Sepulang dari tamasya, sekujur tubuh si Santi (bukan nama       sebenarnya) kejang-kejang dan mulutnya berkomat-kamit mengeluarkan       kata-kata yang maksudnya sulit untuk dimengerti. Kedua orang tua Santi       telah berusaha kemana-mana mencari paranormal dan ahli kebathinan (istilah       awamnya dikenal dengan sebutan dukun) untuk menyelamatkan nyawa Santi,       tetapi semuanya sia-sia saja dan akhirnya Santi diberitakan meninggal       dunia dengan kondisi yang menggenaskan. Setelah pemakaman Santi,       terdengarlah isu-isu yang menyatakan bahwa semasa hidupnya, Santi sangat       doyan berbicara sembarangan (cakap kotor, kasar dan adakalanya melecehkan       siapapun juga). Ada lagi yang mengatakan bahwa Santi telah kesurupan       "Mbah", karena dia terlalu sombong dan berbicara yang       nggak-nggak sewaktu tamasya.
   
     Disisi lain, ada juga yang bangga bisa kesurupan "mbah" ini dan       itu. Banyak dijumpai terutama sekali di kalangan umat yang mengaku       beragama Buddha tetapi tidak mengenal sama sekali ajaran Sang Buddha       (alias Buddha KTP) menjadi korban oknum-oknum yang menyatakan bisa       kesurupan "mbah" ini dan itu. Dan yang lebih kocaknya lagi       adalah oknum tersebut mengaku bisa kesurupan apapun juga sesuai dengan       "order" dari si korban.
   
     Dari kedua jenis kesurupan ini, bisa disimpulkan bahwa kesurupan tipe yang       pertama adalah bukan kehendak dari si pemilik tubuh, sedangkan kesurupan       tipe kedua adalah keinginan dari si pemilik tubuh (mengundang makhluk alam       halus "peta" memasuki/ mendiami tubuhnya untuk sementara waktu).       Mengapa semua ini bisa terjadi ? Kalau diterjemahkan, makna       "kesurupan" secara sederhana adalah menerima getaran-getaran       atau gaya-gaya bathin dari luar dan secara utuh mempengaruhi/ mengalahkan       bathin si pemilik tubuh. Untuk tipe kesurupan yang pertama bisa saja       terjadi pada setiap makhluk, terutama sekali dikarenakan kekuatan       "kusala karma-perbuatan baik" yang melekat di tubuhnya sudah       mulai melemah, dalam arti "aura-cahaya tubuh" nya telah mulai       redup. Makhluk di alam setan "peta bumi" boleh dikatakan sama       usilnya dengan manusia. Manusia pada umumnya berani mengganggu atau       menggoda temannya ataupun orang lain karena orang tersebut tidak       memberikan perlawanan. Seandainya orang tersebut bertambah takut maka akan       semakin menjadi-jadilah dia menggoda dan mengganggu serta jika       memungkinkan sekalian menyakiti dan membunuhnya. Demikian pula halnya       dengan orang yang dimana simpanan kusala karmanya mulai melemah dan       auranya mulai redup dan merupakan sasaran yang empuk bagi makhluk yang       berada di alam kegelapan untuk mencoba menyakiti dan menerobos masuk ke       dalam tubuh orang tersebut. Bagi yang tidak sanggup mempertahankan       "sati-kesadaran" nya akan menderita pada proses kesurupan ini       dan adakalanya makhluk alam rendah yang berhasil menembus pertahanan ini       akan merasa betah mendiami rumah yang baru ini bagaikan penjajah yang       berhasil menjarah negara lain dan enggan melepaskan daerah jajahannya.       Orang yang kesurupan yang tidak tertangani dengan baik, akan meninggal       dunia lebih awal dari semestinya jika tidak ditolong sedini mungkin.
   
     Untuk menghindari dari kesurupan yang tidak diinginkan maka hanya ada satu       cara yang bisa ditempuh yaitu memperbanyak perbuatan baik "kusala       kamma" agar aura tetap cemerlang seperti sediakala. Makhluk alam       rendah berani menampakkan ataupun memasuki tubuh sesesorang dikarenakan       aura mulai memudar. Sejauh yang diketahui, rasanya belum pernah kedengaran       seorang Bhikkhu/ni sampai kesurupan "mbah" ini dan itu. Perihal       kesurupan yang tidak mempan terhadap anggota Sangha (para       Bhikkhu/Bhikkhuni) adalah dikarenakan banyaknya timbunan kusala karma yang       melekat ditubuh mereka sehingga aura bercahaya demikian terangnya       melindungi dan membentengi si pemilik tubuh.
   
     Aura yang terang benderang akan menyilaukan makhluk alam rendah sehingga       takut untuk mendekati apalagi memasuki (menyurupi) tubuh seseorang. Aura       bisa diibaratkan bagai cahaya matahari yang menyilaukan dan menyakitkan       jika ditatap langsung dengan mata polos.
   
     Demikianlah kesurupan tipe yang pertama dimana tanpa kehendak dari si       pemilik tubuh, makhluk dari alam lain masuk seenaknya tanpa izin. Lalu....       bagaimana dengan tipe kesurupan yang kedua ? Kesurupan tipe yang kedua ini       adalah mengosongkan pikiran sehingga bathin menjadi pasif dan getaran dari       luar dengan mudah menerobos/ memasuki sipemilik tubuh. Kesurupan tipe       kedua inilah yang dalam prakteknya banyak dijumpai memperdaya umat Buddha       yang hanya sebatas KTP. Dan tidak sedikit korbannya mengalami banyak hal       yang fatal sebagai akibat dari ulahnya yang tidak bertanggung jawab.       Banyak dijumpai umat Buddha KTP yang menyakini oknum yang mampu kesurupan       ini dan itu, terperdaya akan akal bulus si oknum. Misalnya secara       "medis" sikorban dinyatakan menderita penyakit       "hipertensi-darah tinggi", tapi karena percaya pada si oknum       yang mengaku mampu kesurupan "mbah" ini dan itu, enggan memakan       obat-obatan yang telah diresepkan, malahan mengikuti nasehat si oknum yang       mampu kesurupan ini dan itu. Memakan ramuan jampi-jampi sehingga akhirnya       diberitakan si korban terpaksa "check out-pindah" dari alam       manusia.... alias meninggal dunia. Didalam agama Buddha, praktek       "kesurupan" tidak dibenarkan karena bisa menghambat/ menekan       proses kemajuan bathin menuju ke arah kesucian. Agar terlepas dari praktek       "kesurupan" baik yang tidak dikehendaki maupun yang diinginkan,       marilah kita kembali mengembangkan "kesadaran" melalui praktek       "meditasi" yang benar, agar yang namanya       "dukkha-derita" jauh keberadaannya dari lingkaran "samsara       : kematian dan kelahiran yang tanpa adanya awal dan akhir".
   
     Oleh sang Buddha telah dibabarkan bahwa terdapat 4 dasar kesadaran       "cattari Satti-patthana" yang sudah seharusnya dikembangkan agar       kita terlepas dari "kesurupan" makhluk ini dan itu. Keempat       dasar kesadaran tersebut terdiri dari :       
-            
Kayanupassana-perenungan terhadap tubuh jasmani. Kita hendaknya senantiasa melatih diri dalam meditasi dan mewaspadai :
-                
Pernafasan. Setiap saat dan setiap detik, kita benar-benar menyadari keluar masuknya udara, dan semua aroma yang tersebar di sekitar kita, baik yang harum, busuk, maupun yang tidak berbau sama sekali. Kesemuanya itu harus diketahui keberadaannya dengan jelas, dengan kata lain kita benar-benar menyadari apapun yang ada di lingkungan kita.
 -                
Posisi Tubuh. Menyadari dengan baik posisi tubuh yang sedang terjadi, apakah pada waktu tersebut kita sedang duduk, berdiri maupun berbaring. Tidak akan pernah merasakan "Fly-melayang-layang" dikala masih duduk, berdiri maupun berbaring. Penguasaan diri sangat baik dan tidak tergoyahkan adalah hal yang mutlak harus dimiliki/ dikuasai.
 -                
Waktu Bergerak. Menyadari dengan baik apakah gerak langkahnya maju, mundur atau diam sama sekali. Dengan kata lain bahwa semua gerak-gerik anggota tubuh dikala bangun, mandi, makan, memakai pakaian, bekerja dan lain sebagainya, dikuasai dengan sebaik-baiknya. Semua gerak-gerik badan jasmani terkontrol dan terawasi dengan penuh perhatian disamping "kesadaran" dibina dengan sebaik-baiknya.
 
 -                
 -            
Vedananupassana-Perenungan terhadap perasaan Kita hendaknya senantiasa melatih diri dalam "meditasi" dan mewaspadai :
-                
Perasaan Senang. Dikala menikmati sesuatu yang menyenangkan atau yang menggembirakan, hendaknya jangan sampai terlena (lupa daratan). Dikala ber "uang", hendaknya disadari bahwa suatu hari kelak mungkin saja mengalami kepailitan. Begitu juga dikala masih sehat "jasmani dan rohani" hendaknya selalu dimanfaatkan untuk penimbunan perbuatan-perbuatan baik. Dan yang terpenting adalah dikala masih bernafas janganlah disia-siakan kehidupan ini dengan perbuatan-perbuatan tercela.
 -                
Perasaan Sakit. Terlahirkan di alam manusia ini "sehat dan sakit" datangnya silih berganti. Dikala sakit mendera badan jasmani, hendaknya pikiran ini senantiasa terlatih dengan baik untuk tidak mencelakakan orang lain. Orang baru pantas dikatakan baik jika seandainya dia berada dalam kondisi yang menggenaskan dan memiliki kesempatan untuk berbuat "jahat" untuk melepaskan penderitaannya, namun dia tidak melakukannya. Orang beginilah yang pantas dikatakan orang baik !
 -                
Perasaan Netral. Bathinya benar-benar seimbang dan tidak tergoyahkan bagaikan batu karang yang bediri kokoh yang tidak tergoncangkan oleh gempuran ombak.
 
 -                
 -            
Cittanupassana-Perenungan terhadap kondisi bathin. Kita hendaknya senantiasa melatih diri dalam "meditasi" dan mewaspadai :
-                
Keserakahan sebagai Keserakahan. Menuntut lebih dari yang dibutuhkan serta tidak dimilikinya sifat puas akan apa yang telah dimiliki adalah merupakan ciri khas orang yang serakah. Cara untuk menekan "keserakahan" ini adalah dengan rutinnya "dana" disalurkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Tanpa pernah memberi dan melepaskan kemelekatan (sesuatu yang telah dimilikinya) maka keserakahan tidak akan pernah berhasil dibasmi habis sampai keakar-akarnya.
 -                
Kebencian sebagai Kebencian. Merasa diperlakukan dengan tidak sewajarnya ataupun iri atas keberhasilan orang lain adalah merupakan salah satu bibit awal tercetusnya "kebencian" didalam kehidupan ini. Hidup yang diliputi oleh kabut kebencian akan menghambarkan keceriaan hidup. Hanya dengan "Metta-Cinta kasih" yang universallah kebencian bisa diatasi atau dibabat keakarnya yang mendalam.
 -                
Kebodohan sebagai Kebodohan. Semua orang menyadari bahwa rokok dan minuman alkohol yang berkadar tinggi akan merusak kesehatan, tetapi kenyataannya kedua "racun" ini sangat laris dipasaran. Mengapakah hal ini terjadi ? Tidak lain dan tidak bukan adalah karena tebalnya kabut kebodohan yang telah menyelimuti mata bathin seseorang. Agar terlepas dari kebodohan, hanya ada satu cara yang harus ditempuh, yaitu dengan mempelajari, menyelami dan mengamalkan "Dharma-kebenaran" di dalam setiap derap langkah yang akan dilalui. Hanya dengan "Dharma-kebenaran" ajaran sang Buddha-lah, kebijaksanaan bisa diraih. Dengan dimilikinya kebijaksanaan maka kebodohan akan terkikis habis setahap demi setahap.
 
 -                
 -            
Dhammanupassana-Perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran. Kita hendaknya senantiasa melatih diri dalam "meditasi" dan mewaspadai bentuk-bentuk pikiran yang mungkin timbul. Didalam sabda-Nya, Sang Buddha menekankan bahwa pikiran sangat dominan sekali mempengaruhi "Kebahagiaan dan Kesusahan" yang dialami oleh setiap makhluk. Oleh karena itu, Sang Buddha bersabda:
Orang bijaksana hendaknya menjaga pikiran
yang sukar diawasi, sangat halus
dan cenderung mengarah pada objek yang digemari
Pikiran yang terjaga dengan baik
akan membawa kebahagiaan
Selanjutnya Sang Buddha pun menekankan bahwa pikiran yang terarah secara benar akan membuat seseorang menjadi mulia dan memperoleh pahala baik, melebihi apa yang dapat diberikan oleh Ibu, Ayah atau Sanak Keluarga.
Kesimpulan
-                
Kesurupan bisa saja dialami oleh setiap manusia. Seseorang bisa mengalami kesurupan adalah dikarenakan lemahnya "sati-kesadaran" bersemayam ditubuhnya. Boleh disimpulkan bahwa kesurupan yang dialami oleh setiap manusia, apakah itu atas kehendak si pemilik tubuh maupun yang bukan adalah suatu hal yang sangat patut untuk dikasihani. Kesurupan bisa diibaratkan bagai tamu yang datang ke rumah kita dan langsung berkuasa, memerintah ini dan itu, bertindak semau gue dan adakalanya merusak apapun yang disekitarnya. Hanya orang-orang yang kurang berbuat kebajikanlah yang menjadi sasaran empuk bagi makhluk dari alam rendah "peta" untuk dikuasai dan dikontrol tubuhnya.
 -                
Agar terlepas dari kesurupan yang bertentangan dengan ajaran Sang Buddha, marilah kita bersama-sama melaksanakan pembinaan kesadaran "Cattari Satti-patthana" dengan melaksanakan
a. Kayanupassana (Perenungan terhadap tubuh jasmani)
b. Vedanupassana (Perenungan terhadap perasaan)
c. Cittanupassana (Perenungan terhadap kesadaran bathin)
d. Dhammanupassana (Perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran)
Semoga dengan adanya perenungan ini, kita hendaknya memiliki "kesadaran" yang mantap serta bermanfaat bagi semua makhluk pada umumnya dan bagi bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia yang tercinta pada khususnya. 
 -                
 
Penjelasan mengenai seputar kerasukan sangat bermanfaat.. pertanyaannya bagaimana kita sebagai umat buddha mengatasi org yg kerasukan dalam hal ini yg tidak disengaja ?
BalasHapusTerima kasih Romo
artikelnya sangat bermanfaat.. pertanyaannya bagaimana kita sebagai umat buddist mengatasi org yg kerasukan secara tidak sengaja ? Terima kasih
BalasHapus