita harus berusaha punya sayap.       Tentu bukan berarti sayap seperti bidadari-bidadari yang ada sayapnya,       bukan begitu maksudnya. Kita sebagai manusia harus bisa tidak melekat       kepada hal-hal yang dianggap seperti jatuh itu. Jadi kalau kita jatuh,       kita berusaha seperti burung itu, bangun lagi, terbang lagi. ini yang       lebih baik. tidak seperti buah kelapa, kalau jatuh malah menggelinding       terus mencari tempat yang paling rendah. Tidak demikian tujuan daripada       kehidupan ini. Saudara-saudara, di dalam hidup ini memang kemungkinan       untuk jatuh itu ada saja. Tetapi walaupun jatuh kita berusaha seperti       burung itu bisa terbang kembali. Artinya bagaimana? Jadi orang yang tidak       melekat kepada hal-hal yang dianggap sebagai miliknya, dianggap sebagai       kepunyaannya, itu dia tidak melekat lagi. Itu namanya seperti burung.       Kalau orang dagang umpamanya, dia rugi, tapi walaupun rugi dia bisa       terbang kembali, jadi tidak melekat, tidak menangisi kerugian itu, tetapi       tetap tegar, lalu dia terbang kembali. Hendaknyalah kita juga bisa hidup       seperti burung itu.       
Tidak ada komentar:
Posting Komentar