Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Minggu, 15 Agustus 2010

Jalan Ke Surga




Jalan Ke Surga
Oleh Yang Mulia Bhikkhu Uttamo MahaThera


Pembabaran Dhamma hari ini mungkin agak berbeda dengan yang biasa diberikan pada waktu-waktu lampau. Kalau biasanya selalu diuraikan Dhamma tentang bagaimana supaya kita hidup berbahagia di dunia, sekarang kita akan melihat dari sisi yang lain. Sesungguhnya, dalam Agama Buddha, ada tiga tujuan hidup yang bisa didapatkan.

Tujuan hidup yang pertama adalah memperoleh hidup bahagia di dunia. Buddha Dhamma menguraikan berbagai cara dan jalan agar tujuan tersebut dapat tercapai. Sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pelajar, sebagai seorang tua, sebagai pedagang, sebagai pekerja, dll. dengan melaksanakan Ajaran Sang Buddha pasti akan mencapai tujuan itu. Cara kita mendidik anak, sikap anak kepada orang tua, sikap atasan kepada bawahan, sikap bawahan kepada atasan, dan yang lain-lain, telah diajarkan pula oleh Sang Buddha agar orang dapat mencapai tujuan ini.

Tujuan hidup yang kedua sebagai seorang umat Buddha, selain hidup di dunia bahagia, adalah dapat terlahir di surga setelah kehidupan ini. Bahasa sederhana kedua tujuan hidup ini adalah hidup di dunia bahagia, mati pun masuk surga. Kenapa demikian? Karena orang tentunya tidak bisa hidup kekal di dunia. Sang Buddha telah bersabda bahwa hidup ini tidak pasti. Justru kematianlah yang pasti. Kita tahu saat ini sedang hidup, namun kita tidak akan pernah tahu sampai kapan kita masih hidup. Kalau sekarang kita sudah berusaha menjadi mahasiswa yang baik, menjadi orang tua yang baik.... Ke mana kita akan pergi setelah mati? Oleh karena itu, kita juga diajarkan cara agar mati masuk surga.

Tujuan hidup yang ketiga lebih tinggi lagi. Tujuan ini juga menjadi tujuan tertinggi seorang umat Buddha yaitu bagaimana agar bisa mencapai Nirwana atau Nibbana. Nirwana atau Nibbana adalah kondisi tidak terlahirkan kembali, baik di dalam kehidupan ini maupun setelah kehidupan ini. Nirwana tidak sama dengan surga. Nirwana adalah konsep Ketuhanan di dalam Agama Buddha, yang kekal, yang abadi. Surga tempatnya lain lagi.

Biasanya kita berbicara tentang bagaimana agar bahagia hidup di dunia. Kali ini akan diceritakan bagaimana pandangan Agama Buddha tentang Surga. Apakah seorang umat Buddha bisa masuk surga? Ini merupakan problem yang pertama. Banyak yang mengatakan bahwa umat Buddha tidak punya surga. Walaupun jarang diceritakan tentang surga, bukan berarti Agama Buddha tidak mempunyainya. Bahkan kalau kita melihat kitab suci agama Buddha yaitu Tripitaka, terdapat surga sebanyak 26 tingkat! Jadi, kalau kita sudah siap, boleh langsung 'berangkat' ke surga.

Memang, seseorang berangkat ke surga tidak bisa ditentukan sebelumnya, tidak tergantung umur. Orang dapat meninggal walau usia masih muda, tanpa harus menunggu usia tua terlebih dahulu. Hidup ini tidaklah pasti, yang pasti adalah kematian. Kita tahu bahwa sekarang ini kita hidup, tetapi kapan kita mati? Hari ini bisa, besok pun bisa. Seratus tahun lagi juga mungkin bisa. Karena itu, marilah kita berbicara tentang surga, karena keberangkatan kita ini tidaklah pasti. Apabila diibaratkan seseorang yang naik pesawat, orang yang meninggal itu sudah take off, sudah lepas landas. Kita yang berada di sini baru boarding, sebentar lagi take off. Ada juga yang baru punya tiket saja. Masih lama. Tetapi semua pasti berangkat, tidak ada pilihan lain.

Karena itu, apakah seorang umat Buddha bisa masuk surga? Jawabannya: bisa! Gampang lagi. Karena terlalu gampang sehingga jarang diceritakan. Akhirnya orang menduga bahwa dalam Agama Buddha tidak mempunyai surga. Padahal, sebaliknya, amat banyak surganya. Ada 26 surga. Kenapa dibutuhkan 26 surga? Karena sesungguhnya setiap makhluk mempunyai perbuatan baik yang tidak sama banyaknya maupun tingkatannya. Seseorang yang telah berbuat baik sejak kecil, tentu surganya lebih tinggi daripada orang yang berbuat baik hanya ketika akan meninggal. Kalau surga bagi yang berbuat baik ketika akan meninggal sama dengan yang berbuat baik sejak kecil berarti rugi dan tidak adil.

Melakukan perbuatan baik itu tidaklah gampang. Perbuatan baik lebih membutuhkan pengendalian diri daripada perbuatan jahat. Perbuatan baik adalah melatih mengurangi ketamakan, kebencian dan kegelapan batin. Itu sulit. Sebaliknya, bila hendak menambah ketamakan, kebencian dan kegelapan batin jauh lebih gampang.. Coba orang diberi tahu: "Jangan marah. Marah itu jelek." Ia akan menganggukkan kepala, setuju, tetapi tetap saja ia masih suka marah-marah. Kalau kita bisa bersabar, berarti sudah termasuk luar biasa. Karena apa? Karena memang mengatasi diri sendiri itu sangat sulit. Oleh karena itu, kalau orang sudah bisa mengatasi diri sendiri untuk waktu yang cukup lama, berbuat baiknya juga sudah cukup lama, pasti surganya lebih tinggi daripada mereka yang berbuat baik hanya sedikit. Di dalam Agama Buddha jelas ada surga, bahkan 26 tingkat, sesuai dengan tingkat perbuatan baik yang telah dilakukan oleh seseorang.

Apabila problem pertama sudah terjawab bahwa dalam Agama Buddha ada surga, bahkan 26 tingkat; problem kedua adalah apakah syarat masuk surga? Ini lebih penting, sebab bila kita sudah memenuhi persyaratannya, berangkat ke surga saat ini pun pikiran akan tenang. Tiket sudah siap. Syarat untuk bisa lahir di surga, terdapat di dalam Tripitaka kitab Anguttara Nikaya IV, 288. Disebutkan di sana, agar terlahir di surga, syarat pertama adalah memiliki keyakinan, yakin kepada ajaran Sang Buddha, masuk surga. Apakah hanya dengan berbekal keyakinan saja dapat masuk surga? Dapat! Kenapa tidak pernah disebutkan? Terlalu gampang. Tetapi sekarang akan diceritakan agar diketahui.

Memiliki keyakinan pada Ajaran Sang Buddha langsung masuk surga. Apakah buktinya? Ada sebuah cerita di jaman Sang Buddha. Ada seorang anak lelaki yang tinggal dengan ayahnya yang amat kikir/pelit. Begitu kikirnya sehingga kalaupun anaknya sakit, anak itu tidak dibawa ke dokter. Dia berusaha mengobatinya sendiri. Karena dia merasa dokter itu mahal. Karena diobati sendiri maka anaknya tidak sembuh. Malah makin sakit. Si Ayah kuatir kalau anaknya akan meninggal. Diletakkannya anak itu di teras rumah agar para tetangga yang datang ke rumahnya tidak akan melihat harta kekayaannya. Karena anak itu diletakkan di teras, malah sakitnya tambah berat dan gawat.

Suatu hari, ketika Sang Buddha sedang bermeditasi, dengan mata batin Beliau melihat bahwa anak itu akan meninggal hari itu juga. Beliau juga memahami bila anak itu meninggal dalam kondisi seperti saat ini maka ia akan terlahir di alam menderita. Maka Sang Buddha kemudian bertekad untuk menolong anak tersebut. Sang Buddha sengaja lewat di depan rumahnya. Sang Buddha dengan anggun dan agungnya melangkah lewat di depan rumah itu. Anak itu melihat Sang Buddha. Ketika dia melihat Sang Buddha, dia kagum, terpesona dengan keagungan dan keanggunan Beliau. Pada saat dia melihat dan terpesona, anak ini kemudian bersikap anjali. Merangkapkan kedua tangan di depan dada, menghormat. Kemudian anak itu berseru: "Aku Berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha." Setelah selesai mengucapkan kalimat perlindungan itu sebagai tanda keyakinannya kepada Sang Tiratana, dia meninggal. Dan, memang anak ini terlahir di alam surga. Dengan modal keyakinan (saddha)-lah dia terlahir di alam surga.

Persyaratan pertama adalah memiliki keyakinan (saddha) kepada Ajaran Sang Buddha, seseorang apabila meninggal dapat terlahir di surga. Lebih dari itu, persyaratan kedua, memiliki dan melaksanakan sila atau kemoralan. Latihan kemoralan yang paling sederhana adalah latihan untuk tidak melakukan lima hal, pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan dan mabuk-mabukan. Lima latihan kemoralan ini dijalankan, mati masuk surga.

Ada sebuah cerita di jaman dahulu. Pada waktu itu hiduplah seorang penjahat besar, penjahat ini suka membunuh, suka merampok serta berbagai bentuk kejahatan dan kekejaman lainnya. Tetapi penjahat ini mempunyai kebiasaan unik, setiap hari Uposatha atau tanggal 1, 8, 15, 23 menurut penanggalan bulan (Imlek), dia menjalani sila atau latihan kemoralan. Libur, tidak berbuat segala bentuk kejahatan. Selama penjahat ini libur, dia menjalankan sila. Dia betul-betul menghindari pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, berbohong maupun mabuk-mabukan. Hari itu adalah hari libur total. Pelaksanaan latihan kemoralan sehari dalam satu minggu ini dilakukannya selama bertahun-tahun. Setelah meninggal dunia, penjahat ini karena kejahatannya, dia terlahir di alam menderita, alam peta.

Namun, akibat kebiasaaannya melaksanakan sila seminggu sekali, dia terlahir di alam Vemanika Peta. Alam Peta ini punya kekhususan. Makhluk yang terlahir di alam Peta ini bila malam merasakan penderitaan yang luar biasa namun bila siang berbahagia di surga. Benar-benar suatu kehidupan yang amat berlawanan. Setengah hari di alam menderita dan setengah hari sisanya di alam bahagia. Terlahir di alam bahagia selama setengah hari ini adalah buah perbuatan baiknya, setiap bulan empat kali menjalankan sila di luar 25 hari yang digunakannya untuk membunuh, mencuri, melanggar kesusilaan, berbohong, melanggar kesusilaan dan mabuk-mabukan untuk jangka waktu yang lama, lahir di surga kiranya sudah bukan masalah besar lagi.

Tetapi lebih dari keyakinan (saddha) dan kemoralan (sila), agar dapat terlahir di surga persyaratan ketiga, mengembangkan watak kedermawanan(caga). Ada pula sebuah cerita tentang pengembangan watak kedermawanan sehingga terlahir di surga. Di masa yang telah sangat lama, ada seorang pemuda yang suka berbuat baik. Ia bersama-sama temannya selalu berusaha memberikan dan melakukan yang terbaik untuk lingkungannya. Apabila ia melihat ada sebuah sungai yang arusnya deras, sehingga banyak orang yang tidak bisa menyeberang, maka orang ini kemudian mengajak 32 orang temannya untuk membangun jembatan.

Di waktu yang lain, ketika mereka melihat banyak orang berjalan jauh dan kehausan, mereka ber-33 orang sepakat untuk menyediakan tempat-tempat peristirahatan untuk para pengembara ini lengkap dengan tempat makan dan minumnya. Mereka selalu sibuk berbuat baik dengan berbagai macam cara. Melepaskan binatang yang dikurung dan menderita, dsb. Pokoknya, kebahagiaan mereka, 33 orang ini, adalah berbuat baik. Kebajikan ini selalu mereka lakukan sampai saat meninggalnya. Setelah 33 orang ini meninggal dunia, mereka memiliki satu alam surga baru. Surga untuk mereka dinamakan Alam Surga Tiga Puluh Tiga Dewa (tavatimsa).

Dalam Angutara Nikaya IV, 288 disebutkan bahwa seseorang dapat terlahir di alam surga dengan memiliki persyaratan keempat, kebijaksanaan. Kebijaksanaan di dalam agama Buddha artinya orang yang bisa melihat hidup sebagaimana adanya. Orang yang tidak gampang tergoyahkan batinnya karena proses perubahan dunia. Kehidupan hanyalah berisikan proses sukha-dukkha, untung-rugi, memperoleh pangkat-dipecat, dipuji dan dicela. Mereka yang masih diliputi oleh ketamakan, kebencian dan kegelapan batin pasti akan banyak mengalami kekecewaan menghadapi perubahan dunia. Namun, orang setelah mengenal Dhamma, ia akan mengerti bahwa keseimbangan batin dalam menghadapi perubahan akan diperoleh dari pengendalian keinginannya sendiri. Makin keinginan dikendalikan, makin sedikit kekecewaan dialami. Buddha Dhamma telah mengajarkan cara-cara paling praktis untuk mengendalikan keinginan yaitu dengan melatih meditasi. Latihan meditasi yang rutin akan menimbulkan ketenangan pikiran. Ketenangan pikiran adalah modal utama kebahagiaan. Orang semacam ini ketika masih dalam kehidupan saat ini pun ia telah berbahagia. Apalagi setelah meninggal.

Empat hal inilah yang harus disiapkan supaya kita dapat hidup di dunia bahagia. Memiliki keyakinan adalah hal penting. Menjaga dan mengembangkan keyakinan juga hal yang tidak boleh dipandang ringan. Menjaga dan menumbuhkan keyakinan salah satu caranya adalah dengan setiap hari Minggu datang ke cetiya atau vihara, membaca paritta, mendengarkan dan berdiskusi Dhamma. Dari sini akan muncul keyakinan yang kuat pada kebenaran dan keluhuran Dhamma. Apalagi bila sering memperoleh pengalaman dari orang yang telah merasakan manfaat mengikuti Agama Buddha. Manfaat, dapat bersifat batin maupun fisik. Manfaat batin, misalnya, memperoleh kesembuhan dari suatu penyakit tertentu, kesuksesan kerja, terbebas dari suatu bencana, dll. Sesungguhnya, di dalam kehidupan seorang umat Buddha, banyak juga mengalami mukjizat.

Oleh karena itu, marilah kita tingkatkan keyakinan kita, sering-seringlah ke vihara, mendengarkan dan diskusi Dhamma. Kemudian selain meningkatkan keyakinan, kita juga hendaknya meningkatkan praktek Dhamma di dalam kehidupan sehari-hari. Kita tekun mengembangkan kemoralan: tidak membunuh, mencuri, melanggar kesusilaan, bohong dan mabuk-mabukan. Kemudian mengembangkan kedermawanan: suka memberi, berbagi pikiran, suka menyumbang pikiran, suka menyumbang nasehat, juga suka menyumbangkan tenaga untuk kegiatan sosial, untuk teman kita, untuk orang tua kita dan akhirnya kita mengembangkan kebijaksanaan dengan meditasi agar dapat menyadari bahwa segala sesuatu adalah proses. Kalau empat hal ini telah dimantapkan, maka jalan ke surga ibarat jalan tol, mulus, lancar sehingga akhirnya akan diperoleh kebahagiaan di dunia ini dan di kehidupan yang akan datang.

Seperti yang dikatakan dalam syair Dhammapada di atas, seorang bijaksana hendaknya bisamengenal dan melaksanakan Dhamma walaupun baru sebentar dia mengenal Dhamma. Seperti ibaratnya lidah kita.Lidah akan dapat merasakan sayur walaupun sayur itu hanya sebentar melewatinya. Minum pun juga demikian. Satu tegukan sangat cepat air melewati lidah, tahu-tahu sudah masuk. Walaupun demikian, lidah tetap dapat merasakan rasa manis, pahit,asin ataupun yang lain. Tetapi orang yang tidak bijaksana, diibaratkan seperti sebuah sendok. Sendok, walaupun direndam dalam sayur selama 2 minggu, tetap saja ia tidak dapat merasakan rasa sayur itu. Sendok yang setiap hari digunakan untuk menyendok makanan enak dari piring menuju ke mulut, tidak akan pernah dapat merasakan rasa enak makanan itu. Oleh karena itu, dalam mempelajari dan melaksanakan Ajaran Sang Buddha, ukuran yang digunakan bukan lamanya seseorang telah menjadi umat Buddha, tetapi seberapa banyak dia mengerti dan memahami Dhamma. Walaupun sebentar, walaupun sepintas, tetapi kalau dia langsung mengerti Dhamma dan menembus Dhamma, itu sesungguhnya yang lebih bermanfaat. Kita bisa memanfaatkan hidup dan memanfaatkan Dhamma sehingga memperoleh kebahagiaan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar