Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Senin, 23 Agustus 2010

Jalur Kehidupan

Jalur Kehidupan
Oleh: Alm Yang Mulia Bhikkhu Girirakkhito Mahathera


Saya ingin memberi penjelasan kepada saudara-saudara, bahwa sebagai manusia, apalagi sebagai seorang umat beragama, akan baru bisa disebut mempunyai tujuan apabila di dalam hidup ini telah ada usaha kita untuk mencapai tujuan; dan tujuannya adalah mencapai kebebasan. Maksud dari mencapai kebebasan itu yaitu di dalam perjuangan hidup kita sebagai manusia ini, dapat tercapai cita-cita kita yaitu mencapai keadaan yang tidak terikat; jadi mencapai Kebebasan di dalam hidup ini. Itu baru dikatakan kita mencapai tujuan. Apabila tidak mempunyai tujuan demikian maka hidup ini belum dikatakan mempunyai cita-cita atau mempunyai tujuan, karena tujuan orang hidup itu adalah memang satu-satunya untuk menikmati Kebebasan. Yang dinamakan Kebebasan itu adalah tidak mempunyai keterikatan dengan hal-hal yang membuat diri kita terikat.

Di dalam Buddha Dhamma dijelaskan bahwa tujuan dari hidup ini adalah untuk mengerti tentang kehidupan ini, bahwa hidup ini terdiri atas jasmani dan rohani/batin. Oleh karena itu, jasmani ini harus mendapat makanan, demikian pula dengan rohani/batin. Tetapi rohani ini dikatakan lebih banyak daripada hanya sekedar jasmani. Dengan mempunyai rohani/batin itu, kita harus memberikan makanan kepada apa yang dinamakan phassa atau kontak. Jadi, terjadilah kontak dengan pikiran, kontak dengan perasaan, kontak dengan kesadaran. Jadi itu harus diberikan makanan, maka disebutlah makanan bagi phassa/kontak. Kemudian pikiran, itu juga harus diberikan makanan, yang di dalam bahasa Pali disebut Mano Sancetana Ahara, makanan untuk pikiran. Makanan untuk pikiran, tentu jelas bahwa pikiran ini harus diberikan makanan yang sehat-sehat, yang baik-baik, yang terpilih, supaya pikiran itu mejadi sehat. Kemudian makanan untuk kesadaran, Vinnana Ahara.

Saudara-saudara, di dalam falsafah agama Buddha yang tinggi sekali, makanan untuk jasmani, makanan untuk kontak, makanan untuk pikiran, dan makanan untuk kesadaran itu pada hakekatnya adalah kita memperpanjang penderitaan, yang akan mengakibatkan kita lahir lagi, terus-menerus demikian, sehingga kesengsaraan itu jadi bertambah panjang. Tetapi itu adalah falsafah Buddhis yang sangat tinggi. Tentu bagi kita yang masih sebagai orang awam, kalau mengikuti falsafah yang tinggi ini maka kita akan menemui kesulitan. Jadi maksudnya adalah begini saudara, kita mempunyai jasmani, kita mempunyai alat untuk kontak dengan yang patut bisa berhubungan dengan diri kita, walaupun pada hakekatnya itu disebut menambah kesengsaraan tetapi bagi kita orang awam, jasmani itu perlu makanan, pikiran itu perlu makanan, kesadaran itu perlu makanan. Karena itu semuanya adalah untuk merawat alat-alat kita ini, yang terdiri atas jasmani, kontak, pikiran, dan kesadaran. Itu harus dirawat. Karena perjalanan hidup ini sangat panjang sekali, maka hal-hal yang diperlukan untuk menempuh kehidupan yang panjang ini harus dirawat dengan baik, harus diberikan makanan, kalau rusak harus diperbaiki, begitulah seterusnya. Jadi yang penting kita harus mengerti bahwa badan ini adalah sarana, adalah alat untuk mencapai tujuan.

Sama halnya dengan kita kalau berlayar pakai perahu, pakai kapal, pakai apa saja, itu adalah sarana. Kapal, perahu, atau yang lain-lainnya sebagai sarana itu haruslah dipelihara dengan baik. Kalau perahu atau kapal itu sudah bocor, harus didempul; kalau catnya sudah luntur, supaya kayunya bisa tahan lama, harus dicat kembali; mesin-mesinnya harus dirawat kembali, dengan demikian kapal ini bisa berlayar mengarungi lautan yang luas sekali untuk mencapai tujuan daratan yang akan kita tuju.

Di dalam kehidupan ini, daratan itu sebenarnya adalah tujuan untuk berlabuh, untuk mendapatkan kenyamanan di dalam tempat berlabuh itu. Maka sering ada perumpamaan dalam berlayar itu. Kalau si nakhoda kapal tidak tahu arah mana yang harus ditempuh untuk mencapai daratan, maka zaman dulu, nakhoda kapal itu katanya mempunyai burung gagak yang dilepas untuk mencari tahu di mana ada daratan. Kalau burung itu sudah menemukan daratan, dia akan balik lagi ke perahu atau ke kapal itu. Kalau belum, dia akan terbang terus untuk bisa melihat daratan tempat berlabuh itu. Maksudnya di sini burung itu adalah simbol, kalau belum melihat pantai atau daratan, di mana daratan itu tidak lain adalah perumpamaan dari pantai nibbana, maka burung itu akan berusaha terus, dan kemudian kembali lagi ke kapal kalau sudah melihat pantai/daratan.

Memang untuk mencapai pantai nibbana ini kita harus mengarungi lautan kehidupan, suka-duka, dan lain sebagainya. Panjang sekali perjalanan kapal kehidupan ini. Maka oleh karena itu, sarana-sarana seperti jasmani, pikiran, dan kesadaran yang kita punyai itu harus dirawat dengan baik sekali, digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir. Jadi, kalau ada orang mengatakan bahwa "untuk apa memelihara jasmani ini, memelihara pikiran ini, itu menambah beban saja, menambah lamanya sengsara saja", itu adalah perlu dikaji lagi. Sebab jasmani ini perlu makanan, pikiran itu perlu makanan, alat kontak atau phassa itu perlu makanan. Jadi dia harus dipelihara dengan sebaik-baiknya. Maksudnya supaya badan jasmani ini, yang diumpamakan sebagai kapal yang mengarungi kehidupan yang maha luas ini, bisa dipakai terus sampai tujuan tercapai. Jadi kita harus merawat jasmani ini, merawat pikiran ini, jangan sembarangan pikiran itu dikasih makanan yang kurang menguntungkan pikiran itu.

Sekarang ini, terutama orang-orang yang sedang bersaing, sedang berlomba-lomba untuk mencapai rezeki yang diharapkan maka orang itu berlomba-lomba, bersaing untuk mencapai tujuan itu. Tetapi dia lupa bahwa kalau tujuan belum tercapai, maka dari persaingan itu lalu terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya di Jakarta ini, sekarang apakah sudah terlaksana atau belum, akan ada seminar. Seminar untuk membahas "Apakah perlu ambisi itu dipelihara atau dipupuk dengan baik supaya tujuan bisa tercapai?" Begitulah pandangan orang yang sekarang ini. Sebab dalam keadaan kehidupan yang penuh persaingan, ambisi itu katanya perlu dipelihara. Padahal di dalam Agama Buddha, tidak ada istilah yang persis untuk "ambisi" itu. Mungkin yang bisa mirip adalah "lobha", itu mirip dengan "ambisi". Katanya kalau tidak ambisi, nanti tersingkir; barang siapa yang melaksanakan pekerjaan dengan penuh ambisi itu biasanya dia akan dapat sukses, tetapi kalau tidak ambisi maka akan ketinggalan, tersingkir, tersisihkan, begitu. Ada beberapa umat di Jakarta yang datang kepada saya sebelum seminar itu dilaksanakan. Saya dimintai pendapat atau pandangan bagaimana ambisi itu menurut agama Buddha. Tentu saya katakan bahwa istilah ambisi itu tidak ada, yang ada adalah lobha, dosa, moha; itu ada. Jadi kalau orang dengan dasar lobha itu berjuang, mungkin tingkah lakunya menurut agama Buddha menjadi aneh. Dengan kelobhaan ini dia termasuk melakukan hal-hal yang kurang wajar. Sebab kata "lobha" itu asal katanya dari "lob". Lob artinya mengait. Jadi apa yang dilihat, apa yang diketemukan, lalu disenangi, lalu dikait, diseret untuk menjadi miliknya. Itulah pengertian tentang "lob", atau kemudian berkembang menjadi lobha. Sudah tentu bagi agama Buddha, hal yang demikian itu benar-benar bisa menambah problem, menambah masalah, dan kemudian menjadi susah sendiri. Nah, sekarang banyak orang berpendapat bahwa kalau tidak ambisi, kalau tidak lobha —kalau ambisi sama dengan lobha—, akan celaka sekali, akan tersisih sekali, tidak akan berhasil apa-apa. Tapi kalau dia mempunyai ambisi, mempunyai lobha, baru dia berhasil. Begitu juga di dalam persaingan mencari pekerjaan di perusahaan-perusahaan, harus ada lobha. Jadi lobha ini harus ditonjolkan, kalau tidak ya tersingkir; begitulah pandangan mereka.

Saudara-saudara, kadang-kadang orang tidak begitu berhati-hati, bahkan dengan mempunyai lobha itu dia bertindak hantam kromo. Ini disebabkan karena mereka tidak menyadari bahwa hidup itu ada jalurnya sendiri. Jadi di dalam kehidupan ini, yang dinamakan pikiran, maka pikiran ini mempunyai jalurnya. Ini yang sering sekali tidak disadari oleh orang banyak, oleh orang awam. Dia akan melakukan apa saja yang dianggap menguntungkan, padahal pikiran itu mempunyai jalur. Kalau ini kurang dimengerti maka akan merusak rezekinya sendiri. Maka itu, orang harus mengerti bahwa jalur kehidupan itu memang tidak kelihatan nyata, tetapi kita harus waspada sekali bahwa kalau kita hantam kromo, nanti jalan untuk mencapai tujuan malah terhambat. Juga kita jangan menganggap bahwa jalur kehidupan itu tidak ada. Dalam kehidupan ini, menurut agama Buddha, dikenal ada dua macam jalan. Jalan untuk materi dan jalan untuk rohani, untuk pikiran. Jalan yang biasa disebut Pakati Magga. Pakati Magga ini adalah jalan yang dilalui oleh kaki, oleh kuda, sekarang sudah adan jalan aspal di zaman kemajuan ini, itu dilalui oleh mobil; kemudian ada jalan di sungai itu dilalui oleh perahu; jalan di lautan luas, itu juga dilalui oleh kapal. Kemudian ada jalan di udara yang dilalui oleh kapal udara; itu kenyataannya sekarang. Tetapi jalan yang dilalui oleh kehidupan, itu adalah di dalam batin disebut Patipada Magga.

Inilah yang kadang-kadang banyak orang tidak mengetahui yang disebut Jalan Kehidupan. Itu jalurnya tentu ada di dalam pikiran, perasaan, kesadaran. Jadi ini harus dibangun! Seperti kita membangun jalan, pakai aspal, pakai hotmix, supaya perjalanan yang ditempuh oleh mobil menjadi lebih lancar, lebih cepat, demikian pula dengan jalan kehidupan ini adalah dibentuk di dalam pikiran, di dalam kesadaran. Maka oleh karena itu, kita harus waspada dan hati-hati sekali dengan perjalanan dari kehidupan yang jalurnya adalah di dalam kesadaran. Maka oleh karena itu, kita harus waspada dan hati-hati sekali dengan perjalanan dari kehidupan yang jalurnya adalah di dalam batin ini. Kalau kita tidak memperhatikan syarat-syaratnya maka kita akan merusak kehidupan kita sendiri. Jadi umpama saudara-saudara, kita menganggap kalau berbuat curang, berbuat tidak baik itu, tidak apa-apa asal nanti kita dapat untung, dapat hoki, dapat rezeki. Ini adalah pandangan keliru. Kalau kita kita sudah membentuk jalan yang keliru itu maka justru rezeki itu akan menjadi terhambat, hoki itu akan menjadi terhalang. Ini yang sering tidak disadari oleh orang-orang awam. Maka moral itu harus dan perlu dipelihara, sila harus dipelihara, sebab itu adalah "jalan kehidupan". Jadi jangan mengabaikan itu. Jangan lantas karena tergiur oleh keuntungan yang datangnya cepat, datangnya segera, lalu moral diabaikan; akhirnya akan menghambat rezeki/hoki kita sendiri. Maka cobalah amati dalam pengambilan sila yang diberikan oleh para bhikkhu, kan jelas begitu —Silena Sugatim Yanti, Silena Bhogasampada, Silena Nibbutim Yanti, Tasma Silam Visodhaye. Itu maknanya dalam sekali. Jadi moral harus kita lakukan dengan sebaik-baiknya, sebab kebahagiaan akan datang dari sana; kemudian kebebasan juga akan datang dari sana, kemakmuran juga akan datang dari sana. Jadi untuk mencapai rezeki, jangan sekali-kali mengabaikan moral, mengabaikan sila itu. Itu akan menghambat diri kita sendiri. Itulah makna dari sabda Sang Buddha yang sederhana saja, seperti dalam pengambilan sila. Jadi lakukanlah sila dengan sebaik-baiknya. Dari situ nanti akan datang rezeki, kemakmuran, kebebasan, bahkan kebahagiaan surgawi dan kebahagiaan nibbana akan bisa dicapai melalui pelaksanaan moral/sila yang baik. Itulah JALAN KEHIDUPAN yang dibangun di dalam batin.

Saudara-saudara, apabila jalan aspal itu, di kota misalnya, ada peraturan-peraturan, tanda-tanda yang banyak sekali dipasang oleh polisi lalu lintas; itu tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menjaga ketertiban, keharmonisan pengemudi-pengemudi. Jadi kalau semuanya main labrak saja, tidak hirau dengan dengan tanda-tanda, maka akhirnya tidak ada yang disiplin. Lalu lintas seperti di kota-kota besar kalau tidak disiplin, tidak mentaati peraturan-peraturan lalu lintas, pasti akan terjadi kecelakaan atau mengganggu pengemudi yang banyak. Persis begitu saudara. Jadi peraturan itu harus ditaati. Saya ulangi, peraturan ini harus ditaati! Bukan harus dipuja, bukan harus disembahyangi tetapi peraturan harus ditaati, harus penuh disiplin melaksanakannya. Umpamanya kalau di tengah jalan ada lampu merah, di mana kita harus stop, maka tidak bisa lampu itu dikasih dupa, dikasih bunga, dikasih buah-buahan, agar kita dibela oleh lampu merah itu, tidak bisa begitu. Itu hanya harus ditaati saja.

Saudara-saudara sekalian, kalau ini sudah kita pahami, kita sudah mentaati peraturan dan berdisiplin mengikuti aturan-aturan, maka keselamatan akan dapat kita raih. Banyak orang yang sebenarnya tidak paham tentang apa yang saya katakan tadi. Saudara-saudara sekalian, saya ingin juga menjelaskan bahwa kehidupan ini yang tadi saya katakan mempunyai jalur, mempunyai jalan, itu juga sama begitu, harus ditaati sekali. Oleh karena itu, moral harus ditaati, peraturan-peraturan juga harus ditaati, sehingga kita sudah terbiasa dengan melaksanakan moral dan taat kepada aturan-aturan. Sebenarnya ketaatan kepada aturan-aturan inilah, yang membuat diri kita selamat, tidak terkena bahaya apa-apa karena kita taat kepada aturan. Oleh karena itu kita harus memperhatikan sekali apa yang saya sampaikan tadi. Kemudian yang perlu lagi diketahui dan dipahami adalah kita harus tahu sekali bahwa jalan kehidupan itu jalurnya adalah demikian. Jadi tidak boleh salah. Maka oleh karena itu kita tidak boleh mengabaikan. "Ah, kalau salah, nanti bisa kita perbaiki lagi", sering kita mempunyai pendapat demikian. Seratus kali salah, seratus kali diperbaiki, kadang-kadang begitu kita punya pendapat. Padahal itu tidak patut demikian. Jadi kita harus berhati-hati sekali, waspada sekali, jangan sampai salah. Karena salah itu membawa penyimpangan-penyimpangan, dan kalau sudah ada penyimpangan, maka lambat-laun itu menjadi lebih besar dan lebih besar lagi. Oleh karena itu kita harus berusaha supaya tidak sampai menyimpang dari aturan-aturan yang sudah ada, jadi usahakan supaya tidak banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan.

Yang sekarang saya maksudkan adalah seperti apa yang saya katakan tadi, di Jakarta ada seminar dimana yang dibahas tentang ambisi, "Apakah jelek ambisi itu?" Padahal ada yang mengatakan bahwa ambisi itu perlu sekali, kalau tidak maka kita akan ketinggalan. Jadi dasarnya mulai dari pengertian salah, lalu dianggap ambisi itu perlu dan harus dilakukan. Padahal seperti saya katakan tadi, ambisi itu akan merusak jalan yang akan ditempuh oleh pikiran itu. Pikiran akan terganggu pada waktu itu dan kemudian akan merusak sendiri jalan yang harus dilalui oleh pikiran. Siapa yang merusak? Kita sendiri.

Begitulah saudara-saduara. Maka tidak ada yang lebih baik daripada teliti sekali, telaten sekali dan waspada sekali, agar jangan terjadi kesalahan-kesalahan. Kalau kesalahan-kesalahan itu sudah tidak ada maka jalur dari jalan kehidupan itu akan aman, selamat, dan kemudian tidak menghambat datangnya rezeki, kedudukan, atau kehormatan, dan lain sebagainya, itu tidak terganggu, itu yang lebih baik daripada terganggu. Nah, ini harus dicamkan sekali. Kemudian saudara-saudara, saya ingin menyampaikan bahwa jalan kehidupan ini seperti apa yang saya katakan tadi, adalah terdapat di dalam pikiran. Kalau pikiran baik, jalan kehidupan juga akan baik; kalau pikiran tidak baik, jalan kehidupan juga akan tidak baik. Itu harus benar-benar dicamkan! Hendaknyalah saudara-saudara benar-benar mengerti hal ini. Jangan sembrono. Kalau kita berlomba-lomba mencari rezeki, mencari hoki, jangan melupakan atau mengabaikan yang dinamakan jalur kehidupan itu! Jangan ini dirusak, karena kalau rusak nanti malah tambah ruwet. Pokoknya yang mulus saja. Umpamanya berbohong, berdusta, memang kelihatannya, "Ah, cuma bohong, itu nantinya akan akhirnya toh kita yang untung", itu salah, saudara-saudara. Nanti malah justru keuntungan itu jadi lebih jauh, makin tidak tercapai. Maka lebih yang betul-betul mulus. Apa yang harus ditaati, diikuti seperti aturan-aturan itu, lebih baik kita ikuti dengan seksama. Jangan meniru kiri-kanan melakukan itu lalu dia untung, lalu dia dapat rezeki banyak, jangan itu diikuti. Sekarang rezeki, tapi kemudian setelah akibatnya datang, malah menjadi "bo-hoki’. Sering terjadi begitu. Jadi kita harus waspada sekali, introspeksi sekali, jangan dibiarkan pikiran itu melantur, tapi harus kita rem, harus kita kendalikan supaya kita tidak merusak jalan kita sendiri yang ada di dalam batin. Kalau kita tidak merusak jalan kita sendiri yang ada di dalam batin, maka semuanya akan menjadi lancar. Karena itu perhatikan sekali, jangan mudah menyerah atau ikut-ikutan dengan orang banyak. Jadi sekarang kendalikan diri. Itu akan lebih baik. Lakukan hal yang mulus, yang jujur. Saya membuktikan sekali, karena saya introspeksi terus. Lebih baik bekerja dengan mulus, dengan jujur, dengan sebaik-baiknya, maka kehormatan, rezeki, penghargaan, pujian, itu akan betul-betul datang dengan baik sekali. Dan lebih baik kita menikmati hal-hal yang demikian daripada mencari jalan pendek untuk mendapatkan untung atau kemajuan. Demikianlah saudara-saudara, sekilas tentang tujuan dari kehidupan.

Menurut agama Buddha, kalau orang yang telah mencapai kebersihan, ketidakterikatan dan semuanya dilakukan menurut aturan dan sebagainya, maka dia diumpamakan bebas seperti burung yang terbang di angkasa. Burung yang terbang di angkasa tidak dapat dilihat bekasnya, kemana burung itu terbang. Lain halnya kalau harimau berjalan di daratan itu jelas ada bekas kakinya, apakah kukunya yang tajam itu menekan tanah sehingga tampak jelas sekali. Orang-orang yang betul-betul bersih, betul-betul suci, diibaratkan seperti burung yang terbang itu, tidak ada bekasnya. Jadi karena beliau sama sekali tidak melekat kepada apapun, maka dinamakan bebas seperti burung yang terbang itu. Kalau kita, wah gampang sekali kena jerat, gampang kena jaring, pokoknya beda. Orang yang tidak melekat kepada apapun diumpamakan seperti burung yang terbang di angkasa, tidak dapat diketahui. Nah, itu cerita tentang orang suci zaman dahulu, tidak bisa diketahui bekas-bekasnya. Saudara-saudara, ada lagi perumpamaan, kalau burung —yang punya sayap—, hinggap di dahan yang kering, karena kesusu, lalu dahan itu jatuh, burung itu juga ikut jatuh, tetapi setelah jatuh, burung itu bisa terbang kembali. Lain halnya dengan buah kelapa atau buah mangga atau buah durian, kalau jatuh, tidak bisa bangun lagi. Kalau buah itu jatuh tidak bisa bangun lagi karena tidak punya sayap. Tapi burung itu punya sayap. Kita sebagai manusia harus berusaha menjadi seperti burung itu. Jadi biarpun jatuh tapi bisa terbang kembali, sehingga tidak terus jatuh konyol, begitulah. Ini maksudnya adalah tidak melekat kepada hal-hal tertentu. Jadi dengan demikian kita seperti burung, kalau jatuh tidak tenggelam tetapi terbang lagi. Begitu dianjurkan. Kalau kita belajar, itu supaya nanti punya sayap seperti burung; jatuh tidak terus jatuh, tetapi terbang lagi.

Saudara-saudara, memang dari jalur kehidupan sampai kepada perumpamaan burung, sudah cukup jelas sekali bahwa kita harus berusaha punya sayap. Tentu bukan berarti sayap seperti bidadari-bidadari yang ada sayapnya, bukan begitu maksudnya. Kita sebagai manusia harus bisa tidak melekat kepada hal-hal yang dianggap seperti jatuh itu. Jadi kalau kita jatuh, kita berusaha seperti burung itu, bangun lagi, terbang lagi. ini yang lebih baik. tidak seperti buah kelapa, kalau jatuh malah menggelinding terus mencari tempat yang paling rendah. Tidak demikian tujuan daripada kehidupan ini. Saudara-saudara, di dalam hidup ini memang kemungkinan untuk jatuh itu ada saja. Tetapi walaupun jatuh kita berusaha seperti burung itu bisa terbang kembali. Artinya bagaimana? Jadi orang yang tidak melekat kepada hal-hal yang dianggap sebagai miliknya, dianggap sebagai kepunyaannya, itu dia tidak melekat lagi. Itu namanya seperti burung. Kalau orang dagang umpamanya, dia rugi, tapi walaupun rugi dia bisa terbang kembali, jadi tidak melekat, tidak menangisi kerugian itu, tetapi tetap tegar, lalu dia terbang kembali. Hendaknyalah kita juga bisa hidup seperti burung itu.

[ Dikutip dari Mutiara Dhamma ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar