Oleh: Yang Arya Bhikkhu Uttamo Thera
dan mempertahankan martabat keluarga,
dan tidak mengharapkan anak yang merendahkan martabat keluarga;
yang menjadi penghancur keluarga"
(Khuddaka Nikaya, 252)
PERMASALAHAN
"Anakku sulit diatur!"
"Anakku tidak berbakti."
"Anakku semaunya sendiri !"
"Anakku benci orangtuanya sendiri."
"Anakku sulit diatur!"
"Anakku tidak berbakti."
"Anakku semaunya sendiri !"
"Anakku benci orangtuanya sendiri."
Inilah beberapa pernyataan bernada negatif yang sekarang amat sering diucapkan oleh para orangtua dalam menghadapi sikap anak-anaknya. Bahkan dengan pesimistis Bette Davis menulis dalam karyanya The Lonely Life,jika engkau belum pernah dibenci oleh anakmu maka engkau berarti belum pernah menjadi orangtua (INFOPEDIA). Kelihatannya sebagian besar orangtua jaman sekarang seakan telah kehilangan segala akal dan ilmu untuk dapat memahami tingkah laku anak-anak mereka. Mereka sering menanyakan pada diri sendiri maupun pada para penasehat, karma buruk apakah yang sedang mereka jalani saat ini. Pertanyaan ini terus menggema tanpa menemukan jawabnya. Sedihnya, mereka kadang memperoleh jawaban yang menuduh bahwa semua bentuk kesalahan dan kenakalan anak-anak adalah akibat ketidakmampuan orangtua mendidik anak. Benar, mungkin memang mereka tidak mampu mendidik anak tetapi tentunya ada jalan keluar untuk mengatasi hal ini. Tentunya ada cara atau pedoman untuk memperbaiki sekaligus melatih orangtua untuk menghadapi situasi kurang menyenangkan ini.
Sesungguhnya, mendidik anak memang lebih sulit daripada melahirkan anak. Oleh karena itu, sebagai calon orangtua ataupun yang telah menjadi orangtua, hendaknya dibekali dengan pengetahuan yang memadai tentang pendidikan anak. Pada masa sekarang sebenarnya telah banyak buku diterbitkan membahas tentang pendidikan anak. Hanya saja, mungkin para calon orangtua maupun para orangtua belum sempat membacanya. Dalam agama Buddha, Sang Buddha juga telah mengajarkan para orangtua cara mendidik anak dengan baik.
Dalam kaitan dengan pembahasan ajaran Sang Buddha tentang pendidikan anak itulah maka makalah ini disusun.
PEMBAHASAN
Dalam masa serba materi ini persaingan untuk memenuhi kebutuhan hidup terasa semakin bertambah. Akibatnya, kesibukan setiap orang juga semakin bertambah. Pada pagi hari, mereka sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat bekerja dan kelelahan pada sore hari sepulang kerja. Bahkan kini juga ada kecenderungan suami istri bekerja bersama-sama untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan sehari-hari. Akibat perubahan gaya hidup ini, waktu untuk berkomunikasi dalam keluarga, termasuk komunikasi antara orangtua dan anak, menjadi kurang diperhatikan. Anak kebanyakan hanya bertemu orangtua pada pagi hari ketika akan berangkat sekolah dan malam hari menjelang tidur. Sepanjang hari di rumah, anak hanya bersama dengan pembantu dan pengasuh yang akan memberikan pengarahan sesuai dengan kemampuan mereka, tentunya. Padahal Brian Tracy menyebutkan bahwa peranan tunggal sebagai orangtua yang paling penting adalah mencintai dan memelihara anak-anak, serta membangun dalam diri mereka perasaan harga diri dan keyakinan tinggi (hal. 318). Peran penting ini jelas tidak dapat digantikan oleh pembantu rumah tangga maupun pengasuh. Agar dapat melaksanakan peran sebagai orangtua yang bermanfaat bagi anak-anaknya dibutuhkan sikap saling pengertian antara orangtua dan anak. Sikap penuh pengertian ini adalah salah satu tonggak keharmonisan rumah tangga. Sikap ini dapat dicapai dengan meningkatkan kelancaran komunikasi setiap individu pembentuk rumah tangga tersebut. Merintis hubungan baik dalam keluarga dapat dimulai dengan menyediakan waktu untuk makan bersama minimal sekali dalam satu hari, misalnya. Acara makan ini sebaiknya terbebas dari berbagai macam gangguan, misalnya pembicaraan yang rumit tentang pekerjaan maupun acara televisi. Dengan demikian, kegiatan makan ini akan memberikan banyak kesempatan kepada seluruh anggota keluarga untuk saling bertukar pikiran dan berbagi rasa. Kelihatannya memang sepele, namun apabila dilaksanakan akan dapat menghasilkan keharmonisan keluarga yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Jika acara makan bersama telah dapat dijadikan tradisi dalam keluarga maka selanjutnya orangtua dapat berperan sebagai teman yang baik bagi anak-anaknya. Teman yang mampu dan mau mendengarkan segala keluh-kesah maupun kebahagiaan yang sedang mereka rasakan. Pada saat itulah orangtua dapat mengarahkan anak dengan memberikan nasehat dan bimbingan moral yang diperlukan sebagai bekal dalam menghadapi masa depan mereka yang mandiri dan penuh percaya diri. Hal ini tentu membutuhkan sedikit pengorbanan waktu orangtua yang amat berharga. Hanya saja, bila kita tidak ingin berkorban untuk anak saat ini, di masa depan kita akan banyak mendapatkan kesulitan hidup karena masalah yang disebabkan oleh anak-anak. Bila tiba saat seperti demikian, maka penyesalan orangtua terhadap kegagalan hasil pendidikan anak barulah muncul. Segala cara ditempuh, semua biaya dikeluarkan dengan hasil yang belum tentu sesuai dengan harapan. Tampaknya, sungguh sulit hidup ini.
Oleh karena itu, masalah komunikasi antara orangtua dan anak adalah sangat penting dalam meningkatkan peranan orangtua terhadap masa depan anak. Dengan bekal komunikasi dalam keluarga yang baik, orangtua dapat mengarahkan anak-anak menuju tercapainya sikap mandiri dalam masyarakat dan memiliki kebaikan serta kebijaksanaan sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Pada saat memberikan pengarahan hendaknya orangtua memperhatikan lima kondisi ideal yaitu berilah pengarahan pada saat yang tepat, bahaslah masalah yang sesuai dengan kenyataan bukan mengada-ada, katakanlah nasehat dan pengarahan itu dengan lemah lembut dan berbicaralah tentang tujuan bukan metoda serta bicaralah dengan pikiran penuh cinta kasih (Anguttara Nikaya III, 195).Sedangkan pengarahan orangtua dalam membimbing anak-anaknya adalah dengan berpedoman pada Ajaran Sang Buddha yang terdapat dalam Digha Nikaya III, 189 yaitu:
1. MENCEGAH ANAK BERBUAT JAHAT
Kejahatan anak dimulai dari kebiasaan buruk anak sejak kecil yang dibiarkan oleh orangtuanya. Anak kecil sejak umur awal (kira-kira 18 bulan) telah berusaha memaksakan kehendak pada orangtuanya (Dobson, hal. 133). Pemaksaan ini dapat dilakukan misalnya pada saat menentukan makanan yang disukai dan menggunakan saat istirahatnya. Anak sering rewel karena tidak suka dengan makanan yang telah disediakan oleh orangtuanya. Menghadapi pemaksaan semacam ini seringkali orangtua kemudian mengalah. Inilah awal kekerasan anak pada orangtua. Inilah awal ketidaktaatan anak kepada orangtua. Seharusnya orangtua dengan tegas namun bijaksana dan penuh kasih sayang berusaha menyadarkan bahwa anak harus makan makanan sesuai dengan yang telah disediakan orangtuanya. Caranya adalah dengan mengajak anak bermain-main dahulu sampai datang rasa laparnya dan selanjutnya dihadapkan kembali pada makanan yang telah disediakan tadi. Pertamanya mungkin anak tetap tidak menyukainya, namun lama-kelamaan karena lapar tentu akhirnya ia mau juga. Tidur pun ternyata dapat menjadi alat yang efektif anak memaksa orangtua. Ketika anak diingatkan waktu tidur telah tiba, sering anak beralasan untuk menentang orangtuanya. Untuk menghadapi masalah ini, anak dapat diberikan cerita-cerita menarik sebelum tidur sehingga anak merasakan bahwa kegiatan tidur adalah kegiatan yang bermanfaat dan menyenangkan. Cerita menarik itu dapat diambil dari cerita Buddhis yang dapat dibaca dari buku maupun didengar dari sekolah minggu Buddhis di vihara-vihara terdekat. Memang untuk mempersiapkan hal itu membutuhkan perhatian dan pengorbanan orangtua, namun mengingat besar manfaatnya dimasa datang, kenapa masih ada orangtua yang tidak ingin melakukannya?
Apabila anak sejak dini sudah dapat didisplinkan sehingga menurut kehendak orangtua, kini tiba saatnya orangtua mengisi batin anak-anak dengan kemoralan. Ajarkan pada mereka hal-hal yang perlu dihindari. Pokok dasar pendidikan ini adalah dengan menerapkan pengertian bahwa bila kita tidak ingin dicubit maka janganlah mencubit orang lain. Sebagai seorang umat Buddha maka pengenalan Pancasila Buddhis sejak awal adalah langkah terbaik menuju masa depan anak yang bersusila. Pancasila Buddhis adalah lima latihan kemoralan yang terdiri dari latihan untuk mengurangi pembunuhan dan penganiayaan; latihan untuk mengurangi mengambil barang-barang yang tidak diberikan secara sah / mencuri; latihan untuk mengurangi tindakan yang melanggar kesusilaan; latihan untuk mengurangi mengucapkan kata-kata yang tidak benar/berbohong; serta, latihan untuk mengurangi makan dan minum barang-barang yang memabukkan (Anguttara Nikaya III, 203). Pengenalan ini dapat diberikan selain pada saat acara makan bersama juga pada saat orangtua menemani anak-anak menonton televisi. Arahkan mereka sehingga dapat menentukan tokoh mana yang tidak baik agar perbuatannya dapat dihindari dan tokoh mana yang baik untuk ditiru. Jadikanlah televisi sebagai alat pelajaran kemoralan. Oleh karena itu, sering-seringlah menemani anak bila ia sedang menonton televisi. Jangan terlalu sering membiarkan anak menonton televisi sendirian. Sebab, acara televisi kadang kurang sesuai untuk pertumbuhan batin anak-anak bila tanpa bimbingan orangtua. Sesungguhnya, televisi bila digunakan dengan benar akan dapat memberikan manfaat besar bagi dunia pendidikan.
Disamping menganjurkan anak melaksanakan Pancasila Buddhis, anak hendaknya juga dikenalkan dengan berbagai bentuk perbuatan buruk selain perbuatan yang disebutkan dalam Pancasila Buddhis, misalnya memaki, memfitnah, berjudi dlsb. Terangkanlah bahwa perbuatan-perbuatan tersebut dapat merugikan atau tidak menyenangkan lingkungan. Pengenalan ini dapat menggunakan media surat kabar ataupun cerita-cerita Buddhis sederhana dan mudah diterima anak-anak. Tujuannya jelas, agar mereka tahu dan berusaha tidak melakukannya.
2. MENGANJURKAN ANAK BERBUAT BAIK
Selain mencegah kejahatan sebagai bentuk aktif negatif, kita juga harus mengarahkan anak melakukan tindakan aktif positif yaitu mengembangkan kebaikan. Tentu saja untuk hal ini juga dibutuhkan beberapa alat bantu. Salah satunya adalah dengan kembali memanfaatkan televisi seperti yang telah disebutkan di atas. Selain itu, usaha membacakan atau menceritakan cerita-cerita Buddhis setiap malam sebelum tidur kepada anak-anak akan menumbuhkan konsep berpikir positif yang sesuai dengan Buddha Dhamma dalam diri anak-anak. Anak-anak, menurut Dr. Charles Schaefer, cenderung meniru orang-orang lain yaitu orang yang mereka kagumi dan hormati serta orang-orang yang mereka sayangi yaitu para tokoh masyarakat dan pahlawan dari cerita yang mereka baca atau ketahui (hal. 19). Cerita-cerita Buddhis yang banyak mengambil suasana alam binatang akan lebih mudah diterima dan ditiru anak-anak. Memang, dalam usia tertentu anak akan lebih mudah meniru nasehat yang diberikan oleh tokoh-tokoh binatang. Suatu bukti nyata, tokoh kartoon yang disukai anak-anak kebanyakan adalah tokoh binatang. Selain itu juga, ajarilah anak-anak menyanyikan lagu-lagu Buddhis sehingga Ajaran Sang Buddha secara sederhana dapat mereka hafalkan melalui lagu yang mereka nyanyikan. Hafal syair lagu ini diharapkan akan membantu anak untuk memiliki keyakinan yang kuat dan pedoman hidup sesuai dengan Buddha Dhamma.
Pokok-pokok perbuatan baik yang perlu dikenalkan kepada anak-anak terutama adalah pengembangan kerelaan, kemoralan dan konsentrasi. Sebagai contoh dalam mengembangkan sikap kerelaan pada anak dapat dilakukan dengan membiasakan anak memberikan uang atau makanan kepada pengemis yang datang ke rumah. Dapat juga anak dibiasakan berbagi barang-barang kesukaannya dengan saudara-saudaranya, misalnya saja, mainan ataupun makanan kesukaannnya. Bila hal ini telah dilatih sejak dini maka anak akan memiliki watak penuh welas asih dan akan lebih mudah memaafkan orang lain, lebih-lebih lagi, anak akan lebih menyayangi orangtuanya. Sebagai contoh latihan menyayangi orangtua dapat dibangkitkan dengan jalan membiasakan anak mengingat ulang tahun ayah dan ibunya. Pada hari ulang tahun ayah dan ibunya, anak hendaknya diminta, misalnya menyediakan sebuah bingkisan hadiah atau mungkin memberikan sebagian uang sakunya. Perlu ditekankan di sini, bukan nilai materinya yang penting melainkan nilai perhatian dan kasih sayangnya. Semakin banyak hari dalam setahun yang digunakan untuk mengingat jasa ayah dan ibunya, akan semakin dekat hubungan orangtua dengan anak, begitu pula sebaliknya. Hal ini akan menjadikan anak selalu ingat jasa kebajikan yang telah orangtua berikan kepadanya. Dengan demikian, sampai orangtua pikun dan renta pun anak-anak masih sayang dan ingin merawat mereka. Anak-anak akan selalu teringat bahwa dalam Dhamma telah disebutkan bahwa anak yang tidak merawat ayah dan ibunya ketika tua; tidaklah dihitung sebagai anak (Khuddaka Nikaya, 393).
Kemoralan yang pada intinya pelaksanaan Pancasila Buddhis pada hari-hari biasa dan pelaksanaan Atthasila atau Delapan Sila pada hari-hari Uposatha dapat dikenalkan pada anak-anak sedikit demi sedikit. Tentu saja contoh dan teladan orangtua amatlah diperlukan. Artinya perbuatan orangtua yang sesuai dengan sila akan lebih mudah ditiru anak daripada nasehat belaka tanpa contoh nyata. Sang Buddha juga bersabda, sebagaimana ia mengajar orang lain, demikianlah hendaknya ia berbuat (Dhammapada XII, 3). Hal senada juga dikatakan oleh Mr. Sigourney, jika Anda menginginkan anak Anda untuk sesuatu ...berusahalah menunjukkan sesuatu itu dalam hidup Anda dan dalam pembicaraan Anda sendiri. Sesungguhnya, tenaga yang paling potensial untuk membuat anak menjadi mahluk sosial adalah dengan mengamati perbuatan oranglain, terutama orangtuanya. Dengan demikian, usahakan setiap hari Uposatha (tanggal 1, 8, 15 dan 23 menurut penanggalan bulan) di cetiya di rumah diadakan pembacaan paritta khusus oleh ayah, ibu dan anak-anak pada pagi hari dan dilanjutkan dengan tekad melaksanakan Delapan Sila pada hari itu. Karena orangtua ikut aktif bersama dengan anak-anak, maka tidak akan ada lagi kesempatan bagi anak-anak untuk tidak melaksanakan Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari mereka. Anak-anak akan berbahagia memiliki orangtua yang bijaksana dan penuh kasih. Dengan demikian, mereka akan memiliki panutan hidup yang jelas. Mereka akan hormat dan kagum pada orangtuanya. Dan Dr. J.C. Dobson pun menuliskan, jika anak-anak dibawa untuk menghormati serta mengagumi orangtuanya, maka banyak kenakalan anak-anak dan kecerobohan dapat dihindari (hal. 105).
Konsentrasi dapat dikenalkan dengan melatih anak bermeditasi sejenak (kira-kira 15 menit) setiap hari. Sebaiknya dua kali sehari yaitu pagi sore setelah membaca paritta bersama ayah dan ibu. Ajarkan anak duduk bersila sesuai dengan petunjuk meditasi yang pernah didapat kemudian anjurkan anak mengucapkan kata "Bud-dho" sebanyak dua puluh kali, misalnya. Karena diucapkan, maka apabila pikiran anak menyimpang kita akan lebih gampang mengawasinya dan kemudian membenahinya. Tunjukkanlah manfaat meditasi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, bila anak telah bersekolah, meditasi akan dapat membantu meningkatkan kecerdasan anak. Tentunya jika prestasi sekolah anak meningkat maka orangtua pun akan merasa bangga.
3. MEMBERIKAN PENDIDIKAN
Pendidikan yang dimaksudkan di sini meliputi pendidikan lahir dan batin. Pendidikan anak sesungguhnya diawali dari rumah artinya diperoleh dari orangtua si anak sendiri. Disebutkan dalam Buddha Dhamma bahwa ayah dan ibu adalah guru yang pertama (Khuddaka Nikaya, 286). Oleh karena itu, sebaiknya pendidikan anak sudah dilakukan sejak anak masih dalam kandungan. Tentu saja pendidikan sejak dalam kandungan lebih bersifat batin daripada badan. Pendidikan batin di sini, salah satunya adalah pendidikan agama yaitu Agama Buddha. Ketika perkawinan sepasang suami istri telah diresmikan di sebuah vihara maka pada saat itulah mereka mulai mempersiapkan diri untuk memberikan pendidikan kepada calon anak-anaknya. Pasangan yang baru hendaknya selalu berusaha menjaga segala bentuk pikiran, ucapan dan perbuatannya agar ditujukan pada kebaikan. Dengan kata lain, mereka mendidik diri mereka sendiri dahulu sebelum memulai mendidik anaknya. Mereka hendaknya berusaha memiliki sebuah cetiya / altar di rumah. Setiap pagi dan sore sediakanlah waktu khusus untuk membaca paritta dan bermeditasi bersama. Pada hari Minggu atau hari kebaktian lainnya, suami istri kiranya dapat meluangkan waktunya untuk pergi ke vihara untuk melaksanakan puja bhakti serta mendengarkan dan berdiskusi Dhamma. Apabila kebiasaan ini terus dilanjutkan pada saat telah terjadi kehamilan, maka sesungguhnya kedua calon orangtua tersebut telah siap mengawali tanggung jawab pendidikan anak yang amat penting. Dalam usia kehamilan tertentu, tujuh bulan misalnya, dapat mengundang teman-teman maupun para bhikkhu untuk membacakan paritta agar anak dalam kandungan memperoleh keselamatan begitupula ayah dan ibunya hendaknya memperoleh kebahagiaan. Menjelang kelahiran dan kemudian beberapa hari setelah kelahiran, alangkah baiknya bila juga mengundang teman maupun bhikkhu untuk membacakan paritta untuk keselamatan ayah, ibu dan anak. Demikian pula ketika ada peringatan-peringatan penting lainnya, ulang tahun misalnya, maka sungguh amat bermanfaat orangtua mengundang rekan vihara dan juga para bhikkhu untuk membaca paritta di rumah. Dengan demikian, anak telah dikenalkan tradisi Buddhis sejak usia dini. Disebutkan Dobson, hendaknya latihan kerohanian sudah dimulai sebelum anak-anak bisa memahami apakah artinya semua itu (hal. 123). Hal ini menyebabkan dimasa datang anak akan tetap menjadikan Buddha Dhamma sebagai pedoman hidupnya. Karena, meskipun anak-anak akhirnya akan membuat pilihan mereka sendiri dan menentukan arah kehidupan mereka, tetapi keputusan-keputusan itu akan dipengaruhi oleh dasar-dasar yang telah diletakkan oleh orangtuanya (Dobson, hal. 125).
Selain mengundang teman membaca paritta, hal yang jelas tidak boleh dihentikan apalagi dilupakan adalah kegiatan membaca paritta serta meditasi pagi-sore di cetiya di rumah oleh seluruh anggota keluarga. Dalam kegiatan membaca paritta bersama ini dapat pula dilakukan pembahasan Dhamma oleh ayah atau ibu atau mendengarkan pembabaran Dhamma yang terdapat di kaset-kaset rekaman.
Apabila telah tiba saatnya seorang anak masuk sekolah, maka anak akan memperoleh pendidikan ganda. Anak akan tetap memperoleh pendidikan di rumah namun sekaligus juga di sekolah yang telah ditentukan oleh orangtua. Penentuan sekolah ini merupakan hal penting pula. Perlu dijadikan dasar pemikiran pada saat memilih sekolah adalah faktor lingkungan, pergaulan, agama yang dominan di sekolah tersebut di samping masalah jarak rumah ke sekolah dan juga mutu sekolah tentunya. Perlu diingat, bahwa pergaulan anak amat menentukan corak watak anak dimasa depan. Ibarat kayu cendana yang wangi akan memberikan keharuman bagi kertas yang membungkusnya, sebaliknya daging busuk juga akan menyebarkan kebusukannya pada daun yang membungkusnya. Oleh karena itu, sekali lagi, berhati-hatilah memilihkan teman bergaul anak-anak agar tidak menjadikan penyesalan bagi semua fihak nantinya.
Dengan demikian jelas di sini bahwa yang dimaksudkan dengan pendidikan bukan hanya di sekolah saja. Sekolah selain sebagai tempat pendidikan sebenarnya lebih cenderung menjadi tempat pengajaran. Namun, rumah dengan kondisi rumahtangga yang damai dan harmonis antara setiap individu pembentuk rumah tangga adalah menjadi tempat pendidikan anak yang baik sekali.
4. MENYETUJUI CALON PASANGAN HIDUP ANAK
Satu hal wajar dalam proses kehidupan setelah anak beranjak dewasa adalah menentukan teman hidup. Di masa sekarang, pada umumnya anak memilih sendiri calonnya, tinggal tugas orangtua menyeleksi dan memberikan persetujuannya. Apabila calon menantu telah memenuhi persyaratan tertentu dari orangtua maka anak dapat meneruskan hubungan mereka ke jenjang perkawinan. Namun, apabila orangtua kurang berkenan dengan pilihan anak maka hendaknya anak disarankan untuk mencari lagi calon pasangan hidup yang lebih sesuai. Di sinilah peranan orangtua dalam menentukan masa depan anak menjadi amat penting. Orangtua hendaknya dengan bijaksana dan penuh kasih menyelesaikan tugas mulia ini. Orangtua dapat menghindarkan diri dari kebingungan di belakang hari karena masalah memilih calon menantu dengan cara seperti yang telah disinggung di atas, yaitu dengan memilihkan anak lingkungan yang sesuai. Bila anak telah terarah pada lingkungan yang benar, maka tentunya calon pasangan hidup pilihannya pun cenderung akan sesuai dengan harapan orangtua. Pilihan yang sesuai tentu saja harus memenuhi kriteria kepantasan dasar yang berlaku dalam satu kelompok masyarakat tempat keluarga tersebut tinggal. Kriteria kepantasan ini bersifat relatif. Sedangkan kriterian memilih menantu yang terdapat dalam Buddha Dhamma sebagai yang telah disebut dalam Maha Manggala Jataka bahwa pedoman memilih menantu perempuan, ia hendaknya ramah tamah, usia sepadan, setia, baik hati dan mampu memberikan keturunan, memiliki keyakinan, memiliki kemoralan serta berasal dari keluarga baik-baik (Jataka X, 453). Sedangkan kriteria memilih menantu laki-laki, ia hendaknya setia tidak tergolong lelaki hidung belang, pemabuk, penjudi dan pemboros(Parabhava Sutta, 16).
Selain kriteria di atas ada beberapa persyaratan penting lainnya yang perlu diketahui orangtua dalam memilih dan menentukan calon menantu. Persyaratan ini penting karena memperoleh menantu yang sesuai akan dapat menumbuhkan kebahagiaan untuk anak. Sedangkan kebahagiaan anak adalah pasti merupakan kebahagiaan orangtua pula. Pada kitab Anggutara Nikaya II, 59 Sang Buddha memberikan minimal empat kesamaan sebagai persyaratan agar rumah tangga berbahagia. Persyaratan itu adalah memiliki kesamaan dalam keyakinan yaitu yakin dengan Agama Buddha, kemoralan, kedermawanan serta kebijaksanaaan sesuai dengan Dhamma. Bila keempat kesamaan ini dapat dipenuhi maka kebahagiaan pasangan tersebut akan dapat tercapai.
5. MEMBERIKAN WARISAN PADA SAAT YANG SESUAI
Masalah memberikan warisan sering dihindari dalam pembicaraan masyarakat sehari-hari padahal urusan ini banyak menimbulkan perkara antar anggota keluarga bila orangtua telah meninggal. Oleh karena itu dalam tradisi Buddhis, memberikan warisan sebaiknya ketika orangtua masih hidup. Hal ini mempunyai maksud, bila anak ternyata tidak mampu memenuhi harapan orangtua maka orangtua masih dapat memberikan dukungan maupun nasehat yang diperlukan sehingga anak akhirnya akan mampu memperoleh kemajuan sesuai harapan orangtua.
Warisan dapat diartikan peninggalan orangtua pada anak baik yang bersifat materi maupun bukan. Warisan yang bukan materi misalnya pendidikan, sopan santun, sikap hidup dan sebagainya. Sedangkan warisan yang dimaksudkan di sini lebih cenderung pada warisan yang bersifat materi. Hal yang penting ditekankan di sini adalah bukan besarnya nilai materi warisan yang diberikan tetapi kegunaan dan kemampuan anak memanfaatkan warisan yang diterimanya. Kemampuan ini tentunya merupakan hasil pendidikan orangtuanya pula. Oleh karena itu, peranan orangtua dalam mengarahkan anak agar memiliki ketrampilan tertentu untuk mempertahankan kehidupan dan menjadi mandiri setelah dewasa adalah menjadi salah satu tanggung jawab utama orangtua.
KESIMPULAN
Masa depan anak, kesuksesan maupun kegagalan banyak dipengaruhi oleh peranan orangtua di masa kecil anak. Komunikasi yang dibina dengan semaksimal mungkin akan memberikan dasar terpenting dalam pendidikan anak. Dasar pembinaan komunikasi adalah dengan menanamkan pengertian pada diri orangtua bahwa bayi adalah manusia sepenuhnya sejak kelahiran (Dobson, hal. 32). Hal inilah yang sering dilupakan oleh orangtua. Orangtua cenderung menganggap anaknya tidak tahu apa-apa. Orangtua merasa tidak perlu memberikan kesempatan untuk mengkomunikasikan pikirannya kepada anak-anaknya. Mereka menganggap anak-anaknya belum saatnya berbicara dan berdiskusi tentang sesuatu masalah dalam keluarga tersebut. Padahal mungkin masalah itu berkaitan dengan anak tersebut. Sikap inilah yang akan menghambat komunikasi orangtua dengan anak. Namun apabila hal ini dapat disadari dan diperbaiki maka komunikasi akan dapat terjalin baik. Apabila komunikasi telah terbina, maka nilai-nilai apapun yang hendak orangtua tanamkan pada anak akan lebih gampang diterima. Penanaman watak yang penting adalah meningkatkan mutu kebajikan dalam segala bentuk tingkah laku, ucapan dan cara berpikir anak yang benar dan sesuai dengan Ajaran Sang Buddha. Cara penanaman watak baik ini dapat menggunakan beberapa dorongan sebagai pertolongan. Jeremy Benthan, seorang ahli filsafat abad 19, mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat dua tenaga pendorong yaitu kesenangan dan kesakitan. Oleh karena itu, sistem memberikan hadiah dan hukuman bila diperlukan dapat diterapkan dengan bijaksana dan penuh kasih pada anak-anak. Perlu ditambahkan di sini bahwa hukuman atau pengendalian secara fisik haruslah merupakan metoda terakhir dalam usaha mengendalikan anak. Dr. Charles Schaefer menegaskan bahwa paksaan secara fisik bukanlah merupakan hukuman tetapi suatu pencegahan agar anak tidak berbuat hal-hal yang berbahaya dan merusak bagi dirinya sendiri, orang lain, atau benda-benda di sekitarnya (hal. 117).
Dr. Charles Schaefer pernah membuat survey terhadap 2000 orang anak yang menanyakan mereka tentang perubahan apakah yang mereka kehendaki atau inginkan terjadi dalam kehidupan keluarga mereka. Jawaban terbanyak bila diurutkan adalah pelajaran agama lebih banyak, kemudian komunikasi yang lebih baik dan ketiga adalah waktu yang lebih banyak untuk bersama-sama sebagai satu keluarga (hal. 160).
Menyadari sedemikian rindunya anak-anak generasi penerus kita pada kebersamaan dan komunikasi dengan orangtuanya yang telah hilang ditelan kebutuhan, maka renungkanlah sebuah slogan yang mulai sering terdengar:SUDAHKAH ANDA PELUK ANAK ANDA HARI INI ?
Anak-anak Mempelajari Hal yang Mereka Hayati dalam Hidup
Kalau seorang anak hidup dengan kritik,
Dia akan belajar mengecam.
Kalau seorang anak hidup dengan kebencian,
Dia akan belajar berkelahi.
Kalau seorang anak hidup dengan ejekan,
Dia akan belajar menjadi pemalu.
Kalau seorang anak hidup dengan rasa malu,
Dia akan belajar merasa bersalah.
Kalau seorang anak hidup dengan toleransi,
Dia akan belajar sabar.
Kalau seorang anak hidup dengan dorongan,
Dia akan belajar memiliki keyakinan.
Kalau seorang anak hidup dengan pujian,
Dia akan belajar menghargai.
Kalau seorang anak hidup dengan kejujuran,
Dia akan belajar adil.
Kalau seorang anak hidup dengan rasa aman,
Dia akan belajar mempunyai iman.
Kalau seorang anak hidup dengan persetujuan,
Dia akan belajar menyukai dirinya sendiri.
Kalau seorang anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan,
Dia akan belajar menemukan cinta di dunia.
(Dorothy Noltie, dikutip Brian Tracy hal. 328-329)
Kalau seorang anak hidup dengan kritik,
Dia akan belajar mengecam.
Kalau seorang anak hidup dengan kebencian,
Dia akan belajar berkelahi.
Kalau seorang anak hidup dengan ejekan,
Dia akan belajar menjadi pemalu.
Kalau seorang anak hidup dengan rasa malu,
Dia akan belajar merasa bersalah.
Kalau seorang anak hidup dengan toleransi,
Dia akan belajar sabar.
Kalau seorang anak hidup dengan dorongan,
Dia akan belajar memiliki keyakinan.
Kalau seorang anak hidup dengan pujian,
Dia akan belajar menghargai.
Kalau seorang anak hidup dengan kejujuran,
Dia akan belajar adil.
Kalau seorang anak hidup dengan rasa aman,
Dia akan belajar mempunyai iman.
Kalau seorang anak hidup dengan persetujuan,
Dia akan belajar menyukai dirinya sendiri.
Kalau seorang anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan,
Dia akan belajar menemukan cinta di dunia.
(Dorothy Noltie, dikutip Brian Tracy hal. 328-329)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar