Mencari Kebahagiaan Dalam Buddha Dhamma
Oleh Yang Mulia Bhikkhu Olande Ananda Thera
Sesungguhnya keberadaan atau usia Buddha Dharma adalah setua usia umat manusia, namun Buddha Dharma yang kita anut sekarang ini, adalah yang berasal dari Sang Buddha Gotama . Pangeran Siddharta yang mencapai Pencerahan Agung dan menjadi Buddha pada tahun 588 SM, dan mengajarkan kita tentang Empat Kebenaran Mulia. Sang Samma Sambuddha menyebutkan bahwa walaupun para Buddha tidak muncul di dunia ini, Empat Kebenaran tentang Adanya Dukkha, Sebab Dukkha, Akhir Dukkha, dan Jalan Menuju Akhir Dukkha. Dan semua Buddha yang muncul sebelum Sang Buddha Gotama, juga mengatakan dan mengajarkan hal yang sama, yaitu tentang Empat Kebenaran Mulia. Empat Kebenaran Mulia ini adalah bersifat universal, ia tidak hanya milik masyarakat India, Indonesia, Sri Lanka, atau yang lainnya, tetapi ia dapat ditemukan dimana saja di dunia ini dan di dunia lainnya.
Kita melihat bahwa Agama Buddha menyebar dari India ke Sri Langka, Burma, Thailand, Laos, Kambodia dan juga ke bagian Utara melalui Nepal menuju Tibet dan Cina, Jepang, Korea, Vietnam, sampai ke Indonesia. Dan sekarang Agama Buddha juga menyebar ke Australia, Amerika Utara, Amerika Selatan, bahkan sampai ke Rusia. Dalam perkembangan Agama Buddha seperti itu, kebudayaan dan tradisi masing-masing negara yang telah ada sebelum Agama Buddha datang, juga diadopsi ke dalam praktek keagamaan dari masing-masing negara tersebut. Oleh karena itu, Agama Buddha kelihatan sedikit berbeda bila dilihat dari sisi luarnya. Contohnya, bila kita melihat Buddha Rupam (Patung Buddha) di negara yang satu dengan yang lainnya, ada perbedaannya. Patung Buddha di Sri Lanka, China, Jepang, mereka semua memiliki ciri-ciri atau roman yang berbeda. Mungkin kalau Agama Buddha menyebar ke Afrika, kita juga akan menemukan Buddha yang hitam
Sesungguhnya aspek luar itu adalah tidak penting. Sang Buddha sendiri mengatakan: Ia yang melihat Dhamma, akan melihat Saya. Jadi sesungguhnya Dhamma-lah yang harus kita praktekkan dan realisasikan di dalam hidup kita masing-masing.
Kata/istilah Dharma atau Dhamma memiliki cukup banyak arti. Dhamma dalam Buddha-Dhamma-Sangha, berarti: Ajaran dari Sang Buddha. Dalam arti yang lebih luas, Dhamma dapat berarti: Hukum Alam, Hukum Sebab-Akibat, Hukum Paticca Samuppada, Hubungan Sebab-Musabab, Karma dan Vipaka. Kadang-kadang "Dhamma" juga dapat berarti: Kebenaran sejati.
Dalam puja bakti, kita selalu menguncarkan paritta Saccakiriya Gatha, yaitu Pernyataan Kebenaran, yang artinya: Buddha-Dhamma-Sangha adalah pelindungku. Tiada perlindungan lain bagiku, kecuali hanya Buddha, Dhamma, dan Sangha-lah sesungguhnya pelindungku.
Bila kita menerima BUDDHA sebagai pelindung kita, maka Buddha di sini sudah tentu adalah Sang Buddha Gotama, yang kita akui sebagai guru para dewa dan manusia, Ia yang kita terima sebagai Penuntun hidup, Penunjuk Jalan dari Dukkha (samsara) menuju Nibbana (Nirwana). Buddha, dalam arti yang lebih luas, bukan hanya Sang Buddha Gotama, tetapi Sifat Kebuddhaan atau Benih Kebuddhaan, yang mana hal ini sebenarnya sudah ada (terpendam) di dalam diri kita masing-masing. Ini adalah suatu fakta bahwa kita dapat mencapai Nibbana selaku makhluk manusia. Itu juga suatu perlindungan yang dapat kita pakai sebagai pelindung dan penunjuk jalan.
Dan bila kita menerima DHAMMA sebagai pelindung kita, maka kita tidak hanya berlindung katakanlah pada kitab-kitab suci yang berisi ajaran Sang Buddha, tetapi kita juga berlindung pada Hukum Alam; Hukum Dhamma; tentang Sebab-Akibat (Karma-Vipaka), Tiga Corak Umum (Tilakkhana); yaitu Anicca, Dukkha, Anatta—, dan Hukum Paticca Samuppada, menyadari mereka sebagai Hukum Alam, dan kita akan berjalan di atasnya.
Dan jika kita menerima SANGHA sebagai pelindung kita, kita dapat mengingat kembali ke jaman Sang Buddha Gotama, kepada lima orang bhikkhu pertama yang mencapai pencerahan ketika mendengar kata-kata Sang Buddha:
Sabbe Sankhara Anicca (Segala sesuatu yang berkondisi adalah tidak kekal).
Sabbe Sankhara Dukkha (Segala sesuatu yang berkondisi adalah tidak memuaskan).
Sabbe Dhamma Anatta (Segala fenomena alam adalah tanpa inti).
Kata-kata tersebut telah menjadi inspirasi bagi kelima bhikkhu, untuk merealisasikan Kebenaran di dalam diri mereka masing-masing, sehingga mereka terbebas dari lobha, dosa, dan moha. Kata-kata Sang Buddha itu telah membantu pikiran mereka untuk bebas dari beban derita dalam samsara ini dan mereka akhirnya menjadi Arahat. Sejak saat itulah Sangha dalam Buddha Sasana muncul. Dan sejak saat itu para bhikkhu dan bhikkhuni yang membentuk Sangha Buddhis telah meneruskan Sang Ajaran dengan mempelajari, mempraktekkan, dan mengajarkan Dhamma, sehingga sejak saat itu lebih dari 2500 tahun yang lalu sampai sekarang, terjalinlah satu garis yang tak terputuskan dari Sangha pertama, yang membimbing manusia untuk melewati Sang Jalan dari Buddha Dhamma ini.
Apabila kita berlindung pada Sangha, itu bukan bararti hanya pada Lokiya Sangha mereka yang memakai jubah bhikkhu atau bhikkhuni saja, tetapi juga kepada para Ariya Sangha, yaitu kumpulan makhluk yang berada di atas Sang Jalan, mereka yang telah masuk ke dalam Arus Menuju Nibbana. Itulah Ariya Sangha.
Jadi ketiganya Buddha, Dhamma, Sangha inilah yang disebut Sang Tiratana atau Tiga Permata atau Tiga Mutiara (Triple Gem) dalam Agama Buddha. Permata atau Mutiara sudah tentu adalah barang yang amat mahal, barang yang berharga; namun Permata Buddha, Dhamma, Sangha adalah jauh lebih berharga daripada semua jenis permata, emas atau berlian yang ada di dunia ini, karena Merekalah yang sesungguhnya dapat memberikan kita perlindungan yang lebih besar dan lebih tinggi daripada perlindungan yang dapat diberikan oleh segala macam jenis asuransi atau jaminan investasi emas-permata.
Karena manusia menginginkan keselamatan dan kelangsungan hidupnya, maka mereka mencoba untuk mengamankan/melindungi dirinya. Tetapi sering cara yang mereka lakukan adalah dengan mengumpulkan lebih banyak uang, rumah, mobil dan televisi, tetapi rupanya hal itu tidak membuat mereka merasa lebih bahagia. Jadi ada jaminan yang lebih tinggi di dunia ini daripada asuransi duniawi yang ada, yaitu kemungkinan tercapainya Pencerahan, yaitu bila kita menjalani Sang Jalan, mengikuti petunjuk Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Sang Buddha pernah mengatakan bahwa mereka yang mencari perlindungan pada sebuah pulau kecil, di langit, atau di pohon-pohon, mereka tetap tidak dapat menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang sejati. Namun apabila mereka mengetahui bahwa di dalam diri mereka masing-masing telah ada benih-benih pikiran murni, batin yang bersih, cahaya Kebenaran, dan kebahagiaan Nibbana, maka mereka akan berhenti mengejar kesenangan duniawi yang tergolong kesenangan yang kecil, tetapi mencari jenis keselamatan, kedamaian, dan kebahagiaan di dalam diri mereka sendiri.
Memang sebenarnya tidak hanya para bhikkhu yang dapat merealisir kebahagiaan Nibbana, arus Jalan menuju Nibbana. Pada jaman Sang Buddha, kita dapat melihat bahwa terdapat banyak raja kaya, bankir, pedagang, yang mampu menapaki Sang Jalan dan sekaligus menikmati kebahagiaan duniawi. Mereka tidak melekat kepada harta duniawi, sehingga mereka dapat menikmati kebahagiaan di kedua dunia/alam (duniawi dan spritual).
Saya ingin memberikan sebuah contoh yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari agar lebih jelas, apa sebenarnya yang dapat membuat kita bahagia. Bila Anda mempunyai seorang anak kecil, dan si anak menginginkan sesuatu yang ia sukai misalkan es krim. Dia lalu minta es krim kepada ibunya, dan jika si ibu tidak segera memberikannya, si anak akan terus merengek, terus meminta, kadang-kadang sambil menangis dan berteriak-teriak minta es krim. Sehingga akhirnya ketika si ibu memberikan es krim kepada si anak, maka dengan serta-merta ia akan berhenti menangis atau berteriak, dan ia menjadi senang sekali. Si anak senang/bahagia, tetapi ia tidak menyadari dari mana datangnya rasa senang/bahagia itu. Ia mengira itu datang dari es krim tersebut. Tetapi bila kita melihat kejadian tersebut dari sudut psikologis, itu hanyalah penghentian yang sementara dari keinginannya terhadap es krim. Jadi dengan terbebasnya kita dari keinginanlah yang akan membuat kita bahagia.
Sama juga halnya dengan orang-orang dewasa, yang memiliki banyak keinginan yaitu ingin melihat benda-benda yang cantik atau indah, mendengar suara-suara yang merdu, mencium bau yang harum/segar, mengecap makanan yang lezat-lezat, mendapatkan sensasi sentuhan fisik yang mengenakkan, dan memikirkan atau merencanakan gagasan-gagasan yang menarik.
Sang Buddha tidak pernah berkata: "Jangan engkau nikmati hal-hal tersebut! Beliau juga tidak pernah berkata: "Jangan merasa gembira/bahagia! Dan Sang Buddha mengatakan bahwa bukannya dengan memiliki benda-benda (materi) yang akan memberikan kebahagiaan, tetapi dengan terbebasnya kita dari kemelekatan dan ikatan nafsu keinginanlah yang sesungguhnya memberikan kebahagiaan yang lebih tinggi.
Orang-orang yang tidak menyadari hal ini, tidak akan pernah merasa puas dengan apa yang telah dimiliki. Bila mereka telah memiliki sebuah mobil, mereka ingin memiliki 2 buah. Bila mereka telah memiliki sebuah rumah kecil, mereka ingin rumah besar, bila mereka telah memiliki TV 29 inch, tahun depan mereka ingin model yang lebih besar atau model terakhir. Mereka pikir bahwa hal itulah yang akan dapat memberikan mereka kebahagiaan.
Jadi nafsu-nafsu keinginan dan penimbunan materi duniawi tersebut tidak akan pernah berakhir selama seseorang belum menyadari bahwa kebahagiaan bukannya datang dari hal tersebut. Sementara orang bahkan pergi ke tempat-tempat yang jauh, ke bulan misalnya, untuk mencari kedamaian dan keselamatan bagi dirinya. Atau ada juga yang ingin membekukan tubuhnya setelah ia mati, sampai orang menemukan cara pengobatan bagi penyakitnya, sehingga nanti ia dapat dihidupkan lagi, lalu disembuhkan dari penyakitnya, dan hidup untuk selama-lamanya. Mereka tidak segan-segan untuk mengeluarkan ribuan dolar untuk hal itu, dan tidak menyadari bahwa ada keselamatan dan kebahagiaan yang lain daripada itu. Kadang-kadang kalau kita minta kepada orang itu untuk memberikan sedikit saja dari uangnya untuk didermakan, untuk menolong anak-anak miskin agar mendapat pendidikan yang cukup, atau untuk melakukan kegiatan sosial yang berguna, maka kita akan menemui kesulitan, walau hanya untuk beberapa rupiah saja.
Sang Buddha telah menunjukkan bahwa adalah nafsu keinginan dan kemelekatanlah yang sesungguhnya menyebabkan kita selalu merasa tidak puas, yang menyebabkan kita menderita.
Saya akan memberikan sebuah contoh lain lagi, yaitu bagaimana cara menangkap seekor monyet. Dengan adanya perumpamaan, akan memudahkan bagi kita untuk mengerti. Sebenarnya kita dapat membandingkan atau mengibaratkan pikiran kita (pikiran manusia) dengan seekor monyet, yang selalu ingin pergi mencari kesenangan. Ia melompat dari satu pohon ke pohon lain, makan sedikit buah ini lalu membuangnya, makan sedikit buah itu lalu membuangnya. Ia selalu tidak bisa diam. Sekarang, orang telah menemukan sebuah cara untuk menangkap kera tersebut, dengan memakai umpan sebuah buah kelapa yang diberi lubang kecil yang mana dapat dimasuki oleh tangan kecil si kera, dan menaruh gula-gula di dalamnya. Buah kelapa itu lalu diikatkan pada sebuah rantai. Ketika sang kera mencium manis dari gula-gula tersebut, ia akan datang mendekat dan ingin mengambilnya, sehingga ia memasukkan tangannya ke dalam lubang kelapa, mengambil gula-gula tersebut, dan menggenggamnya. Ketika ia akan menarik dan mengeluarkan tangannya, tidak bisa, karena sekarang tangannya menggenggam sesuatu, sedangkan lubang kelapa itu hanya pas bila tangannya tidak menggenggam. Oleh karena kera itu sangat menginginkan gula-gula tersebut dan melekat dengan keinginannya, ia tidak mau melepaskan gula-gula itu, sehingga ia juga tidak bisa pergi/bebas dari tempat itu, sampai orang datang dan berhasil menangkapnya. Jika saja kera malang itu dapat menyadari bahwa dengan melepaskan kemelekatannya terhadap gula-gula itu, maka ia akan dapat membebaskan dirinya.
Demikian juga sama halnya dengan manusia, jika dapat menyadari bahwa nafsu keinginan dan kemelekatanlah yang menyebabkan ia terperangkap dalam lingkaran samsara, maka mereka sesungguhnya dapat membebaskan batinnya dan menjadi bahagia dalam hidup ini, tidak sesudah mati.
Jika kita dapat menerapkan prinsip tersebut —kemelekatan dan pelepasan, dan mencari kebahagiaan pada jalan yang benar, dan tetap hidup di dunia, menyelesaikan tanggung jawab hidup kita, melakukan perbuatan-perbuatan baik terhadap orang tua, kakak-adik, guru, pelayan, dan hidup dalam kesenangan yang bisa diberikan oleh materi duniawi tetapi tidak melekat, hidup dengan bijaksana dan seimbang, maka sesungguhnya kita dapat bahagia dalam dunia ini dan juga mampu menyadari banyak hal yang telah Sang Buddha ajarkan, seperti Kebenaran tentang Hukum Sebab-Musabab dari kebahagiaan dan penderitaan.
Hal lainnya lagi yaitu Sang Buddha tidak pernah memaksa kita untuk mempercayai sesuatu hanya karena adanya suatu kekuasaan. Beliau berkata, sekalipun mungkin itu telah dikatakan di dalam kitab-kitab suci, begini-begitu, dan juga bila sekalipun sesuatu itu dipercayai oleh sebagian besar orang, atau sudah merupakan tradisi yang mengajarkan begini-begitu, dan bahkan Saya, demikian Sang Budha berkata mengajarkan engkau sesuatu, jangan langsung percaya begitu saja, tetapi buktikanlah olehmu sendiri kebenarannya. Jika hal itu adalah bermanfaat, yang membuat engkau bebas dari rasa marah, takut, serakah, dan rasa benci, maka berpeganglah pada hal itu, karena itu adalah Dhamma. Namun jika sesuatu itu nenyebabkan semakin timbulnya rasa marah, takut, serakah, dan rasa benci, maka tolaklah hal itu karena itu bukanlah Dhamma.
Demikianlah uraian Dhamma saya kali ini dan saya berharap kalian dapat mempraktekkan lebih banyak rasa cinta kasih (metta) dan belas kasihan (karuna), seperti yang Sang Buddha ajarkan, juga kedermawanan dan kebijaksanaan dengan cara melatih sila, mempraktekkan samadhi, dan merealisir panna dalam hidup kalian masing-masing, baik di dunia ini maupun dunia berikutnya.
[ Dikutip dari Mutiara Dhamma IV ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar