Tradisi

Therawada (150) Mahayana (24) Vajrayana (9) zen (6)

Senin, 23 Agustus 2010

Kasih Sayang Tanpa Kebijaksanaan


Kalau kita berkunjung ke Vihara Samaggi Jaya yang terletak di kotamadya Blitar, Jawa-Timur; kita akan menemukan berbagai macam gambar dan tanda dimana semua itu merupakan satu isyarat bahwa membangun sebuah vihara tidaklah sama dengan membangun rumah biasa, tetapi mempunyai makna lambang yang cukup berat. Gambar dan tanda yang menempel atau pun yang berada di lingkungan sebuah vihara tidak ditujukan sebagai pajangan belaka ataupun sekedar untuk menghias vihara saja. Akan tetapi semua itu mengandung arti yang cukup dalam dan merupakan satu medium yang sangat baik untuk menyampaikan ajaran-ajaran Sang Buddha.

Salah satu gambar yang dapat kita temukan di Vihara Samaggi Jaya adalah gambar burung kakaktua. Burung kakaktua ini ada 2 ekor dimana yang seekor menghadap ke selatan dan yang lainnya menghadap ke utara dengan membawa padi di paruhnya. Gambar ini sebetulnya ada ceritanya! Alkisah, tersebutlah seorang petani yang mempunyai sebidang sawah yang sangat subur. Setiap hari petani ini memperhatikan sawahnya dan melihat ada serombongan burung kakaktua yang datang dan memakan padi-padinya. Dari sekelompok burung itu; ada seekor burung kakaktua yang selain makan, juga membawa terbang bulir-bulir padinya. Peristiwa ini terjadi setiap hari dan selalu dilakukan oleh burung kakaktua tersebut, bahkan kadang-kadang burung kakaktua itu membawanya lebih dari satu. Hal ini menimbulkan tanda tanya bagi sang petani sehingga dia berusaha untuk menangkapnya. Setelah berkali-kali dicoba, akhirnya burung kakaktua itu berhasil ditangkap. Setelah tertangkap, burung kakaktua itu ditanya oleh sang petani sebagai berikut:

P: "mengapa kalau kamu datang; selain memakan padi saya, kamu juga membawa pergi bulir-bulir padi saya? Apakah kamu mempunyai sawah ataukah kamu mempunyai lumbung padi di rumah?"
B: "Tidak! Saya tidak mempunyai sawah maupun lumbung padi di rumah. Tetapi dengan membawa bulir-bulir padi ini maka tugas saya bisa saya selesaikan dan harta saya juga bisa saya jaga. Jadi dengan membawa pergi bulir-bulir padi ini, saya memetik 2 manfaat sekaligus!"






Sang petani tidak mengerti jawaban burung tsb. Lalu dia bertanya lagi.

P: "Apa maksudnya tugas bisa diselesaikan dan harta bisa dijaga itu?"
B: "Tugas saya adalah menyantuni bapak dan ibu yang sudah tua dan tidak bisa terbang lagi. Saya membawa bulir-bulir padi itu adalah untuk saya berikan kepada bapak dan ibu saya supaya mereka tetap memperoleh kehidupan dari apa yang bisa saya dapatkan setiap hari."





Petani mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dia bertanya lagi:

P: "Kalau tugas sudah dilaksanakan, apakah artinya harta sudah dijaga itu?"
B: "Harta sudah dijaga itu maksudnya adalah bahwa di dalam hutan ini terdapat harta yang sangat berharga yaitu harta cinta-kasih. Saya membawa bulir-bulir padi itu kepada mereka yang sudah tidak bisa terbang lagi yang bukan bapak dan ibu saya, tetapi kepada sesama yang sedang sakit/membutuhkannya. Mereka yang sakit akan saya santuni supaya memperoleh kesembuhan. Mereka yang sudah tua meskipun bukan bapak dan ibu saya juga saya santuni supaya bisa mempertahankan hidupnya dan tetap memperoleh kehidupan. Inilah harta cinta-kasih yang perlu dikembangkan."








Dari cerita tersebut diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa tanda burung kakaktua tersebut, sebetulnya merupakan tanda dari pengembangan cinta-kasih, yaitu cinta-kasih kepada orangtua dan sesama. Dengan demikian ada dua hal yang harus kita kerjakan di dalam kehidupan ini. Yaitu mengembangkan cinta-kasih kepada orangtua dalam arti membalas jasa, dan mengembangkan cinta-kasih kepada sesama yang belum tentu berjasa kepada kita, tetapi kita perlu berbuat baik terlebih dahulu kepada mereka. Mengapa demikian? Karena kalau kita menanam padi maka kita akan memetik padi. Begitu juga kalau kita menanam kebajikan maka pada suatu ketika pasti kita pun akan memetik buah dari kebajikan yang telah kita tanam.

Pada bait pertama dari Karaniyametta Sutta disebutkan bahwa:
"Inilah yang harus dikerjakan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan.
Untuk mencapai ketenangan:
Ia harus mampu, jujur, sungguh jujur,
Rendah hati, lemah lembut, tidak sombong."

Dari syair tersebut di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa tujuan Sang Buddha menurunkan Karaniyametta Sutta itu adalah untuk membabarkan bagaimana cara memperoleh ketenangan batin/ketenangan hidup, bagaimana supaya kita bisa terbebas dari stress. Kalau kita ingin memperoleh ketenangan salah satunya adalah kita harus jujur, sungguh-sungguh jujur. Kenapa kita harus jujur? Karena orang yang jujur akan terbebas dari stress. Buktinya pada saat ujian misalnya. Kalau kita belajar dengan baik dan betul-betul menggunakan kecerdasan kita, maka kita akan mengerjakan soal-soal ujian dengan tenang. Sebaliknya kalau kita tidak jujur, mau 'ngerepek' atau kerjasama maka stress akan muncul. Selama kita tidak jujur, batin tidak pernah tenang. Tetapi kalau kita yakin pada diri sendiri, ketegangan tidak akan muncul. Oleh karena itu kalau kita tidak ingin stress dan ingin memperoleh ketenangan maka kita harus jujur, sungguh jujur dan seterusnya. Seperti yang tersebut dalam Karaniyametta Sutta.

Selanjutnya Karaniyametta Sutta juga menyebutkan apa yang harus kita kerjakan untuk dapat memperoleh ketenangan sebagai berikut:

"... Hendaklah ia berpikir
Semoga semua makhluk berbahagia dan tenteram,
Semoga semua makhluk berbahagia."

Kalau kita ingin memperoleh ketenangan maka hendaknya kita memancarkan cinta-kasih kepada semua makhluk. Karena kalau cinta-kasih kepada semua makhluk tidak muncul, stress akan menghampiri kita. Misalnya kita tidak senang kepada semut, padahal terdapat banyak semut di ruang makan. Kalau kita tidak memancarkan cinta-kasih, tentu kita sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi; kita pasti akan membunuh semut-semut itu. Mengapa demikian? Karena kita melakukan kebencian dan tidak bisa menyayangi semua makhluk. Inilah yang dapat menimbulkan stress alias tidak tenang. Karena itulah, dalam Karaniyametta Sutta dinyatakan bahwa kalau kita ingin tidak stress maka kita harus mengembangkan cinta-kasih kepada semua makhluk.

Cinta-kasih yang bagaimanakah yang harus kita kembangkan? Dalam bait Karaniyametta Sutta selanjutnya disebutkan:

"Bagaikan seorang ibu mempertaruhkan jiwanya
Melindungi anaknya yang tunggal,
Demikianlah terhadap semua makhluk
Dipancarkannya pikiran kasih-sayangnya tanpa batas."

Tentu kita dapat membayangkan bagaimana cinta-kasih orangtua kepada anak tunggalnya. Orangtua akan sangat memperhatikan semua kebutuhan dan keinginan anaknya. Apapun yang diminta oleh Sang Anak, orangtuanya pasti akan berusaha untuk memenuhinya. Demikian pula cinta-kasih kita kepada semua makhluk. Diibaratkan seperti ibu yang menyayangi anaknya yang tunggal. Contoh paling mudah yang dapat kita temukan sehari-hari adalah ayam/kucing yang mempunyai anak. Coba kalau anaknya Saudara ambil atau ganggu, induknya pasti marah dan menyerang Saudara. Ini baru binatang, apalagi kita manusia. Seperti itulah hendaknya cinta-kasih kita kepada semua makhluk.

Dalam bait yang berikutnya disebutkan:
" Selagi berdiri atau duduk
Atau berbaring selagi tiada lelap,
Ia tekun mengembangkan kesadaran ini,
Yang dikatakan: Berdiam dalam Brahma."

Maksudnya adalah mereka yang bisa melatih cinta-kasih bagaikan seorang ibu yang menyayangi anak tunggalnya ketika sedang duduk, berjalan, berdiri, atau berbaring selagi tiada lelap; mereka itulah yang akan memperoleh ketenangan batin/pikiran. Semua ini merupakan pengembangan cinta-kasih.

Kita perlu mengembangkan cinta-kasih kepada:
1) Orangtua
Mengapa kita perlu mengembangkan cinta-kasih kepada orangtua? Karena orangtua telah melahirkan kita semua. Dan ketahuilah bahwa badan kita ini mulai dari rambut sampai ujung kaki itu sebetulnya bukan milik kita tetapi milik orangtua. Tidak ada manusia yang dapat menciptakan bagian badannya sendiri. Orangtualah yang memproses dan memproduk kita selama kurang-lebih 9 bulan sejak kita berusia 0 tahun yaitu ketika kita berada di dalam kandungan/ketika sel telur dan sperma bertemu. Kalau kita menganggap bahwa 0 tahun itu dimulai pada detik kita dilahirkan berarti kita menganggap bahwa kita ini diciptakan sehingga badan ini adalah milik kita. Padahal sesungguhnya tidak demikian. Apalagi agama Buddha menggunakan teori evolusi, bukan penciptaan.

Sebagai seorang manusia yang berbudaya dan mempunyai pikiran bahkan mempunyai agama sudah selayaknyalah kita membalas jasa kepada orangtua, minimal patuh dan tidak memusingkan orangtua dengan mematuhi perintah orangtua. Kalau binatang yang dirawat dan diberi makan setiap hari menurut kapada yang memberinya makan karena naluri, lalu bagaimanakah moral/mental kita sesungguhnya kalau kita sebagai manusia tidak patuh kepada orangtua, yang telah mendidik dan merawat kita sejak kecil sampai belasan bahkan mungkin juga puluhan tahun. Hendaknya kita ingat baik-baik bahwa badan ini adalah pinjaman dari orangtua. Kita mempunyai kewajiban untuk membalas jasa orangtua karena sesungguhnya yang paling berjasa di dalam kehidupan kita adalah ayah dan ibu. Bahkan Sang Buddha sendiri menganggap bahwa ayah dan ibu itu adalah Buddha atau orang suci di rumah.

Dikatakan bahwa ada 5 perbuatan yang dapat menyebabkan seseorang terlahir di alam neraka yaitu:
- melukai seorang Buddha,
- membunuh seorang Arahat,
- membunuh ibu,
- membunuh ayah,
- memecah-belah Sangha.
Ke 5 hal ini mempunyai bobot yang sama. Jadi bobot ayah dan ibu adalah sama dengan Arahat/orang suci di dalam agama Buddha dan Sangha/persaudaraan para bhikkhu. Oleh karena itu, perkenankanlah Saya mengajak Saudara-saudara sekalian. Kalau Saudara masih mempunyai ayah dan/atau ibu, cobalah untuk membalas jasa kepada mereka karena hal tersebut, merupakan pengembangan cinta-kasih Saudara. Di dunia ini kita hanya mempunyai satu ayah dan satu ibu kandung, kalau mereka meninggal tidak ada yang bisa menggantikannya. Kalaupun ada, mereka bukanlah ayah dan ibu kandung yang memiliki badan Saudara. Oleh karena itu balaslah jasa ayah dan ibu Saudara sebanyak dan semampu yang bisa Saudara berikan, minimal Saudara tidak rewel, tidak nakal dan tidak menyusahkan orangtua.

2) Sesama
Artinya kita tidak hanya ingat kepada mereka yang telah berjasa saja tetapi kita juga harus menjadi orang yang baik dengan cara berusaha berbuat baik kepada siapa saja. Mengapa demikian? Karena dengan berbuat baik itu berarti kita menanam jasa. Contohnya adalah orangtua kita. Orangtua kita sebetulnya belum tahu apakah kita baik atau tidak, tetapi mereka sudah menanam jasa dengan cara merawat kita dengan baik. Demikian pula kita terhadap sesama. Kita mempunyai kewajiban kepada teman baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal (lingkungan) untuk berbuat baik sebanyak mungkin. Sama halnya dengan burung kakaktua tersebut yang membawa bulir-bulir padi karena ada tugas untuk merawat ayah dan ibu dan menjaga harta cinta-kasih/persaudaraan dengan cara menanam jasa atau kebaikan kepada mereka yang berada disekitarnya.

Dua hal inilah yang sebetulnya merupakan pengembangan cinta-kasih yang terdapat di dalam Karaniyametta Sutta yang dapat membuat batin kita tenang dan tidak stress. Karena itu latihlah... jalankanlah cinta-kasih itu, minimal kepada orangtua yang telah berjasa kepada Saudara semua. Akhirnya seperti ajaran Sang Buddha bahwa menanam padi akan tumbuh padi, menanam jagung akan tumbuh jagung maka kalau kita menanam cinta-kasih/kebajikan, kita pun akan memetik kabahagiaan. Cintailah orangtua dan lingkungan Saudara, demi kebahagiaan Saudara sendiri!


[ Dikutip dari Website Samaggi-Phala WWW.Samaggi-phala.or.id ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar