Saat bertemu dengan Buddha Dharma dan menemukan diri kita terinspirasi olehnya, kita berharap mulai dapat melepaskan pikiran kita yang terbatas ini. Kita berharap mulai dapat bebas, tidak hanya dalam upaya mengembangkan spiritual tetapi juga untuk mendapatkan penerangan tentang hakekat keberadaan yang sebenarnya. Hal ini menjadi keinginan kita. Kita seringkali menemukan bahwa sesuatu tidak terlihat terlalu jelas dan sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Pengkondisian sosial terlihat sangat kuat dibandingkan dengan benang emas inspirasi yang membawa kita ke jalan spiritual. Keraguan muncul kembali: kita mulai meragukan seandainya kita dapat berubah sama sekali, apalagi memperoleh penerangan!
Kita tentu saja tidak dapat kembali ke masa lampau, tetapi kita dapat mengenali diri kita dengan cerita di jaman Sang Buddha, mengidentifikasikan diri kita dengan beberapa karakter yang kita jumpai melalu imajinasi. Kita menemukan bahwa dunia Buddha telah terbuka di depan kita. Kita mengikuti diskusi antara Sang Buddha dengan muridNya ketika Beliau bertanya tentang latihan spiritual mereka, kita membaca debat dari guru-guru dari tradisi yang berbeda-beda, seperti Sang Buddha mencoba menyampaikan kepada mereka akan kebenaran Dhamma dan banyak lagi.
Sebagai Wanita, saya menemukan suatu bagian dalam sutra Pali: Therigatha, dimana kita diperkenalkan kepada wanita semua umur dan gaya hidup dari seorang ratu sampai seorang seorang pengemis wanita, dari seorang remaja sampai seorang yang tua. Beberapa dari mereka menemukan ajaran Sang Buddha ditengah-tengah kesedihan atau kejadian yang menyakitkan dalam hidup mereka. Yang lainnya kecewa dengan kekayaan dan kecantikan. Beberapa orang tidak puas dengan pekerjaan yang tiada henti ini sehingga membawa mereka kepada kehidupan spiritual.
Ada cerita mengenai Patacara. Sang Buddha memberikan penerangan kepadanya yang tengah berduka akibat kematian suami dan anak. Sang Buddha melihat kegoncangan jiwanya dan menyadari bahwa pada dasarnya pikiran dapat memahami ajaranNya.
Seperti sekarang engkau meneteskan air mata karena kematian anak-anak dan yang lainnya, demikian pula, dalam dunia yang tidak pernah berakhir, engkau telah banyak mengeluarkan air mata... O, Patacara, bagi seseorang yang melangkah ke dunia lain, tidak ada anak atau kerabat yang bisa dijadikan tempat bernaung atau tempat bersembunyi atau tempat berlindung... Karena itu siapapun yang bijaksana akan memurnikan tingkah laku dan menyelesaikan jalan menuju Nibbana. (Psalm of the Early Buddhist I – The Sisters, diterjemahkan oleh Mrs. Rhys. Davids. P 71)
Dari kedudukannya yang terdalam, Patacara dapat melihat kebenaran yang dikatakan Sang Buddha. Ia dimantapkan dalam penerangan dan ditabhiskan sebagai Bhikkhuni. Ia berlatih secara konsisten selama bertahun-tahun dan pada suatu hari mendapatkan pencerahan sempurna saat sedang membasuh kaki. Saat menuangkan air ke kakinya, mengamati bagaimana air mengalir dan jatuh ke bumi yang berdebu, ia menyadari ketidakkekalan hidup. Dihantam oleh kejadian yang mendalam ini, ia pergi ke pondoknya dan bermeditasi lebih jauh, sesaat setelah ia mendapat pencerahan.
Patacara menjadi salah satu guru terbesar di antara bhikkhuni. Ia dikatakan menjadi inspirasi bagi siswa-siswanya dan menolong mereka mendapatkan pencerahan melalui kedalaman pengetahuannya sendiri.
Cerita lainnya yang sangat menyentuh adalah seorang bhikkhuni yang mempunyai nama panggilan si Kecil Kuat. Ia hidup bahagia menikah dengan seorang bangsawan mudi dari Vesali tatkala Sang Buddha datang untuk mengajar di sana. Setelah mendengarkan Sang Buddha ia menjadi siswa biasa, tetapi setelah mendengarkan ceramah Patacara mengenai Dharma, ia memutuskan untuk meninggalkan rumah dan memasuki kehidupan spiritual sebagai bhikkhuni. Suaminya, bagaimanapun tidak setuju akan kepergiannya, mungkin karena takut akankeselamatan istrinya jika menjalani hidup sbagai bhikkhuni yang tidak mempunyai rumah. Jadi ia melanjutkan tugas rumah tangganya tetapi setiap saat merenungkan manisnya ajaran Sang Buddha, dan ia melihat ketidakkekalan dalam setiap hal sehari-hari.
Suatu hari ketika sedang memasak kari, sebuah lidah api yang besar menyambar dan membakar semua makanan. Kecil Kuat mengambil ini sebagai dasar untuk bermeditasi akan ketidakkekalan. Kejadian ini membuatnya melampaui sekedar tingkat pemenang arus, dimana ia memutuskan belenggu kemelekatan dan kebencian. Ia melepaskan perhiasan dan permatanya. Suaminya yang melihat perubahan dalam dirinya akhirnya sadar bahwa ia tidak dapat menjalani kehidupan sebagai manusia biasa dan membawanya kepada seorang bhikkhuni yang mentabhiskannya. Sang Buddha membacakan sebuah syair kepadanya, yang memberikan pengertian yang mendalam:
Tidurlah yang tenang, Kecil Kuat, beristirahatlah dengan ketenteraman dalam jubahmu.
Tertenangkan sudah nafsu dan kemarahan seperti daun pandan yang mengering didalam tungku.
Anda mungkin berpikir bahwa kehidupan di India kuno memudahkan seorang wanita untuk menjalani kehidupan spiritual. Kenyataannya kehidupan wanita India – sama halnya dengan kesulitan kondisi Barat – juga tidak mudah Menurut tradisi mereka tidak berhak untuk mengambil keputusan. Perjodohan dan pernikahan mereka terjadi pada usia muda. Mereka berada dalam kekuasaan orang tua sebelum pernikahan dan setelah menikah ada di tangan suami dan mertua.
Jika seorang wanita meninggalkan rumah untuk ‘menjalani kehidupan tanpa rumah’ sebagai seorang bhikkhuni, kehidupan masih sangat sulit: ia tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, tidak memiliki sumber makanan selain harus meminta-minta. Tidaklah aman bagi seorang wanita untuk pergi sendirian pada saat itu. Seorang wanita yang mengambi jalan ini memerlukan inspirasi yang kuat, dan tidak menginginkan kehidupan keduniawian. Wanita yang kita pelajari dalam Therigatha benar-benar mengesankan.
Kita dapat menarik banyak keberanian dan inspirasi dari cerita-cerita diatas, dan hal ini dapat menyakinkan kita bahwa kita dapat berubah. Kita dapat memperlonggar ikatan kita akan kondisi materi yang kita miliki. Kita dapat memperoleh pandangan terang tentang hakekat kehidupan.
(Sumber: Buddhist Digest 34, p 49 –52. Alih bahasa Rianto)
Kita tentu saja tidak dapat kembali ke masa lampau, tetapi kita dapat mengenali diri kita dengan cerita di jaman Sang Buddha, mengidentifikasikan diri kita dengan beberapa karakter yang kita jumpai melalu imajinasi. Kita menemukan bahwa dunia Buddha telah terbuka di depan kita. Kita mengikuti diskusi antara Sang Buddha dengan muridNya ketika Beliau bertanya tentang latihan spiritual mereka, kita membaca debat dari guru-guru dari tradisi yang berbeda-beda, seperti Sang Buddha mencoba menyampaikan kepada mereka akan kebenaran Dhamma dan banyak lagi.
Sebagai Wanita, saya menemukan suatu bagian dalam sutra Pali: Therigatha, dimana kita diperkenalkan kepada wanita semua umur dan gaya hidup dari seorang ratu sampai seorang seorang pengemis wanita, dari seorang remaja sampai seorang yang tua. Beberapa dari mereka menemukan ajaran Sang Buddha ditengah-tengah kesedihan atau kejadian yang menyakitkan dalam hidup mereka. Yang lainnya kecewa dengan kekayaan dan kecantikan. Beberapa orang tidak puas dengan pekerjaan yang tiada henti ini sehingga membawa mereka kepada kehidupan spiritual.
Ada cerita mengenai Patacara. Sang Buddha memberikan penerangan kepadanya yang tengah berduka akibat kematian suami dan anak. Sang Buddha melihat kegoncangan jiwanya dan menyadari bahwa pada dasarnya pikiran dapat memahami ajaranNya.
Seperti sekarang engkau meneteskan air mata karena kematian anak-anak dan yang lainnya, demikian pula, dalam dunia yang tidak pernah berakhir, engkau telah banyak mengeluarkan air mata... O, Patacara, bagi seseorang yang melangkah ke dunia lain, tidak ada anak atau kerabat yang bisa dijadikan tempat bernaung atau tempat bersembunyi atau tempat berlindung... Karena itu siapapun yang bijaksana akan memurnikan tingkah laku dan menyelesaikan jalan menuju Nibbana. (Psalm of the Early Buddhist I – The Sisters, diterjemahkan oleh Mrs. Rhys. Davids. P 71)
Dari kedudukannya yang terdalam, Patacara dapat melihat kebenaran yang dikatakan Sang Buddha. Ia dimantapkan dalam penerangan dan ditabhiskan sebagai Bhikkhuni. Ia berlatih secara konsisten selama bertahun-tahun dan pada suatu hari mendapatkan pencerahan sempurna saat sedang membasuh kaki. Saat menuangkan air ke kakinya, mengamati bagaimana air mengalir dan jatuh ke bumi yang berdebu, ia menyadari ketidakkekalan hidup. Dihantam oleh kejadian yang mendalam ini, ia pergi ke pondoknya dan bermeditasi lebih jauh, sesaat setelah ia mendapat pencerahan.
Patacara menjadi salah satu guru terbesar di antara bhikkhuni. Ia dikatakan menjadi inspirasi bagi siswa-siswanya dan menolong mereka mendapatkan pencerahan melalui kedalaman pengetahuannya sendiri.
Cerita lainnya yang sangat menyentuh adalah seorang bhikkhuni yang mempunyai nama panggilan si Kecil Kuat. Ia hidup bahagia menikah dengan seorang bangsawan mudi dari Vesali tatkala Sang Buddha datang untuk mengajar di sana. Setelah mendengarkan Sang Buddha ia menjadi siswa biasa, tetapi setelah mendengarkan ceramah Patacara mengenai Dharma, ia memutuskan untuk meninggalkan rumah dan memasuki kehidupan spiritual sebagai bhikkhuni. Suaminya, bagaimanapun tidak setuju akan kepergiannya, mungkin karena takut akankeselamatan istrinya jika menjalani hidup sbagai bhikkhuni yang tidak mempunyai rumah. Jadi ia melanjutkan tugas rumah tangganya tetapi setiap saat merenungkan manisnya ajaran Sang Buddha, dan ia melihat ketidakkekalan dalam setiap hal sehari-hari.
Suatu hari ketika sedang memasak kari, sebuah lidah api yang besar menyambar dan membakar semua makanan. Kecil Kuat mengambil ini sebagai dasar untuk bermeditasi akan ketidakkekalan. Kejadian ini membuatnya melampaui sekedar tingkat pemenang arus, dimana ia memutuskan belenggu kemelekatan dan kebencian. Ia melepaskan perhiasan dan permatanya. Suaminya yang melihat perubahan dalam dirinya akhirnya sadar bahwa ia tidak dapat menjalani kehidupan sebagai manusia biasa dan membawanya kepada seorang bhikkhuni yang mentabhiskannya. Sang Buddha membacakan sebuah syair kepadanya, yang memberikan pengertian yang mendalam:
Tidurlah yang tenang, Kecil Kuat, beristirahatlah dengan ketenteraman dalam jubahmu.
Tertenangkan sudah nafsu dan kemarahan seperti daun pandan yang mengering didalam tungku.
Anda mungkin berpikir bahwa kehidupan di India kuno memudahkan seorang wanita untuk menjalani kehidupan spiritual. Kenyataannya kehidupan wanita India – sama halnya dengan kesulitan kondisi Barat – juga tidak mudah Menurut tradisi mereka tidak berhak untuk mengambil keputusan. Perjodohan dan pernikahan mereka terjadi pada usia muda. Mereka berada dalam kekuasaan orang tua sebelum pernikahan dan setelah menikah ada di tangan suami dan mertua.
Jika seorang wanita meninggalkan rumah untuk ‘menjalani kehidupan tanpa rumah’ sebagai seorang bhikkhuni, kehidupan masih sangat sulit: ia tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, tidak memiliki sumber makanan selain harus meminta-minta. Tidaklah aman bagi seorang wanita untuk pergi sendirian pada saat itu. Seorang wanita yang mengambi jalan ini memerlukan inspirasi yang kuat, dan tidak menginginkan kehidupan keduniawian. Wanita yang kita pelajari dalam Therigatha benar-benar mengesankan.
Kita dapat menarik banyak keberanian dan inspirasi dari cerita-cerita diatas, dan hal ini dapat menyakinkan kita bahwa kita dapat berubah. Kita dapat memperlonggar ikatan kita akan kondisi materi yang kita miliki. Kita dapat memperoleh pandangan terang tentang hakekat kehidupan.
(Sumber: Buddhist Digest 34, p 49 –52. Alih bahasa Rianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar